Bab 1. Anniversary

1547 Words
Bab 1. Anniversary Larasati, begitulah kedua orang tuaku memberiku nama. Cantik bukan? Tentu saja. Secantik parasku juga. Kalau aku tidak cantik, tidak mungkin bisa mendapatkan suami setampan dan sekaya suamiku, dokter Bayu. Dia adalah poros duniaku. Bagiku, tak ada lelaki yang sesempurna suamiku. Dia tampan, kaya, berhati selembut sutra. Aku yakin dia akan selalu bisa membuatku bahagia, meski aku belum bisa memberinya keturunan. Dia tetap menyayangiku tanpa syarat. Pagi ini sama seperti hari-hari biasanya, bangun pagi menyiapkan semua kebutuhan suami dan sarapan buat kami dan ibu mertuaku lalu bersiap pergi ke Café Kita untuk bekerja. Tetapi ada yang spesial hari ini. Hari ini adalah tepat sepuluh tahun pernikahanku dengan dokter Bayu. Nanti malam, dia mengajakku untuk dinner romatis demi merayakan anniversary pernikahan kami. Romantis bukan? Dia bahkan me-reservasi meja di sebuah restoran terkenal demi merayakannya. “Mas, nanti malam jadi dinner-nya?” tanyaku di sela sarapan kami. Kami tengah duduk bertiga menikmati sarapan yang sudah kusiapkan. Kami jarang berbicara saat sedang menikmati makanan. Ibu mertuaku langsung menatapku tajam. Aku langsung menunduk menyadari kesalahanku. Tetapi, suamiku mencoba menghiburku dengan membelai lembut jemariku yang berada di atas meja. “Tentu saja,” sahutnya lembut dengan senyuman menghiasi wajah tampannya. Hatiku menghangat melihatnya. Dia memang selalu baik kepada siapapun. Tetapi di depanku dan ibunya dia lebih lembut lagi. Itulah yang selalu membuatku berbunga-bunga. Selama sepuluh tahun pernikahan kami, dia selalu memperlakukanku layaknya putri raja yang sangat dia cintai. Sudah kubilang, aku pantas dinobatkan sebagai Cinderella di dunia nyata. “Ck … kalian ini pemborosan sekali. Buang-buang duit saja,” gerutu ibu mertuaku dengan nada yang tak sedap didengar. “Sekali-sekali, Bu,” sahut Mas Bayu mencoba menenangkan sang Ibu yang memang selalu berkata sinis kepadaku. Dan dia sangat mengerti perangai ibunya itu. Dia menapku dengan tatapan menyesalnya. Begitulah suami tercintaku. Bukan dia yang salah, tapi selalu dia yang akan meminta maaf atas kesalahan ibunya. “Tetap saja nggak penting banget. Harusnya kalian lebih giat dengan program kehamilan. Bukan sok-sokan pergi dinner romantis. Sepuluh tahun tapi nggak ada hasilnya. Harusnya kamu menikah sama anak temen ibu pasti sekarang anak kamu sudah besar,” gerutu ibu mertuaku sukses membuat hatiku terluka bak tersayat pisau tajam. Aku hanya bisa menunduk kian dalam. Di matanya, aku hanyalah menantu yang menyusahkan. Tak ada tindakanku yang mampu membuatnya puas. Apapun yang kulakukan pastilah salah di matanya. “Bu, tolong jangan bicara hal itu lagi,” kata suamiku dengan mata sayunya. Aku tahu dia juga terluka dengan perkataan ibunya. Kami bukannya tidak mencoba program kehamilan, kami sudah melakukan segala cara untuk bisa memiliki anak. Akan tetapi, tuhan belum memberi kami anak. Suamiku sangat menantikan hadirnya anak di tengah kami. Begitu juga denganku. “Itu faktanya! Kalian belum juga punya anak, jangan-jangan istrimu itu mandul. Coba saja kau cari wanita lain, ibu yakin kamu bisa jadi ayah. Jangan hanya mengurusi istri mandulmu saja,” ucap ibu mertuaku membuatku terpana. Kejam sekali kalimatnya. Genggamanku mengerat mencoba menahan gemuruh amarah yang sudah siap membakar akal sehatku. Walau bagaimanapun, dia adalah ibu dari lelaki yang sangat kucintai. Aku tidak mau membuat suamiku kian sedih jika aku meluapkan amarahku terhadap ibunya. Sekuat tenaga aku tidak terpancing dengan ucapan ibu mertuaku. Tak akan kubiarkan rumah tanggaku hancur akibat amarah sesaatku. “Sudahlah, bu. Kami pergi dulu,” sahut suamiku sembari mengangsurkan tangan kanannya mengajakku ikut serta. Tanpa menunggu lama segera kuraih uluran tangannya. Di sini layaknya neraka, dan aku tak mau terlalu lama dalam neraka yang diciptakan ibu mertuaku. Aku takut tak bisa menahan amarah dan mengkibatkan keadaan makin runyam. *** “Kamu jadi dinner romantis dengan dokter Bayu?” goda Sekar, sahabat sekaligus rekan kerjaku di café. Saat ini aku bekerja sebagai barista di Café Kita. Salah satu café terkenal di kota Jakarta. “Hmm,” sahutku dengan wajah merona karena menyadari arti pertanyaannya. “Ahaiii … kamu ini kayak anak ABG yang baru kenal cinta saja. Sudah sepuluh tahun menikah masih saja tersipu malu begitu saat ada yang nanya,” godanya kian membuatku tertunduk malu. Apalagi semua pengunjung menatap ke arah kami dengan pandangan ingin tahu. Dia hanya cengar-cengir nggak jelas. “Dasar sahabat laknat. Senang sekali membuatku malu,” gerutuku dengan lirih supaya tak membuat lebih banyak mata tertuju ke arah kami. Lihatlah seringainya yang kian lebar, membuatku jengkel saja. “Eh, tapi serius deh. Dinner-nya jadi kan?” tanyanya dengan wajah lebih serius. Aku hanya mengangguk sebagai jawabannya. “Kok, kamu masih kerja sih? Harusnya kamu cuti dulu sehari. Lakukan perawatan di tempat si Celline. Biar nanti malam dokter Bayu kian tergila-gila padamu,” idenya membuatku memikirkan sejenak ucapannya. Haruskah? Aku jarang sekali menghabiskan waktu hanya sekedar memanjakan diri ke salon seperti kebanyakan wanita yang perduli akan penampilan. Bukannya aku tak perduli dengan penampilan. Aku hanya tak ada waktu melakukannya. “Haruskah?” gumamku tanpa sadar. “Tentu saja, lihat saja si Celline. Entah sudah berapa kali dia operasi plastik hingga aku lupa dengan wajah aslinya,” ucapnya terkekeh kala mengingat kebiasaan sahabat kami yang memang gemar sekali mempercantik diri tanpa takut dengan meja operasi hanya demi merubah beberapa bagian wajahnya yang sekiranya kurang bagus. Aku tidak pernah menanggap itu hal yang salah, tiap orang berhak melakukan apapun yang menurutnya benar. Begitu juga dengan yang dilakukan oleh Celline. “Dia melakukan itu demi bisnisnya juga,” sahutku membela Celline. Tak lama ponselku berdering dan ternyata yang menghubungiku adalah celline. Tumben sekali dia menelpon di jam kerja. “Panjang umur dia. Baru diomongin malah sudah nelpon aja,” ucap Sekar dengan tawanya membuatku ikut tertawa mengakui kebenaran ucapannya. Segera kuangkat panggilan dari Celline. Celline dan Sekar adalah dua sahabat karibku sejak kami berseragam putih biru hingga kini. Aku dan Sekar melanjutkan belajar di Indonesia Coffee Academy. Sayangnya saat akhir kami di sekolah menengah pertama Celline harus mengubur impiannya seperti kami. Dia hamil di luar nikah saat usianya baru enam belas tahun. Usia yang terlalu dini untuk hamil. Keluarga Celline dibuat malu akan kehamilan putri satu-satunya mereka. Dengan hati hancur keluarga Celline meminta anaknya untuk menggugurkan saja kandungannya. Selain karena usia Celline yang terlalu muda untuk menanggung tanggung jawab sebagai seorang ibu juga karena mereka malu dengan kehamilan putri mereka. Akan tetapi, Celline dengan keras kepala ingin mempertahankan kehamilannya. Remaja itu juga dengan berani mendatangi sang kekasih yang anak kuliahan. Dia datang di kampus Roni, nama kekasih Celline. Beberapa hari dia sudah menghubungi Roni tapi lelaki itu menghilang bak ditelan bumi sejak tahu tentang kehamilan Celline. Di kos tidak ada, tak menyerah remaja yang sedang hamil itu nekad mendatangi kekasihnya di kampus. Dengan berani dia menanyakan keberadaan Roni hingga akhirnya dia berhasil menemukannya. Roni tak bisa mengelak lagi. Di depan teman kuliahnya juga disaksikan beberapa dosen dia harus setuju untuk menikahi Celline. Aku juga tidak terlalu paham bagaimana prosesnya, akhirnya dia mendengar dan diundang oleh Celline tepat di hari dia menikah. Usai menikah keduanya pindah ke Bandung, setelah menikah dia menghilang dari kehidupan kami. Meski beberapa kali Celline masih menghunginya. Tapi tidak pernah bertemu langsung. Aku pernah menjenguk anak Celline saat anaknya diboyong oleh ibu Celline. Aku tidak tau dimana Celline tinggal. Hanya anak yang masih merah saja yang pulang. Baru dua bulan ini kami bertemu kembali. Dia juga menjadi pasien suamiku atas saranku saat dia bilang ada masalah di rahimnya. Dan begitulah, kami menjadi dekat lagi. Dia tidak bercerita banyak kemana saja dia selama ini. Aku juga tak mau terlalu dalam mencampuri kehidupannya. Yang aku tahu dia sudah bercerai dari lelaki yang sudah membuatnya hamil dulu. Entah bagaimana kehidupannya selama ini. “Halo Cel,” sahutku begitu panggilan terhubung. “Kamu harus ke salonku sekarang juga,” jawabnya to the point. “Heh? Mau ngapain?” tanyaku bingung. “Ngepel,” sahutnya terdengar jengkel. Aku terkekeh mendengarnya. “Mohon maaf ya nona besar. Tapi pelayanmu ini sedang sibuk,” sahutku menggodanya. “Dasar! Kalian jadi dinner kan?” tanyanya dengan nada jengkel. Aku bisa membayangkan mulutnya yang kian moyong karena cemberut. “Ras, pesanan meja dua,” sela Aji salah satu pramusaji di Café Kita. Aku mengangguk menerima lembaran pesanan dari meja dua. “Iya,” sahutku sembari meracik kopi buat pelanggan. “Iya apa?” tanya Celline membuatku mengernyitkan alis. “Iya kami jadi dinner. Kenapa?” tanyaku balik. “Nah, kalau gitu kamu wajib datang ke salonku,” sahut Celline dengan nada tak mau disanggah. “Aku kerja Cel,” elakku malas. “Ck, alasan. Nanti aku telpon Mona,” sahutnya membuatku tak lagi bisa berkutik. Memang saat dia tahu aku bekerja di tempat salah satu langganan salonnya dia langsung memberitahu Mona—bosku kalau kami berteman. “Baiklah,” jawabku malas. “Ayolah, aku tidak meyuruhmu terjun dari jurang tapi nadamu seakan aku menyuruhmu bunuh diri saja,” candanya seakan terluka dengan ucapanku. “Kamu tahu sendiri, aku paling malas menghabiskan waktu dengan peralatan salon,” gerutuku saat membayangkan beberapa alat yang akan menyiksa kulit dan rambutku tak lama lagi. “Kamu ini cewek atau cowok sih. diajak ke salon aja susahnya minta ampun. Kalah sama bencong,” godanya membuat kami terkekeh geli. “Iya-iya, bawel,” sahutku akhirnya. >>Bersambung>> Ini ceritaku yang masih fresh. baru keluar dari panggangan. Bantu penulis dengan subscribe supaya tahu kapan penulis publish lanjutannya ya. Jangan lupa bagi share ke temen kalian ya kalau suka. Terima kasih sudah membaca. Jangan lupa mampir ke ceritaku yang lain. Jangan lupa terus bahagia.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD