57. Pesan Dari Surga

2047 Words
Kelopak mata itu kembali terbuka lebar. Dina sama sekali tidak bisa tertidur lelap. Dia sangat gelisah malam ini. Udara terasa dingin. Kipas angin pun menyala dan mengarah padanya, tapi Dina merasa gerah. Dia kepanasan. Padahal Dina juga sudah menghantam selimutnya. Dia hanya memakai baju kaos tipis dan celana pendek. Kaca jendela kamar Rianti juga sedikit dibuka. Tapi rasa gerah itu tetap terasa, Dina pun tahu di mana sumber panas itu berasal. Yaitu dari hatinya. Dina melirik Rianti yang sudah terlelap di sampingnya. Rianti tampak sangat nyenyak. Matanya sedikit terbuka saat tidur. Dina kesal padanya. Dina marah padanya. Tapi dia tidak mempunyai alasan yang cukup dan masuk akal untuk meluapkan segala amarah. Tatapan Dina kembali tertuju pada dua tas yang tergantung di dinding. Tas itu adalah miliknya dan milik Rianti. Sedangkan tas yang akan diberikan untuk Dion sudah dikemasnya kembali dengan sangat rapi. Dina bahkan semakin kesal saat melihat mainan kunci berbentuk buah stroberi warna merah yang tergantung di kedua tas itu. Rianti sendiri yang membelinya. Lagi-lagi… Dia ingin ‘sama’ seperti Dina. Dina terbangun. Dia mendekati tas miliknya itu dengan napas sesak. Kedua tas itu terlihat sama persis. Dina bahkan tidak bisa lagi membedakan mana yang miliknya. Tangannya kemudian menggenggam mainan kunci itu dan meremasnya kuat. Dina ingin mencopotnya. Mengambil mainan kunci itu dari tasnya, lalu melemparnya sejauh mungkin.Tapi kemudian… Genggaman tangannya itu melemah. “Aaah… kenapa aku jadi sangat terganggu? Kenapa aku menjadi sangat sensitif malah ini?” Rintihnya. Dina terduduk lemas dengan kerongkongan yang terasa kering. Dina melamun di tengah sunyinya malam. Dia termenung. Dan tanpa ia sadari… Air matanya perlahan mulai mengalir. Dina menangis dalam diam. Dia tidak terisak. Bahunya tidak bergetar. Tak ada suara yang keluar sama sekali. Wajah dan tubuhnya tenang sekali. Seperti patung yang duduk diam. Hanya air mata saja yang terus mengalir di pipinya. Dina pun juga tidak mengerti kenapa dia menangis malam ini. Entah karena Dion yang mengetahui permasalahannya. Entah karena Rianti yang selalu menirunya. Atau karena ia merasa rendah diri karena Tio mengasihinya. Harusnya hari ini Dina berbahagia karena Tio sudah menyokong penuh urusan finansialnya. Namun… Kenapa rasanya hampa sekali? Dina tetap merasa kosong. Dia tetap merasa hampa. Bagas bahkan sudah kembali seperti dulu. Hubungan percintaannya sudah baik-baik saja. Tapi kenapa dia masih bersedih? Kenapa dia tetap tidak bahagia? Hari-hari yang ia lalui selama tinggal bersama Emilia juga terasa berat, tapi… Dina masih bisa tertawa. Dia masih memiliki kesenangannya. Dia masih bisa merdeka di kamarnya yang super sempit. Dia masih bisa tersenyum menikmati kopi sasetan seribu di kamarnya yang nyaman. Dina ingin menentang kenyataan. Tapi malam ini dia tidak bisa membohongi perasaannya bahwa… Sejahat apapun mama kandungnya. Sepedih apapun hidup yang ia lalui di rumah itu… semuanya jauh terasa lebih baik daripada menumpang di rumah orang lain seperti ini. Walaupun ibu Rianti memperlakukannya dengan sangat baik. Walaupun semuanya terlihat semakin membaik setiap harinya. Tapi… Kenapa semua tetap terasa hampa? Lama Dina menangis. Hingga kemudian bibirnya bergetar pelan dan satu kata itu akhirnya terlontar