46. Hati Yang Panas

1611 Words
Ibu Rianti meminta Dina untuk menjadi anaknya saja. Seakan dia sudah memikirkan hal itu matang-matang. Ibu Rianti memang sudah memikirkan tentang Dina jauh-jauh hari. Dia merasa kasihan dan iba kepada gadis itu. Tak ada keraguan sedikit pun dihatinya untuk mengambil alih tanggung jawab tentang Dina. Dina pun terkejut dan senang secara bersamaan. Seakan-akan dia menemukan jawaban dan titik terang atas jalan hidupnya yang terasa terkatung-katung tanpa kejelasan. Tawaran itu jelas bagaikan embun sejuk di tengah tandusnya kehidupan. Tapi ibu Rianti meminta satu syarat. “Satu syarat?” tanya Dina. Ibu Rianti mengangguk, lalu tersenyum. “Iya. Syaratnya adalah… kamu tetap tidak boleh membenci mama kamu.” Eh. Dina terperangah. Tak terpikirkan sedikitpun olehnya bahwa permintaan ibu Rianti adalah agar dia tidak membenci ibu kandungnya sendiri. “Kamu tidak boleh membencinya. Kamu tidak perlu membencinya. Ibuk meminta kamu seperti itu bukan untuk mama kamu… tapi untuk kamu sendiri Dina. Agar hati kamu tetap bersih. Kebencian itu seperti titik hitam yang kemudian bisa menghitamkan seluruh hati. Dan rasa benci itu pun juga hanya akan menyiksa diri kamu sendiri nantinya dan ibuk tidak mau itu terjadi,” jelas ibu Rianti. Dina mengangguk. Ucapan ibu Rianti itu membuat d**a-nya terasa lapang dan tenang. Seolah semua perkataannya itu langsung menghanyutkan segala rasa benci dan kesal yang tadi bertumpuk. Dina mengikhlaskan semua yang terjadi. Dia tidak membiarkan rasa benci menyumbat hati dan ternyata… Semua itu memang terasa melegakan. “Ibuk tidak ingin kamu menjadi seorang pembenci. Ibuk tetap ingin kamu menjadi anak yang baik dan manis seperti ini.” Dina tersenyum malu. “Ya, sudah… kita akhiri saja pembahasan ini. Semua sudah selesai. OK!” ibu Rianti mengedipkan matanya. Dina mengangguk setuju. “Iya, Buk.” “Waduh. Kuah satenya jadi dingin, nih,” ucap ibu Rianti kemudian. “Mas…! tambah lagi ketupatnya satu dan kuahnya,ya!” Kemudian ia beralih menatap Dina. “Mau tambah kuah juga?” “Mau, Buk!” “Satu lagi ini, Mas… yang ini tambah kuah dan bawang gorengnya.” Eh. Dina terpana sebentar, lalu kemudian tersenyum. Ibu Rianti bahkan sudah tahu bahwa Dina sangat menyukai bawang goreng. Setelah itu ibu Rianti membicarakan topik yang lain. Seperti berusaha mengalihkan pikiran Dina agar tidak memikirkan mamanya lagi. Dina pun merasa tenang dan bersyukur. Kalimat ibu Rianti itu pun masih saja terngiang-ngiang di telinga dan dalam pikirannya sendiri. “Kamu mau, kan jadi anak ibuk saja??” Kalimat yang langsung menggetarkan hari ini dan juga membuang segala cemas yang melanda. Dina meyakini bahwa perasaan ibu Rianti kepadanya itu memang tulus tanpa ada niatan lain. Namun… sebuah tanya lain pun kini muncul di benak Dina. Tapi bagaimana dengan Rianti? Apakah dia akan setuju dengan keputusan sang ibu? Apakah semua akan baik-baik saja? Apakah keputusan sang ibu akan membuat mereka semakin dekat? Atau justru malah mendatangkan sebuah petaka…? “T-tapi, Buk….” Dina bersuara. “Tapi kenapa?” Dina tersenyum gugup. “Apa Rianti akan menerimanya?” Sang ibuk tertegun sebentar, lalu kemudian tertawa. “Hahaha. Justru dia akan senang. Asal kamu tahu saja… setiap harinya dia selalu ngomong kok sama, Ibuk.” “Ngomong apa, Buk?” tanya Dina. “Jangan usir Dina, ya Buk! Dina tetap di sini aja, ya, Buk! Pokoknya dia selalu ngomong begitu,” tukas sang ibu. Dina tertegun. Sejenak dia merasa malu. Padahal akhir-akhir ini dia merasa tidak nyaman dengan Rianti. Merasa bahwa Rianti sudah menyalahgunakan keberadaannya. Merasa bahwa Rianti sudah memanfaatkannya. Hal itu memang menyebalkan. Tapi dibalik itu semua, ternyata Rianti masih mencemaskannya. Dina merasa malu. Padahal memang Rianti-lah satu-satunya penyelamatnya. Rianti yang sudah menjemputnya malam itu. Malam di mana Dina menyerah pada hidup. Malam di mana dia nyaris mengakhiri hidupnya sendiri. Kalaulah Rianti tidak datang menjemputnya malam itu, mungkin saja Dina sudah berada di alam yang berbeda saat ini. “Justru dia akan senang karena punya sodara. Ibuk pribadi pun juga sangat senang dengan kehadiran kamu, Dina,” tutur ibu Rianti lagi. Dina tersenyum. “Aku juga senang tinggal di rumah Ibuk. “Nah, berarti tidak ada masalah lagi, kan?” ibu Rianti tersenyum. “Iya, Buk.” Setelah itu keduanya melanjutkan santapan sate mereka. Tak lupa sang ibu juga membawa pulang satu porsi untuk Rianti nantinya. “Nah. Sekarang selesai sudah. Ayo pulang ke rumah kita!” ajak sang ibu. Dina agak tercengang. Kata-kata itu terdengar asing di telinganya. “R-rumah kita?” lirih Dina. Ibu Rianti mengangguk, lalu tersenyum. “Iya. Rumah kita.” ** “BENAR-BENAR ANAK DURHAKA…! bisa-bisanya dia mengabaikan aku, Mas!” Emilia masih meracau pada Tio yang tetap diam dibalik meja kerjanya. Emilia melangkah bolak-balik dengan wajah marah. “Dia malah ke pasar sama ibu temannya itu. Cih… jadi selama ini dia yang sudah menampung anak tak tau diri itu?” Gerakan tangan Tio yang sedang mengetik di komputernya pun terhenti, lalu kemudian ia melepas kacamatanya sebentar dan menatap Emilia. Tio pun juga terkejut karena sang istri tiba-tiba saja muncul di ruangannya dan langsung mengomel tentang Dina. Sang anak Varrel masih saja asyik makan es krim hingga belepotan dan kini duduk di sofa. “Sebenarnya apa yang membuat kamu merasa kesal, ha?” tanya Tio. Emilia mengembuskan napas gusar dan menceritakan kronologinya. “Jadi tadi itu aku ke pasar setelah menjemput Varrel dari sekolahnya. Eh di jalan aku ketemu anak itu! Dia sedang tertawa-tawa sama ibu temannya itu. Terlihat seperti bahagia sekali… menyebalkan. Dan ketika aku lewat. Dia diem aja, Mas! Wanita itu juga sama.” Tio menghela napas kasar. “Terus apa masalahnya? Toh, kamu sendiri tidak peduli di mana Dina selama ini berada. Lalu kenapa kamu kesal? Kamu kesal karena Dina tidak menyapa kamu, atau kesal karena ternyata Dina tampak bahagia dengan ibu temannya itu?” Deg. Pertanyaan Tio membuat Emilia berhenti meracau. Dia seperti kehabisan kata-kata sejenak, tapi kemudian menatap tajam. “Kenapa kamu bertanya seperti itu, Mas?” Tio juga menatap gusar. Dia mulai lelah dengan sikap Emilia. “Kamu sendiri yang ingin dia pergi. Sekarang dia sudah tenang dan bisa tersenyum. Tapi kamu malah sakit hati.” Emilia tergelak. “Apa? Aku sakit hati?” “Lalu apa? Kalau bukan sakit hati, kenapa kamu sangat terlihat kesal. Atau jangan-jangan kamu malah cemburu melihat kedekatan anak kamu dengan wanita itu?” Emilia semakin merasa panas. “Jelas tidak! Aku hanya tidak terima dia mengabaikan aku, Mas… bagaimana pun juga aku sudah memberi dia makan selama ini. Sampai dia bisa sebesar itu. Memang dasar tidak tahu terima kasih.” “Kamu yakin bahwa dia yang mengabaikan kamu? Apa tidak sebaliknya?” tanya Tio. Eh. Emilia tersenyum getir. “Kenapa kamu selalu membela Dina, ha?” Tio memilih diam. “Kenapa, Mas?” tanya Emilia. Tio tetap diam. “Kemarin kamu juga mendatangi rumah wanita itu untuk memberi dia uang, kan?” tanya Emilia lagi. Deg. Tio tersentak. Terkejut karena Emilia mengetahui hal itu. “K-kamu… apa kamu menyuruh orang untuk memata-matai aku lagi?” tanya Tio. Emilia melipat tangannya. “Tentu saja. Aku hanya memastikan kalau kamu tidak bertemu lagi dengan mantan kekasihmu itu. Tapi ternyata aku mendapatkan laporan lain. Ternyata kamu pergi mencari Dina. Kenapa, Mas.” Emosi Tio mulai terpancing. “Karena dia itu anak kamu! Karena sekarang ini aku itu suami kamu! Aku bertanggung jawab atas kamu dan juga anak kamu, Emilia…!” Tio berteriak murka. Namun Emilia tampak cuek tak peduli. Sekalipun yang dikatakan oleh Tio itu sejatinya adalah benar. “Dan tentang Tiwi… aku harap kamu berhenti mengganggunya! Aku dan dia tidak ada hubungan apa-apa lagi. Aku sudah jelaskan bahwa waktu itu kami bertemu hanya karena event. Murni tidak sengaja dan setelah itu perusahaan juga memilih toko bunganya sebagai partner ketika acara ulang tahun perusahaan dan aku yang mengurusnya. Aku sudah lelah mengulang-ngulang hal yang sama. Dan kamu masih saja tidak percaya. Kamu meneror dia! Mengata-ngatai dia di telpon dan berkomentar buruk di semua akun media sosialnya. Please… kamu hanya menyiksa diri kamu sendiri, Lia!” Tio berkata dengan deru napas yang sesak. Akhir-akhir ini rumah tangga mereka memang sedikit terkkena prahara. Semua itu disebabkan oleh Emilia yang cemburu buta pada mantan cinta pertama sang suami. Seorang perempuan yang masih lajang dan kini berprofesi sebagai penjual bunga. Emilia memang cemburu tanpa berdasar. Tio tidak melakukan sesuatu yang salah, tapi Emilia tetap curiga. Dia bahkan menuduh Tio secara terangan-terangan. Menganggap bahwa sang suami sudah berselingkuh di belakangnya. “Bullshit! Aku tidak percaya,” tukas Emilia. “Haaah.” Tio mengembuskan napas frustasi. “Lalu bagaimana caranya membuat kamu percaya? Aku benar-benar sudah tidak mengerti lagi.” Emilia hanya melipat tangan. Masih dengan wajah masam. “Kalau kamu datang ke sini hanya untuk membuat keributan, sebaiknya kamu pergi saja,” tukas Tio. Ia kembali mengambil kacamatanya dan mulai bekerja kembali. Emilia menatap sengit. “Kenapa kamu tidak pulang semalam, Mas?” “Emiliaaa….” Tio memanggilnya lirih. “Aku sudah telpon kamu. Aku sudah kirim pesan juga. Aku sudah mengabarkan kalau aku lembur.” “Apa semua itu benar? Apa kamu beralasan saja?” “Ya, Tuhan!” Tio menyapu wajahnya dengan telapak tangan. Suasana pun berubah sunyi. Tio memilih untuk tidak lagi meladeni Emilia yang membuat suasana hatinya menjadi buruk. Karena tidak diacuhkan lagi, Emilia akhirnya berbalik menghampiri Varrel. “Ayo kita pulang, Sayang,” ucapnya. Tio menatapnya, lalu kembali bersuara. “Nanti sore Varrel akan dijemput neneknya.” Emelia sontak berbalik dan melotot. “Kenapa, Mas?” “Loh. Kenapa malah nanya kenapa. Dia cuma pengen ketemu dan main sama cucunya.” “Kamu yakin? Apa jangan-jangan kamu sudah mengadu tentang pertengkaran kita?” tuduh Emilia. Tio menatap nanar. Dia benar-benar merasa lelah. Dia pijit keningnya yang terasa berdenyut sebentar, lalu kemudian berucap. “Kalau kamu terus-terusan menuduh aku seperti ini… Jangan salahkan jika suatu saat nanti tuduhan kamu itu bisa menjadi KENYATAAN.”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD