Dina keluar dari ruangan Tio sembari menghela napas panjang. Dia masih belum yakin untuk menerima semua bentuk tanggung jawab yang sudah Tio sampaikan. Akan tetapi sang papa sambungnya itu sudah berkeras hati untuk mengurus semuanya dan meminta Dina untuk menerimanya. Tidak boleh menolak lagi. Dina kemudian berjalan kembali menembus lorong kantor itu dengan tatapan nanar. Dia merasa biasa saja. Terasa tak ada yang istimewa. Karena jauh di dalam hati kecilnya, yang dinantikan oleh Dina masihlah kesadaran Emilia, ibu kandungnya. Namun Dina juga tidak lagi pernah memupuk perasaan harap pada sang ibu. Dia hanya sekedar menyimpan harap, tapi tidak lagi menyiraminya agar harapan itu tidak tumbuh menyiksa diri. Harapannya hanya kecil seperti tunas, tapi tidak pernah tumbuh lagi.
Sementara itu Rianti yang berjalan di samping Dina tampak sangat sumringah. Bagaimana tidak, ketika mereka akan pulang, Tio memberi mereka uang jajan dalam jumlah yang cukup banyak untuk ukuran anak SMA seperti mereka berdua. Dina mendapatkan uang saku yang sudah disiapkan di dalam amplop. Dina belum memeriksa isinya. Namun selain itu, ia dan Rianti masing-masing mendapatkan uang lima ratus ribu rupiah dari Tio.
“Gila! Kita bisa belanja nih, Din!” Rianti memekik girang. “Bokap tiri lo beneran tajir parah.”
Dina hanya tersenyum. Dia tidak ingin membahasnya. Bagi Dina, itu bukanlah suatu hal yang patut dan pantas untuk dibanggakan.
“Kita langsung ke mall aja, gimana?” usul Rianti lagi.
Dina berhenti melangkah, lalu menatap Rianti. Sahabatnya itu pun juga balik menatap Dina. Menanti apa yang akan Dina katakan padanya.
“Apa? Kita langsung ke mall aja?” tanya Rianti lagi.
Dina ingin meledak. Tapi dia masih bisa menguasai diri. Dina akhirnya tersenyum.
“Kamu mau langsung ke mall?” tanya Dina.
Rianti mengangguk. “Iya.”
“Tapi sekarang aku ngerasa capek sekali. Kalo kamu tetep mau ke mall… kamu pergi sendirian aja.” Dina berkata dengan sangat hati-hati.
Rianti langsung merengut. “Yah, masa gitu sih! Nggak asik banget lo ah.”
Dina kembali memaksakan bibirnya untuk tersenyum. “Aku serius. Nggak apa-apa kok.”
Rianti memutar bola matanya. Berpikir sebentar. Alasan Rianti kekeuh untuk langsung belanja ke mall adalah karena dia memang memiliki beberapa item barang yang sudah diincar jauh-jauh hari. Sudah beberapa hari ini Rianti berada di fase mode irit. Dia menyisihkan uang jajan hariannya untuk bisa membeli barang itu. Dan sekarang papa sambung Dina memberinya uang tunai melebihi harga barang yang diinginkan. Tentu saja Rianti jadi tidak sabar untuk membelinya.
“Ya udah deh… kalo gitu gue ke mall sendirian aja. Lo kasih tau ibuk, ya!” pesan Rianti.
Dina mengangguk. “Iya. Tenang saja.”
Setelah itu Rianti pun melangkah pergi lebih dulu. Ia kemudian berbalik sebentar dan melambaikan tangannya.
Dina pun membalas lambaian tangan itu seraya tersenyum. Tapi saat Rianti berbalik, senyum itu sepenuhnya sirna. Raut wajah Dina berubah hambar.
Dina mendesah pelan. “Hah… hari ini dia pun jadi menyebalkan lagi.”
Tepat saat itu juga, tiba-tiba Rianti kembali berbalik dan menghampiri Dina kembali. Membuat Dina membeku dan sedikit takut. Apa mungkin Rianti mendengar perkataannya? Itu jelas tidak mungkin. Rianti tidak memiliki pendengaran super seperti itu. Dia bahkan sedikit budeg.
“A-ada apa?” tanya Dina saat Rianti sudah dekat.
Rianti menyeringai senang. “Gue cuma mau ngomong… kalo besok-besok lo mau ke sini lagi… ajak gue terus ya.”
Setelah berkata seperti itu, Rianti pun kembali berlari pergi dengan riang. Sementara Dina kini terpana. Bukankah itu sedikit tidak sopan? Dina yang notabene masih ada sangkut pautnya dengan Tio bahkan merasa enggan menerima uang lelaki itu. Tapi Rianti…
Dia kini mengharapkannya.
Dina memijit pelipisnya. Setelah itu dia pun juga ikut melangkah pergi.
Begitu keluar dari gedung perkantoran, Dina sudah tidak melihat sosok Rianti lagi. Mungkin dia sudah naik ke bus, taksi. Apapun itu Dina tidak peduli. Dina melangkah di trotoar dengan wajah bimbang.
“Bagaimana ini? Aku memang membutuhkan uang, tapi….”
Dina masih menimang-nimang. Tapi kemudian ia mengangguk-angguk samar.
“Sepertinya aku punya solusi untuk semua ini. Aku hanya perlu mencatat semua uang yang aku terima dari om Tio dan ketika sudah bekerja nanti… aku akan membayarnya?”
Sebuah pemikiran yang sebenarnya cukup rumit. Dina bingung sendiri. Ia menengadah menatap langit sore yang cerah. Hangatnya mentari langsung membelai wajahnya yang putih.
“Aku akan menerima seperlunya saja,” ucap Dina kemudian.
Sebelum pulang ke rumah, Dina menyempatkan diri untuk singgah ke sebuah warung bakso. Dia ingin membelikan bakso untuk ibu Rianti di rumah. Tapi saat memasuki kedai bakso itu, Dina terkejut melihat dua orang lelaki yang sedang makan bakso di sana.
Mereka adalah Dion dan Asep. Keduanya masih memakai seragam sekolah mereka.
Deg.
Dina sempat membeku.
Dion dan Asep kini menatap padanya, tapi kemudian Dion langsung membuag muka.
Dina pun berdehem dan memesan bakso pada penjualnya. “Bungkus tiga ya, Bang. Kuahnya di pisah aja.”
“Oke siap, Neng.”
“Pake telur dua ya, Bang… yang satu bakso urat aja.”
“Oke, Neng.”
“Yang bakso urat lebihin kecapnya ya, Bang.”
“Oke, Neng.”
Dion tergelak. Hal itu membuat Dina langsung menatap pada cowok itu.
“Apa dia sedang menertawakan aku?” tanya Dina dalam hatinya.
Senyum Dion yang terkesan mengejek itu sedikit menyebalkan. Dina memilih tidak meladeninya. Mereka berdua bertingkah seperti orang yang tidak saling mengenal. Meskipun baru kemarin mereka duduk di meja makan yang sama.
Dina pun duduk sebentar sembari menunggu pesanannya siap.
Saat itu juga ia secara tidak sengaja beradu tatap dengan Asep.
Asep tersenyum. Dina pun juga tersenyum tipis.
“Hei. Apa kabar?” sapa Asep.
Dina terkejut. Tak mengira bahwa Asep akan menyapanya. Suasana pun terasa canggung untuk Dina. Kedai bakso itu cukup lengang. Tempatnya sempit dan kecil. Hanya mereka bertiga sebagai pembeli di sana. Dan posisi duduk Asep pun sangat dekat dengan Dina. Itulah kenapa Asep bisa dengan mudah mengajak Dina berbincang.
“Baik,” jawab Dina singkat.
“Kamu sudah pindah rumah, ya?” tanya Asep lagi.
Dina menghela napas sesak. Tatapannya malah tertuju pada Dion yang tampak mengulum senyum.
Kenapa?
Kenapa Dion tersenyum saat Asep bertanya seperti itu?
“Hehe. Sorry ya… gue banyak tanya,” tukas Asep lagi.
Dina memaksakan bibirnya untuk tersenyum. Ia tidak mungkin menjawab kalau dia sudah diusir dari rumah itu bukan? Sudah jelas sekali kalau Dina tidak akan menjawab pertanyaan itu.
Tapi…
Satu hal yang masih mengganjal adalah…
Kenapa Dion tersenyum meledek seperti itu?
Dina meneguk ludah dan berusaha bersikap acuh. Dia tidak lagi menoleh sedikitpun pada Dion dan Asep. Siapa yang akan menyangka dia bertemu dengan Dion di tempat seperti ini. Apa dunia memang sempit sekali? Tapi satu hal yang tetap mengganggu adalah… kenapa Dion tersenyum?
Apa mungkin Dion tahu apa yang terjadi padanya?
Jika dia tau, berarti Rianti yang menceritakannya?
Dina menelan ludah dengan susah payah. Dia jelas merasa sangat malu jika masalah pribadinya itu diketahui oleh orang seperti Dion.
Dina lekas menyingkirkan pikiran itu dari kepalanya. Rianti terkadang memang menyebalkan. Tapi dia tidak akan menceritakan masalah pribadi Dina kepada Dion bukan?
Ya, Dina percaya Rianti tidak akan melakukan hal itu.
“Ini, Neng pesanannya!”
Dina bangun berdiri dan langsung membayar. Dia tersenyum lega saat menerima uang kembalian dari sang pembeli. Akhirnya Dina bisa pergi dari tempat itu. Tapi saat ia hendak melangkahi ambang pintu…
Dina mendengar Dion bersuara.
“Lo jangan nanya kayak gitu… KARENA DIA ITU LARI DARI RUMAHNYA.”
**
Bagas duduk di tepi lapangan dengan raut wajah kesal. Katanya tim Garuda adalah perkumpulan pemain handal yang sudah teruji kemampuannya. Tapi ternyata mereka semua jauh dari ekspektasi Bagas. Dia menjadi kesal sendiri. Raut wajah Bagas tidak bisa lagi dia kondisikan. Tatapan matanya begitu sengit dengan kening berlipat.
Bagas merasa bahwa hanya dia seorang diri yang berusaha keras dalam berlatih. Anggota klub yang lainnya tidak serius dan lebih banyak bercanda. Apalagi para senior yang sudah lebih dulu bergabung dalam klub. Mereka malah memandang remeh Bagas dan tidak mau mendengarkan setiap masukan yang Bagas berikan.
“Dasar manusia tidak berguna,” umpatnya.
Bagas mengambil botol minumnya dan meneguknya hingga habis. Lelehan air kini membasahi leher dan kerah bajunya yang juga sudah basah karena keringat. Dia teringat saat terakhir kali bermain bersama Dion. Ketika itu mereka disatukan menjadi satu tim. Bagas tidak bisa menampik bahwa hari itu dia merasa sangat bersemangat. Dion adalah rekan yang bisa diandalkan dalam membangun serangan-serangan yang mematikan.
“Kenapa? Kamu terlihat tidak bersemangat?” seorang lelaki berkumis duduk di sebelah Bagas.
Dia adalah wakil pelatih yang cukup dekat dengan Bagas.
“Permainan mereka semua sangat menggelikan,” omel Bagas.
“Coba aja kalau Dion bergabung dengan tim ini. Kamu tidak perlu menghiraukan mereka. Kamu dan Dion saja rasanya sudah lebih dari cukup,” ucap lelaki itu lagi.
Bagas tertegun. Ucapan wakil pelatih itu sepenuhnya benar. Seandainya Dion ada di dalam tim, maka Bagas tidak terlalu membutuhkan mereka lagi. Di mata Bagas mereka hanyalah pion-pion yang tidak berguna.
“Jadi kenapa waktu itu kamu menolak dia untuk bergabung dengan tim?” tanya lelaki itu lagi.
Bagas terdiam.
“Apa kamu takut tersaingi?”
Tidak.
Bukan itu alasannya.
Satu-satunya alasan kenapa Bagas menggagalkan Dion bergabung dengan tim adalah karena rasa cemburu.
“Kenapa diam?” tanya lelaki itu lagi.
Bagas hanya mendesah. Dia pasti akan ditertawakan jika mengungkap jawabannya. Sekarang Bagas merasa sedikit menyesal karena sudah mengeliminasi Dion dari daftar anggota tim Garuda.
Sang wakil pelatih kini mengejek Bagas. Hingga Bagas merasa gerah dan kemudian menatapnya.
“Kenapa? Kamu marah, ha?” tanya wakil pelatih itu ketika Bagas menatapnya lekat-lekat.
“Apa kita bisa membawa kembali Dion ke dalam tim? Tanya Bagas dengan suara lirih.
**
Dina sudah selesai mandi.
Dia kini terduduk di tepi ranjang dengan rambut yang masih basah. Kipas angin di depannya berputar pelan. Rambutnya beterbangan saat arah angin menyapu wajahnya. Dina tertegun dalam pekatnya lamunan. Mangkok berisi bakso di atas meja belajar tak disentuhnya sama sekali. Selera makannya mendadak hilang. Padahal Dina sudah lama rindu dengan jenis makanan itu. Tapi ingatannya masih saja dipenuhi oleh kata-kata Dion.
Sudah jelas bahwa Dion mengetahuinya dari Rianti. Tapi kenapa? Kenapa Rianti harus menceritakannya? Kenapa Rianti harus membahas tentang masalah pribadinya bersama lelaki itu?
Rasa kesal kembali menguasai hati.
Dia berusaha menepisnya, tapi kali ini Dina merasa bahwa Rianti sudah sedikit keterlaluan. Entah karena Dina merasa malu atau karena dia memang tidak ingin orang seperti Dion tahu masalah pribadinya.
“AKU PULAAAANG…!”
Itu adalah suara Rianti.
Dia pulang tepat saat adzan magrib berkumandang. Sang ibu sudah pergi ke masjid di seberang jalan karena hari ini ada acara pengajian yang diisi oleh salah satu ustad kondang ibukota. Di luar sana masih terdengar suara Rianti yang berteriak-teriak memanggil ibunya. Dina bisa saja keluar dan memberitahu bahwa ibunya sedang tidak ada di rumah, tapi…
Dina hanya diam.
Masih duduk di tepi ranjang dengan tatapan nanar.
Tak lama kemudian suara tapak kaki Rianti terdengar lebih dekat dan benar saja. Wajah tengilnya muncul di depan pintu.
“Ibuk mana, Din?” tanya-nya.
Dina menatap Rianti. “Ibuk ke masjid. Katanya ada pengajian.”
Rianti mengangguk. Dia kemudian langsung menyeringai seraya mengangkat sebuah kantong belanja.
“TARAAA… akhirnya gue juga bisa beli ini!” pekik Rianti girang.
Wajah Dina biasa saja. Dia ingin mempertanyakan kenapa Rianti menceritakan masalahnya kepada Dion. Tapi untuk sekedar bicara… rasanya terlalu berat. Dina membenci dirinya sendiri karena tidak punya keberanian sama sekali untuk bertanya.
“Kamu beli apa?” malah pertanyaan tidak penting yang keluar dari bibir Dina.
Rianti tersenyum. “Wait and see, okey!”
Rianti kemudian mengeluarkan apa yang dibelinya. Tapi ketika melihat benda itu, Dina langsung tersentak.
Rianti mengangkat dua buah tas yang sama persis dengan miliknya dan Bagas.
“Tas itu….” jari telunjuk Dina terangkat pelan.
Rianti mengangguk. “Iya. Jujur sejak kemarin itu gue pengen banget punya tas yang sama dengan lo dan Bagas. Jadi gue beli deh… besok gue bakalan kasih tas yang cowoknya untuk Dion.”
Dina benar-benar seperti merasa tercekik.
Kenapa Rianti selalu saja menginginkan hal yang sama dengannya?
Kenapa?
“Tapi kenapa modelnya terlalu sama?” tanya Dina. Dia sudah sangat kesulitan untuk sekedar tersenyum.
Rianti tersenyum. “Gue maunya yang sama persis kayak punya lo. POKOKNYA APAPUN YANG LO PUNYA… GUE JUGA HARUS PUNYA!”