18. Mom’s Love

1128 Words
“Hari ini kamu happy bener… ada apa sih?” ibu Rianti menatap heran pada putri tunggalnya itu. Rianti yang sedang membantu ibunya membuat adonan untuk pastel dan aneka jajanan yang akan dijual ibunya esok hari itu pun menyeringai. “Nggak ada apa-apa, kok Buk!” Sang ibu menatap tak percaya. “Halah… dari tadi kamu senyam senyum nggak jelas. Biasanya kamu juga selalu ngeluh capek kalo bantuin ibuk. Tapi sekarang kamu malah bantuin ibuk tanpa harus diuber-uber dulu.” Rianti tertawa pelan. “Aku males bantuin Ibuk salah… aku rajin bantuin Ibuk juga salah.” “Bukan itu yang ibuk permasalahkan. Kenapa hari ini kamu kegirangan nggak jelas. Tadi ibuk juga ngeliat kamu joget-joget di kamar seperti orang kesurupan. Kamu juga ngomong sendiri ketika bercermin iya, kan?” Deg. Rianti membelalak. “I-ibuk melihatnya?” “Makanya… kamu itu kenapa? Kalo menurut ibuk ada dua kemungkinan saja. Kamu sedang jatuh cinta atau berarti kamu sudah gila.” “Aku nggak gila, Buk!” pekik Rianti. “Berarti kamu sedang jatuh cinta.” Wok. Wok. Wok. Rianti menjadi mati kutu. Sementara sang ibu kini mengulum senyum. Rianti dan ibunya tinggal berdua saja. Sang ayah sudah berpulang ke pangkuan sang maha kuasa sejak Rianti masih dalam kandungan. Sejak saat itu sang ibu berperan sebagai orang tua tunggal untuk Rianti. Sampai detik ini pun tak pernah terlintas di benak ibunya untuk menikah lagi. Alasannya klasik dan sukar untuk dipercaya. Tetapi sang ibu selalu mengaku bahwa dia masih mencintai ayahnya Rianti dan akan selamanya seperti itu. Mereka tinggal di sebuah rumah KPR yang sudah dicicil selama kurang lebih sepuluh tahun. Tersisa lima tahun lagi dan kemudian rumah itu akan resmi menjadi milik mereka. Rumah sederhana, tapi terasa hangat karena dipenuhi oleh cinta pasangan ibu dan anak itu. Setiap harinya ibu Rianti berjualan aneka cemilan di sebuah Sekolah Dasar yang berada tidak jauh dari rumah mereka. Selain itu sang ibu juga membuka jahitan di rumahnya. Ia sudah memiliki pelanggan tetap dan loyal. Semua usahanya itu bisa mencukup kebutuhan dan juga menghidupi Rianti sejauh ini. “Emang kamu jatuh cinta sama siapa?” selidik sang ibu lagi. Rianti tersenyum malu. Dia masih belum mau mengakuinya kepada sang ibu. “Nggak ada, Buk! Aku kan udah bilang mau fokus jadi atlit aja.” “Halah… cita-cita kamu sudah seperti cuaca. Selalu berubah-ubah setiap harinya. Ibuk udah nggak percaya lagi sama kamu.” “Hahaha. Ibuk nggak boleh gitu dong. Ibuk harus percaya.” Sang ibuk yang sedang mencetak adonan pastel itu mencibir. “Ndak! Ndak bisa dipercaya.” “Sebaiknya Ibuk aja yang cari suami baru. Padahal Ibuk masih muda. Cantik, langsing… Ibuk bisa dapet suami anggota DPR noh. Ntar kita jadi kaya raya dan hidup enak deh.” Rianti menggerak-gerakkan alis matanya naik turun. Sebenarnya ada banyak yang sudah coba melamar sang ibuk. Banyak lelaki yang datang silih berganti meyakinkan ibu Rianti. Mereka datang dari berbagai kalangan. Terakhir kali ibu Rianti bahkan didekati oleh seorang Duda yang berprofesi sebagai seorang dokter. Semua itu berawal ketika ibu Rianti pernah dirawat di rumah sakit karena asam lambungnya yang kumat. Di lain waktu sang ibu juga pernag ditaksir oleh guru olahraga Ranti ketika dia SMP. Pokoknya banyak sekali kumbang yang datang, tapi sang ibu tidak pernah membuka hatinya lagi. “Jadi kamu nyuruh ibuk nikah biar hidup kita enak begitu?” “Nggak gitu juga, sih.” Keadaan kemudian berubah hening beberapa saat. Terkadang Rianti berpikir bahwa alasan sang ibu tidak mau menikah lagi adalah karena dirinya. Terkadang Rianti juga merasa bersalah karena snag ibu harus menghidupinya seorang diri. “Buk…,” panggil Rianti pelan. “Iya. Kenapa?” “Apa Ibuk tidak pernah mau menikah karena keberadaan aku?” tanya Rianti dengan suara lirih. Sang ibu mengernyit. “Pertanyaan macam apa itu?” “Ya. Kali aja Ibuk nggak mau menikah lagi karena mencemaskan aku. Karena takut aku punya papa tiri dan sebagai macamnya.” “Tidak. Pemikiran kamu itu jelas salah,” tegas sang ibu. Tapi Rianti masih belum puas dengan jawaban itu. “Atau apa karena aku masih tanggungan Ibuk? Apa nanti setelah aku mandiri, baru Ibuk mau menikah?” PLAK. Sebuah tamparan hinggap di paha Rianti yang kebetulan juga memakai celana pendek. “Aw… sakit, Buk!” Rianti mengaduh seraya cemberut. “Ya, habis… kamu itu ada-ada aja. Semua yang kamu kira itu salah semua. Jangan berpikiran yang aneh-aneh. Pede amat kamu… ibuk nggak mau nikah cuma gara-gara kamu doang.” “Terus kenapa dong? Kenapa Ibuk nggak mau menikah lagi?” desak Rianti. Sang ibu menghela napas panjang. “Ibuk nggak akan pernah menikah lagi.” “Jangan bicara seperti itu, Buk… makanya jodoh Ibuk nggak dateng-dateng juga. Karena ucapan itu adalah doa,” ucap Rianti sok bijak. “Itu memang doa Ibuk. Ibuk memang selalu berdoa seperti itu. Ibuk hanya berdoa agar kelak ibuk dipertemukan lagi di akhirat sama bapak kamu.” sang ibu tersenyum. Rianti mengembuskan napas panjang. “Hmmm. Emang Ibuk secinta itu ya, sama Bapak?” “Tentu saja. Ibuk sangat mencintai almarhum Bapak kamu. Dan hingga detik ini pun… rasa itu masih sama.” Sang ibu tersenyum, lalu menepuk-nepuk dadanya pelan. “Bapak kamu akan selalu ada di sini… selama-lamanya.” Rianti pun menatap sang ibu yang sedang tersenyum itu lekat-lekat. Dia juga ingin merasakan cinta yang besar seperti itu. Rianti juga ingin mencintai seorang lelaki sebagaimana ibunya mencintai ayahnya. Meskipun raga mereka telah terpisah, tapi cinta itu tetap bersemayam di dalam hati. “Hmm….” Rianti hanya merespon singkat. Rianti tahu masih terlalu dini untuk memiliki keinginan seperti itu. Tapi hati kecilnya mulai berharap. Jika dia diperkenankan untuk setia pada satu lelaki seumur hidupnya, maka ia ingin lelaki itu adalah Dion. “Nah, loh… kamu senyum-senyum nggak jelas lagi, kan?” tegur sang ibu. Rianti terkekeh. “Kamu pasti lagi jantuh cinta, ya? Iya, kan?” Rianti tetap menggelengkan kepala. Hingga akhirnya tatapan sang ibu beralih pada jarum jam yang sudah menunjukkan pukul dua belas malam. “Eh… udah tengah malem! Kamu tidur sana, biar besok nggak telat bangunnya,” tukas sang ibu. Rianti juga terkejut. Biasanya dia hanya membantu sang ibu hingga jam sepuluh malam, itu pun sudah paling lama. Tapi hari ini ia seakan lupa dengan waktu. Rianti pun bangun dari duduknya, tapi saat itu juga Rianti meringis karena pinggangnya terasa sakit dan kakinya juga kesemutan. “Duh aduuh… kaki aku malah keram,” ucap Rianti seraya tertawa, lalu mengernyit lagi. Sang ibu juga tertawa, lalu geleng-geleng kepala. “Dasar remaja jompo.” Rianti kemudian berjalan seperti orang pincang ke kamarnya. Dan sebelum ia masuk ke dalam kamar, ia kembali berbalik menatap sang ibu, lalu tersenyum “Buk…!” panggil Rianti kemudian. Sang ibu mendongak menatapnya. “Apa lagi?” “I love you…,” ucap Rianti seraya membentuk simbol love menggunakan jarinya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD