Bagas masih duduk terengah-engah tanpa celana. Dia sudah melakukannya sebanyak tiga kali berturut-turut. Tapi semua kesenangan itu hanya semu. Sekarang kepalanya malah semakin penuh oleh berbagai pemikiran yang mengganggu. Bagas kemudian beranjak ke kamar mandi untuk membersihkan dirinya. Guyuran air dari shower yang menyala langsung membasahi tubuhnya yang atletis dan juga berotot.
Setelah selesai, ia langsung berpakaian dan menatap bayangannya sendiri di cermin.
Lama.
Sangat lama Bagas termangu menatap bayangannya sendiri seperti orang bingung. Beberapa lama kemudian barulah dia kembali bergerak. Bagas menyisir rambutnya. Kemudian menjangkau jam tangan yang tergeletak di atas meja. Ketika memasangkan jam tangan itu ke pergelangan tangan kirinya… terlihat ada bekas luka sayatan di sana.
Bagas mengembuskan napas kasar. Sekarang ia merasa bosan. Dia ingin pergi bersenang-senang dengan teman-teman dewasa-nya. Menghabiskan waktu dengan meneguk alkohol sepertinya akan membuat suasana hatinya menjadi lebih baik. Bagas yang sudah selesai bersiap-siap segera keluar dari kamar.
Tapi saat pintu itu terbuka…
Dia melihat sang papa yang sudah berdiri di sana dengan tatapan tajam.
Deg.
“P-papa….” Bagas tampak ketakutan.
Djalil yang bertubuh besar dan tinggi itu menatap putranya dengan geraham yang beradu kuat. Sedetik kemudian telapak tangannya yang besar itu langsung melayang dan hinggap di pipi Bagas.
Bagas menghela napas sesak seraya menyentuh pipinya yang sudah digampar keras.
Djalil menatap murka. “Kamu melakukannya lagi. Iya, kan?”
“Bagas menatap pelan. “Melakukan apa? Aku tidak melakukan apa-apa!”
Sang papa membuang napas kasar. “Hari ini kamu melakukan keonaran dengan bertengkar di sekolah dan juga… barusan kamu melakukan hal gila itu lagi di dalam kamar ini!”
Deg.
Bagas tertohok dan menatap pucat. Bagaimana sang papa bisa tahu. Mata Bagas dengan cepat menyusuri setiap sudut kamarnya dan kemudian sorot matanya terhenti saat memandang sebuah benda yang berkerlap-kerlip di sudut langit-langit.
“Papa masang kamera CCTV di kamar aku?” Bagas menatap tak percaya.
Djalil tidak menjawab. Dia menepuk pundak Bagas dan meremasnya kuat-kuat. “Kalau sampai kamu berbuat masalah lagi karena ketidakmampuan kamu mengontrol diri itu… papa benar-benar akan membuang kamu ke jalanan.”
Ancaman itu terdengar mengerikan bagi Bagas.
Djalil berbalik pergi, saat itu juga Bagas memekik keras.
“AKU SEPERTI INI JUGA KARENA PAPA!” pekiknya.
Djalil berbalik dan menatap tajam dari balik kacamatanya. “Apa kata kamu?”
Bagas menatapnya dengan bibir bergetar. “Aku seperti ini karena mewarisinya dari Papa! Apa Papa pikir aku tidak tahu, ha! Papa juga tidak bisa mengontrol diri Papa sendiri, kan? Itulah kenapa selalu banyak wanita yang silih berganti Papa temui. Aku memang hipersex, SAMA SEPERTI PAPA!”
“DIAM…! berani-beraninya kamu berkata seperti itu!” kecam Djalil.
Bagas menatap letih. “Lalu kenapa Papa membenci aku sedangkan Papa sendiri juga seperti itu? KENAPA, PAAA…!?”
Djalil menatap putranya itu lekat-lekat, lantas kemudian mengangguk samar. “Yah. Kamu mungkin memang sama seperti papa. Namun… Papa tidak pernah melakukan KEBODOHAN seperti kamu!”
Deg.
Kalimat itu mengantarkan Bagas pada kejadian yang sudah terjadi di masa lalu. Memang sejak itulah hubungannya dengan sang papa menjadi semakin memburuk. Semenjak peristiwa itu, sebuah dinding tak kasat mata tercipta sudah. Membatasi hubungan ayah dan anak. Tak ada lagi canda tawa. Tak ada lagi moment menghabiskan waktuu bersama. Sejak hari itu Djalil memandang Bagas seperti sampah.
Djalil bahkan nyaris mengusir Bagas dari kediamannya.
Tapi tentu saja sang istri Anita tidak tinggal diam. Anita membela Bagas mati-matian. Anita juga yang sudah berusaha keras untuk membungkam semua orang. Hingga akhirnya peristiwa itu tenggelam dan terlupakan begitu saja. Semua berakhir seperti tidak pernah terjadi apa-apa. Awalnya Bagas mengira bahwa setelah itu semua akan tetap sama.
Tapi sang papa tak pernah lagi seperti dulu.
Dia membenci Bagas dan Bagas pun sangat menyadari hal itu.
“Ini semua nggak adil…!” pekik Bagas.
Djalil tidak lagi peduli. Dia hanya menatap tajam dan kemudian berlalu pergi dari sana. Sekarang tinggallah Bagas yang masih merasa kesal. Dia merasa tidak adil dan murka. Dia kembali masuk ke dalam kamar dan melemparkan apa saja yang bis adiraihnya.
Bagas mengamuk.
Dia berteriak dan menimbulkan kebisingan.
Dalam sekejab kamar itu berubah kacau. Suara pecahan kaca dan barang-barang lain yang beradu dengan dinding terdengar silih berganti. Bagas bahkan juga melempar sebuah cermin besar di surut kamar dengan asbak yang terbuat dari keramik. Suara kaca pecah yang berderai itu terdengar beruntun dan setelahnya Bagas terduduk dengan napas terengah-engah.
“Hah… hah… hah….”
Dia juga tidak ingin memiliki hidup yang seperti itu.
Bagas juga tidak menyukai tabiatnya itu dan ingin berubah, namun… dia tidak bisa melakukannya seorang diri. Dia butuh dukungan, dia butuh pertolongan. Dia perlu dibimbing. Tapi kedua orang tuanya terlalu sibuk. Sang papa hanya terus menyalahkan. Sedangkan sang mama menganggap semua itu adalah hal yang biasa saja.
Perilaku Bagas itu pun tercipta memang karena pengaruh keturunan dan juga faktor lingkungannya.
Sedari kecil Bagas terlalu bebas. Terlalu dibiarkan. Dia bahkan sudah bisa mengakses internet dengan sangat bebas sejak menginjak bangku sekolah dasar. Apalagi Bagas juga memiliki kamar sendiri yang membuatnya semakin leluasa.
Awalnya dia hanya mencoba karena penasaran.
Tapi lama kelamaan hal itu menjadi sebuah kecanduan.
Berubah menjadi kebiasaan buruk yang tidak bisa ia tinggalkan. Bagas dulu juga pernah tiba difase tergelap dalam hidupnya. Dia harus ‘melakukannya’ setiap malam untuk bisa tertidur. Secara medis hal itu tentu akan berdampak pada kesehatan dan juga mentalnya. Kebiasan buruk Bagas itu juga sudah diketahui oleh kedua orang tuanya. Tapi seperti yang sudah dibahas sebelumnya. Sang papa hanya memarahinya tanpa memberikan solusi. Sementara sang mama juga terkesan tidak peduli.
Bagas terduduk di lantai kamar yang sekarang ini sudah teramat kacau.
Jemarinya terlihat bergetar. Dia masih tidak terima sang papa menampar dan memarahinya seperti itu. Namun Bagas juga tidak bisa berbuat apa-apa. Sang papa selalu mengulik masa lalu ketika Bagas berbuat kesalahan.
Dan semua itu adalah kelemahan terbesar Bagas.
Bagas menatap nanar dan kemudian tersenyum sumbang. Ingatannya kini melayang mengenang sebuah wajah yang terlintas di benaknya.
“Hah… bahkan setelah mati pun… kamu masih saja meninggalkan masalah untuk aku,” bisiknya pelan.
**
Malam pun datang menjelang.
Dina sedang duduk termangu di dalam kamarnya. Malam ini rumahnya kembali sunyi. Akhir-akhir ini sang mama dan keluarga bahagianya memang selalu saja bepergian. Dina tidak peduli. Dia juga tidak mau tahu ke mana mereka pergi dan apa yang mereka lakukan. Tatapan Dina masih tertuju pada kantong kresek warna hitam yang sudah kusut di atas kasur. Dina masih tidak tahu apa isinya.
Kantong plastik yang tadi pagi dimasukkan oleh Dion ke dalam ranselnya.
Hening.
Hanya terdengar suara jangkrik yang berasal dari balik dinding kamar Dina.
Semua rentetan kejadian yang terjadi beberapa hari belakangan ini benar-benar mendatangkan lelah.
Dina meraih kantong plastik itu dan kemudian memeriksa isinya.
Eh.
Mata Dina sedikit tersentak. Lalu kemudian ia tersenyum.
Isinya adalah satu pack koyo cabe, minyak urut GPU kemasan kecil dan juga sebuah tablet obat yang sepertinya untuk meredakan rasa nyeri.
Dina termangu.
Ada semacam perasaan aneh yang bergelut di sanubarinya. Membuat Dina dilanda oleh kebingungan yang teramat sangat. Ada semacam perasaan yang kini bergolak. Dina pun tidk tahu pasti dengan apa yang ia rasakan.
Ada sebuah rasa ketakutan.
Tapi apa?
Dina hanya merasa takut jika ia terus dekat dengan Dion.
Entah takut karena mengira Dion adalah orang jahat, atau bisa jadi takut jika ia menjadi semakin dekat dengan lelaki itu.
Dina mengangguk samar. Seakan meyakinkan dirinya sendiri bahwa mengenal Dion memang adalah sebuah kesalahan. Dan seperti apa yang dikatakan oleh Rianti, Dina memang tidak seharusnya dekat dengan lelaki lain.
“Ya, itu benar,” bisik Dina lirih.
Ia kemudian menjangkau handphone-nya dan mencoba menghubungi Bagas. Panggilan telepon itu tersambung, namun Bagas tidak menjawabnya. Empat kali panggilan telepon Dina diabaikan dan dipanggilan kelima kalinya, Bagas malah merijek panggilan itu yang sontak membuat Dina tercengang.
“Gilak! Ini pertama kalinya Bagas nolak panggilan telepon aku.” Dina menatap layar handphone-nya tak percaya.
Apa Bagas semarah itu?
Apa dia benar-benar sangat kecewa kali ini?
Dina menepuk-nepuk dadanya sendiri. Mencoba sabar dan meyakini bahwa semuanya terjadi memang karena kesalahannya. Dia harus mengalah. Dia yang harus meminta maaf kali ini. Dina akhirnya menulis pesan untuk Bagas.
‘Kenapa kamu menolak panggilan aku? Kamu pasti marah, ya? Aku tahu semua emang salah aku dan kamu berhak untuk marah. Aku tidak memikirkan perasaan kamu. Aku tidak coba mengerti posisi kamu. Kamu pasti sangat kecewa dengan sikap aku. Iya, kan? Aku akan menunggu. Menanti hingga semua amarah kamu reda dan setelah itu kita bisa membicarakannya. Sekali lagi maafin aku, Bagas. Aku sangat menyayangi kamu….’
Dina membaca pesan itu sebentar, lalu kemudian mengirimkannya.
Terlihat dua centang itu berubah biru, pertanda bahwa Bagas sudah membacanya.
Dina menanti.
Menunggu balasan dari Bagas.
Tapi setelah lama waktu berlalu, tidak ada yang terjadi. Dina masih menatap layar handphone yang itu dengan tatapan nanar. Bagas tidak membalas pesannya. Membuat kepala Dina terasa berdenyut.
“Apa yang harus aku lakukan sekarang?” bisiknya pelan.