11. Teror

1167 Words
Suara lolongan seekor anjing yang panjang dan keras membuat Dina terbangun. Kedua matanya langsung terbuka lebar. Detak jantungnya bahkan langsung berpacu. Dina langsung duduk dengan helaan napas yang sesak. Dia melihat jam di layar handphone-nya dan ternyata waktu menunjukkan pukul 00.00 tepat tengah malam. Hujan pun juga turun sangat deras dan disertai oleh guntur juga kilat yang menyambar-nyambar. Dan suara lolongan anjing itu pun terdengar lagi di antara suara rintik hujan. Terdengar cukup mengerikan. Membuat bulu kuduk Dina seketika merinding. Dia cepat-cepat berbaring dan menarik selimut hingga menutupi wajah. Dina mencoba kembali tidur. Tapi beberapa saat kemudian ia meringis. Dina kebelet ingin buang air kecil. “Kenapa harus di saat seperti ini?” rintihnya. Dina akhirnya bangun. Dia keluar dari kamarnya. Suara pintu yang berderit itu bahkan terdengar sangat jelas dikesunyian malam. Suasana di luar sangat gelap sekali. Hanya ada satu lampu yang menyala di dapur, tepat di sebelah pintu kamar mandi. Dina meringkuk, memeluk tubuhnya sendiri dengan tangan yang menyilang. Dia meneguk ludah seraya memandangi pintu kamar mandi di ujung sana. Kenapa sekarang pintu itu terasa sangat jauh? Dina mengangguk. Dia kemudian mulai melangkah pelan. Tapi baru saja ia bergerak... Tuk. Tuk. Tuk. Dina seperti mendengar suara ketukan pelan dari balik kaca jendela. Bola mata Dina melirik pelan tanpa menoleh. Dia hanya berusaha melihat ke belakang, tanpa memalingkan wajah. “Mungkin itu hanya suara angin atau ranting yang beradu dengan jendela.” Dina berusaha untuk berpikir logis. Dia mengangguk-anggukkan kepala. Namun saat Dina hendak melangkah lagi, suara ketukan itu pun juga terdengar lagi. Tuk Tuk. Tuk. Helaan napas Dina terhenti sebentar. Dia berbalik pelan menatap jendela kaca yang sedang diguyur oleh lelehan air hujan itu. Dina ingin memastikan bahwa tidak ada sesuatu yang aneh di sana. Sesekali kilat masih menyambar dan membuat jendela itu terlihat terang, lalu kembali gelap setelahnya. Cukup menakutkan, bisa saja ada sosok mahluk mengerikan sedang berdiri menatapnya dari balik jendela itu. Membayangkannya membuat Dina semakin takut. Tapi ia tetap ingin memastikan bahwa ‘tidak ada apa-apa di sana’. Dina mendekat. Langkah demi langkah dengan suara degup jantung yang terdengar jelas. Setelah itu tangannya terulur menyibak tirai dari rajutan benang tipis itu. Gelap. Tidak ada apa-apa yang terlihat. Hanya terlihat aliran hujan yang mengalir pelan dan membuat kaca itu menjadi buram. Dina pun mengembuskan napas lega. Dia sudah menjadi tenang sekarang. Tapi saat akan menutup kembali tirai jendela... tiba-tiba kilat kembali menyambar dan saat itu juga... DINA MELIHAT ADA SESEORANG BERDIRI DI BALIK KACA ITU SEDANG MENATAPNYA. “AAA...!!!” Dina menjerit histeris. Ia langsung beringsut mundur hingga terjengkangdan terduduk di lantai. Dina menatap nanar. Matanya masih melotot dan napas yang memburu. Dina bisa melihat dengan jelas sosok yang berdiri di bawah hujan, dengan tudung yang menutupi kepalanya itu. Mata itu, senyuman seringai itu... dia mengenalnya, tapi Dina juga merasa tidak yakin. Apa dia sedang berhalusinasi karena rasa takut? Dina perlahan bangun kembali. Sepertinya dia memang berhalusinasi. Tidak mungkin sosok itu muncul di rumahnya. Di tengah malam dan hujan seperti ini. Dina mengumpulkan keberanian dan kembali mendekati jendela. Kali ini dia menyibak tirai itu lebar-lebar. Dina menatap seksama keluar sana. Dan ternyata... memang tidak ada apa-apa. “Haaaah.” Dina mengembuskan napas panjang. Dia kemudian menertawakan dirinya sendiri. “Ya... sepertinya aku terlalu memikirkan dia.” Dina geleng-geleng kepala sendiri. Dia tersenyum, lalu berbalik. Akan tetapi.... “AAA...!” Dina menjerit saat melihat sosok itu sudah berdiri di depannya. Membuat Dina tergekinjang hebat dan nyaris terkena serangan jantung. Sosok itu membuka tudung yang menutupi kepalanya, lalu kemudian menyeringai menatap Dina. “A-apa yang kamu lakukan? Kenapa kamu ada di sini?” tanya Dina dengan napas sesak. Dion menyeringai. Dia menatap Dina dengan tatapan yang terkesan aneh dan juga jahat. “Lo bersorak untuk gue, kan?” tanya Dion. Suaranya lirih, tapi terdengar berat. Dina menatap syok. Apa Dion mendatanginya hanya untuk bertanya seperti itu? “A-aku sudah menjawabnya,” tukas Dina. Dion menyeringai. Dia kemudian melangkah mendekati Dina. Spontan Dina melangkah mundur. Dia kini masih berusaha tenang meski otaknya sudah meminta Dina untuk menjerit agar Amelia dan Tio bangun, kemudian menyelamatkannya. “Tapi kenapa? kenapa kamu bersorak untuk gue? LO SUKA KAN, sama gue?” Deg. Dina melotot mendengar pertanyaan itu. “Gila. Kamu benar-benar gila!” “Lo suka, kan...?” Dion bertanya lagi. Dina yang terus melangkah mundur kemudian terkejut saat punggungnya sudah beradu dengan jendela kaca di belakangnya. Sementara Dion semakin dekat, membuat Dina diselimuti rasa cemas dan takut yang memuncak. “Kamu psikopat gila!” pekik Dina. Dion tersenyum. “Iya. Gue memang sudah tergila-gila sama lo.” Dina membelalak. “Lo suka, kan sama gue?” Dion lagi-lagi mengulangi pertanyaan yang sama. Dina menggeleng dengan tatapan takut. “Nggak. Aku nggak suka sama kamu!” “Jangan bohong!” “Aku tidak berbohong.” Tatapan Dion berubah tajam. Dina meneguk ludah. Tatapan matanya tertuju pada kamar sang mama di ujung sana. “MAAA...! OM TIOOOO...! Ada orang gila yang masuk ke dalam rumah!” Dina berharap mereka segera keluar. Akan tetapi... Tidak terjadi apa-apa. “MAAAA...! OM TIOO...!!!” Dina berteriak lagi. Tapi anehnya mereka tidak juga keluar dari dalam kamar. Di tengah kebingungan itu, Dion terkikik. Suara tawanya itu terdengar menakutkan. “K-kenapa kamu tertawa?” tanya Dina dengan suara bergetar. Dion menyeringai. “Mereka tidak akan keluar.” Sebuah kalimat yang membuat Dina tidak mengerti. “A-apa maksud kamu?” “Mereka tidak akan bisa keluar, karena gue sudah MEMBUNUH mereka semua,” jawab Dion. Dina jelas terhenyak. Dia menatap tak percaya. “Sekarang hanya ada kita berdua. Jadi tolong jawab sekarang... lo suka sama gue, kan?” tanya Dion seraya tersenyum jahat. Dina menggeleng. Air mata mulai menetes sendiri tanpa ia sadari. “KAMU GILA! psikopat!” pekik Dina. “Aku tidak suka dengan orang gila seperti kamu!” Jawaban Dina membuat sorot mata Dion kembali tajam. Rahang lelaki itu tampak menegas. Dia seperti hewan buas yang siap untuk memangsa Dina hidup-hidup. “Jadi lo nggak suka sama gue?” “Iya. AKU TIDAK SUKA!” Dina menjawab dengan napas sesak. Dion terdiam. Dia kemudian mengangguk-angguk samar. Di detik berikutnya tangan Dion menelusup ke dalam kantong belakang celananya. Dina pun juga memerhatikan gerak-geriknya itu dan kemudian... “AAA...!” Dina memekik lagi saat Dion meda mengacungkan sebuah benda mengkilat yang memiliki noda darah di sana. Pisau. Dina menggeleng. Sedangkan Dion kini menatap pisau itu dengan bola mata yang bergerak-gerak aneh. Setelah itu Dion beralih menatap Dina yang kini sudah sangat ketakutan dengan cucuran peluh yang sangat deras di wajahnya. “Karena lo nggak mau mengaku... maka lo juga akan menyusul mereka semua!” Dina langsung memicingkan mata saat pisau itu menghujam ke perutnya. Tapi kemudian... Eh. Dina terengah-engah. Dia menatap langit-langit kamarnya.Tatapannya kemudian beralih pada handphone-nya yang bergetar di sisi tempat tidur. Dina kemudian memejamkan matanya sejenak seraya mengatur napas. Pamggilan telepon dari Rianti itu rupanya sudah menyelamatkan Dina dari pembunuhan di dalam mimpinya. Ya... Dina bermimpi buruk. Tak lama setelah itu Dina kembali membuka mata. “Hah... kenapa aku bermimpi buruk seperti itu?”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD