45. Merelakan Mama

1943 Words
Tubuh Dina terasa segar ketika ia terbangun di siang hari. Dia tersenyum senang. Rasanya sudah lama sekali ia tidak merasakan kenikmatan tidur nyenyak seperti itu. Dina kemudian segera bangun dari kasur dan beranjak keluar. Ia pun melihat ibu Rianti yang sedang bersiap-siap. Ibu Rianti tampil cantik dan rapi. Ia hanya menambahkan polesan lipstick merah ke bibirnya, tapi hal kecil itu memberikan dampak yang besar. Membuat penampilannya jadi sangat berbeda. Bibir yang kini berwarna merah menyala itu tampak kontras dengan kulitnya yang putih. “Eh, Dina! Kamu sudah bangun, toh?” dia tersenyum begitu menyadari kehadiran Dina. “I-iya, Buk.” Dina tersenyum malu. “Nyenyak tidurnya?” Dina mengangguk. “Nyenyak, Buk. Oh ya… Rianti-nya belum balik, Buk?” “Belum tuh… biasanya sih sudah balik jam segini, tapi ndak tau juga kenapa hari ini belum balik juga,” jawab sang ibu. “Apa mungkin dia benar-benar berkencan. Dina terkikik. “Bisa jadi, Buk.” “Haaah. Dasar… kemarin dia ngotot lagi pengen beli obat pelangsing katanya. Padahal badannya sudah sekurus itu.” sang ibu tak habis pikir. “Iya, Buk. Kemarin dia memang sempat cerita mau diet segala. Padahal tubuhnya sudah bagus dan sehat.” “Kamu bantu juga ya, Din… ingetin dia kalo ngeyel lagi,” tukas sang ibu. “Iya, Buk.” Dina mengangguk-angguk samar. Rianti belum pulang juga. Sepertinya Rianti menghabiskan waktu bersama Dion. Syukurlah… Dina juga turut merasa senang. Dia juga berharap semua berjalan lancar. Karena Dina juga tahu bagaimana usaha dan kerja keras Rianti untuk berusaha menjadi lebih baik akhir-akhir ini. Dina kembali menatap ibu Rianti. Kali ini ibu Rianti sibuk menyeka sandalnya dengan kain basah. “Ibuk mau ke mana?” “Ibuk mau ke pasar. Mau beli bahan-bahan untuk jualan. Semua udah pada habis. Bahan-bahan masakan untuk di dapur san stok kulkas juga sudah kosong semua. Kenapa? Apa kamu mau ikut?” Tawaran itu membuat Dina mengangguk cepat. “Mau, Buk! Tapi… apa aku boleh ikut?” Ibu Rianti tersenyum. “Ya bolehlah… Wes sana mandi dulu! Ibuk tungguin.” Dina mengangguk dan segera bergegas mandi. Setelah itu dia juga berpakaian dengan cepat. Rasanya menyenangkan sekali. Ini adalah pengalaman pertama Dina pergi ke pasar menemani seorang ‘ibu’ untuk berbelanja. Mereka menyusuri pasar yang ramai. Ada banyak sekali yang dibeli oleh ibu Rianti. Dia membeli bahan untuk berjualan, juga bahan masakan untuk di rumah. Dina pun juga bisa sekalian belajar tentang banyak hal. Tentang bumbu-bumbu dapur dan nama-nama rempah yang sebelumnya tidak ia ketahui. Ibu Rianti juga mengajarkan bagaimana memilih ikan yang segar, bagaimana bentuk daging yang masih baru dan banyak hal menyenangkan lainnya. “Hee… kurangin atuh. Kemarin juga masih dua puluh ribu. Masa sekarang sudah tiga puluh ribu saja.” ibu Rianti sedang menawar harga buah jeruk limau. “Harganya naik, Bu,” jawab sang pedagang seraya tertawa. Mereka sepertinya sudah saling kenal dan b**********n. “Kurangin lima ribu deh, buat beli garem. Dua puluh lima ribu aja. Wokkeh,” ucap sang ibu lagi. Sang pedagang mengangguk dan kemudian mengambilkan jeruk limau yang sudah dipilih ibu Rianti di dalam mangkok timbangan. Ketika akan mengikat kantong plastik itu, ibu Rianti melemparkan dua buah jeruk limau lagi. “Tambahin atuh.” “Hahaha. Iya, Bu… masih jualan di sekolah, kah?” pedagang itu mengajak mengobrol. “Masih, lah!” jawab ibu Rianti. Dina pun tersenyum melihat interaksi itu. Sungguh sebuah pengalaman baru yang terasa sangat menyenangkan untuknya. Dina pun tidak mengerti dengan apa yang ia rasakan. Tapi yang jelas hati dan perasaannya kini diliputi oleh rasa hangat. “Nih, makasih, ya, Buk!” “Iya. Sama-sama.” “Ini anaknya yah, Buk?” tanya pedagang laki-laki itu. Eh. Dina tertegun dan langsung menatap ibu Rianti. Ibu Rianti pun juga menatap Dina sebentar, lalu kembali menatap sang pedagang, lalu tersenyum. “Iya. Ini anak saya!” Deg. Dina tersentak. “Walah… cantik sekali anak e, Buk. Ayu sekali.” Sang ibu tersenyum lembut dan Dina pun juga kini tersipu malu. Ada semburat rona merah yang langsung mencuat di kedua pipinya. Setelah itu perjalanan mereka berlanjut. Dari yang tadinya datang dengan tangan kosong, sekarang tangan sang ibu sudah dipenuhi oleh kantong-kantong plastik yang terlihat penuh dan berat. “Sini aku bawakan separuh, Buk!” pinta Dina. “Eh, ndak usah!” “Nggak apa-apa, Buk!” Dina memaksa. Dia mengambil dua kantong hitam yang cukup berat, lalu membawanya dengan masing-masing tangan. “Berat ndak?” tanya sang ibu. Dina menggeleng. “Nggak, Buk.” “Beneran?” “Iya. Beneran.” Dan aktivitas berbelanja itu kembali berlanjut. “Gimana? Capek, kan pergi ke pasar? Mana rame, sesak dan jalanannya juga kadang berlumpur,” ucap sang ibu. “Nggak capek kok. Justru menyenangkan,” jawab Dina seraya menyeringai. Sang ibu juga tersenyum. “Ah masa?” “Iya, Buk.” “Syukurlah, Din. Kalau kamu seneng.” “Apa Rianti juga sering pergi ke pasar sama Ibuk?” tanya Dina kemudian. “Walah… mana mau dia. Ndak pernah dia ikut ke pasar. Wong disuruh beli royco ke warung aja dia kadang nggak mau.” Dina tertawa. Sang ibu pun juga geleng-geleng kepala. Tangan Dina dan ibu Rianti kini sudah penuh dengan barang-barang belanjaan. Mereka sudah usai berbelanja. Dina juga membantu sang ibuk mengecek daftar belanjaannya di kertas yang sudah remuk. Semua daftar yang tertulis di sana sudah ter-ceklis semua. “Semuanya sudah, Buk,” ucap Dina. Ibu Rianti mengangguk. “Sekarang kita makan sate dulu, ya sebelum pulang ke rumah. Kamu suka sate, kan?” tanya ibu Rianti. “Suka, Buk.” “Let’s go! Ibuk juga sudah kelaperan.” Dina pun tertawa karena ibu Rianti suka mengucapkan kata-kata gaul khas anak muda kekinian. Dia mengaku mengetahui semua kata-kata itu dari anak-anak sekolah yang selalu jajan kepadanya setiap hari. “Kemarin itu malah ramai pula anak-anak pada ngomong ‘Salam dari Binjay!” tukas sang ibu bercerita. Dina pun tertawa. “Iya, Buk. Kemarin itu memang sangat viral.” “Lah iya. Mereka setiap jajan selalu begitu. Setelah bayar ndak ngomong makasih lagi, malah ngomong salam dari Binjay.” “Sepertinya seru, ya, Buk. Bisa bergaul sama anak-anak seperti itu,” ucap Dina. “Besok deh… kalo kamu ada libur atau gimana, kamu bisa lihat ibuk berjualan. Ada senengnya, ada nggaknya. Namanya juga hidup. Iya, kan.” Dina tersenyum. “Iya, Buk.” Sungguh… hari yang terasa damai dan menyenangkan bagi Dina. Ia tahu bahwa kesenangan yang ia rasakan itu hanya sementara. Tapi bukan berarti dia tidak boleh menikmatinya, bukan? Yah, Dina ingin mengabadikan kenangan itu di hatinya. Setidaknya sekarang ia tahu bagaimana rasanya pergi belanja ke pasar bersama seorang ‘ibu’. “Kedai satenya di ujung sana!” tunjuk sang ibu kemudian setelah mereka cukup jauh menyusuri jalanan di tepi pasar. . Dina mengangguk. Keduanya berjalan sambil terus mengobrol. Tapi kemudian Dina tersentak begitu melihat seseorang yang berjalan di depan sana. Deg. Langkah kaki Dina sontak terhenti. Membuat ibu Rianti yang berjalan di sampingnya juga berhenti berjalan dan menatap bingung. “Kenapa, Din?” Dina tidak menjawab. Tatapan matanya yang bergetar itu masih tertuju ke depan sana. Pada seorang wanita cantik dengan rambut bergelombang yang juga terus melangkah seraya membimbing seorang anak lelaki gendut yang sedang menjilari eskrim hingga mulut dan bajunya kotor karena noda es krim. Ya, dia adalah mama Dina. Deg. Dina terkejut. Dia sama sekali tidak menyangka akan bertemu dengan sang mama di tempat seperti itu. Ibu Rianti pun kini juga sudah melihat Emilia dan kini tahu kenapa Dina tampak terkejut. Mereka berdua sama-sama berdiri dan menatap pada Emilia yang semakin dekat. Deru jantung Dina pun berpacu. Apakah sang mama akan menyapanya? Apakah sang mama akan memarahinya karena sudah sekian lama tidak pulang ke rumah? Dina menanti. Emilia pun kini sudah menatap putrinya itu. Napas Dina langsung tertahan saat sang mama sudah begitu dekat. Dina bahkan sudah bisa mencium aroma parfum sang mama yang menyengat dan khas. Rasanya sudah lama sekali Dina tidak mencium aroma parfum itu lagi. Namun ternyata… Emilia melewati Dina begitu saja. Dia hanya melirik Dina sebentar, lalu kemudian membuang muka. Seakan-akan dia hanya menatap orang asing yang tidak dikenal. Deg. Dina tersentak. Dua manik hitam di matanya bergetar. Ibu Rianti pun juga tertegun dan kemudian berbalik menatap mama Dina yang berlalu pergi begitu saja. “Ya Gusti… bisa-bisanya dia seperti itu,” omel ibu Rianti. Hening. Dina benar-benar terhenyak. Kedua bola matanya langsung terasa panas. Dan beberapa detik kemudian pemandangan di depannya mulai buram karena air mata yang tergenang. Ibu Rianti pun menatap rusuh. Ia meletakkan barang belanjaannya sebentar, lalu kemudian langsung mendekap Dina ke dalam pelukannya. Tangisan Dina pun pecah. Ia terisak dalam pelukan itu. Ibu Rianti pun tidak berkata-kata. Hanya mendekapnya dengan erat, seraya menepuk-nepuk punggungnya. ** Dina melahap sate yang terasa pedas itu dengan mata dan hidung yang masih memerah karena menangis. Sementara ibu Rianti yang duduk di hadapannya menyantap sate itu dengan emosi yang masih meluap-luap kepada mama Dina. “Memang ternyata banyak orang tua yang ndak bersyukur. Padahal anak gadisnya secantik ini… pintar… ya Allah….” ibu Rianti masih mengomel. “Suatu saat nanti mama kamu pasti akan menyesal. Nanti ketika tua dia pikir anak sambungnya itu akan merawatnya apa?” Dina hanya tersenyum. Ia pun merasa sakit hati atas perlakuan sang mama yang mengabaikannya. “Jangan sedih lagi, yo!” ucap ibu Rianti kemudian. Dina menggeleng. “Aku hanya kecewa sama diri aku sendiri, Buk… sebenarnya aku sudah tahu bahwa mama memang akan seperti itu. Hanya saja aku selalu bermain dengan harapanku sendiri. Aku masih saja berharap bahwa pintu hatinya sedikit terketuk. Namun….” Ucapan Dina terhenti sebentar karena aliran napasnya terasa sesak. Mata sendu gadis itu pun kini menatap nanar. Menyiratkan luka patah hati dan juga kekecewaan yang teramat dalam. “Hari ini aku benar-benar sudah melepaskan semua harapan itu…,” ucap Dina kemudian. Suaranya terdengar lirih. Air matanya nyaris menetes lagi saat berkata seperti itu. Dina sudah berada di puncak kecewa terhadap ibu kandungnya. Ibu Rianti pun menatap prihatin dan juga hanya menggigit bibir. Rasanya terlalu berat untuk berkata-kata. Mengumpat wanita gila itu pun juga tidak ada gunanya. Dina tersenyum getir, lalu kemudian menatap ibu Rianti. “Buk…,” panggilnya pelan. “Iya, Nak?” ibu Rianti juga memandangnya. “Apa aku berdosa jika mencoba melupakan mama?” Pertanyaan itu membuat helaan napas ibu Rianti terasa sesak. Tapi kemudian dia lekas menggeleng. “Tidak. Kamu tidak akan berdosa! Terkadang… melepaskan, merelakan dan meninggalkan orang yang tidak menghargai keberadaan kita memang adalah keputusan terbaik agar hidup terus berlanjut dengan tenang. Ibuk tahu mungkin ibu sendiri tidak punya hak dan wewenang menasehati kamu. Tapi… ibuk harap ke depannya kamu fokus dengan diri kamu sendiri saja. Kamu juga berhak bahagia, Nak. Kamu ndak usah berpikir macam-macam lagi. Mulai detik ini… kamu akan jadi anak Ibuk!” Sunyi. Dina memaku dengan bibir bergetar menatap ibu Rianti. “Ndak usah cemas. Kamu tinggal saja sama ibuk dan Rianti selama-lamanya. Perihal makan ndak usah dipikirkan juga. Kalau untuk biaya dan jajan kamu, semua pasti ada jalannya. Ada saja rejekinya.” Dina menekur. Air matanya menetes lagi. “Kamu tidak boleh merasa berkecil hati dengan semua yang terjadi. Justru semua itu harus kamu jadikan cambuk. Kamu harus menjadikannya sebagai motivasi. Tunjukkan pada mama kamu itu kalau kamu tetap bisa hidup tanpanya. Tunjukkan bahwa kamu bisa menjadi manusia yang berguna kelak. Dan jika dia masih punya hati nurani, kelak dia akan merasa malu.” ibu Rianti berkata sungguh-sungguh. Dina mengangguk. Dia mendengar semua nasehat itu dengan baik. “Kamu mau, kan jadi anak ibuk saja??” ucap ibu Rianti lagi. Dina menatapnya dengan mata yang basah. “Aku mau, Buk!” Ibu Rianti tersenyum. “Tapi ada satu syarat….” Eh. Dina menatap penuh tanda tanya. “S-atu syarat…?”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD