Dina sama sekali tidak bisa berkonsentrasi selama mengikuti dua mata pelajaran di pagi hari jelang istirahat. Dia bahkan tidak ikut menyalin materi biologi yang disuguhkan oleh Bu Eni. Dina juga tidak tertawa dengan guyonan pak Adnan selaku guru sejarah yang memang dikenal humoris dan selalu membuat Dina tersenyum karena gurauannya. Hari ini Dina benar-benar merasa sangat kacau. Dia merasa kemalangan seperti datang bertubi-tubi di hidupnya yang memang sudah kelam.
Dan Dina tidak dapat menampik bahwa…
Keadaan itu memang terasa memburuk sejak kemunculan Dion di hidupnya.
Dina merasa pusing. Kehadiran Dion memang mendatangkan masalah, tapi di sisi lain Dion juga sudah menyelamatkan hidupnya.
Sangat membingungkan.
Handphone di dalam kantong rok Dina pun terus bergetar. Dia tidak lagi memeriksanya karena sudah tahu bahwa itu adalah pesan dari Bagas yang terus saja meminta Dina untuk menyusulnya ke luar sekolah. Bagas mengatakan bahwa dia menunggu Dina di sebuah kedai kopi yang berada tak jauh dari sekolah mereka. Dina sudah membalas pesan itu, mengatakan bahwa sebaiknya mereka berbicara ketika jam istirahat saja, atau sepulang sekolah biar lebih leluasa.
Tapi Bagas tidak bisa bersabar dan terus saja memaksa.
Dina akhirnya tidak lagi membalas pesan-pesan itu.
“Jadi bagaimana menurut kamu Dina, benar apa salah?” tanya pak Adnan tiba-tiba.
Eh.
Dina terkesiap dan menatap bingung. “A-apa, Pak?”
“Wah… berarti dari tadi kamu tidak menyimak penjelasan saya, ya?” tanya pak Adnan seraya tersenyum.
Dina pun menunduk malu.
Anak-anak di kelas pun kembali bergosip tentang fenomena yang terjadi tadi pagi. Mereka mulai membuat rumor bahwa Dina terlibat cinta segitiga. Ada juga yang meyakini bahwa Dina telah berselingkuh. Ada juga yang percaya bahwa Dina ternyata adalah sosok playgirl yang mempunyai banyak pacar dari sekolah yang berbeda.
Ya, rumor dan gosip memang adalah suatu hal yang paling cepat bergulir. Datangnya seperti bola salju yang semakin lama semakin membesar saja. Dan semua gosip itu pun dengan cepat menghapus segala kebaikan seseorang. Manusia memang cenderung tertarik pada keburukan daripada kebaikan orang lain bukan? Dalam sekejab citra negatif tentang Dina pun langsung terbentuk begitu saja. Hanya dalam hitungan jam.
Dina kemudian memeriksa handphone-nya lagi.
Ia melihat beberapa status w******p teman-temannya yang ternyata mengunggah beberapa foto dan video pertengkaran Dion dan Bagas tadi pagi.
“Haaah.” Dina semakin merasa stress.
Tak lama kemudian sebuah pesan kembali masuk. Dina mengira pesan itu masih dari Bagas, tapi ternyata bukan. Pesan itu datang dari Rianti. Ia mengirimkan sebuah foto perkelahian itu dan ada pesan di bawahnya.
‘Apa yang sudah terjadi? Katanya pagi tadi Bagas bertengkar dengan anak dari sekolah lain yang nganterin lo ke sekolah? Apa itu bener? Emangnya siapa yang nganter lo ke sekolah?’ tanya Rianti dalam pesannya.
‘Nanti aku cerita,’ balas Dina.
Tapi kemudian pesan dari Rianti masuk lagi.
‘Siapa yang nganterin lo?’
Dina sudah merasa lelah. Dia termangu dan tak kunjung membalas. Sedankan Rianti terus mengirimi pesan, stiker dan huruf ‘P’ yang banyak.
“Dia kenapa, sih?” lirih Dina.
Karena sudah merasa terusik, Dina pun kemudian memberikan jawabannya.
‘DION’
Dia mengirim satu nama itu. Terlihat centang dua itu berubah biru yang artinya Rianti sudah membaca pesan itu, tapi…
Rianti tidak membalasnya lagi.
**
Sementara itu di kelas yang berbeda… Rianti tampak tertegun setelah membaca pesan dari Dina. Dia termangu dengan jemari yang masih memegang handphone dengan layar yang masih menyala itu. Hari ini Rianti tampil lebih manis dari biasanya. Rambut pendeknya yang biasanya dibiarkan acak-acakan kini disisir rapi dan juga ada jepitan lucu di sana. Rianti memang sudah bertekad untuk memperbaiki penampilannya sedikit demi sedikit.
Dia bersiap untuk bertransformasi menjadi gadis yang lebih baik.
Pagi ini ia datang ke sekolah dengan semangat baru. Rianti memulai harinya dengan ritual memandangi foto Dion yang membuat hatinya melonjak girang. Seakan ada semangat baru yang menjalari hatinya. Semua baik-baik saja sampai Rianti mendengar desas desus keributan tadi pagi. Setelah menyimak obrolan dari anak-anak di sekitarnya dan juga melihat bukti foto dan video yang tersebar…
Rianti terkejut.
Ia sudah tahu bahwa sosok yang bertengkar dengan Bagas itu adalah Dion.
Akan tetapi Rianti berharap dugaannya itu salah. Rianti berharap bahwa sosok yang kini digosipkan sebagai orang ketiga dalam hubungan Dina dan Bagas bukanlah Dion. Rianti seakan membuat penolakan sendiri. Dia menolak untuk percaya. Dia menjadi gelisah dan tidak tahan untuk menanyakannya secara langsung kepada Dina.
Tapi ternyata…
Jawaban Dina seperti apa yang dia takutkan.
Kenapa?
Kenapa Dion bertengkar dengan Bagas? Apa mungkin semua seperti gosip yang beredar itu? Apa jangan-jangan Dion juga menyukai Dina?
Rianti lekas menggeleng.
Tidak.
Semua itu tidak mungkin.
Dina sudah memiliki pacar. Setahu Rianti, Dina pun juga sangat mencintai Bagas. Dina bahkan sering bercerita-cerita tentang rencana indah masa depan mereka berdua kelak.
“Ya… semua pasti karena kesalahpahaman,” lirih Rianti.
Cewek berambut pendek dengan tinggi badan bak model itu mencoba menenangkan dirinya sendiri. Tapi semakin ia mencoba, semakin besar pula ketakutan yang Rianti rasakan. Dia tiba-tiba takut jika pada akhirnya Dion memang menyukai Dina.
Tidak.
Itu tidak boleh terjadi.
Rianti mulai bergelut dengan pikirannya sendiri. Tatapannya kemudian terus tertuju pada jarum jam yang ada di atas papan tulis. Waktu terasa bergerak lambat untuk Rianti. Dia sudah tidak sabar menunggu jam istirahat. Dia ingin menemui Dina dan memastikan semuanya.
Memastikan bahwa ketakutannya itu tidak akan terjadi.
“Kenapa jarum jam itu bergerak lambat sekali?” bisik Rianti dalam hatinya.
Rianti lanjut bermenung. Dia sudah bertekad untuk menjadi pribadi yang lebih baik ke depannya demi memenangkan hati Dion. Rianti merasa ada secercah harapan tatkala Dion mengajaknya untuk bertemu lagi. Semua yang dilakukan Dion terasa seperti lampu hijau untuk memulai sesuatu yang lebih dekat dan Rianti meyakini hal itu.
Tapi sekarang… sosok Dina membayang-bayanginya.
Rianti takut jika cerita lama akan terulang.
Cerita lama yang sejatinya masih menyisakan luka di hatinya, tapi kemudian Rianti sadar bahwa perasaan itu memang tidak bisa dipaksakan. Dia akhirnya coba untuk merelakan dan menerima kenyataan itu. Bersusah payah Rianti mengobati luka hatinya sendiri.
Ya. Kalian benar.
Rianti dulunya juga menyukai Bagas.
Bahkan Rianti sudah lebih dulu menyukai Bagas, jauh sebelum Dina mengenal pacarnya itu. Bagas dan Rianti dulu sempat satu kelas ketika kelas X. Saat itu Bagas menjadi ketua kelas sekaligus menjadi teman sebangku Rianti.
Wali kelas mereka memang sengaja mengatur tempat duduk berpasang-pasangan agar murid tidak meribut. Tapi yang terjadi kemudian, banyak kasus cinta sebangku yang terjadi. Ada beberapa yang benar-benar menjadi sepasang kekasih dan ada juga yang hanya bisa sebatas mengagumi seperti yang terjadi pada Rianti.
Rianti jatuh cinta pada pandangan pertama kepada Bagas sejak mereka menjalani masa orientasi siswa. Dia terpesona melihat Bagas yang kala itu berani maju ke depan dan menyumbangkan suara emasnya. Bagas menyanyikan lagu lawas dari Letto yang berjudul Ruang Rindu. Suaranya sangat merdu dan mendayu-dayu. Saat itu Rianti langsung mencari tahu tentang sosok Bagas.
Dan alangkah bahagianya Rianti ketika ia tahu bahwa Bagas sekelas dengannya dan bahkan kemudian menjadi teman sebangkunya.
Awalnya Bagas cuek dan tidak acuh kepadanya. Rianti pun juga sempat melakukan berbagai cara untuk menarik perhatian Bagas seperti remaja yang jatuh cinta pada umumnya. Tampil lebih rapi, lebih wangi dan juga mencari topik obrolan untuk diperbincangkan. Saat itu Rianti masih memiliki rambut yang panjang hingga mencapai pinggulnya.
Hingga suatu hari, Dina datang ke kelasnya untuk menjemput Rianti yang terlalu lama keluar padahal mereka sudah berjanji untuk ke kantin bersama. Itulah pertama kalinya Dina bertemu dengan Bagas.
Rianti sendiri yang memperkenalkan mereka berdua. Hal itu pun sempat menjadi penyesalan yang panjang.
Kehadiran Dina nyatanya memang menarik perhatian Bagas. Lelaki itu jadi sering bertanya tentang Dina dan Rianti pun cukup senang karena dengan alasan itu dia bisa mengobrol lama-lama bersama Bagas.
Salah taktik.
Bisa dikatakan bahwa Rianti memang salah taktik sejak semula.
Setelah itu Rianti mulai menggunakan ‘Dina’ sebagai alasan untuk ini dan itu. Seperti mengajak Bagas ke bioskop, mengajak Bagas belajar dan bermain bersama. Sampai akhirnya mereka bertiga juga membuat grup obrolan di w******p. Ketiganya menjadi dekat. Namun saat itu pun Rianti belum juga sadar bahwa dia hanya menjadi jembatan antara Dina dan Bagas.
Karena memang Dina adalah tipe cewek yang disukai oleh Bagas. Tentu sudah jelas Bagas juga senang bisa mengenal Dina lebih jauh.
“Dina ngajak nonton, nih!”
“Si Dina katanya mau ke sana!”
“Eh, Kita ke sana yuk! Si Dina kemarin katanya pengen nyoba wahana bermainnya.”
Dina. Dina dan Dina.
Rianti selalu menggunakan Dina sebagai alasan. Akhirnya ketiga remaja itu bersembunyi dibalik kata ‘sahabat’. Nama grup obrolan mereka bahkan dinamai dengan ‘Trio Bestie’ kala itu. Ketiganya sering menghabiskan waktu bersama. Ada banyak cerita dan juga kenangan yang tentunya sudah tercipta.
Sampai suatu hari… Rianti melakukan kesalahan.
Dia menulis sebuah surat cinta yang ditujukan pada Bagas. Rianti tidak berniat untuk memberikan surat itu. Dia hanya iseng menulis dan menyimpannya saja. Rianti menyelipkan surat itu di buku catatannya dan kemudian terlupa.
Buku catatannya itu dipinjam oleh Bagas dan dia menemukan surat itu.
Semua seperti bencana.
Tentu saja Bagas langsung mempertanyakannya. Saat itu Bagas terlihat marah dan agaknya kecewa. Membuat Rianti takut jika Bagas tidak mau lagi berteman dengannya jika ia mengakui bahwa surat itu memang adalah isi hatinya.
Dan Rianti pun berbohong.
Dia mengatakan bahwa Dina yang memintanya menulis surat itu untuk Bagas. Rianti berdalih bahwa Dina meminta tolong karena tulisan tangan Rianti yang bagus dan rapi.
Saat itu raut wajah Bagas pun berubah senang.
Senyuman itu mulai menumbuhkan duri luka di hati Rianti. Saat itu juga Rianti sadar bahwa ternyata Bagas memang menyukai Dina. Rianti berada dalam dilema. Jika ia mengaku bahwa surat itu adalah isi hatinya, ia yakin Bagas tidak akan tersenyum seperti itu.
Rianti tahu bahwa Bagas pasti akan membenci dan tidak mau lagi berteman dengannya.
Namun Saat itu Rianti seperti masih memiliki harapan.
Karena rasa suka Bagas hanya sepihak saja. Saat itu Dina tidak memiliki perasaan apa-apa. Dia hanya menganggap Bagas sebagai sahabat, tidak lebih. Rianti masih bisa bernapas lega karena ia merasa bahwa Dina tidak akan balas menyukai Bagas.
Tapi lagi-lagi Rianti dipatahkan oleh harapan.
Nyatanya surat cinta yang ia tulis itu membuat Bagas semakin agresif mendekati Dina. Bagas mulai mengajak Dina untuk jalan berdua saja dan tidak lagi mengajak Rianti untuk ikut bersama mereka. Awan kelam seperti mulai memayungi hidup Rianti. Dia di dera oleh rasa sakit hati melihat kedekatan Dina dan Bagas yang semakin akrab saja.
Kadang Rianti dikejutkan oleh unggahan status w******p Bagas yang meng-upload foto mereka berdua di kawasan wisata atau di mana saja.
Kadang Rianti menghubungi Dina dan ternyata dia sedang menghabiskan waktu bersama Bagas.
Sungguh masa-masa yang sangat mengerikan bagi Rianti kala itu. Dia harus tetap berlagak baik-baik saja. Dia harus tetap mengumbar senyum kepada Dina dan juga Bagas. Dan yang paling menyakitkan adalah…
Bagas mulai terang-terangan mengatakan bahwa dia sudah sangat jatuh cinta kepada Dina dan ia juga meminta Rianti untuk MEMBANTUNYA.
Bagas selalu meminta pendapatnya.
Memilihkan bunga yang bagus untuk Dina.
Memilihkan cincin.
Memilihkan apa saja.
Membantu Bagas mencarikan tempat-empat romantis dan segala macamnya.
Juga mendengarkan cerita Bagas tentang hari-hari yang sudah ia lalui bersama dina.
Dan sialnya… Rianti tidak bisa menolak.
Karena hanya itulah yang membuatnya bisa menghabiskan waktu bersama Bagas. Rianti jutru memilih tenggelam dalam genangan luka. Awalnya dia hanya sulit bergerak, tapi kemudian dia benar-benar tenggelam dan tidak pernah bisa lagi naik ke permukaan.
Hingga pada puncaknya.
Rianti membantu Bagas untuk mempersiapkan kejutan di hari ulang tahun Dina. Hari di mana Dina menjadi ratu sehari yang sangat bahagia. Hari di mana Bagas menyatakan perasaan cintanya.
Hari itu Dina menangis bahagia.
Dan Rianti…
Juga menangis pilu.
Air mata Rianti saat itu tidak mau surut. Dia pun akhirnya terpaksa berpura-pura. Mengaku bahwa dia ikut terharu karena dua orang sahabatnya kini sudah menjadi sepasang kekasih.
Dan setelah itu… Rianti harus berjuang dari luka patah hatinya.
Dia memotong rambutnya dan kemudian menekuni olahraga lari untuk mengusir segala pikiran yang masih saja menganggu.
Rianti bukan hanya berlari untuk mengasah kemampuan atletiknya.
Tapi ia memang melakukannya untuk ‘lari dari kenyataan’
Tidak mudah bagi Rianti untuk melalui waktu-waktu yang penuh dengan keirian dan ketidakrelaan itu. Butuh kekuatan baginya untuk menepikan segala rasa benci, kesal dan amarah. Hingga akhirnya Rianti mulai ikhlas dan merelakannya. Perlahan-lahan dia mulai biasa saja melihat kebersamaan Dina dan Bagas.
Dan pelangi itu kembali muncul saat Rianti bertemu dengan cinta monyetnya sewaktu kecil. Pertemuan tidak sengaja dengan Dion yang membuat harapan itu kembali datang.
Harapan bahwa ia juga bisa merasakan indahnya cinta seperti yang Dina rasakan.
Tapi sekarang…
Rianti mendengar gosip seperti itu. Segala harapannya pun langsung berganti dengan rasa gamang.
Rianti meneguk ludah dan menghalau semua kenangan masa lalu yang berkeliaran dalam kepala. Dia kemudian menggeleng samar dan mengepalkan telapak tangannya kuat-kuat.
“Tidak… aku tidak akan terluka lagi seperti dulu,” bisiknya pelan.
Setelah menunggu berabad-abad rasanya, akhirnya suara bel yang dinantikan Rianti bergaung juga.
Sang guru di depan kelas masih berbicara, tapi Rianti sudah bangun dari duduknya dan menghambur keluar untuk menemui Dina.