44. Penggiringan Opini

1195 Words
Semua terasa seperti mimpi bagi Rianti... Harri ini dia bisa makan bakso berdua dengan Dion. Setelah itu mereka berdua sama-sama kepedasan dan juga kepedasan, hingga akhirnya Dion mengajak Rianti untuk membeli es krim. Rianti tentu tidak menolak. Keduanya lalu beranjak ke taman. Mencari tempat duduk yang sejuk di bawah pohon, lalu kemudian Dion bergegas pergi untuk membeli es krim pada abang-abang gerobak di ujung sana. "Tunggu di sini bentar ya," ucap Dion. Rianti mengangguk. Rianti nyaris memekik ketika Dion sudah jauh darinya. Dia benar-benar merasa senang hingga nyaris menitikkan air mata. Awalnya Rianti sudah cukup bersedih karena mengira mereka akan berpisah setelah memakan bakso. Tapi sepertinya Dewi Fortuna sedang berpihak. Kebersamaan itu pun berlanjut. Rianti kini menatap Dion yang sedang membeli es krim di ujung sana. Es krim gerobak dengan rasa tiga warna cokelat, stroberi dan vanila. Tak lama kemudian Dion tampak memegang dua es krim di masing-masing tangannya. Rianti pun bersiap menanti. Dia memperbaiki gaya duduknya, tapi Dion malah berbelok. "Eh... dia ke mana?" bisik Rianti. Rianti mengikuti langkah kaki Dion dengan matanya. Ternyata Dion menghampiri dua bocil yang sedang duduk di rerumputan. Dua anak itu tampak kepanasan dan sedari tadi mereka hanya melihat orang-orang yang membeli es krim. Dion menghampiri sepasang bocah itu dan tersenyum. "Ini es krim untu kalian," ucap Dion. Dua anak itu saling pandang. Terlihat bingung dan juga meragu. "Ayo ambil!" Dion tersenyum. Kedua anak itu mengambilnya dan berterima kasih. Setelah itu Dion kembali ke penjual es krim. Barulah dia membawa dua es krim seraya berjalan kembali menuju Rianti. Melihat pemandangan itu membuat hati Rianti terasa menghangat. Ternyata Dion jauh lebih lembut dan baik hati dari dugaannya. "Ini buat lo!" Dion memberikan satu es krim untuk Rianti. Tapi Rianti malah tertegun. Menatap Dion tanpa berkedip dengan matanya yang berbinar. "Hei... Kenapa lo malah bengong?" Rianti tersadar. "Ah... Maaf." "Nih, es krimnya." Rianti mengambilnya. Setelah itu Dion pun duduk di sebelahnya. "Emmm... Akhirnya." Dion bersuara senang ketika es krim itu meleleh di lidahnya. Menghapus rasa pedas yang tadi terasa sedikit menyiksa. Rianti juga menikmati es krimnya. Suasana di taman itu cukup ramai. Mungkin karena sekarang ini hari minggu. Dion melirik Rianti perlahan. Dia teringat pada Dina. Ingin mengulik sedikit informasi tentang Dina, namun Dion tidak tahu bagaimana harus memulainya. "Abis ini lo langsung pulang ke rumah?" tanya Dion kemudian. Rianti yang sedang menjilati eskrimnya itu mengangguk. "Tapi sebelum itu gue mau beli gorengan pastel dulu buat si Dina." Pupil mata Dion melebar mendengar nama itu. Kebetulan yang pas sekali. "Dina? Temen lo itu?" Dion belagak cuek. Rianti mengangguk. "Iya." Dion juga mengangguk-angguk samar, lalu berdehem. "Emangnya habis dari sini lo main ke rumahnya gitu?" Rianti mengembuskan napas panjang sebentar. "Dia itu kabur dari rumahnya... Udah hampir semingguan di rumah gue." "Kabur?" Dion pura-pura tidak tahu. "Iya. Dia berantem ama mamanya. Yah gimana ya.... Pokoknya hidup dia complicated banget sih. Kacau parah." "Mama tirinya?" Rianti tergelak. "Hahaha. Mama tiri? Nggak lah. Dina nggak punya mama tiri. Tapi dia punya papa tiri." Dion menjadi bingung dan kaget. Ternyata dugaannya selama ini salah. Informasi dari Asep pun juga sepenuhnya salah karena Asep juga berasumsi bahwa Dina tinggal dengan ibu tirinya. "Terus kenapa dia berantem sama mamanya?" tanya Dion. "Dina itu emang nggak pernah akur sama mamanya. Gimana ya, ngomongnya... Dina itu semacam anak yang tidak diinginkan kehadirannya. Tapi di lain sisi menurut gue Dina juga terkadang nggak bener sih." "Nggak bener gimana?" Rianti mulai kesal. Karena Dion sepertinya sangat tertarik ketika mulai membahas Dina. "Ya ... Dia emang rada bandel. Jadi nggak sepenuhnya salah mamanya sih. Karena si Dina juga sering bikin masalah. Mungkin sekilas dia keliatan pendiam dan polos, tapi dia itu agak sedikit liar." Rianti mulai mengarang indah. Dion terdiam. "Jadi kemarin itu dia ketahuan keluar malem ama mamanya. Dina itu emang sering diam-diam keluar dan pulang pagi hari. Tapi yah... Sepandai-pandainya tupai melompat, suatu saat akan terjatuh juga kan. Dan bener kejadian. Dia tertangkap basah dan akhirnya ribut besar. Tapi bukannya minta maaf, Dina malah membangkang. Dia juga yang mutusin lari dari rumah," jelas Rianti. Dion tersenyum. "Ternyata dia parah juga ya." "Hahaha. Ya, gitu deh... Tapi kemarin dia udah dicariin ama bokap tirinya. Bokap tirinya dateng ke rumah gue buat ngasih jajannya." "Dia deket sama bokap tirinya?" tanya Dion lagi. Rianti mengangguk. "Iya. Tapi kedekatan mereka berdua pun terasa janggal. Hehehe." Kedua alis Dion bertaut. Dia ingin penjelasan lebih atas statement yang dilontarkan oleh Rianti barusan. "Janggal gimana maksud lo?" Rianti memasang wajah gugup. "Duh... Gimana ya ngomongnya. Nggak usaj dibahas deh. Gue takut aja ntar lo malah mikir gue gosipin dia." "Hahaha." Dion tertawa. "Ya nggaklah. Santai aja kali. Dari pada kita juga nggak ada topik buat ngobrol kan. Tapi sumpah gue kaget lo. Gue pikir dia emang anak baik-baik. Pantes aja dia selalu jutek. Gue sering bantuin dia. Tapi sekalipun dia nggak pernah tuh berterima kasih." Dion agaknya sudah tau watak Rianti dan dia mulai mengikuti alurnya. Dion pun melihat jelas bahwa Rianti tersenyum culas saat dia mulai menyetujui bahwa Dina itu berperangai buruk. "Yah... Anak dari broken home memang begitu." Rianti berkata. "Jadi janggal gimana maksud lo?" Dion masih penasaran. "Hubungan Dina dan bokap tirinya itu tidak terlihat seperti hubungan ayah dan anak. Dina itu manja sama bokap tirinya... Tapi, nggak wajar." "Padahal dia sudah dewasa ya," timpal Dion. "Nah, itu dia." Rianti jadi bersemangat. Selama di rumah gue aja dia sering telponan, chattingan ama bokap sambungnya. Dan gelagatnya itu nggak biasa. Senyam senyum sendiri." Dion meneguk ludah. Dia jelas tidak percaya. Namun ada sedikit kekhawatiran jika semua ucapan Rianti adalah fakta. Mendatangkan sebuah perasaan bimbang di hatinya. "Rumornya sih... Hal itu juga yang ngebuat hubungan Dina ama nyokapnya jadi memburuk. Yah mungkin nyokapnya punya firasat kalo Dina....." Rianti tidak meneruskan kalimatnya. "Udah deh. Gue juga takut ngebahas hal yang amat sensitif kayak gitu." Dion mengangguk-angguk. "Hah. Dunia emang udah semakin tua, ya. Kasus seperti itu memang marak akhir-akhir ini. Terus pacarnya itu gimana? Haha. Apa dia nggak tau kelakuan si Dina itu?" Rianti tersenyum. "Gue kasian sih sama si Bagas." "Kenapa?" "Karena Dina cuma butuh duitnya doang. Dina sendiri yang bilang kalo Bagas itu cuma dijadiin mesin ATM sama dia. Waktu pertama kali kabur... Dia juga maksa Bagas buat ngasih dia uang jajan. Ganas juga sih... Dia punya Bagas. Juga punya bokap tiri yang super loyal sama dia." Dion mengembuskan napas panjang. Dia kini menatap Rianti lekat-lekat. Dion tidak bodoh. Meskipun dia tidak mengenal Dina secara langsung, namun Dion bisa menilai Dina dari interaksi mereka selama ini. Hati kecil Dion seakan terus berbisik. DINA TIDAK SEPERTI ITU. Sementara itu Rianti masih sangat bersemangat menebar fitnah. Membuat keburukan-keburukan yang dibuat oleh kepalanya sendiri. Dion kini tak banyak menanggapi lagi. Karena menurutnya semua sudah cukup dan Rianti sudah keterlaluan. Cerita itu terdengar berlebihan dan terlalu mengada-ada. Tapi Dion menahan diri dan tetap memaksakan senyum di bibirnya. Hingga kemudian... Dion menatap Rianti. "Jadi Dina itu parah sekali ya?" "Iya," jawab Rianti. Dion tersenyum simpul. Lalu kemudian kembali bertanya. "Lalu jika dia memang seburuk itu... Kenapa lo masih mau BERTEMAN SAMA DIA...?" Deg. Rianti langsung membeku dan gugup. Sedangkan Dion masih menatap lekat-lekat dan tersenyum menanti jawaban dari Rianti. Dalam hati Dion kini bertanya. "Kenapa dia menjelekkan Dina seperti itu?"
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD