Dion terus mengayuh sepedanya di tepi jalan raya yang lengang. Entah ke mana tujuannya, yang jelas bukan ke taman kota. Sepeda itu kemudian berbelok memasuki kompleks perumahan. Dion terus melaju. Otot-otot paha dan betisnya kini menonjol jelas saat ia mengayuh sepeda itu. Sampai kemudian ia berhenti dengan wajah bingung.
"K-kenapa aku malah ke sini," bisik Dion.
Dion menatap ke seberang sana. Sosok Dina yang kaget pun juga menatap padanya. Dion meneguk ludah. Dia sendiri juga terlihat linglung sekarang ini. Kenapa dia malah bersepeda ke rumah Dina?
"Lo kenapa, Din?" sergah Rianti.
Dina tidak menjawab. Jari telunjuknya terangkat ke arah Dion di seberang sana. Dion yang masih terduduk di atas sepedanya. Dina menatap tak percaya.
Bagaimana bisa?
Kenapa?
Sedetik kemudian Dina langsung menghampiri Dion dengan tatapan penuh murka.
"Lo mau ke mana, Din?" pekik Rianti.
Dina mendekat dan langsung menatap tajam. "NGAPAIN KAMU KE SINI, HA?"
Bentakan Dina membuat Dion sedikit kaget. Raut kebingungan jelas terlihat di wajah lelaki itu.
Dina menatap geram. Bayangan tentang mimpi buruk semalam membuatnya kembali bergidik ngeri. Semalam Dion datang untuk membunuhnya di dalam mimpi dan pagi ini lelaki itu benar-benar kembali muncul di hadapannya. Benar-benar menjengkelkan dan Dina sudah tidak bisa mentoleransinya lagi.
"Kamu itu penguntit, ya? Apa motivasi kamu ngelakuin semua ini, ha?" bantak Dina. "Bisa-bisanya kamu ke sini?"
Glek.
Dion meneguk ludah. Dia kesulitan menjawab tudingan itu. Membuatnya terlihat seperti orang bodoh sekarang. Posisi Dion memang terpojok.
"G-gue...."
"Gue gue apa, ha? Kamu bener-bener psikopat, ya!" bentak Dina lagi.
Dion kewalahan kali ini. Jika sebelumnya dia berhasil mengintimidasi Dina di lorong kafe itu, sekarang keadaannya berbalik. Giliran Dion yang tertekan oleh Dina.
"DION...!"
Panggilan itu membuat Dion mendongak. Dina pun juga langsung mengernyitkan dahi.
Rianti tersenyum dan ikut mendekat. "Ngapain lo ke sini?" tanya Rianti.
Dion tersenyum canggung. "Ah... Elo di sini."
Dina menatap nanar. Ia menatap Rianti dan Dion secara bergantian.
"K-kenapa....?" tanya Dina dengan jari telunjuk yang bergerak ke arah Dion dan Rianti secara bergantian.
"Dia ini temen gue, Din... Namanya Dino. Dia temen SD gue dan sekarang kita juga ada di klub sepeda yang sama. Iya, kan?" Rianti menepuk pundak Dion pelan.
Dion tersenyum. Kali ini dia terlihat sudah tenang. "Iya."
Dina membelalak lagi. "T-tapi...."
"Kenapa lo marah-marah begitu ama Dion? Sampe ngatain dia psikopat segala? Kalian saling kenal juga apa gimana?" tanya Rianti kemudian.
Dina mengembuskan napas gusar. Dia ingin menjelaskan bahwa Dion adalah lelaki aneh yang sudah menguntitnya. Tapi ketika Dina baru hendak bersuara...
Satu manusia lainnya muncul.
"Dion...!?"
Asep yang baru keluar dari rumahnya terkejut melihat sahabatnya Dino yang berada di antara dua gadis yang tidak dikenalnya. Asep muncul dengan rambut kusut dan belekan di kedua matanya. Asep keluar rumah membawa satu kantong plastik berisi sampah kering.
Eh.
Dina semakin kebingungan saja.
"Masih pagi anjir... Lo udah dateng aja!" sergah Asep.
Dion tertegun sebentar. Tapi kemudian ia tersenyum penuh kemenangan. Hadirnya Asep bagaikan malaikat penyelamat baginya.
"Ah iya. Gue mau ngajak lo main. Mumpung hari minggu," ucap Dion.
Asep tertawa. "Hahahaha. Tumben amat lo. Yaudah kalo gitu. Kita mabar atau main PS nih?"
"Apa aja boleh," jawab Dion.
Rianti menatap Dion.
"Gue mau ke rumah temen gue, si Cecep. Ini orangnya," tukas Dion.
Deg.
Dina sontak terperanjat. Perlahan kepalanya mulai menekur karena merasa malu. Ternyata Dion berkunjung ke rumah temannya dan Dina malah memaki-makinya dan marah-marah tidak jelas. Dion tidak menguntitnya.
"Oo... Kalian temen satu sekolahan?" tanya Rianti lagi.
"Iya. Jawab Dion."
Rianti yang blak-blakan itu pun kemudian juga berkenalan dengan Asep. Selama interaksi itu Rianti terlihat sangat berbeda. Segala sisi tomboynya seperti di non aktifkan. Rianti bersikap manis dan sangat girly.
Sedangkan Dina kini terpekur. Tidak berani lagi untuk sekedar menatap, apalagi berbicara. Rasanya dia ingin segera menghilang.
Dion meliriknya pelan, lalu mengulum senyum. Ternyata dewa keberuntungan masih berpihak pada Dion. Dia selamat. Tak hanya itu, Dion juga berakhir sebagai korban dan dia berencana menjadikan semua yang terjadi itu sebagai alasan lain untuk mengganggu Dina nantinya.
"Yaudah yok! Ke rumah gue!" ajak Asep kemudian.
Dion mengangguk. Kedua lelaki itu kemudian beranjak masuk ke rumah Asep. Dion menuntun sepedanya. Sebelum masuk ke balik pagar rumah Asep, Dion menoleh ke belakang.
Tatapan mata Dion dan Dina beradu, tapi dengan cepat Dina langsung menundukkan pandangannya dengan wajah takut.
Setelah Dion dan Asep benar-benar masuk ke dalam rumah, barulah Dina melepaskan napasnya yabg tertahan. Saat itu juga Rianti memukulnya lagi dan langsung memarahi Dina.
"Lo ngapain, woy! Maki-maki orang gak jelas?" hardik Rianti.
Dina tidak menjawab. Dia teramat letih dengan situasi yang baru saja terjadi. Kesalahpahaman itu membuatnya takut. Tapi rasa malu yang kini ditanggungnya lebih banyak lagi. Dina berharap dan langsung berdoa dalam hatinya.
Semoga itu adalah pertemuannya yang terakhir kali dengan lelaki itu.
"Ditanya malah bengong!" sergah Rianti. "Lo kenapa marahin Dion?"
Dina menatap letih. "Masuk dulu deh. Aku haus."
**
"Jadi dia itu cowok yang selalu kamu ceritain?" tanya Dina.
Rianti mengangguk antusias. "Iya. Gue naksir ama dia dari jaman SD. Tapi setelah lulus SD gue nggak tahu lagi dimana keberadaan dia. Sampai kemudian gue ngeliat dia di komunitas sepeda itu," jelas Rianti.
"Jadi itu alasannya kamu tiba-tiba beli sepeda dan masuk komunitasnya juga?"
"Hehehehe." Rianti menyeringai malu. "Namanya juga usaha. Iya, kan?"
Dina hanya menghela napas pendek. Dia masih syok. Masih tidak percaya. Bahwa ternyata lelaki itu adalah sosok 'crush' Rianti yang selalu diceritakan siang dan malam.
"Awalnya dia nggak inget sama gue. Tapi setelah itu gue bantu ingetin. Dia itu pernah satu bangku ama gue di kelas tiga SD. Gue pernah dibikin nangis sama dia. Dia membagi meja pake garis. Gue nggak boleh ngelewatin garis itu. Kocaknya lagi... Bagian meja dia besar, sedangkan bagian meja gue sempit."
Dina mendelik. "Cih, ternyata dia sudah licik sejak kecil."
"Apa kata lo?" tanya Rianti.
Dina menggeleng. "Nggak ada apa-apa, kok."
Rianti kembali bersemu. Masih sibuk memceritakan kejahatan Dino padanya sewaktu kecil, yang menurut Rianti adalah hal yang romantis.
"Dan kamu suka sama dia karena dia selalu jahatin kamu kayak gitu?" Dina menatap heran.
"Iya dongs."
"Dasar sakit!" umpat Dina.
Mereka berdua kini duduk di ruang keluarga rumah Dina. Keduanya mengobrol santai seraya menikmati kopi buatan Dina. Kopi khas kebanggaannya. Kopi sacshet seribuan.
"Eh tapi ngomong-ngomong lo kenal sama dia?" tanya Rianti kemudian.
Dina lekas menggeleng. "Nggak kenal!"
"Gue pikir lo kenal. Terus kenapa lo malah marahin dia."
Bola mata Dina berputar memikirkan jawaban. "Akhir-akhir ini ada orang asing yang selalu wara-wiri di kompleks dan meresahkan. Aku pikir itu dia."
"Ah... Jadi begitu. Nggak mungkin lah. Karena Dion itu anak paling baiiik. Anak paling berbudi pekerti luhur yang gue kenal." Rianti berkata bangga.
Dina hanya tersenyum. Dia memilih untuk berbohong kepada Rianti. Awalnya Dina ingin berkisah panjang lebar tentang betapa aneh dan kacaunya hidup Dina setelah bertemu dengan lelaki itu. Dina juga ingin mengatakan bahwa sosok yang menghantuinya di dalam mimpi itu adalah Dion.
Tapi ternyata...
Dion adalah cowok yang selama ini dikisahkan Rianti sebagai pangeran impiannya. Dion adalah sosok yang selalu diceritakan oleh Rianti dengan mata berbinar-binar seperti hari ini.
Itulah alasannya Dina memilih bungkam.
"Dia itu gentle parah. Baik, ramah, pokoknya perfect deh. Sejauh ini hubungan gue ama dia lumayan membaik sih. Gue bahkan udah punya kontak w******p dia." Rianti masih berkisah antusias.
Dina pun tak banyak menanggapi. Pikirannya malah melayang mengingat tatapan Dion padanya ketika Dion akan masuk ke rumah Asep.
Tatapan itu.
Senyuman itu.
Entah kenapa, terasa sangat mengganggu.
Rianti masih antusias. Membicarakan tentang mimpi-mimpi dan harapannya kepada Dina terkait tentang Dion. Dina pun sebisa mungkin menanggapinya dengan baik.
Kedua gadis yang bersahabat dekat itu tidak pernah tahu. Bahwa hadirnya Dion...
Akan menjadi bala untuk persahabatan mereka di kemudian hari.