Bab 9. Ibu mertua yang tidak tahu diri
“Iya, Bu?” tanya sopir itu dengan tatapan bertanya. Menatap ke arah Sekar dan Larasati bergantian.
“Bapak bisa menunggu? Kami hanya akan mengambil beberapa barang dan kembali jalan lagi?” tanya Sekar terlihat tidak yakin.
“Eh, tapi kalau bapak keberatan tidak usah pak. Nanti kita hire gr*p lainnya saja. Soalnya saya belum berkemas-kemas. Takutnya lama,” sela Larasati sebelum bapak sopir itu menjawab pertanyaan Sekar.
“Oh, kalau nggak sampai sejam saya bisa tunggu, bu. Daripada saya ngider dulu,” sahut si bapak sopir gr*b dengan senyum masih setia menghiasi wajahnya yang sudah mulai berkeriput.
“Baik, kalau gitu bapak ikut masuk saja. Biar bapak tunggu di teras saja,” sahut Larasati lega karena tak perlu mencari gr*b lainnya.
***
Larasati menatap kamar yang selama ini sudah membersamainya. Sudah bertahun-tahun dia dan suami melewati malam di ruangan ini. Begitu banyak kenangan. Kamar ini saksi bisu bagaimana keduanya saling mencinta.
Selama ini, Larasati selalu berpikir kalau suaminya begitu memuja dan mencintainya dengan setulus hati. Ternyata … semua itu hanyalah pemikirannya semata. Kalau suaminya mencintai dan memujanya, tentu tidak akan semudah itu beralih hati, bukan?
Kini, Larasati tak lagi bisa membedakan mana itu cinta, mana itu nafsu. Semua tak lagi sama kini. Dia tak lagi bisa mempercayai arti cinta.
“Mertua kamu mana? Kok nggak kelihatan,” tanya Sekar sembari membantu Larasati berkemas. Sedang Larasati sendiri sibuk dengan pikirannya sendiri.
“Palingan dia lagi sibuk dengan teman arisannya.” Larasati mengambil beberapa berkas dokumen miliknya. Dia tak mau ‘calon’ mantan suami dan mertuanya mengambil apa yang dia punya. Ibu mertuanya tidak tahu dengan rencananya menjual rumah ini. Biar saja, Larasari tidak akan mengatakan apapun perihal rencananya itu.
“Wah, kamu kalah gaul dibanding mertua kamu itu,” goda Sekar sembari tangannya terus sibuk memasukkan pakaian Larasati ke dalam koper besar milik Larasati.
“Hmm,” gumam Larasati. Kedua matanya menatap foto pernikahan yang tergantung manis di dinding kamarnya. Mendadak netranya mengabur. Tak menyangka kalau pernikahan yang dia kira hanya dia alami sekali seumur hidup itu akan segera berakhir. Dan penyebabnya adalah perselingkuhan suaminya dengan sahabatnya sendiri. Sungguh, Larasati tidak pernah menyangka semua akan berakhir seperti ini.
“Hei, kamu harus merelakan semuanya,” ucap Sekar karena tak mendapati pergerakan sahabatnya itu. Ternyata Larasati hanya termenung menatap foto pernikahan dengan tatapan yang bisa Sekar tebak apa yang kini ada dalam pikiran temannya itu.
“Sulit, Kar. Aku sungguh tak menyangka pernikahan kami akan berakhir seperti ini,” ucap Larasati sendu. Tanpa dapat dia cegah air mata menetes membasahi pipinya.
“Hei, aku yakin kamu kuat. Be Brave, Laras,” ucap Sekar memeluk lembut sahabatnya itu. Larasati menangis dalam pelukan Sekar.
“Menagislah sampai kamu puas, Tapi saat keluar dari rumah ini, kamu tak boleh lagi menangis. Tunjukkan pada suami kamu, kalau kamu tidak lemah. Mereka akan puas kalau melihat kamu hancur seperti ini,” ucap Sekar membuat Larasati tersadar kalau percuma menangisi suami yang tega mengkhianatinya. Dia harus bisa menunjukkan kepada suami dan juga wanita ‘itu’ kalau dia baik-baik saja.
“Kamu benar, bukan aku yang menyesal. Tapi dua orang itu yang harus menyesal karena sudah mengkhianatiku,” ucap Larasati mengumpulkan kesakitannya untuk menjadi tegar.
“Gitu dong, eh aku sudah masukin semua pakaian kamu. Apa ada lagi yang mau kamu bawa?” tanya Sekar mencoba mengalihkan kesedihan Larasati ke hal lain selain ‘calon’ mantan suami dan mantan sahabatnya itu. Dua orang yang sudah menorehkan luka yang teramat dalam bagi Larasati. Sekar tidak akan memaafkan kedua orang itu. Bagaimana bisa, dua orang yang mengaku mencintai dan menyayangi Larasati begitu tega menikam dari belakang.
“Dokumen-dokumen penting ini … terus perlengkapan make up ku, ini juga beberapa perhiasan yang aku punya sejak sebelum aku menikah,” ucap Larasati sembari menyodorkan beberapa barang yang dia sebutkan satu persatu. Sekar memasukkan semua barang yang diberikan Larasati ke dalam koper kecil. Total ada tiga koper yang sudah terisi semua barang milik Larasati.
“Itu?” tanya Sekar sembari menunjuk pigura yang menghiasi dinding kamar Larasati. Beberapa foto kebersamaannya dengan suami dan kedua sahabatnya. Larasati berjalan ke arah yang ditunjuk Sekar. Dia mengambil foto dirinya, Sekar dan juga Celline. Larasati membuka penghalang yang ada di belakang dan mengambil foto itu dari dalam pigura. Dengan yakin dia merobek foto yang ada Cellinenya. Menyisakan foto dia dan Sekar. Larasati membuang asal foto Celline. Andai hidup semudah itu. Dia akan membuang semua kenangan yang menyesakkan itu dengan hanya menyobek gambar itu. Akan tetapi lukanya masih menyisakan perih. Dia hanya berharap, waktu bisa mengobati lukanya perlahan.
Larasati menyimpan foto dirinya dan sekar ke dalam tasnya.
“Ayo,” ajak Larasati. Dia berharap dengan meninggalkan kamar yang penuh kenangan ini bisa juga menghilangkan rasa sakit yang dia rasa. Sulit, akan tetapi dia yakin dia bisa. Harus bisa!
Saat keluar dari dalam kamar dia melihat kedatangan ibu mertuanya dengan dandanan menor ala sosialita. Tanpa menegur ibu mertuanya, Laras melenggang ke arah luar. Akan tetapi langkahnya terhenti kala ucapan nan pedas keluar dari mulut wanita paruh baya yang masih dia hormati itu, meski anaknya sudah melukainya teramat sangat.
“Bagus deh, Bayu jadi tak harus mengusir perempuan mandul kayak kamu. Ternyata kamu cukup tahu diri, ya.”
“Oh, ibu sudah pulang toh. Maaf, bu. Tadi Laras pikir badut mana yang ibu undang. Ternyata ….” Laras sengaja menjeda ucapannya guna melihat reaksi ibu mertuanya. Eh, ‘calon’ ibu mertuanya.
“Eh, dasar mantu kurang ajar. Sudah bagus Bayu masih mempertahankan pernikahan kalian selama bertahun-tahun. Kamu memang nggak pantes jadi mantu saya. Dasar kampungan!” bentak ibu Mariah, ibunya Bayu, “kalau saja bukan karena merasa bersalah sama kamu nggak mungkin Bayu mau menikah sama kamu yang kampungan dan miskin itu.”
“Maksud ibu?” tanya Larasati menatap ibu Mariah penuh selidik.
“Bukan apa-apa,” elak wanita paruh baya itu. Dengan tidak menatap ke arah Larasati bu Mariah berlalu menuju ke kamarnya. Laras dan juga Sekar saling berpandangan bingung.
“Ah sudahlah, anggap saja dia ngomong ngawur,” ucap Sekar sembari mendorong satu koper yang paling besar ke arah teras di mana telah menunggu pak sopir. Larasati mengikuti langkah Sekar dengan beberapa pertanyaan memenuhi kepalanya. Sungguh, meski pernikahannya sudah berada di tubir perceraian tetap saja dia merasa penasaran dengan maksud perkataan ibu mertuanya itu. Dia bertekad akan bertanya kepada suaminya.
Laras diam saja saat langkahnya mengikuti sopir dan Sekar yang membawa koper miliknya. Sebelum benar-benar meninggalkan rumah yang sudah dia tempati beberapa tahun ini dia berbalik dan menatap nanar rumah yang penuh dengan kenangan manis. Setidaknya itulah yang dia rasakan sebelum bom diledakkan oleh suaminya di hari tepat ulang tahun pernikahan mereka.
Dia kembali mengingat setiap moment yang dia lalui di dalam rumah itu. Rumah yang hanya menyisakan sebuah kenangan setelah hari ini. Karena, Laras bertekad akan menghapus setiap kenangan yang sudah dia lalui dengan suaminya.
>>Bersambung>>.
Terimakasih masih setia membaca