juga. “M-Mama….” ** Suasana di kelas Dion begitu ramai. Pasalnya guru mata pelajaran Biologi tidak masuk pagi ini. Mereka juga tidak melapor ke kantor majelis guru. Semuanya sengaja agar bisa menikmati keseruan di jam kosong. Dasar kelakuan anak jaman sekarang. Wajah semua murid tampak kusut ketika belajar. Tapi sekarang mereka semua tersenyum ceria. Suara gelak tawanya pun terdengar renyah. Ada yang asyik bergosip. Ada yang menyanyi-nyanyi ria seraya menabuh meja sebagai gendangnya. Ada juga tipikal murid rajin yang tetap setia dengan bukunya di tengah keributan yang terus berlangsung. Ada juga yang memilih tidur dengan air liur yang sudah menetes di ujung bibirnya. Dan Dion… Kini sibuk dengan handphone-nya. Sudah lama dia tidak membuka akun i********: palsunya. Dion hanya iseng memeriksa. Tapi ternyata… ada banyak pesan yang sudah dikirimkan oleh Dina ke akun yang bernama ‘Pengagum Rahasia’ itu. Dion yang tadinya duduk dengan menjuntaikan kaki ke atas meja langsung memperbaiki posisi duduknya dengan baik untuk membaca pesan itu. Tidak tanggung-tanggung. Ada lima belas pesan yang belum dibaca dan semuanya dari Dina. “K-kenapa banyak sekali?” desis Dion. Dia mulai membaca satu persatu pesan itu. ‘Hai’ ‘Apa kamu sibuk?’ ‘Halo’ ‘Aku membutuhkanmu’ Helaan napas Dion berubah sesak membaca pesan itu. Apalagi Dina mengirim semua pesan itu di tengah malam buta. Kenapa? Apa yang terjadi dengan Dina? Dion menggulir pesan itu lagi. Kali ini sebuah pesan yang cukup panjang. ‘Malam ini aku sangat sedih sekali. Aku tidak tau kenapa… tapi malam ini air mataku mengalir deras tanpa henti. Aku bahkan sangat kesulitan untuk sekedar menahan air mata. Hah… kenapa hidup sesulit ini? Apa orang seperti aku memang tidak berhak merasakan bahagia walau sebentar saja?’ Dion menjeda sejenak. Raut wajahnya kini berubah serius. Ia menghela napas sebentar, lalu lanjut membaca pesan dari Dina itu. ‘Kenapa? Kenapa mereka menganggap aku senang? Kenapa mereka berkata aku beruntung? Sedangkan yang aku rasakan hanyalah duka dan luka. Aku lelah menangis diam-diam sepanjang malam. Kadang aku menyesal…. menyesal kenapa malam itu aku tidak mengakhiri semuanya. Aku tau kamu akan memarahiku lagi karena berkata seperti ini. Tapi… aku benar-benar tidak sanggup lagi. Aku lelah berpura baik-baik saja. Aku penat dengan segala kenyataan yang menyakitkan. Tolong… aku tidak tau lagi harus bagaimana. Lelah… aku sangat lelah sekali.’ Dion menghela napas sesak. “Kenapa? Kemarin aku masih melihatnya di kedai bakso? Dia terlihat baik-baik saja. Tapi… kenapa dia seperti ini lagi?” Dion berpikir sejenak. “Apa jangan-jangan….” Dion meneguk ludah. “Apa mungkin karena perkataan aku kemarin?” Dion memang melihat bahwa Dina terkejut ketika dia berbicara pada Asep. Dion pun memang sengaja berkata seperti itu untuk memancing Dina agar bereaksi padanya. Agar Dina menatap padanya. Agar Dina bicara padanya. Setidaknya Dina bisa marah padanya. Itulah tujuan Dion berkata seperti itu. Tapi Dina tidak melakukan apa-apa. Dina tetap mengacuhkannya seperti orang asing. Dia hanya berlalu pergi begitu saja. Dion tertegun. Sekarang dia merasa cemas dan khawatir. Mendadak ingatannya melayang pada sosok Lani. Dion sudah pernah kehilangan sahabatnya yang memilih untuk mengakhiri hidupnya dengan bunuh diri. Apakah Dina akan berakhir dengan nasib yang sama? Deg. Dion jadi gelisah. Dia buru-buru membalas pesan itu. ‘Hei! Apa yang kamu pikirkan, ha? Kamu tidak boleh berpikir kolot seperti itu. Apa kamu pikir kematian bisa menyelesaikan semuanya? Tanpa kamu, dunia akan tetap berjalan. Tanpa kamu, hidup orang-orang itu akan tetap berlanjut. Mungkin mereka akan menangisi kepergian kamu beberapa saat. Mungkin mereka masih membicarakan kamu selama beberapa hari. Tapi setelah itu… kamu akan menghilang dari ingatan mereka. Mungkin akan ada masanya kamu dikenang, tapi semua itu tidak akan mengubah apa-apa. Apa yang kamu harapkan dengan memilih mati? Mengharapkan mereka menyesal? Mengharapkan mereka merasa bersalah? Semua itu TIDAK AKAN TERJADI. Jika kamu memilih kematian, maka yang berakhir hanyalah kisahmu sendiri. Hidup mereka akan terus berlanjut. Kamu harus tetap HIDUP. Tunjukkan kalau kamu bisa bahagia. Kesedihan itu sebenarnya adalah pilihan. Ketika kamu memilih untuk bersedih, maka daun yang jatuh dari pohonnya pun bisa dijadikan alasan untuk menangis. Tapi jika kamu memilih untuk bahagia, maka angin sejuk yang membelai wajah pun bisa dijadikan alasan untuk tersenyum. Mungkin memang tidak mudah. Tapi pada akhirnya kamu memang harus menjadikan diri kamu sendiri sebagai alasan untuk tetap hidup. Pada akhirnya kamu memang hanya memiliki DIRI KAMU SENDIRI. Pada akhirnya memang hanya diri sendiri-lah yang bisa diandalkan. Karena itu tidak ada alasan untuk bersedih hanya karena ‘ORANG LAIN’. Kita memang hanya figuran dalam cerita hidup orang lain. Tapi kita adalah PAMERAN UTAMA dalam jalan cerita hidup kita sendiri. Jangan terfokus pada peran sebagai figuran. Fokuslah sebagai pameran utama. Kamu berharga… karena itu kamu harus tetap bertahan agar tetap ADA.’ Dion mengirim pesan itu. Ia bahkan tidak sadar jemarinya sudah mengetik pesan yang begitu panjang. Rasa bersalah, cemas, rusuh dan bimbang kini berbaur jadi satu di pikirannya. Dion terus menatap layar handphone-nya. Berharap Dina segera membaca pesan itu dan membalasnya. Setidaknya Dion bisa bernapas lega jika Dina membalas pesan itu. Namun… Akun i********: Dina tidak aktif. “Dia pasti baik-baik saja, kan? Dia pasti sedang berada di sekolahnya sekarang bukan?” bisik Dion lagi. Sementara itu di tempat yang berbeda. “Kamu kenapa bengong?” tanya Bagas. Dina tersadar dari lamunannya, lalu tersenyum. “Ah. Nggak kenapa-napa kok.” “Ke kantin yuk!” ajak Bagas lagi. “Aku tadi sudah makan bekal yang dibawa dari rumah.” Bagas mengangguk. “Yakin kamu nggak mau makan lagi?” Dina menatapnya. “Kamu mau makan? Kalo kamu mau makan, aku temani saja.” Bagas menggeleng. “Aku sedang mengurangi porsi makan.” Bagas yang tadinya berdiri, beranjak duduk di sebelah Dina. Dina mengernyitkan dahi. “Mengurangi porsi makan? Kenapa?” “Bisa dikatakan sejenis Diet. Agar tubuh aku lebih fit ketika turnamen dimulai,” jawab Bagas. “Bukannya kamu harus lebih banyak makan agar lebih fit?” tanya Dina. Bagas tersenyum. “Nggak selalu begitu. Justru makan banyak bisa membuat tubuh jadi lelah. Apalagi kalau kadar gula sudah berlebih. Makanya ketika kita makan nasi terlalu banyak, kita malah mengantuk dan jadi malas bergerak.” Dina mengangguk. “Oh iya,” ucap Dina kemudian. “Rianti juga membeli tas yang sama dengan punya kita.” “Tas couple?” tanya Bagas. “Iya,” jawab Dina. Bagas mengernyit. “Lalu tas yang untuk pria-nya untuk siapa? Kan, belinya harus sepasang.” “Katanya sih, untuk Dion.” Bagas tertawa. “Hahaha. Ternyata dia bucin juga, ya.” Dina menggigit bibirnya. Bukan respon seperti itu yang ia inginkan. Padahal awalnya Dina ingin mengadu tentang Rianti yang meniru seperti itu. Dina ingin mengadu bahwa ia merasa tidak nyaman. Tapi respon Bagas yang malah tampak senang itu membuat Dina mengurungkan niatnya. Dia kembali memendam perasaannya. Jika saja Bagas berkomentar sedikit saja. Menyuarakan bahwa kenapa Rianti harus membeli persis sama. Tentu Dina juga jadi mempunyai wadah untuk berkeluh kesah. Tapi Bagas biasa saja. “Apa mereka sudah jadian?” tanya Bagas lagi. Dina menggelengkan kepala. “Entahlah. Aku tidak tahu.” Bagas kembali menertawakan Rianti yang membelikan tas untuk Dion. Tapi Dina tidak terlalu menanggapinya lagi. “Hahaha. Dulu aku sempat mengira kalau Rianti itu tidak suka laki-laki. Kamu tahu sendiri kan… bagaimana tomboinya dia. Tapi sekarang… aroma parfumnya bahkan bisa tercium dari jarak lima meter,” ucap Bagas lagi. Dina hanya memaksakan sebuah senyum tipis. Ia kemudian menatap Bagas perlahan. “Kamu udah nggak marah lagi sama Dion?” “Nggak.” Dina tersenyum. “Bagaimana bisa? Sebelumnya kamu sangat membenci dia?” Bagas tersenyum. “Entahlah. Semua hilang begitu saja. Lagi pula bukannya memang tidak baik menyimpan dendam. Iya, kan?” Dina hanya mengangguk. Agak menyebalkan memang. Konflik itu terjadi antara Bagas dan Dion. Tapi kedua lelaki itu malah bisa berdamai dan berkomunikasi. Sedangkan Dina? Hubungannya dan Dion berakhir buruk. Bisa dikatakan bahwa Dina berakhir menjadi penjahatnya dalam perselisihan itu. ** Sore ini Dina hanya sendirian di rumah Rianti. Sang ibu menemani tetangganya untuk pergi pijat ke kampung tetangga. Sedangkan Rianti pergi latihan karate. Dina duduk di teras rumah sembari mengeringkan rambutnya yang basah. Dia baru saja selesai beres-beres rumah, lalu kemudian mandi. Dina menjuntaikan kakinya. Ia merasa sedikit lebih tenang dalam kesendirian itu. “Hah… ternyata aku lebih senang sendiri seperti ini,” bisiknya. Dina kemudian beralih memeriksa handphone-nya. Pupil matanya pun melebar saat melihat bahwa pesannya sudah dibalas oleh sang teman online. Sebuah pesan yang sangat panjang dan membuat Dina tertegun saat membacanya. Bola mata itu terlihat bergerak mengikuti baris demi baris yang terasa tidak mau habis. Kedua pundak Dina naik turun saat membaca pesan itu. Bibirnya bergerak-gerak pelan. Sesekali Dina mengambil jeda untuk menghela napas. Pesan itu agaknya langsung menembus sanubarinya. Membuat Dina tertegun lama. Dia bahkan membacanya lagi. Mengulang-ulang setiap kalimat yang terasa menguatkannya. Dina tersenyum. “Apa ini pesan dari surga?” Ada kehangatan yang terasa menjalati hati. Membuat langit sore tampak lebih indah. Seperti yang ditulis di pesan itu. Langit sore saat ini pun ternyata bisa dijadikan alasan untuk berbahagia. Air mata Dina menetes lagi. Tapi kali ini bukan karena bersedih. “Hah… kenapa aku malah menangis lagi, haha?” lirihnya seraya menyeka air mata. Dina merasa lebih tenang. Dia akan menyimpan pesan itu dan membacanya lagi saat jiwanya bimbang. Dina sibuk menyeka air mata. Tapi saat menatap ke depan sana, gerakan tangannya yang sedang menyeka air mata itu pun membeku. Deg. Dina tersentak. Ia melihat sosok Dion berdiri di depan sana. “D-DION…?”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD