Setelah puas menggoda sang ibu dengan bolak balik berkata I love you di ambang pintu, akhirnya Rianti benar-benar masuk ke dalam kamarnya. Ia segera mengempaskan tubuh ke atas ranjang. Dia kemudian teringat pada sang sahabat tercinta dan langsung mengambil handphone-nya untuk menghubungi Dina.
“Halo Bestiee…!” sapa Rianti dengan suara riang.
Terdengar suara helaan napas Dina di seberang sana. “Ngapain? Aku baru aja terlelap padahal.”
“Hehehe. Ya maap. Gue cuma mau mastiin keadaan lo. Lo baik-baik aja, kan?” tanya Rianti.
“Badan aku terasa remuk. Terasa pegal di sana sini.”
“Apa lo mau diurut? Kalo mau besok gue temenin ke tempat Mak Erot.”
“Nggak ah. Aku takut diurut. Sakit tau!”
“Yaelah… sakit sedikit doang, tapi abis itu, kan enakan ntar.”
“Nggak usah deh. Ini aku udah minum obat pereda nyeri dan paracetamol,” jelas Dina.
“Hmmm… ya udah. Kalo gitu istirahat deh. Sampai ketemu besok di sekolah, ya.”
“Iya.”
Panggilan telepon itu terputus. Rianti menarik selimutnya dan segera memicingkan mata. Tapi beberapa saat kemudian dia kembali bangun dan menghambur lagi keluar kamar.
“Buk… Ibuuuk!” pekiknya histeris.
Sang ibuk yang kali ini sedang fokus membungkus basreng melonjak kaget. “Astagfirullah, Gusti… kenapa toh kamu teriak-teriak begitu?”
Rianti mendekat, duduk berlutut di samping sang ibu, lalu menyeringai. “Skincare yang waktu itu Ibuk beliin buat aku itu… jadi dikasihin ke anaknya bu Mela?”
“Belum. Ibuk kan belum ketemu sama Bu Mela.”
Rianti menatap antusias. “Sini, Buk!”
“Lho… kan, kamu nggak mau pake. Katanya ribetlah inilah itulah….”
Rianti berdehem. “Aku pengen nyoba pake, Buk.”
Sang ibu semakin terheran-heran oleh tingkah Rianti malam ini. Sosok anak gadisnya itu bahkan harus digempur dulu untuk sekadar gosok gigi sebelum tidur. Terkadang dia juga suka menipu. Rianti hanya akan masuk ke kamar mandi sebentar, lalu kemudian keluar lagi dengan mulut yang basah.
“Kamu demam apa gimana toh?” sang ibu menempelkan telapak tangannya di kening Rianti.
“Nggak, Buk! Aku mau pake… kan, Ibuk udah susah-susah beliin buat aky. Iya, kan.”
“Haaah.” sang ibuk melepaskan napas panjang, lalu kemudian bangkit dari duduknya. “Sek, ibu ambilin dulu.”
Rianti pun tersenyum senang.
Tak lama kemudian sang ibuk kembali dari kamarnya membawa satu paket skincare dengan tempat berwarna pink muda.
“Nih… kamu beneran mau pake? Kalo cuma sekali dua kali mending nggak usah. Mubajir,” tukas sang ibu.
Rianti dengan cepat merebutnya. “Aku bakalan rajin pake kok, Buk. Biar makin cantik.”
“Kamu beneran aneh lho.”
“Jangan dikatain anaknya aneh mulu, lho, Buk. Sekarang Ibuk ajarin… pakenya gimana? Mana yang buat malem dan mana yang buat siang?” tanya Rianti.
Sang ibu tergelak, lalu kemudian mengajari putrinya itu. Setelah mendapatkan ilmu yang baru baginya, Rianti pun bergegas membasuh wajah dan menggosok gigi ke kamar mandi. Setelahnya dia langsung sibuk dengan rutinitas perawatan wajah. Suatu aktivitas yang benar-benar baru untuknya.
Dan sekarang Rianti sudah siap untuk benar-benar memasuki alam mimpi. Tapi kemudian… dia malah memiliki kesibukan lainnya.
Rianti sibuk dengan ponselnya. Rianti rupanya sedang mengatur feed instagramnya. Dia menghapus foto-foto yang dianggap kurang estetik atau kurang cantik. Selain itu dia juga mengunggah beberapa foto terbaru yang dianggapnya bagus untuk diupload. Alasannya sudah jelas karena Dion sudah mengikuti akun instagramnya. Rianti tidak ingin Bagas melihat foto-fotonya yang jelek. Sebelumnya Rianti termasuk tipikal yang cuek. Dia memasukkan foto apa saja ke sana. Mulai dari b***k dirinya dengan pose yang nyeleneh. Potret makanan seperti cimol, telur gulung. Juga banyak foto-foto yang tidak jelas lainnya. Bahkan Rianti pernah mengunggah potretnya yang sedan tertidur dengan mata dan mulut terbuka. Foto itu diambil oleh Dina ketika mereka menginap di rumah Rianti.
Rianti bahkan syok dan panik saat melihat foto yang memalukan itu.
"D-dia belum melihatnya, kan?"
Rianti akhirnya bergerak lebih cepat lagi. Menyingkirkan semua foto yang dianggap membuat matanya sakit.
Kumpulan foto-foto yang sebenarnya memiliki kenangannya sendiri. Foto-foto yang sebenarnya memiliki makna dan juga cerita.
Tapi sekarang...
Rianti menghapus semuanya.
Postingan foto di akun i********: yang awalnya memiliki 400-an postingan itu kini menyusut menjadi 15 postingan saja. Rianti benar-benar bekerja keras untuk mengatur semuanya. Memilih potret-potret terbaik dirinya sebagai highlight. Jempolnya begitu sibuk bersama malam yang semakin larut.
Butuh tenaga ekstra untuk menuntaskannya. Rianti harus menahan kantuk yang menyerang. Sudah tak terhitung beberapa kali dia menguap, tapi kemudian Rianti tetap memaksa matanya untuk tetap terjaga.
"Akhirnya...." Rianti tersenyum senang.
Sekarang tampilan i********:-nya sudah seperti anak-anak hits atau seperti akun milik selebgram. Hanya foto-foto terbaik saja yang ada di sana. Dia juga sudah mengganti poto profilnya dengan foto terbaru. Foto yang menampilkan saat Rianti menjuarai lomba lari jarak pendek di pekan olahraga nasioanal sebelumnya. Rianti merasa puas, tapi kemudian dia juga menjadi heran sendiri.
"Kenapa aku melakukan semua ini?"
Jatuh cinta memang membuat orang menjadi gila, sekarang Rianti percaya pada hal itu.
Setelahnya Rianti beralih melihat daftar nama yang sudah mengikuti akunnya. Senyumnya mengembang lebih lebar lagi saat melihat nama Dion tertera di urutan paling atas.
Rianti menekan nama itu. Mengantarkannya pada akun i********: milik Dion.
Matanya langsung berbinar.
Akun i********: milik Dion tampak lengang. Dia memakai foto kucing oren berkacamata hitam sebagai poto profilnya. Hanya ada tiga foto di feed i********: itu dan hanya satu foto yang menampilkan wajahnya. Itupun sebuah foto wajah Dion yang menyamping dan blur. Dua foto lainnya adalah potret langit senja dan potret sebuah dinding yang dilukis abstrak. Tapi meskipun begitu, followers akun i********: cukup mencengangkan.
"Gila! dua puluh ribu pengikut?" pekik Rianti.
Dia bahkan sampai bangun dari posisi tidurnya sebentar, baru kemudian berbaring lagi. Rianti masih betah bermain-main di akun milik Dion. Tak lupa dia juga meninggalkan 'love' di setiap postingan Dion.
Setelah itu barulah Rianti mengatur alarm dan mematikan handphone, lalu menyurukkannya ke bawah bantal. Dia kemudian mulai memejamkan mata dengan bibir yang masih tersenyum.
Hari ini...
Dia merasa sangat bahagia.
Suara helaan napas Rianti terdengar jelas. Matanya sudah terpicing, tapi bibirnya kemudian berbisik.
"Dion...."
Rianti menyebut nama itu lirih. Berharap sosok pangeran pujaan hati itu hadir di dalam mimpinya.
**
Suasana di kamar Dion tampak temaram.
Hanya sebuah lampu tidur di samping dipan saja yang menyala. Aroma lavender merebak di dalam kamar itu. Dion sedang menyalakan sebuah alat yang memancarkan asap aroma terapi berbau lavender kesukaannya. Dion terlihat sedang duduk di atas ranjang dengan menyandarkan punggung ke bantal yang ditegakkan di kepala tempat tidur.
Ia belum terlelap.
Masih asyik dengan handphone-nya.
