“Pah... aku berangkat dulu ya,” ucap Dion kepada Ridwan yang masih duduk di meja makan seraya memeriksa handphone-nya.
Mereka berdua baru saja selesai sarapan. Menu pagi ini hanya roti dengan selai nanas dan juga dua gelas cokelat panas. Hal itu lantaran Dion bangun agak telat sehingga dia tidak sempat untuk memasak. Semalam ia tidak bisa lekas terlelap lantaran sosok Dina terus bermain-main dalam ingatannya.
“Cepet sekali kamu berangkatnya?” tanya sang papa.
Dion tersenyum. “Aku mau jemput si Cecep dulu, Pa.”
“Eh, tumben amat.”
“Iya.” Dion hanya tersenyum. “Aku berangkat, ya, Pa.”
Dion salim, kemudian segera bergegas keluar. Dion berangkat ke sekolah dua puluh menit lebih awal dari jam biasanya. Dia juga buru-buru mengeluarkan motor dari garasi dan kemudian memanaskan mesinnya sebentar. Sembari menunggu, Dion juga buru-buru menghubungi Asep terlebih dahulu.
“Halo, Cep!”
“Hoh. Ngapain lo nelpon gue pagi-pagi?” tanya Asep.
“Lo belom berangkat sekolah, kan?” tanya Dion.
“Ini masih pagi k*****t. Gue aja masih dikasur belum ngapa-ngapain,” jawab Asep. Suaranya bahkan masih terdengar serak. Khas orang baru bangun tidur.
“Bagus deh.” Dion tersenyum.
“Kenapa bagus?”
“Lo tungguin gue di sana ya. Gue akan jemput lo.”
“HAH.” Suara kaget Asep terdengar jelas. “Lo mau jemput gue?”
“Iya.”
Hening sebentar. Tampaknya Asep masih syok mendengar perkataan Dion. Tapi beberapa detik kemudian, dia langsung berteriak.
“LO MAU KETEMU CEWEK SEBELAH ITU LAGI, KAN?” teriak Asep.
“Pokoknya jangan berangkat sebelum gue jemput. Awas aja kalo lo pergi duluan!” ancam Dion.
Asep masih ingin memakinya, tetapi Dion buru-buru memutus panggilan itu dan segera berangkat dengan senyum mengembang di wajahnya.
**
“DINA...!”
Hardikan itu membuat langkah Dina terhenti. Suara itu langsung menghilangkan senyum yang mengembang di wajahnya. Ingin rasanya Dina berlari saja tanpa menoleh ke belakang. Berpura-pura tuli dan tidak peduli. Namun kakinya yang sakit membuat Dina tidak bisa berlari. Alhasil ia hanya diam membeku.
Sementara itu Emilia sudah dekat dan langsung menarik Dina dengan kasar hingga tubuh Dina berbalik menatapnya. Emilia langsung menatap tajam. Dina sudah bisa menebak apa yang akan dilakukan sang mama, Dina sudah menduganya, tapi Dina masih bersikap tenang.
“A-ada apa, Ma?” tanya Dina.
Emilia menengadahkan tangan. “Sini uangnya!”
Persis seperti yang Dina duga. Emilia tidak akan membiarkan Dina memiliki uang sebanyak itu.
“Uang apa?” Dina coba mengelak.
Emilia menatap gusar. “Jangan banyak gaya! Sini uang yang tadi! Emangnya kamu siapa, ha? kamu benar-benar tidak tahu diri. Bisa-bisanya kamu menerima uang itu.”
“T-tapi itu uang buat aku, Ma.”
“Hahahaha.” Emilia tertawa. “Apa? bisa-bisanya kamu bicara seperti itu. AYO SINI UANGNYA!” bentak Amelia keras.
Dina menahan rasa getir. Dia tidak mau berdebat lebih lama lagi dan memilih untuk mengalah. Dina merogoh kantongnya dan mengeluarkan uang itu. Emilia pun dengan cepat merebutnya.
“Terus aku jajan pake apa, Ma?” tanya Dina lirih.
Emilia menatap sengit. Ia lalu melemparkan satu lembar uang itu ke wajah Dina. Lembaran uang itu kemudian melayang-layang dan terjatuh di dekat kaki Dina.
“Segitu saja sudah cukup! Itu jajan kamu untuk seminggu,” tukas Emilia.
Dina menatap uang yang kini tergeletak di dekat kakinya itu dengan helaan napas yang sesak. Uang seratus ribu untuk satu minggu di jaman sekarang benar-benar hal yang
mengerikan. Jumlah uang itu bahkan tidak cukup untuk biaya transportasi Dina selama seminggu.
Sementara itu Amelia beranjak pergi dengan santainya.
Dina perlahan mendongakkan wajah menatap ibunya itu dengan air mata yang tergenang. Dia tidak peduli pada kaki Dina yang pincang dan sekarang dia juga merebut uang saku Dina yang didapat dari ayah sambungnya.
Ada satu hal yang tumbuh semakin subur di hati Dina kepada ibunya.
Yaitu rasa BENCI.
Ya, dia sangat membenci wanita itu. Selama ini Dina selalu menepis segala rasa benci karena bagaimana pun juga Emilia adalah adalah ibu kandungnya. Wanita yang sudah melahirkannya. Wanita yang sudah memberikannya kehidupan. Dina tidak mau menjadi anak yang durhaka. Meskipun dia sudah menjadi anak baik sekalipun, Emilia sudah terlalu sering melontarkan kalimat ‘anak durhaka’ kepadanya dan hal itu sudah berlangsung sedari Dina masih sangatkecil.
Ya, kebanyakan orang tua memang begitu. Mereka dengan mudah mengatakan anaknya sebagai anak durhaka dan lupa bahwa mereka juga bisa menjelma sebagai orang tua yang durhaka.
Air mata Dina masih menetes. Dia pun menyeka matanya yang basah itu dengan telapak tangann.
“LO UDAH NYAMPE DARI TADI?”
Suara itu membuat Dina terkejut.
Ia langsung menoleh ke belakang dan ternyata itu adalah suaraAsep yang baru saja keluar dari rumahnya menyusul Dion yang sudah berada di seberang jalan, duduk di atas motornya dengan tatapan mata yang masih tertuju pada Dina.
Deg.
Dina terkejut. Sejak kapan Dion ada di sana?
Dan apa lelaki itu juga melihat dan mendengar semua yang terjadi?
Dina cepat-cepat berbalik lagi, membelakangi kedua lelaki dengan seragam SMA mereka itu. Dina berusaha tenang dan kembali menyeka wajahnya.
Sementara itu Asep kini menyeringai senang menatap Dion. “Yuklah! Kita berangkat ke sekolah!”
Sunyi.
Dion tidak meresponnya sama sekali. Tatapannya masih terpaku pada Dina. Dion memang mendengar semuanya. Dia memang menyaksikan segalanya.
“Sini helm-nya,” pinta Asep.
Dion tetap tidak merespon.
Sementara itu Dina berusaha menenangkan diri. Dia juga harus segera berangkat ke sekolah. Akhirnya mau tidak mau Dina berbalik dan mulai melangkah. Dia berniat untuk melewati Dion dan Asep di depan sana.
Saat itu juga Dion menyadari bahwa Dina menjadi sedikit pincang ketika berjalan.
“Heh k*****t! Lo kok jadi bengong sih. Ayo buruan kita berangkat ke sekolah!” hardik Asep.
Dion tidak menjawab. Dan saat Dina melewatinya, barulah ia bersuara.
“Kaki lo kenapa?”
Pertanyaan itu membuat langkah kaki Dina terhenti. Asep pun memasang wajah cemberut karena sekarang dia sudah tahu alasan Dion datang untuk menjemputnya. Persis seperti dugaannya.
“Gue nanya sama lo. Jadi tolong dijawab.” Dion berkata lagi. Suaranya terdengar lebih melunak.
Dina meremas tali ranselnya lebih kuat, lalu memberanikan diri memandang Dion yang kini menatapnya.
“A-aku nggak apa-apa, kok. Cuma keseleo sedikit aja,” jawab Dina.
“Gegara kejadian kemarin?”
“Iya.”
Dina masih tampak gugup. “Oh iya... by the way terima kasih karena kemarin kamu udah nolongin aku.”
Hening.
Dion hanya menatap Dina lekat-lekat. Tapi ia terlihat sedikit terkejut mendengarnya.
“Cih, gue pikir sampe kapan pun lo nggak akan bilang makasih sama gue,” ucap Dion.
Dina memaksakan dirinya untuk tersenyum. “K-kalau begitu aku permisi dulu.”
Dion tiba-tiba langsung turun dari motornya, menghalangi langkah Dina dan dengan cepat berjongkok di depan gadis itu, lalu sibuk memeriksa kaki Dina.
Deg.
Dina jelas melotot kaget dan langsung menjauhkan kakinya dari Dion.
“K-kamu ngapain?” bentak Dina. Dia membentak karena kaget.
Dion mendongak, lalu menarik kaki Dina lagi. “Gue mau periksa keadaan kaki lo.”
Eh.
Dina hendak menarik kakinya lagi dari genggaman Dion, namun entah mengapa kali ini otaknya tidak bisa memproses perintah. Dia hanya bisa termangu saat Dion melepas sepatunya, melepas kaus kakinya dan kemudian memeriksa pergelangan kaki Dina itu dengan seksama. Semua yang sedang dilakukan oleh Dion itu membuat Dina menahan napas. Setelahnya Dion juga memasangkan kembali kaos kaki dan sepatu Dina, lalu kemudian bangun berdiri dan menatap serius.
“Ada memar dan bengkak di deket mata kaki lo. Sebaiknya lo ke dokter atau bisa juga ke tukang urut. Takutnya ada pembekuan darah di sana dan keadaan kaki lo jadi semakin parah,” ucap Dion.
Dina malah tertegun. Dia menatap wajah lelaki itu seperti patung.
“Heh. Lo denger gue nggak sih?” sergah Dion.
Dina tersadar. “I-iya. Tidak perlu khawatir. Aku bisa mengurusnya sendiri.”
Kecanggungan sangat mengusai Dina. Membuat kedua pipinya kini terasa panas. Dia pun tidak ingin berlama-lama terjebak dalam situasi itu. Dina kembali melangkah, tapi dia tersentak lagi saat Dion menggenggam pergelangan tangannya.
Lelaki itu sangat mahir membuat jantung Dina melompat-lompat. “A-apa lagi?” tanya Dina.
“Lo sekolah di mana?” tanya Dion.
“Kenapa?”
“Gue akan anter lo ke sekolah!”
Eh.
Dina melotot.
Asep yang sedari tadi hanya menyimak akhirnya bersuara. “TERUS GUE GIMANA ANJIR? KATANYA LO KE SINI MAU JEMPUT GUE!”
Dion menatap tajam pada Asep. Membuat Asep cepat-cepat menutup mulutnya dengan telapak tangan.
Dina juga lekas menggeleng. “Tidak perlu! Aku harus pergi sekarang!”
Tapi Dion tetap tidak melepaskan pergelangan tangan Dina dari genggamannya.
“Kalo bukan karena gue, mungkin kaki lo nggak hanya sekedar keseleo, tapi udah patah,” ucap Dion.
Dina mengeryit. “Apa maksud kamu?”
“Gue udah nyelamatin lo, bukannya sudah sebaiknya lo membalasnya. Hidup ini tentang memberi dan menerima.”
“Jadi kamu ingin imbalan?”
“Tentu saja.”
Dia menatap nanar. “Apa sekarang kamu mau memeras aku?”
“Apa yang mau gue peras? Uang jajan lo yang tinggal sedikit setelah dipotong sama nyokap lo tadi?”
Pertanyaan Dion membuat Dina terkejut. Sekarang Dina tahu bahwa Dion memang mendengar dan menyaksikan semua yang sudah terjadi.
“Gue akan nganter lo! itu balasan yang gue mau. Simpel, kan?” tanya Dion lagi.
Dina masih belum bisa bersuara, tapi Dion sudah memasangkan helm- ke kepalanya. Sikap Dion yang seperti itu membuat Dina kewalahan dan pusing saat menghadapinya.
“T-tapi gimana dengan teman kamu. Bukannya kamu datang ke sini untuk menjemput dia?” tanya Dina.
Asep langsung memasang wajah sedih.
Dion menghela napas. Ia mengeluakan dompetnya, menarik satu lembar uang lima puluh ribu, lalu memberikannya kepada Asep.
“Nih! Lo berangkat naik gojek aja. Sisa uangnya boleh lo ambil.”
Asep langsung tersenyum lebar. “Oke deh. Gue cabut dulu, ya.” dia mengambil uang itu dan dengan cepat melarikan diri.
Dina pun melongo melihat Asep yang berlari kegirangan.
Setelah itu Dion menatapnya dan tersenyum. “Sekarang beres, kan?”
**
Akhirnya Dina naik di boncengan Dion. Aroma parfum yang melekat di jaket denim Dion tercium wangi. Aromanya sangat lembut dan nyaman. Dion pun melajukan motornya cukup lambat. Terkesan berhati-hati karena sekarang ini ada seorang gadis yang duduk di boncengannya.
Ada jarak yang cukup jauh antara mereka. Dina duduk terlalu ke belakang hingga ke ujung jok motor, menciptakan jarak di antara mereka berdua. Sepanjang perjalanan itu tidak ada sesuatu yang terjadi. Keduanya hanya diam dan tidak bersuara.
Sepanjang perjalanan itu juga Dina merasa bingung dengan semua sikap dan kelakuan Dion selama ini.
Kenapa?
Kenapa Dion seperti itu kepadanya.
Mereka tidak berteman.
Mereka bahkan belum pernah berjabattangan dan berkenalan secara resmi. Tapi Dion terkesan selalu muncul dalam kehidupannya beberapa waktu belakangan ini. Sosoklelaki itu bahkan juga bermain-main dalam pikiran Dina.
Tiba-tiba motor itu menepi ke sebuah minimarket, lalu berhenti.
Dina pun menatap bingung.
“Tunggu sebentar,” ucap Dion seraya turun dari motornya, melepas helm dan kemudian berlari-lari kecil masuk ke dalam mini market itu.
Dina menghela napas panjang seraya menatap Dion. “Hah... dia itu benar-benar manusia aneh.”
Dina memejamkan matanya sebentar. Dia masih kesal dengan apa yang sudah dilakukan oleh mamanya. Mengambil uang saku yang seharusnya bisa Dina pergunakan untuk kebutuhannya.
Tak lama kemudian Dion kembali keluar, membawa satu buah kantong plastik hitam. Dina tidak tahu apa yang dibeli oleh Dion. Tapi setelah itu Dina dikejutkan lagi ketika Dion membuka ranselnya, lalu memasukkan kantong plastik itu di sana.
“Apa yang kamu lakukan?” tanya Dina.
Dion tidak menjawab.
Dia memasang helmnya lagi dan bersiap melanjutkan perjalanan.
Dina benar-benar tidak habis pikir. Apa yang Dion belikan untuknya? Bom? Atau sejenis bahan peledak berbahaya lainnya?
“Kamu masukin apa?” tanya Dina ketika mereka hendak melaju.
“Sesuatu yang nanti mungkin lo butuhin,” jawab Dion santai.
Dina sampai tidak bisa berkata-kata lagi. Motor itu pun kembali melaju. Dan setelah menempuh perjalanan sekitar sepuluh menit, akhirnya mereka tiba di depan gerbang sekolah Dina.
Dina pun bergegas turun dan memberikan helm-nya kepada Dion yang kini sedang memerhatikan situasi sekolah Dina.
“Ini helmnya. Makasih udah nganter aku,” ucap Dina.
Dion tidak kunjung juga mengambil helm itu. Beberapa anak-anak yang lewat kini mulai menatap keduanya. Membuat Dina merasa resah karena memang hampir semua orang di sekolah itu tahu bahwa Dina adalah kekasihnya Bagas.
Dina tidak ingin ada gosip atau rumor yang beredar.
“Ini helmnya!” pekik Dina.
Barulah Dion menatap Dina, lalu tersenyum.
Senyuman yang membuat Dina terpana dan kesulitan mengatur raut mukanya.
“Apa nanti gue harus jemput lo juga pulang sekolah?” tanya Dion.
“NGGAK!” Dina berteriak histeris.
Dion tertawa. “Hahaha. Gue becanda kok.”
Dina masih melotot.
“Ya udah... kalo gitu gue cabut dulu,” pungkas Dion.
Dina mengangguk. Dia memang ingin Dion segera pergi dari hadapannya. Tapi tiba-tiba saja...
Bagas muncul entah dari mana dengan tatapan geram. Dia menarik kerah baju Dion yang masih duduk di atas motor, lalu kemudian melayangkan tinjunya ke wajah Dion hingga lelaki itu jatuh dari motornya.
Deg.
Dina menatap kaget dan langsung berteriak histeris.
“BAGAAAAAS...!”