Rianti mengajak Dina untuk berbicara di atap gedung sekolah yang lengang agar mereka berdua bisa berbicara dengan leluasa. Namun ketika akan menaiki tangga, Rianti menyuruh Dina naik lebih dahulu, sementara Rianti berlari pergi entah ke mana. Dina pun naik ke atap lantai tiga gedung sekolah. Suasana di atas sana begitu sunyi. Angin bertiup leboh kencang membuat rambutnya berkibar. Terlihat beberapa tumpukan kursi dan meja yang tidak terpakai. Di sisi lain juga terdapat sampah bekas makanan yang berceceran. Atap sekolah dulunya menjadi tempat favorit bermain para murid. Tapi kemudian suatu hari ada insiden yang membuat nama sekolah itu masuk dalam pemberitaan nasional. Yaitu peristiwa seorang siswa yang terjatuh dan tewas begitu tubuhnya mengempas tanah.
Diketahui bahwa siswa itu bergelut dengan teman-temannya dan kemudian berlari ke pinggir atap. Tapi kemudian ia malah kehilangan keseimbangan dan terjatuh. Peristiwa itu jelas menjadi catatan kelam untuk sekolah. Sejak saat itu murid-murid tidak diperbolehkan lagi bermain di atap gedung. Tapi Dina, Rianti dan Bagas menemukan celah untuk naik ke sana dan mereka bertiga memang sudah menjadikan atap sebagai markas mereka sejak lama.
Dina kini duduk menyandarkan punggungnya di dinding pembatas atap. Sengatan matahari di atas kepalanya kini sangat terik, tapi Dina sama sekali tidak merasakannya. Dina mengeluarkan handphone-nya. Tidak ada lagi pesan dari Bagas. Awalnya Dina mengira dan yakin bahwa Bagas akan menemuinya lagi di jam istirahat. Tapi ternyata Bagas tidak datang. Dia tidak muncul lagi dan hal itu sekarang menjadi tanda tanya bagi Dina.
“Dia ke mana?”
Dina menyapu wajahnya dengan telapak tangan.
Dia mencoba menghubungi Bagas, tapi nomor handphone Bagas tidak lagi aktif. w******p-nya ceklis satu. Panggilan biasa pun juga tidak tersambung.
“Apa tadi aku terlalu keras padanya?” bisik Dina lagi.
Tak lama kemudian Rianti kembali muncul.
“Nih… minum dulu!” Rianti menyodorkan minuman kaleng rasa lemon kepada Dina yang terduduk lesu.
Dina tersenyum lemah, lalu mengambilnya.
Rianti pun kemudian juga duduk di samping Dina. Dia membiarkan Dina menikmati minumannya terlebih dahulu. Rianti pun tahu bahwa keadaan Dina saat ini tidak baik-baik saja. Dina menenggak minumannya dengan tatapan nanar, lalu kemudian mengembuskan napas panjang.
Angin yang bertiup kini menyapu wajah kedua gadis itu.
“Jadi apa yang terjadi?” tanya Rianti membuka pembicaraan.
Dina mengangkat bahunya. “Entahlah. Aku juga bingung.”
Rianti mengembuskan napas panjang. “Kenapa si Dion tiba-tiba bisa nganter lo ke sekolah?”
“Tadi itu Dia ke rumah sebelah. Aku nggak tahu nama temannya itu.”
“Asep?” Rianti menyela.
“Iya. Sepertinya Dion mau menjemput Asep. Tapi kemudian dia memaksa untuk mengantar aku karena dia melihat aku kesulitan berjalan,” jelas Dina.
Rianti meneguk ludah. Rasa cemas itu kembali mengudara. Kenapa Dion sangat perhatian kepada Dina? Kenapa dia begitu peduli pada orang yang bahkan secara resmi tidak dikenalnya?
“Terus?” tanya Rianti lagi.
“Ya terus aku diantar sama dia dan setiba di sekolah….”
“Bagas ngeliat dia dan langsung nonjok si Dion?” sambung Rianti.
Dina mengangguk.
“Haaaah.” Rianti mengembuskan napas panjang, lalu kemudian juga membuka kaleng minumannya. Menimbulkan bunyi desis sebentar saat soda itu menguap dan Rianti cepat-cepat meminumnya.
“Sekarang lo jadi digosipin sama anak-anak. Ada yang bilang kalo lo selingkuh dan sebagainya,” tukas Rianti tanpa menatap pada Dina.
Dina meneguk ludah. “Semua itu jelas tidak benar.”
Sunyi.
“Semua yang dilakukan Bagas itu memang keterlaluan. Aku merasa bahwa sikapnya itu sangat kekanak-kanakan.”
Ucapan Dina membuat Rianti mengernyit. Terlihat jelas bahwa Dina lebih memihak Dion ketimbang pacarnya sendiri.
“Jadi menurut lo Bagas yang salah?”
Dina tidak menjawab.
“Tapi menurut gue… semua ini salah lo, Din.”
Eh.
Dina tersentak dan langsung menatap Rianti.
“Maaf kalo lo tersinggung, tapi gue cuma pengen mengatakan kebenarannya. Menurut gue pribadi… hal yang dilakukan oleh Bagas itu wajar! Lo itu pacar Bagas. Lo nggak nyadar ya… kemarin itu pun Bagas terkesan ngusir gue karena gue bicara tentang Dion terus. Artinya dia nggak nyaman. Dia terganggu. Dia cemburu dan lo malah nggak peka sama hal itu. Iya, kan?” tanya Rianti.
Dina terdiam.
“Dan alasan lo juga kurang logis menurut gue. Kepaksa? Lo bisa menolak. Ngapain lo mau begitu aja.”
Dina terkesiap. Biasanya Rianti tidak pernah seperti ini. Rianti adalah tipikal sahabat yang selalu ‘membenarkan’ Dina bahkan saat ia berbuat salah. Rianti adalah sosok yang selalu memandang segala permasalahan Dina dari sudut yang berbeda dan kemudian membelanya.
Tapi saat ini…
Dina merasa bahwa Rianti marah kepadanya.
“Lo nggak bisa kayak gini Din… Lo terbiasa meminta Bagas buat ngertiin semua tentang lo. Ngertiin perasaan lo, ngertiin keadaan lo. Tapi lo nggak pernah bisa ngerti perasaan dia.”
“K-kenapa kamu marah seperti ini?” tanya Dina.
“GUE EMANG MARAH!” pekik Rianti. “Gue marah karena gue adalah saksi hidup gimana Bagas berjuang buat ngedapetin lo. Gue marah karena kalian berdua adalah sahabat gue! Gue marah karena gue gasuka ngeliat kalian berdua ribur kayak gini!”
Dina terpekur.
Dia sudah termakan oleh semua perkataan Rianti dan mulai merasa bersalah.
“Sekarang coba lo inget-inget lagi. Bagas selalu mengalah sama lo selama ini, Din… Dia selalu ada buat lo. Selalu berkorban. Tapi… lo malah kayak gini. Apa jangan-jangan lo udah nggak sayang lagi sama dia?”
“AKU SAYANG SAMA DIA!” pekik Dina. Dia tidak menerima tuduhan itu. “A-aku sayang sama dia.” Dina mengulanginya dengan suara lirih.
Rianti terkejut, tapi kemudian ia tersenyum. Ada sedikit perasaan lega setelah ia mendengar pernyataan Dina.
“Lo yakin masih sayang sama Bagas?” Rianti ingin lebih yakin lagi.
“Tentu saja! S-semua ini terjadi sejak kemunculan Dion dan… ya, aku merasa bahwa semuanya kacau sejak dia datang,” ucap Dina.
Rianti mengangguk samar. “Jadi sekarang lo udah sadar kan, di mana letak akar masalahnya?”
Dina mengangguk.
“LO HARUS NGEJAUHIN DIA!” pungkas Rianti kemudian.
Dina mengangguk setuju. “Hmmm… aku juga tidak pernah berniat untuk dekat atau pun berteman sama dia. Tapi dia selalu saja muncul dan…. begitulah.”
“Lo cuma perlu menghindar! Semua ini demi kebaikan lo dan juga Bagas. Demi keberlangsungan hubungan lo sama Bagas,” tegas Rianti. “Nanti gue juga akan bantu ngomong ke Dion agar dia nggak gangguin lo lagi.”
“Iya. Aku mengerti,” jawab Dina.
Rianti tersenyum samar. Dia tentu merasa lega. Rupanya Dina malah merasa terganggu dengan keberadaan Dion dan Rianti justru senang mendengarnya.
“Ya udah… sekarang jangan manyun lagi. Ayo semangat!” hibur Rianti.
“Tapi sekarang Bagas pasti marah banget sama aku,” sungut Dina.
“Nanti dia juga baikan. Sekarang biarin dia nenangin diri dulu. Nanti… lo harus minta maaf lebih dulu sama dia! Ngerti…!?”
Dina tersenyum lemah. “Iya.”
“Dan satu lagi yang harus lo inget. Dion itu jatah gue. Jangan serakah lo.” Rianti mengakhiri kalimatnya dengan tertawa agar terkesan seperti sedang bercanda.
Dina pun juga tergelak. Tapi tatapan Rianti kini berubah tajam dan ia lanjut berkata dalam hatinya.
“Kali ini gue nggak akan mengalah lagi sama lo, Din… NGGAK AKAN PERNAH….”
**
Sementara itu Bagas sudah tiba di rumahnya. Dia sudah menanti Dina sangat lama, tapi gadis itu tidak juga datang. Akhirnya Bagas memutuskan untuk pulang saja. Rumah tiga lantai di hadapannya itu tampak sangat megah. Arsitekturnya sangat modern. Hanya terlihat seperti tiga kotak yang berdempetan dengan bagian lantai dua menjorok ke dalam dan lantai tiga juga menjorok ke dalam lagi. Susunan bangunannya terlihat seperti anak tangga raksasa. Bangunan itu di d******i oleh warna putih dan bingkai-bingkai kaca berwarna hitam. Rumah itu sangat memang sangat unik dan juga artistik. Tak tanggung-tanggung, papa Bagas mendatangkan langsung arsitek handal dari Kanada untuk membangun hunian impiannya itu.
Halaman rumah itu sangat luas dan ditumbuhi rumput Jepang yang lembut. Di bagian depan ada atap teras yang luas, juga difungsikan sebagai tempat parkir luar kendaraan yang ada. Tidak ada hal spesial lainnya di bagian halaman. Mama Bagas yang juga seorang wanita karir memang tidak menyukai hal-hal seperti taman, bunga dan segala sesuatu yang dianggapnya akan merepotkan untuk mengurusnya.
Bagas melangkah masuk ke dalam rumah dengan bola mata waspada.
Seharusnya rumah itu sunyi. Tidak ada siapa-siapa. Seharusnya rumah itu kosong karena kedua orang tua Bagas masih berada di tempat kerja mereka masing-masing.
Dari ruang tamu yang luas, Bagas beranjak ke ruang tengah yang kosong. Di dindingnya terdapat sebuah figura ukuran besar yang menampilkan fotokeluarga. Papa dan Mama Bagas mengenakan pakaian adat jawa. Bagas dan sang papa kompak mengenakan blangkon. Sedangkan sang mama memakai sanggul dan pakaian adat yang anggun.
Ya, keluarga Dhirgantoro memang tercatat sebagai salah satu keluarga ningrat yang memiliki pengaruh di tanah air. Keluarga Bagas diketahui memiliki keturunan bangsawan sejak masa jaman penjajahan kolonial Belanda. Keluarga besarnya pun dikenal secara turun temurun selalu aktif dalam pemerintahan. Hal itu tampaknya juga sudah menjadi tradisi tersendiri. Itu jugalah alasannya sang papa Djalil Dhirgantoro kemudian juga terjun ke panggung politik. Sang papa sudah pernah mencatatkan dirinya sebagai anggota DPR selama dua periode. Setelah itu dia juga mendapatkan kepercayaan untuk bergabung di kementerian hingga detik ini.
Bagas Dhirgantoro adalah putra dari sosok Menteri Dalam Negeri yang kini aktif menjabat.
Sang mama Anita Dhirgantoro adalah seorang wanita yang terkenal sebagai penggiat budaya dan juga aktif bekerja di kementerian pariwisata. Selain itu kedua orang tua Bagas juga memiliki aneka bisnis yang sudah mengular. Bagas adalah keturunan orang penting dengan kehidupan yang terlihat sempurna.
Bagas menyeringai senang. “Yes... hari ini aku bebas!”
Dia dengan cepat menaiki lift yang ada di dalam rumah itu untuk naik ke lantai tiga. Lantai tiga rumah itu sudah bagaikan ranah pribadi milik Bagas. Sebagai anak tunggal, dia memang selalu dimanja oleh mamanya sedari kecil.
Bagas layaknya seorang pangeran dengan sendok emas dimulutnya sejak ia terlahir ke muka bumi. Akan tetapi...
Bagas merahasiakan semua kehidupan pribadinya itu.
Ya, tidak ada yang tau latar belakang keluarga Bagas. Dia memilih sekolah di tempat yang biasa dan berbaur seperti orang-orang yang biasa saja. Bagas sedari awal memang menutup rapat-rapat tentang latar belakang keluarganya. Hal itu pun memang juga sudah disepakati oleh kedua orang tua Bagas.
Bahkan pihak sekolah pun juga tidak mengetahuinya. Karena Bagas selalu mendatangkan ‘orang tua palsu’ untuk mengurus keperluan sekolahnya.
Pun demikian dengan Dina.
Dina juga sama sekali tidak mengetahui latar belakang keluarga Bagas. Dina hanya tahu bahwa ibu Bagas adalah seorang guru Sekolah Dasar dan ayahnya adalah pedagang kaki lima dan juga memiliki pekerjaan sampingan sebagai guru mengaji.
Penyembunyian identitas itu pun memang sengaja dilakukan karena...
Bagas adalah anak yang nakal.
Bagas sering sekali membuat onar dan juga masalah. Hal itu tentu saja bisa berdampak pada karir dan nama baik kedua orang tuanya. Itulah alasannya keberadaan Bagas disembunyikan. Kedua orang tuanya selalu mengaku kepada publik bahwa anak mereka sedang menempuh pendidikan di Amerika.
Dan ada satu rahasia lainnya.
Kehidupan rumah tangga kedua orang tua Bagas sangat jauh dari kata harmonis.
Kedua orang tuanya sudah sangat lama pisah ranjang. Sejak Bagas masih duduk di kelas empat Sekolah Dasar. Tidak ada cinta lagi yang tersisa antara Anita dan Djalil. Tapi keduanya masih mempertahankan status pernikahan itu demi karir dan juga kepentingan mereka masing-masing.
Ada begitu banyak kesepakatan.
Ada begitu banyak perjanjian yang dibuat.
Termasuk tentang status Bagas yang disembunyikan dari khalayak ramai.
Sosok Djalil dikenal sebagai bapak menteri yang ramah di luaran sana. Semua menyangka bahwa Djalil adalah sosok pemimpin yang baik, sosok suami yang baik dan sosok ayah yang baik untuk anaknya.
Tapi kenyataannya tidak demikian. Djalil adalah sosok ayah yang temperamental dan sering melakukan kekerasa terhadap Bagas jika anaknya itu membuat onar. Sang papa terlalu tegas, sedangkan sang mama terlalu memanjakannya. Hal itu menjadi tarik ulur dan berdampak pada kepribadian Bagas yang tumbuh menjadi seorang pembangkang.
Selama ini image Bagas memang terkenal jelek. Barulah ketika memasuki masa SMA... Bagas mulai membenahi citranya. Dia tampil sebagai anak yang baik. Bagas memang berniat untuk berubah. Bagas mulai meninggalkan tabiat buruknya di masa lalu.
Dan sejauh ini dia sudah berhasil.
Tapi jiwanya masih sedikit labil. Ketika ia memiliki masalah yang menganggu pikirannya...
Bagas pun akan kembali melakukan kebiasaan-kebiasaan buruknya.
Seperti yang terjadi saat ini.
Bagas sudah mengunci pintu kamarnya, melemparkan tisu dan body lotion ke atas sofa, menutup tirai jendela. Setelahnya Bagas duduk di sebuah sofa itu. Sebuah sofa yang tinggi, besar dan empuk. Terlihat seperti kursi-kursi raja di jaman kuno. Bagas lalu menyalakan video yang tersimpan di handphone-nya.
Terdengar suara lenguhan wanita.
Bagas rupanya sedang menonton video dewasa.
Perlahan tangannya mulai meremas-remas gundukan yang mengeras. Awalnya dia hanya mengelus, dan meremas dari balik kain celana yang masih menutupinya.
Hingga kemudian. Celana itu melorot turun dan berhenti di pergelangan kakinya.
Tangan Bagas pun mulai bekerja. Dia mengoleskan body lotion terlebih dahulu ke telapak tangannya. Bagas tersenyum da kemudian menggigit bibir. Matanya kembali terpak pada film yang sedang ia putar.
Dia sedang melakoni kebiasaan buruk yang paling sering dilakukannya di masa lalu.
OLAHRAGA JARI.
Tak lama kemudian dia juga mengerang. Tatapannya tetap terfokus pada layar itu. lama kelamaan gerakan tangannya semakin cepat saja. Hingga pada puncaknya, tubuh Bagas tampak menegang dan kemudian cairan kental itu pun menyembur seiring dengan helaan napasnya yang sesak.
“Aaaah.”
Bagas tersenyum.
Dia merasa puas dan senang. Ia mengambil tisu dan menyeka perutnya yang basah dan lengket. Setelah itu Bagas kembali teringat pada sosok Dina. Bagas masih tidak bisa menerima perlakuan Dina kepadanya. Bagas mulai mengendus bau pengkhianatan. Bagas merasa bahwa Dina memang berniat akan meninggalkannya.
Ia juga teringat lagi pada obrolan teman-temannya malam itu.
Pikiran gila itu pun kembali menguasai kepalanya.
Bagas tersenyum simpul. “Sepertinya... aku benar-benar harus ‘mengikat’ dia.”