POV Intan
Hari ini aku datang lagi ke rumah mewah itu. Menemui putraku. Putraku, biarlah aku dibilang naif oleh siapapun karna menganggap anak seorang laki laki kaya raya sebagai anakku. Ya, kami pernah menikah dan setelah kami bercerai, sudah tidak pantas lagi aku menganggap anaknya sebagai anakku.
Ini kesepakatan yang aku buat dengan mantan suami. Aku akan mengunjungi putraku tiga kali dalam seminggu. Saat Kevin dirumah sakit aku bersedia mundur dari pekerjaan. Tapi aku juga butuh uang untuk kehidupanku, meski Darren memberikan apa yang ku minta karna menjaga Kevin. Itu hanya pengujianku saja terhadap asumsi apa yang akan dia buat untukku setelah aku meminta banyak uang.
Dulu, ia menganggap aku mau menerima perjodohan yang dirancang orangtuanya karena aku butuh uang. Dua hari yang lalu Aku mengembalikan debit platinum card yang ia berikan saat dirumah sakit. Ia mengatakan kalau pinnya adalah hari pernikahan kami.
" Kenapa ? " tanyanya ketika kartu debit itu ada ditangannya kembali.
" Tidak ada seorang ibu yang ingin dibayar untuk mengasuh anaknya sendiri. Meski dia bukan anak kandungku, aku ingin menjadi ibu untuknya pak Darren "
Ku lihat wajah piasnya. Ia hanya menenggelam wajahnya dalam tundukan dalam.
" Terima Kasih telah mengizinkan saya menjadi ibu untuk Kevin " ucapku lalu melangkah keluar ruangan kerjanya. Tak ku sangka, ia menahan handel pintu.
" In...beri saya kesempatan, saya ingin kamu juga hadir untuk saya " lirihnya, mataku membulat, bukannya aku tidak senang dengan ucapannya. aku tak ingin kembali lagi ke masa lalu.
" Buka pintunya pak ! atau saya akan teriak " jeritku. Melihat reaksi wajahku yang memerah, ia segera membukakan pintu.
Pagi ini untuk pertama kalinya, aku datang ke rumah itu sebagai tamu. Bi Wati, yang sudah begitu akrab denganku membuka gerbang untuk tuannya yang akan berangkat kerja. Ia melihat kehadiranku di depan gerbang.
" Pagi bu...." sapa pak Wisnu sopir keluarga yang telah bekerja sejak muda dengan keluarga konglomerat itu.
" Pagi pak Wisnu " balasku dengan ceria. Aku mengangguk pada si empu mobil. Ia hanya tersenyum tipis. Mobil pak Wisnu meluncur meninggalkan pekarangan yang cukup luas, yang berisi tanaman tanaman hias mahal. Deretan Aglonema yang dulu sering kusiram masih tertata rapi ditempatnya, tampaknya ia tak mengubah seincipun tata letak bunga yang dulu pernah ku susun.
" Nyonya....nyonya muda ! " jerit bi Wati saat melihatku.
" Bi Wati " aku berlari mengejar Art itu dan memeluknya erat. Dulu, aku menganggap bi Wati adalah pengganti ibuku saat aku ditinggalkan di rumah mewah itu.
" Nyonya sehat ? syukurlah. saya pikir nyonya sudah...." Aku menyeka air mata yang menitik dari pelupuk wanita paruh baya itu.
" Aku baik baik saja bi, bibi lihat aku makin cantik kan " Aku memutar tubuhku dengan ceria. Aku berhenti ketika melihat sepasang mata mengamati gerakanku. Ia tersenyum. Aku segera menyembunyikan tubuhku di belakang bi Wati.
" Ada yang ketinggalan tuan ? " tanya bi Wati saat melihat majikannya kembali masuk ke dalam rumah. Ia hanya menjawab dengan anggukan tanpa melihat ke arah kami. Langkah kakinya berderap teratur, langkah kaki yang dulu selalu ku hitung saat ia meninggalkan ruang tamu menuju pintu.
" Nyonya sudah ditunggu Kevin dikamarnya, katanya ia tak mau mandi kalau bukan sama Bundanya " kata bi Wati sambil menuntunku masuk ke rumah mewah itu lagi. Aku mengendarkan pandangan, empat tahun yang lalu. Untuk pertama kalinya aku menginjakkan kaki ke rumah ini. Rumah tuan Darren Emir Fattan, seorang pengusaha tajir, duda satu anak. Tapi sejak istrinya meninggal, ia tak pernah sekalipun mau melihat anaknya. Kata keluarganya, ia masih trauma dengan kematian istrinya karena melahirkan anak mereka. Ibuku, dulu bekerja sebagai juru masak untuk keluarga kaya itu. Entah kenapa, Nyonya Gladis menitipkan bayi itu pada ibu dan ibu memintaku merawat bayi itu, padahal saat itu aku masih begitu muda untuk menjadi seorang ibu.
Saat bayi itu sudah berumur tiga tahun, mereka ingin anak itu kembali ke rumah ayahnya. Kevin Darvi Fattan, nama yang mereka berikan pada bayi yang kurawat telah terbiasa hidup denganku, jadi mau tak mau mereka harus membawaku juga masuk ke rumah tuan Fattan. Pemilik perusahaan otomotif ternama di negeri ini.
Melihat kedekatanku dengan Kevin. Tuan Fattan meminta putranya menikahiku, laki-laki yang pertama kali kulihat bak pangeran yang menuruni tangga yang melingkar di rumah itu. Aku yang datang dari sebuah desa tentu saja merasa menjadi seorang Cinderella saat pernikahan itu terjadi. Keputusan yang harus ku sesali setelah tahu bahwa duda itu mau menikahiku karna tak ingin kehilangan bagian dari perusahaan ayahnya. Dia sudah punya seorang kekasih yang belum direstui ayahnya. Wanita itu tak lain adalah teman baik mendiang istrinya.
" Bunda...., kenapa tidak masuk ke kamarku " suara serak Kevin membuyarkan lamunanku. Ia menarik tubuhku masuk ke dalam kamar kerja ayahnya.
" Ini hari pertamaku sekolah, jadi aku ingin pergi sama papa dan Bunda ! " teriak bocah kelas satu SD itu. Aku meletakkan jari ditelunjukku agar Kevin bicara lebih pelan.
" Apa seperti itu bunda mengajarimu bicara sama papa ? " tegurku dengan tatapan tegas. Bocah itu menciut lalu menunduk.
" Maaf bunda " cicit Kevin. Aku segera membelai rambutnya dan mencium puncak kepala Kevin. Hal itu sudah biasa aku lakukan semenjak ia masih bayi.
" Pa.., hari ini aku mau pergi sama papa sama Bunda ke sekolah, papa nggak sibukkan ? " ku lihat laki-laki itu tersenyum dan membentangkan kedua tangannya. Bocah itu segera berlari dan memeluk ayahnya.
" Papa sudah janjikan kalau papa menuruti kemauan Kevin kalau Kevin sembuh. Pagi ini sudah papa batalkan semua kerja untuk mengantar Kevin ke sekolah " ucapnya sambil melirikku, aku mengalihkan pandangan.
" Ayo...sana mandi ! " suruhnya, aku sibuk memperhatikan semua ornamen di dinding.
" Bunda makin cantik ya pa " ucap Kevin tiba-tiba, aku menoleh dan melihat ayah dan anak itu yang memandangku.
" Kevin, cepat nak. nanti terlambat " tegurku sambil meraih tubuh mungil itu dan segera keluar dari ruang kerja Darren. Aku tak ingin jatuh cinta lagi padanya, tak ingin terluka karena cinta. Meski aku membenci apa yang dilakukannya padaku, tapi rasa benci itu belum mampu menghapus harapanku untuk dicintainya kembali. Harapan itu harus segera kubunuh.
Setengah jam aku selesai merapikan Kevin. Aku merapikan baju sekolah Kevin dan memasangkan topi. Menemaninya sarapan. Pak Wisnu membukakan pintu mobil. Ia menegurku saat membuka pintu belakang.
" Ibu duduk didepan, bapak nyetir sendiri, sesuai permintaan Kevin " ucap pak Wisnu. Ku lihat dia membuka pintu disamping kemudi.
" Ayo Bun..." ajak Kevin, ia menarik tanganku agar masuk kedalam mobil. Kami masuk secara bersamaan. Sesaat kami saling menatap. Aku berdehem, menetralkan degup jantungku. Aku tak boleh kalah lagi oleh pesonanya. Sekarang aku hanya ibu Kevin bukan istrinya. Posisi yang begitu ku damba saat bersamanya, bukan hanya sekedar istri di atas kertas.
Mobil melaju dengan tenang, suara Kevin yang memecahkan kesenyian. Aku menjawab setiap pertanyaan bocah yang selalu mau tau itu. Sesekali ia menimpali ketika ia rasa jawabanku belum lengkap. Suasana gerbang sekolah begitu ramai. Dia berdiri disampingku, tersenyum melambaikan tangan pada anaknya. Aku sempat mencuri pandang sisi samping saat dia tersenyum, aku tak bisa berdusta untuk tak mengaguminya.
" Intan ! " tegur seseorang sambil menepuk bahuku.
" Darren, kebetulan "
Bayu, sutradara untuk project fim dokumenter yang sedang ku buat berdiri di depanku. Aku sudah minta izin padanya untuk absen di hari pertama aku mendiskusikan project yang akan kami kerjakan.
" Aku harus ke kantor dulu " Darren hanya menyenyumi Bayu lalu beranjak pergi ke parkiran.
" Tunggu dulu sob " sergah Bayu menahan langkah Darren tapi tatapan tajam Darren membuatnya ciut hingga membiarkan laki-laki dalam balutan jas itu masuk dalam mobilnya.
" Uh ! dasar sombong " gerutu Bayu dengan wajah sebal, aku malah tergelak melihat wajah lucu Bayu saat mobil Darren menjauh. Tawaku berhenti saat merasakan ponselku bergetar. Aku melihat namanya tertera di layar. Pak Darren. Aku menjauh dari Bayu untuk mengangkat panggilan dari Darren.
" Maaf, aku meninggalkanmu. Nanti aku minta pak Wisnu menjemputmu "