Dion sedang sarapan bersama sang papa. Obrolan mereka pagi itu membahas seputar pekerjaan sang papa. Usut punya usut, dia mendapatkan klien yang agak menyebalkan. Sang papa sudah terlanjur menekan kontrak untuk menjadi kuasa hukumnya. Tapi si klien itu sangat susah untuk diajak bekerja sama.
“Sepanjang karir papa sebagai pengacara, baru kali ini papa merasa patah semangat karena kliennya. Bahkan papa malah tidak berambisi untuk menang. Papa kadang berharap agar dia kalah saja di persidangan nanti,” tukas Ridwan.
Dion jelas tergelak. Dia bahkan nyaris menyemburkan nasi goreng dari mulutnya. “Lah… Papa kok ngomong gitu, sih? Harus profesional dong.”
Ridwan menghela napas pendek. “Ya habisnya dia ngeselin. Nggak bisa diajak koperatif sama sekali. Padahal itu demi kepentingan dia.”
Dion pun hanya tersenyum dan tidak berkomentar lagi. Beberapa saat kemudian dia menatap Ridwan yang masih meracau.
“Oh, iya, Pa… kapan kita jadinya pindah rumah?” tanya Dion.
Eh.
Ridwan menatap putra tunggalnya itu. “Memangnya kamu udah siap buat pindah?”
Dion mengangguk mantap. “Iya, Pa… aku malah pengen cepet-cepet cepet-cepet pindah ke rumah baru.”
Ridwan mengernyit. Menatap heran dan juga curiga. “Ada apa gerangan? Kemarin ini kamu masih menampilkan wajah sedih setiap kali membahas agenda pindah rumah. Tapi kenapa sekarang malah kamu yang bersemangat, ha?”
“Hahahaha. Aku cuma pengen suasana baru aja, Pa. Akhir-akhir ini rasanya semua terasa membosankan. Termasuk di sekolah.”
“Sekolah?”
Dion mengangguk lagi. “Iya. Tiba-tiba saja aku merasa jenuh dan bosan dengan suasana di sekolah yang sekarang ini.”
Ridwan menghentikan suapannya dan menatap Dion serius. “Kenapa? Apa kamu berbuat masalah di sekolah?”
“Masalah apaan. Nggaklah!” bantah Dion.
Ridwan masih menatap curiga. “Apa jangan-jangan kamu dibully dan sebagainya? Ayo bicara!”
Dion benar-benar tergelak dengan tudingan itu, tapi Ridwan menatap sungguh-sungguh.”
“Papa serius Dion… kamu kenapa? Apa benar begitu? Ada yang menjahili kamu hingga kamu tidak betah di sekolah?”
“Bukan, Pa… anak Papa ini bukanlah tipikal anak lemah yang akan ditindas oleh orang lain,” jawab Dion penuh dengan percaya diri.
Ridwan mengembuskan napas kasar. “Lalu kenapa?”
Hening.
Dion malah menekur karena tidak bisa menemukan jawaban yang tepat.
“Apa kamu putus cinta dan kemudian ingin melarikan diri dari mantan pacar kamu?”
“Hahahaha. Pertanyaan Papa sangat menggelikan sekali.”
“Lalu kenapa Dion. Kamu jangan bikin papa kepikiran dong,” tukas Ridwan.
Dion menatap Ridwan, lalu tersenyum. “Aku pengen aja… pengen ganti suasana.”
“Beneran?”
“Iya, Pa. Aku semacam ingin memulai lembaran baru… entah kenapa rasanya aku ingin memulai kembali semuanya dengan baik.”
Ridwan menyipitkan matanya. “Jadi intinya kamu juga pengen pindah sekolah?”
Dion mengangguk.
“Iya. Lagian jarak sekolah aku yang sekarang akan jadi sangat jauh nantinya ketika kita pindah rumah,” ucap Dion.
“Papa masih tidak mengerti kenapa kamu tiba-tiba seperti ini. Tapi jika memang kamu mau pindah sekolah… ya sudah tidak masalah.”
Dion menatap antusias. “Serius, Pa? Aku bisa pindah sekolah?”
Ridwan mengangguk. “Iya.”
Dion pun tersenyum senang dan kemudian obrolan mereka kembali berlanjut membahas klien sang papa yang gila.
**
“Duh gila! Otak gue bener-bener melepuh tau nggak sih.” Rianti langsung mengeluh saat dia memasuki kelas Dina.
Dina yang sedang mengemasi buku-bukunya itu tersenyum. “Kenapa otak kamu sampe melepuh? Emang ada kebakaran di kepala kamu?”
Rianti mengembuskan napas letih. “Hari ini di kelas gue ulangan matematika dan langsung disambung dengan ulangan kimia.”
Dina juga ikut melotot. “Kok bisa?”
“Makanya! Gue jadi capek banget.”
Dina yang sudah selesai berkemas kemudian bangun dari duduknya. “Ayo kita pulang!”
Rianti mencibir. Dia malah masih terduduk di bangku kayu itu, seperti enggan untuk pergi.
“Kenapa lagi?” tanya Dina.
“Gue juga pengen pulang bareng ayang.” Rianti memasang wajah sedih.
Dina tidak bisa berucap banyak dan kembali mengeluarkan kata andalannya. “Sabaaar… nanti ada saatnya.”
Setelah itu mereka berdua beranjak keluar gerbang. Cuaca siang ini cukup terik. Matahari mengganas dan terasa membakar kulit kepala.
Di depan gerbang, sosok Bagas sudah menanti di motornya.
“Cih. Andai aja gue juga udah jadian, pasti Dion juga nungguin gue di sana… iya, kan?”
Dina hanya tersenyum. Ia takut terlalu banyak berkomentar. Menurut Dina pribadi, Rianti sudah terlalu berharap. Dina pun takut sahabatnya itu kecewa. Tapi ia juga takut mematahkan harapan itu. Apalagi Rianti adalah tipikal orang yang mudah sensian. Sedikit saja tersentil, dia bisa tersinggung. Walaupun yang dikatakan itu benar dan untuk kebaikannya sendiri.
Seperti itulah Rianti. Dan Dina sudah tahu wataknya itu dengan baik.
“Aaaaa… semoga Dion bener-bener pindah ke sekolah ini,” ucap Rianti lagi.
Dina pun hanya menghela napas dan kini mereka sudah berdiri di depan Bagas yang menanti di atas motornya.
“Ayo, Din! Aku harus buru-buru nih… soalnya ada latihan mendadak siang ini,” ucap Bagas.
Dina beralih menatap Rianti. Ia tersenyum canggung. Tidak enak hati juga meninggalkan Rianti yang gundah gulana.
“Aku duluan, ya.”
Rianti mengangguk lesu. “Iya. Sampai ketemu di rumah. Gue males banget rasanya buat sekedar nyeberang jalan ke halte sana.”
Ketika hendak naik ke atas motor. Tiba-tiba handphone Dina berdering. Dia lekas memeriksanya dan ternyata itu adalah panggilan dari ayah sambungnya, Tio.
“Siapa?” tanya Rianti.
Bagas pun juga ingin tahu. Ia menatap ke handphone di genggaman Dina.
“Om Tio!” jawab Dina.
“Ya udah buruan angkat!” sergah Rianti seraya menyikut Dina.
Dina malah bingung.
“Angkat aja, Din.” Bagas ikut bersuara.
Dina akhirnya menjawab panggilan itu. Dia sedikit menjauh dari Rianti dan Bagas untuk bicara. Dina tampak bicara dengan wajah serius dan sesekali juga mengangguk seraya menatap ujung sepatunya sendiri.
Tak terlalu lama.
Panggilan telepon itu hanya berlangsung sebentar. Dina pun kembali dengan wajah sediki gugup dan juga bingung.
“Kenapa? Apa katanya?” tanya Rianti.
Dina membuang napas pendek. “Om Tio minta aku untuk datang ke kantornya,” jelas Dina.
Bagas mengangguk samar. “Datang aja… kemarin-kemarin kamu juga selalu mengabaikan teleponnya. Lagi pula dia udah baik dan perhatian sama kamu.”
“Iya, Din… jarang-jarang loh ada bokap sambung kayak gitu. Dia ampe bela-belain dateng ke rumah gue buat nganterin jajan lo.” Rianti menimpali.
Dina tertegun.
“Udah jangan kebanyakan mikir. Ayo naik! Aku antar ke kantornya,” pungkas Bagas kemudian.
Dina menatap Bagas. “Kantornya itu cukup jauh dari sini. Kamu pulang duluan aja. Aku ke sana sama Rianti saja.”
Rianti menunjuk dirinya sendiri. “Bareng gue?”
“Iya. Kamu mau, kan nemenin aku?” pinta Dina.
Rianti menggaruk-garuk tengkuknya. “Gue oke-oke aja sih. Tapi kan, lo mau dianter si Bagas?”
Bagas menatap Dina. “Bener kamu mau pergi sama Rianti aja?”
Dina mengangguk. “Iya. Aku nggak mau ntar kamu jadi telat latihannya.”
“Oke deh. Kalau begitu aku pulang duluan, ya!”
“Iya.”
“Nanti aku kabarin.”
“Iya,” jawab Dina lagi.
Bagas pun kemudian melaju pergi.
Dina menghela napas, lalu menatap Rianti.
“Jadi kita ke mana dulu, nih?” tanya Rianti.
“Kita pesen taksi dulu. Tadi om Tio nyuruhnya begitu,” jawab Dina.
Rianti langsung tersenyum mengejek. “Cieh. Enak bener punya bokap tiri sultan. Gue juga pengen ah punya bokap sambung kayak lo.”
Dina hanya tersenyum. Satu hal yang kadang tidak ia sukai dari Rianti adalah hal-hal sepele seperti ini.
Terkadang Rianti bersikap seakan dia selalu ingin memiliki apa yang Dina punya. Padahal semua yang dimiliki Dina itu pun bukanlah apa-apa dibandingkan dengan apa yang dimiliki Rianti.
Dia…
Adalah gadis yang memiliki seorang ibu yang teramat mencintainya.
**
Dina dan Rianti sekarang sudah berada di dalam taksi. Rianti terus saja mengoceh sepanjang perjalanan. Dia menceritakan kekesalannya pada sang ibu yang tidak mau menikah lagi. Padahal Rianti berpendapat bahwa kehidupan mereka mungkin saja menjadi lebih baik jika sang ibu menikah lagi. Pembicaraan yang sejatinya membuat Dina merasa jengkel. Padahal Rianti tahu sendiri bagaimana kehidupan Dina yang mengenaskan. Tapi dia masih saja terus berkata.
“Gue pengen deh kayak lo. Punya pacar, punya bokap tiri yang sayang sama lo.”
Memuakkan.
Tapi Dina hanya bisa bersabar.
Setelah menempuh perjalanan sekitar 30 menit, akhirnya Dina tiba di gedung perkantoran sang papa sambung.
“Bokap lo kerja di sini?” tanya Rianti.
Dina mengangguk. Dia memang sudah pernah sekali ke sana. Saat itu kebetulan Dina libur sekolah dan ada berkas milik Tio yang ketinggalan di rumah. Dina akhirnya mengantarkan berkas itu ke sana.
“Wuidih… keren banget. Gedungnya tinggi banget anjir. Mata gue silau dan nggak bisa ngeliat ujung gedungnya,” tutur Rianti.
Dina mengembuskan napas pelan. “Gedung ini dipakai oleh banyak penyewa. Jadi bukan semua bangunan ini satu kantor. Misal lantai satunya dipakai oleh pihak A… lantai B di pakai oleh perusahaan B.”
Dina coba menjelaskan, tapi Rianti malah tidak peduli.
Keduanya lalu bergegas masuk ke dalam lift. Rianti masih terus meracau. Mengungkapkan rasa irinya kepada Dina. Namun Dina menganggapnya seperti angin lalu. Dia tidak ingin menanggapi.
TING.
Pintu lift pun terbuka.
Dina bergegas menyusuri lorong yang panjang dan sunyi. Di sebelah kanannya menyuguhkan jendela full kaca. Sehingga mereka kini seperti berjalan di atas awan.
Rianti pun planga-plongo menatap takjub. Dia masih saja meracau, tapi Dina justru mempercepat langkahnya.
“Ini ruangannya?” tanya Rianti.
Dina mengangguk.
Tepat ketika Dina akan mengetuk pintu… pintu itu justru terbuka. Membuat ia sedikit terkejut. Seorang wanita keluar dari ruangan itu dan tersenyum tipis. Dina dan Rianti pun juga balas tersenyum. Tapi kemudian Dina mengernyitkan dahi sebentar. Dia menatap wanita yang sudah melangkah pergi itu. Dina mengingat wajahnya. Dia adalah perempuan yang waktu itu bersama Tio di pusat perbelanjaan.
“Dina!”
Suara itu mmebuyarkan lamunan Dina.
Tio segera mempersilakannya untuk masuk, begitu pun juga Rianti yang kini tersenyum malu-malu dan bersikap sedikit sok manis.
“Kalian langsung dari sekolah?” tanya Tio ramah.
Dina dan Rianti mengangguk kompak.
Mereka kemudian duduk di sofa. Tio menelepon sekretarisnya sebentar. Tak lama kemudian dua cangkir cokelat panas tersaji di depan kedua gadis itu. Dina hanya duduk dengan tenang. Sementara Rianti malah pecicilan dengan mata jelalatan yang sibuk melihat segala sesuatu yang ada di ruangan itu.
“Gimana kabar kamu, Dina?” tanya Tio.
“Baik, Om.”
Hening.
Agaknya Tio sendiri pun juga merasa kesulitan untuk memulai obrolan dengan putri sambungnya itu. Ada jeda yang cukup lama. Dina hanya menunduk. Sementara Tio juga hanya menatapnya tanpa bersuara.
“Jadi kamu sudah memutuskan untuk tetap tinggal bersama Rianti dan ibunya?” tanya Tio.
“Iya, Om.”
Tio mengangguk. “Baiklah. Om akan menghargai keputusan kamu itu. Tapi… Om mohon agar kamu mengijinkan Om untuk tetap bertanggung jawab atas biaya hidup kamu.”
Eh.
Dina mendongakkan wajah.
“Om yang akan bertanggung jawab untuk semua biaya kehidupan kamu, biaya sekolah kamu… semuanya! Jangan pernah merasa terbuang. Jangan pernah merasa tidak punya siapa-siapa. Mungkin ini terdengar klise dan cukup menggelikan… tapi, Om benar-benar sudah menganggap kamu seperti putri kandung Om sendiri. Jadi Om harap kamu tidak menolaknya. Kamu harus menerimanya.”
Dina tertegun.
Rianti yang duduk di sebelah Dina pun menatap takjub pada Tio yang memang terlihat sangat berwibawa.
Dina menghela napas, lalu tersenyum. “Apa itu tidak berlebihan, Om… karena….”
“Karena kamu hanya anak tiri? Hanya anak sambung? Hahaha. Apa kita tidak bisa membuang kata yang tidak berguna itu?” tanya Tio. “Kamu hanya perlu menerimanya Dina. Om akan membuatkan rekening khusus untuk kamu. Jadi nantinya uang belanja kamu akan om kirim setiap minggunya. Dan jika ada keperluan lainnya, kamu tidak perlu sungkan-sungkan untuk memintanya. Om hanya minta satu hal sebagai gantinya….”
Dina meneguk ludah. “Apa?”
Tio menarik napas panjang sebentar, lalu kemudian menjawab. “Kamu… harus menjalani hidup kamu dengan bahagia.”
Air mata Dina nyaris menetes, tapi dia masih bisa menahannya.
Tawaran yang diberikan tentu akan mempermudah jalannya kehidupan untuk Dina. Tapi di satu sisi ia juga dihantui oleh ketakutan. Dina benar-benar sudah takut menempatkan harapannya kepada orang lain. Dia terlalu kenyang dengan rasa kecewa.
“Dan satu lagi… om mau kita terus bertemu. Tidak sering. Sebulan sekali pun sudah cukup. Karena bagaimana pun juga… saat om menikahi mama kamu… maka om juga sudah resmi menjadi PAPA kamu….”