Di atas meja belajar terlihat tumpukan buku materi pelajaran yang sudah selesai ia bahas. Dion juga sudah selesai menghapal beberapa materi yang sekiranya akan berguna untuk esok hari. Dan sekarang dia memiliki sedikit waktu senggang seraya menunggu mata mengantuk.
Dion membuka i********: dan langsung meluncur ke akun milik Rianti.
Tapi ternyata dia hanya sekedar singgah di sana. Tak sedikt pun Dion melihat deretan foto Rianti yang sudah diperbaharui sedemikian rupa. Dion langsung meng-klik daftar teman yang diikuti oleh Rianti dan kemudian lekas mencari sebuah nama.
‘Rahmadina’
“Ini dia!” Dion tersenyum.
Dion dengan cepat menemukan akun milik i********: milik Rahmadina. Tapi sayangnya akun i********: milik Dina dikunci, sehingga Dion tidak bisa melihat foto-foto yang ada di akun itu.
“Cih, kenapa pake dikunci segala, sih?” desis Dion.
Mau tak mau Dion harus mengikuti akun Dina untuk bisa melihat aktivitas Dina di sosial medianya. Tapi di sisi lain Dion juga merasa gengsi jika harus men-follow Dina lebih dahulu. Jemarinya tampak ragu memencet kolom warna biru bertuliskan ‘ikuti’.
Dion tidak bisa melakukannya, tapi dia juga ingin mengetahui aktivitas Dina di media sosial. Dia berpikir sebentar. Hingga kemudian sebuah ide muncul di kepalanya. Dion langsung sibuk dengan handphone-nya itu. Ternyata dia memutuskan untuk membuat sebuah akun i********: fake atau palsu untuk menjadi seorang stalker yang handal.
Akun itu pun selesai dengan cepat. Akun intagram itu dibuat dengan username; Pemuja Rahasia. Dion merasa sedikit geli dengan nama yang ia buat itu, tapi ia kemudian tidak mempedulikan lagi. Dion kembali mencari nama Dina di kolom pencarian, lalu kemudian memencet tombol ‘ikuti’.
Sekarang Dion hanya perlu menunggu Dina mengkonfirmasi permintaannya. Dion masih sangat penasaran. Dina memiliki 56 postingan di akun itu dan dia ingin segera melihatnya.
Dion meletakkan handphone-nya sebentar, meraih segelas s**u yang sudah dingin dan meneguknya hingga habis.
“Sekarang hanya perlu menunggu saja,” bisiknya.
Lelaki yang memiliki t**i lalat di bawah mata sebelah kanannnya itu kemudian meregangkan tangan dan bersiap untuk tertidur. Tapi sebelum memejamkan mata, Dion kembali memeriksa handphone-nya. Melihat siapa tahu Dina sudah mengkonfirmasi akun intagram palsu itu.
Dion menghela napas panjang. Ternyata belum.
Ia mematikan lampu tidur, lalu berbaring.
Keadaan berubah gelap dan hening.
Sunyi beberapa saat.
Tapi tak lama kemudian Dion kembali menjangkau handphone-nya dan memeriksa lagi.
Dan masih belum juga.
Dion menjadi gelisah. Dia berulang kali memeriksa handphone-nya itu di tengah suasana kamar yang gelap. Pantulan cahaya dari layar handphone kini menerangi wajahnya. Memperlihatkan raut wajah Dion yang gusar.
“Kenapa masih belum dikonfirmasi juga?”
“Apa dia sudah tertidur?”
Akhirnya Dion menyerah. Dia mematikan handphone itu dan melemparnya ke atas sofa yang agak jauh dari ranjangnya. Ia melakukan itu agar tidak tergoda lagi untuk memeriksa.
Dion memicingkan mata, suara embusan napasnya kini terdengar jelas.
Tak lama kemudian matanya kembali terbuka. Dia bisa melihat langit-langitkamarnya yang kini berwarna abu-abu karena gelap.
“Kenapa aku merasa sangat tertarik kepada dia…?”
**
Di pagi hari, Dina baru menyadari bahwa ada luka memar di lutut kanannya. Membuat kaki Dina sedikit sakit ketika dipijakkan. Dia menjadi pincang ketika melangkah. Dina tidak tahu asal muasal luka lebam itu. Mungkin karena terbentur atau bagaimana. Dia pun jadi kesulitan untuk beraktivitas di pagi hari. Seperti biasa, Dina harus mengerjakan segudang pekerjaan sebelum berangkat ke sekolah. Dia harus melakukannya karena jika tidak, sang mama tidak akan memberikan uang jajan untuknya.
Dina bersusah payah.
Sakit di kaki itu membuat gerakannya lambat.
Sang mama yang juga sudah terbangun kini duduk di depan televisi seraya memantau aktivitas Dina yang sedang memasak nasi goreng dan membuatkan nugget goreng untuk sarapan mereka semua. Dina sibuk menata makanan di meja makan. Sang papa sambung kini sedang mandi. Sementara Varrel sudah bangun dan sibuk dengan mobil-mobilan barunya yang kemarin dibeli ketika mereka pergi berlibur.
Dina menyiapkan tiga piring makan. Tiga gelas di atas meja makan.
Ya, dia tidak pernah ikut bergabung untuk sarapan. Dina lebih memilih membawa bekal dobel ke sekolahnya. Satu untuk sarapan dan satunya untuk makan siang. Emilia menyadari bahwa Dina kesulitan untuk melangkah, tapi ia hanya menatap sebentar, lalu bersikap acuh. Benar-benar tidak peduli sama sekali.
Tak lama kemudian Tio sudah keluar dan langsung duduk di meja makan, disusul oleh Emilia dan putra kesayangan mereka Varrel.
“Kamu nggak sarapan bareng dulu, Din?” tanya Tio.
Dina yang memang sudah siap untuk pergi ke sekolah itu pun tersenyum kikuk. “Aku hari ini ada jadwal piket, Om. Jadi harus datang lebih cepat ke sekolah.”
Dina beralih menatap mamanya.
“Ma… aku berangkat ke sekolah dulu.”
Sunyi.
Emilia tidak menjawab sama sekali. Membuat Dina membeku seraya meneguk ludah.
“Aku minta uang jajan, Ma!” Dina mengepalkan tangannya kuat-kuat saat mengatakannya. Dia butuh keberanian ekstra untuk berkata seperti itu kepada mama kandungnya sendiri.
Dan Dina memang sengaja melakukannya karena keberadaan Tio di sana.
Emilia langsung menatap sengit, Dina pun hanya menunduk dan memilih tidak menatap wajah itu. Seperti biasa, Tio langsung merogoh dompetnya seraya menatap Emilia.
“Aku punya uang tunai,” ucap Tio.
Dina mengulum senyum senang dan itu membuat Emilia sakit hati.
Tio mengeluarkan empat lembar uang seratus ribu dan memberikannya kepada Dina.
Deg.
Dina melotot menatap uang yang baginya terlalu banyak itu. Demikian juga dengan Emilia.
“Kenapa banyak sekali, Mas?” tegur Emilia.
Tio tersenyum. “Mulai sekarang Om akan kasih kamu jajan per minggu saja. Dan ini adalah jatah dari Om. Nanti kalau kurang, om tambahin lagi.”
Dina jelas merasa senang, tapi ia juga merasa tidak enak menerima uang sebanyak itu dari Tio.
“T-tapi, Om….”
“Udah nggak apa-apa. Ambil aja!” Tio menyodorkan uang itu.
Dina meneguk ludah. Dia beralih menatap Emilia sebentar. Terlihat sang mama menggeleng samar. Mengisyaratkan agar Dina tidak menerima uang pemberian Tio.
“Ayo ambil!” tukas Tio lagi.
Dina tahu Emilia tidak akan menyukainya, tapi Dina tidak peduli lagi. Belakangan ini memang ada banyak keperluan sekolah yang harus dibelinya. Dina memang butuh uang itu.
“Makasih, Om.”
“Iya. Hati-hati di jalan, ya!”
Dina mengangguk, lalu kemudian bergegas pergi.
Senyum bahagia mengembang di wajah Dina ketika dia keluar dari rumah. Dia mengantongi uang senilai empat ratus ribu rupiah dan itu adalah nominal yang banyak bagi seseorang yang jarang memegang uang seperti dirinya.
“Hah… nanti sepulang sekolah aku akan langsung membeli beberapa buku cetak dengan uang ini,” desis Dina.
Dina kemudian berjalan menuju persimpangan jalan untuk naik angkot di sana. Tapi baru beberapa saat melangkah. Ia mendengar suara sang mama yang menghardiknya di belakang sana.
“DINA…! TUNGGU SEBENTAR…!” hardik Emilia seraya melangkah mendekat.