Prolog

1199 Words
“Aku minta maaf, pernikahan kita baiknya sampai di sini saja,” ucap seorang lelaki tampan dengan setelan yang melekat dengan pas di tubuhnya. “Mas! Ini cuma Prank aja kan? Oh iya, ini april mop kan?” jawab wanita dengan dandanan elegan meski dalam keadaan kalut tak mengurangi kecantikannya. Dia menoleh ke kanan dan kiri memastikan letak kamera tersembunyi yang memang sudah disiapkan oleh suaminya demi mengerjainya. “Kameranya di mana, Mas?” tanyanya lagi masih celingak-celinguk tak mengerti begitu tak menemukan apa yang dia cari. Tak ada yang mencurigakan di restoran tersebut. Wanita cantik itu melihat ke arah sang suami dengan tatapan penuh tanya. Sungguh dia tak mengerti di mana salahnya. Matanya mulai berembun begitu menyadari tatapan sang suami tak terlihat sedang bercanda. Jadi lelaki yang sudah membersamainya selama sepuluh tahun itu sungguh-sungguh dengan ucapannya. “Maaf,” gumam sang suami merasa menyesal karena sudah membuat istrinya sedih untuk pertama kalinya. Tetapi, ini sudah menajdi keputusannya. Dengan mantap dia berdiri dari meja makan di sebuah restoran yang memang sengaja dia pesan demi mengatakan keputusannya meskipun berat baginya. “Mas serius?” tanya sang wanita tak percaya dengan kenyataan yang ada. “Iya,” ucap dokter Bayu menunduk sendu. Nama dari suami Larasati. Lengkapnya Bayu Rahardi. “Tapi kenapa? Salahku apa? Aku-aku akan memperbaikinya, aku janji,” ucapnya cepat tak ingin suaminya melakukan hal yang salah. Tidak boleh ada perceraian. Tidak. “Ini bukan salah kamu,” sahut sang suami lirih, bahkan nyaris tak terdengar. “Kalau bukan salahku, lalu kenapa mas ingin menceraikan aku?” tanya sang istri lantang. Gemuruh di dadanya terasa tak bisa dia tahan lagi. Suaranya yang keras mengundang para pengunjung restoran itu tertuju kepada pasangan tersebut. “Bisa kamu pelankan suaramu! Memalukan!” geram sang suami dengan suara geram tertahan. “Malu?” tanya sang istri mencoba meyakinkan perkataan sang suami. “Tenanglah! Aku hanya ingin kita bercerai. Dan itu bukan karena salahmu,” sahut sang suami dengan penekanan ditiap katanya. “Hanya?” gumam sang istri menahan gemuruh yang kian tak bisa dia tahan lagi. “Apa ini masalah anak?” “Bukan,” jawab sang suami datar. Wanita itu mencoba mencari kejujuran di mata sang suami. Tetapi, lelaki itu menghindari tatapannya. “Lalu apa?” teriak sang istri hilang kendali. Wanita itu menggebrak meja hingga minuman yang berada di depan sang suami memercik ke muka sang suami. Membuat wajah tampan itu basah oleh anggur merah yang dia pesan. “Aku sudah tidak mencintaimu,” gumam lelaki itu sebelum beranjak dari hadapan sang istri yang hanya mampu diam mematung menatap kepergian sang suami yang kini hanya bisa terlihat punggung tegapnya. Punggung yang selama sepuluh yahun ini menjadi tempat ternyamannya untuk bersandar. Benarkah cinta itu sudah tak ada lagi? Janji suci pernikahan yang dulu terucap apakah tak lagi bermakna? Sumpah setia, sehidup semati, apakah hanya ucapan tanpa arti? Semudah itu? “Tapi aku masih mencintaimu. Sangat,” gumam wanita itu sembari menatap punggung sang suami yang kian menghilang. “Jika bukan salahku, lalu salah siapa?” gumamnya sendu. Air mata kini tak mampu lagi dia tahan. Tak perduli tatapan orang ke arahnya. Hatinya terlanjur sakit. Sangat. “Kenapa kau memilih hari ini, Mas?” gumamnya menahan isakan yang hampir tak terbendung. Dia memandang meja yang sudah dipesan suaminya yang belum sedikitpun mereka sentuh. “Kenapa buang-buang duit hanya demi menceraikan aku? Apa pentingnya?” Dia merasa dipermainkan. Harusnya suaminya tak membuatnya melambung ke awan jika akhirnya hanya akan menghempaskannya ke dasar jurang. “Kenapa harus mereservasi tempat di restoran semewah ini?” “Apa kamu pikir aku akan tersanjung?” tanyanya lagi seorang diri. Semua mata memandangnya iba. “Dasar bodoh,” rutuknya pada dirinya sendiri yang sedari pagi berhayal akhir yang romantic dari dinner mala mini. Tidak terbersit setitikpun semua akan berakhir setragis ini baginya. “Kejam kamu, Mas,” gumamnya lagi dengan langkah tertatih meninggalkan restoran mewah itu dengan diikuti beberapa pasang mata yang memandangnya dengan iba. Penampilan spektakulernya sudah tak bersisa. Make-upnya sudah tak karuan karena air mata yang tak juga habis stoknya. Mascara hitamnya sudah mbeleber membuat wajahnya persis zombie. Dia mengambil ponselnya guna menghubungi seseorang yang dia sebut sebagai sahabat. Seseorang yang harusnya selalu ada untuknya. “Halo Celline,” sapanya begitu panggilannya terhubung. “Hai Larasati … gimana dinner-nya? Suami kamu pasti terpesona dengan penampilan kamu kan?” cerocos wanita yang dipanggil Celline membuat hati wanita itu terluka. Suaminya bahkan tidak melihat perubahan penampilannya. Dia hanya bisa menghela nafas panjang saat mengingat pertemuannya tadi. “Mas Bayu mau menceraikan aku, Cel,” raungnya memekakkan telinga sang sahabat di seberang sana. “Apa!” "Bisa aku ke tempat kamu?” tanya wanita itu ke sahabatnya itu. “Ten-tentu,” sahut sang sahabat tak terlalu yakin. “Apa kamu sedang sibuk?” tanya wanita yang bernama Larasati kala mendengar nada ragu dari suara sang sahabat yang berhasil dia tangkap. Larasati memang sangat peka akan segala sesuatu. Sayangnya dia tak peka atas perubahan sang suami hingga memutuskan untuk menceraikannya. Salahanya apa? “Oh, tidak terlalu. Aku selalu ada waktu untuk kamu,” sahut Celline merasa tak enak hati. “Makasih ya Cel, kamu memang sahabat terbaikku,” ujar Larasati lirih. Ya, saat ini dia butuh Celline untuk menghiburnya. Entah kenapa dari sekian banyak temannya dia malah teringat pada Celline dibanding temannya yang lain. “Santai aja, kamu juga selalu ada saat aku butuh,” sahut Celline membuat perasaan Larasati membaik. “Ya sudah aku segera ke sana,” kata Larasati sebelum menutup ponselnya. Dia masih belum beranjak dari tempatnya berdiri. Diedarkannya pandangan ke langit yang gelap tanpa ada satupun bintang. Begitulah kini perasaannya, kelam tak bercahaya. Cahaya yang biasanya selalu meneranginya entah kenapa padam tak berbekas. Tadi pagi semuanya masih baik-baik saja. Suaminya masih begitu perhatian dan lembut. Kenapa semuanya berubah dalam sekejap mata. Sebenarnya yang mana suaminya yang asli? Yang tadi pagi atau yang baru saja melemparkan bom tepat di depan matanya berupa perceraian? Apa ini hanya mimpi? Kalau mimpi, segera bagunkan saja dia. Dia benci dengan kondisi saat ini. Dia selalu berpikir akan menua bersama dengan suaminya. Tak peduli apakah mereka akan dikaruani anak atauy tidak. Asal suaminya ada di sisinya. Itu saja sudah cukup. Namun, sepertinya suaminya tidak sependapat. Dia lebih memilih menceraikannya. Apakah benar karena dirinya tak juga hamil? Itukah alasannya? Dia juga ingin segera menjadi ibu. Apakah itu tak akan terwujud? **** Lelaki itu berjalan dengan langkah lesu. Dia sudah melakukan sesuatu yang menyakiti seorang yang sudah menemaninya selama sepuluh tahun. Benarkah yang sudah dilakukannya? Tak menyesalkah dirinya kelak? Dia menghela nafas panjang sebelum akhirnya mengambil ponsel di saku jasnya. Menekan beberapa angka yang sudah dia hapal luar dalam beberapa bulan ini. “Halo.” “….” “Aku sudah mengatakan akan menceraikan Larasati.” “….” “Hmm, aku ke sana.” Lelaki itu bergegas memasuki mobil dan bergegas menuju tempat wanita yang sudah merebut cintanya dari istri yang sudah dinikahinya selama sepuluh tahun. Kalian bisa menyebutnya lelaki bodoh dan juga b******k. Tetapi telinganya sudah tuli, tak akan mendengar umpatan kalian. Dia juga sudah buta, tak lagi bisa membedakan yang baik dan yang salah. Sesuatu yang nantinya akan dia sesali seumur hidupnya. Karena inilah awal kehancurannya dan orang-orang di sekelilingnya. *** >>Bersambung>>
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD