Minggu pagi.
Salah satu rutinitas rutin yang tidak pernah dilewatkan oleh Dion di minggu pagi adalah aktivitas joging. Dion sudah siap dengan setelan olahraga dan sepatunya. Dia mengenakan setelan baju olahraga warna hitam tanpa lengan dengan celana pendek di atas lutut. Sebelum berlari keluar rumah, Dion melakukan sedikit pemanasan terlebih dahulu.
“Mau lari pagi, ya?” suara sang papa mengejutkan Dion. Suara yang terdengar parau karena Ridwan baru saja bangun tidur.
“Papa udah bangun aja. Kenapa? Papa mau ikut lari sama aku?” ajak Dion.
Ridwan langsung menggeleng. “Papa bangun cuma karena kebelet pipis aja.”
“Hahaha.” Dion tergelak. “Itu perut Papa makin maju lho… padahal dulu badan papa lebih bagus dari aku.”
Ridwan mengelus-elus perutnya seraya ikut tergelak.
“Sebaiknya Papa emang beli treadmill aja atau sepeda statis juga bagus. Papa bisa olahraga di rumah aja, minimal sepuluh sampai dua puluh menit sehari rasanya udah cukup kok.” Dion menyampaikan pendapatnya.
Ridwan mengerlingkan mata. “Kenapa? Apa kamu ngerasa papa ini sudah tua?”
Tawa Dion kembali pecah. “Bukan begitu. Aku hanya mengingatkan saja demi kebaikan papa.”
Ridwan mengangguk-angguk. “Nanti deh… ketika kita sudah pindah ke rumah baru saja. Papa akan bangun gym mini saja nanti di sana.”
“Boleh juga,” jawab Dion. “Kalo gitu aku pergi dulu, ya, Pa.”
Ridwan mengangguk. “Hati-hati di jalan.”
“Emm.” Dion tersenyum.
Udara pagi yang cukup dingin dan segar langsung menerpa wajah Dion ketika ia mulai berlari. Langit sudah sepenuhnya terang karena waktu memang sudah menunjukkan pukul 07.00 pagi. Biasanya Dion akan berlari ke taman kota yang memang terletak tidak jauh dari kompleks perumahannya. Setiba di sana Dion akan berlari agak sepuluh kali putaran atau hingga ia merasa sudah mencapai limitnya dan setelah itu barulah Dion pulang ke rumahnya.
Tapi hari ini…
Sepertinya Dion mengambil rute yang berbeda. Dia tidak berbelok ke arah taman, melainkan mengambil jalan yang berlawanan. Dion terus berlari seraya mengatur ritme langkah dan juga pernapasannya.
Yang menjadi pertanyaan adalah; ke mana tujuan Dion kali ini?
**
Beralih pada Dina yang masih duduk termenung di kasurnya yang tipis dan terasa keras. Dia masih tidak habis pikir dengan mimpi buruk yang sangat mengerikan itu. Sepertinya dia terlalu memikirkan tentang sosok Dion hingga akhirnya sampai ke alam mimpi.
“Aaaaah gila!” Dina berusaha menghapus ingatan tentang mimpi yang menggelikan itu.
Setelahnya Dina merapikan rambut, mengikatnya dan kemudian langsung beranjak bangun. Aktivitasnya di hari minggu akan selalu sama. Ia harus mencuci seragam sekolahnya, mencuci sepatu dan juga mengurus berbagai hal lainnya. Dina segera menggulung kasurnya itu dan menepikannya hingga di pojokan agar kamar itu bisa terasa lega.
Dina kemudian keluar. Tapi suasana di luar begitu sunyi.
Ia beranjak mengintip ke jendela dan mobil Tio tidak ada terparkir di halaman.
“Sepertinya mereka sudah pergi lagi,” desis Dina.
Keluarga bahagia itu mungkin menghabiskan akhir pekan mereka dengan bersenang-senang lagi. Dina mengembuskan napas panjang, lalu kemudian tersenyum. Setidaknya ia merasa tenang meski harus sendirian di rumah. Itu jauh lebih nyaman daripada harus melihat wajah sang mama yang selalu masam. Dina kemudian bersiap dengan aktivitasnya, tapi kemudian handphone-nya bergetar lagi.
“Dia mau apa, ya?” bisik dina.
Kali ini Dina menjawab panggilan itu.
“Lo pasti belom bangun, ya! Dari tadi gue telponon juga!” pekik Rianti di balik telepon.
Dina menjauhkan handphone itu sebentar dari telinga agar gendang telinganya tidak pecah. “Emangnya kenapa kamu nelpon pagi-pagi?”
“Gue lagi sepedaan nih. Rencananya mau singgah ke tempat lo. Lebih tepatnya kita janjian aja di tempat orang jual lotek depan gang rumah lo. Gue kan males ketemu nyokap lo.”
Dina membuang napas kasar. “Mereka nggak ada di rumah kok.”
“BENERAN?” Rianti terdengar bersemangat,
“Iya.”
“Kalo gitu gue meluncur ke sana ya. Gue udah deket kok ini,” tukas Rianti.
“Oke.”
Panggilan telepon itu pun terputus. Dina segera beranjak keluar rumah. Ia ingin menikmati terpaan cahaya matahari pagi sebentar seraya menunggu Rianti yang akan mampir ke rumahnya. Jarak rumah Rianti dan Dina lumayan cukup jauh. Dan Rianti memang selalu menghampiri Dina di minggu pagi sembari ia bersepeda. Mereka kemudian akan bergibah ria sembari menikmati lotek buatan mpok Neni yang terkenal lezat.
Dina meregangkan kedua tangannya sebentar.
Setelah itu ia menghirup udara pagi yang segar. Aliran oksigen lalu lalang di rongga hidungnya. Membuatnya cukup tenang dan rileks. Dia juga melakukan peregangan singkat. Tak lama berselang terdengar suara kring-kring dari sepeda milik Rianti.
Dina pun tersenyum dan membuka pagar rumahnya.
Rianti sudah berada di balik pagar, masih duduk di sepedanya. Ia pun langsung menatap sengit pada Dina dengan wajah yang memerah dan berkeringat.
“Gara-gara lo nggak bangun cepet, gue jadi muter-muter dulu,” rengek Rianti.
Dina tertawa. “Ya lagian kamu ngapain. Mau makan lotek mpok Neni, kah? Harusnya ya makan sendirian aja.”
“Nggak bisa gitu dong. Ini tuh udah termasuk ritual wajib kita sebagai bestie. Gila aja gue duduk di sana sendirian kayak orang begok.”
“Kan, ada mpok Neni.”
“Iye. Terus ntar dia bakalan ceritain tentang anak bujangnya yang kerja di Taiwan dan minta gue jadi menantunya lagi.”
“Hahahaha.” Dina tertawa.
“Lo baru bangun, Din?” tanya Rianti kemudian.
Dina mengangguk. “Iya. Berkat telepon lo yang pertama tadi.”
Rianti sedikit merasa bersalah. “Sori ya. Lo jadi kebangun gegara gue dong.”
“Justru aku makasih sama kamu.” Dina mengembuskan napas panjang.
Rianti menatap bingung. “Makasih? Kenapa?”
“Karena kamu udah menyelamatkan aku.”
“Nyelamatin lo?”
“Iya. Dari pembunuhan,” jawab Dina.
Eh.
Rianti melotot. “P-PEMBUNUHAN?”
Dina mengembuskan napas. “Pokoknya gitu deh. Aku nyaris dibunuh dan panggilan telepon kamu nyelamatin aku.”
“Lo ngomong apa anjir. Ngomong yang jelas. Kenapa? Apa ada penjahat yang masuk ke rumah lo apa gimana?” Rianti menatap rusuh.
“Iya. Ada psikopat yang datang dan mau ngebunuh aku. Di DALAM MIMPI.”
Wok.
Wok.
Wok.
Rianti tertegun sebentar dengan wajah bodohnya. “Di dalam mimpi?”
“Iya.”
PLAK.
Sebuah tamparan yang cukup keras hinggap di pundak Dina hingga ia meringis. “Sakit tau!”
“Ya elo! Harusnya ngomong dari awal… kalo lo itu mimpi buruk. b*****t!”
Dina tergelak. “Iya juga, ya.”
“Makanya… pikiran gue kan jadi ke mana-mana. Jadi itu alasannya lo keliatan lemes pagi ini?”
“Iya. Pokoknya ngeri banget. Dasar manusia laknat itu….” Dina bergidik membayangkan sosok Dion yang singgah di mimpinya.
Rianti menatap curiga. “Manusia laknat? Emang lo kenal orangnya yang dateng ke mimpi lo?”
Dina mengangguk.
“Siapa? Bagas?”
Tebakan itu membuat Dina melotot. “Nggak dong! My Prince not a villain. Ayank aku itu bukan penjahat of course.”
“Dih… jiji amat,” ledek Rianti. “Terus kalo bukan si Bagas, siapa dong?”
Dina terdiam sebentar. “Udah ah… nggak usah dibahas. Aku takut.”
“Takut kenapa?” tanya Rianti dengan suara berbisik.
“Takut kalo tiba-tiba dia muncul di si--”
Deg.
Kalimat Dina terhenti saat ia menatap ke seberang jalanan.
Kedua manik matanya itu langsung bergetar. Ia menganga dan seketika berubah pucat. Perubahan sikap Dina itu pun membuat Rianti menatap bingung.
“Lo kenapa?”
Dina tidak menjawab. Matanya masih tertuju pada sosok lelaki yang kini duduk di atas sepeda dan menatap kepadanya itu.
“A-apa kamu masih bermimpi?” lirih Dina.