40. Keanehan dan Pagi Sendu

1972 Words
“LO KENAPA PERGI DULUAN…?” Rianti langsung merengek ketika jam istirahat tiba. Dina menghela napas panjang, hanya menatap Rianti sebentar dan kemudian sibuk memasukkan alat tulisnya ke dalam tas. Rianti bergegas ke kelas Dina setelah bel istirahat berbunyi dan kini memasang wajah manyun pada sahabatnya itu. “Aku tadi harus mampir ke toko buku dulu,” jawab Dina kemudian. “Ah… elo ah! Walopun mau mampir ke toko buku sekalipun, kita kan, tetep bisa bareng aja.” Rianti masih mengomel. Dina hanya membalasnya dengan tersenyum saja. Yaudah deh… sana beli pentol kuah di kantin. Gue tunggu di sini aja.” Rianti duduk di kursi yang ada di depan meja Dina. Rianti memang biasa seperti itu. Menyuruh Dina saja yang membeli makanan ke kantin, lalu mereka menikmatinya di dalam kelas Dina. Dina akan berdesak-desakan di kantin mengantri beli makanan, sedangkan Rianti hanya duduk cantik di kelas menantinya. Dina mengepalkan tanganya kuat-kuat, lalu memaksakan bibir untuk tersenyum. “Aku nggak mau jajan hari ini…” Eh. Rianti menatap heran. “Aku mau ke perpus aja.” Rianti termangu, sedangkan Dina buru-buru pergi keluar dari kelas. Meninggalkan Rianti yang masih dalam kebingungan dan kini juga mulai bertanya-tanya. Dina mempercepat langkahnya menuju perpustakaan. Suasana perpustakaan di jam istirahat sangatlah sunyi. Tenang sekali di sana. Dina kemudian duduk di sebuah kursi dekat jendela, lalu meletakkan buku bersampul merah itu di atas meja. Dina tersenyum. Dia mulai membaca rangkuman catatan ajaib itu. Tulisan tangan Dion benar-benar bagus dan rapi. Nyaris terlihat seperti tulisan komputer. Sebelumya Dina membuat gambar-gambar yang ada dengan asal-asalan saja, tapi sekarang Dion membuatnya dengan sangat sempurna. Seperti gambar lapisan sel untuk pelajaran biologi, gambar-gambar rumus matematika dan banyak yang lainnya. Dina kemudian juga mengeluarkan kue dan minuman yang juga dikasih oleh lelaki itu. Dua buah roti selai cokelat kacang dan minuman berupa s**u almond dengan kemasan yang cukup besar. “Lumayan… hari ini aku jadi tidak perlu mengeluarkan uang jajan,” bisik Dina. Dina pun kemudian menikmati jam istirahatnya. Memakan kue seraya membaca buku. Dia sama sekali tidak beranjak dari tempat duduknya itu hingga suara bel masuk kelas berbunyi lagi. Hari yang cukup damai bagi Dina. Dan ketika pulang sekolah, Bagas menghampirinya. Dina mengira Bagas akan merajuk kembali, tapi ternyata tidak. Bagas bersikap biasa saja. Dia bersikap seolah tidak terjadi apa-apa. Dina pun memilih diam dan juga tidak membahas kejadian semalam. Dia juga tidak mempertanyakan kenapa semalam Bagas terus meracau ke arah negatif. Alhasil mereka baik-baik saja. Seperti tidak ada masalah sama sekali. “Kamu pulang bareng Rianti, ya?” tanya Bagas. Dina menatap pelan. Dia juga tidak mengerti kenapa. Tapi rasanya dia terlalu bosa jika terus-terusan bersama Rianti. “Memangnya kenapa?” tanya Dina. Bagas tersenyum canggung. “Ya, sebenernya aku pengen anterin kamu pulang… tapi kamu pasti akan nolak karena pulangnya bareng Rianti, kan?” Dina meneguk ludah. “A-aku mau pulang sama kamu saja.” Eh. Bagas terkejut dan menelengkan wajah. Seakan tidak percaya dengan apa yang baru saja dia dengar. “Kamu mau pulang sama aku?” Bagas menunjuk dirinya sendiri. Dina mengangguk. “Iya.” Bagas tersenyum. “Tumben sekali.” Dina menekurkan kepala. “Hah… sebenernya aku ingin menjemput dan mengantar kamu setiap harinya tau… tapi dari dulu kamu selalu menolaknya. Kamu mengatakan bahwa itu akan merepotkan, tapi bagi aku itu adalah sesuatu hal yang menyenangkan. Kita beda kelas. Kadang bisa ketemu di jam istirahat sebentar saja. Tapi kalau aku menjemputmu di pagi hari dan mengantar kamu sepulang sekolah… kita akan jadi punya waktu lebih banyak untuk bersama-sama,” pungkas Bagas. Dia tertegun sebentar. “A-apa kamu benar-benar tidak keberatan menjemput dan mengantar aku setiap harinya?” tanya Dina. Bagas mengangguk. “Aku akan melakukannya dengan senang hati.” “Kalau begitu kamu bisa melakukannya mulai hari ini,” tutur Dina. Bagas yang sudah duduk di atas motornya itu menatap heran. “Ini beneran kamu kan, Din?” “Maksud kamu?” “Ya, nggak sih…” “Tapi kamu harus ngomong sama Rianti,” ucap Dina lagi. Eh. Kening Bagas mengkerut. “K-kenapa?” Dina hanya menunduk. Bagas pun menghela napas panjang. “Apa kamu ada masalah sama dia?” “Nggak.” “Terus, kenapa tiba-tiba?” Dina tidak lagi menjawab. Bagas pun mengangguk samar. Ternyata Dina melakukan itu semua hanya untuk menghindari Rianti. Lagi-lagi ia dipatahkan oleh harapannya sendiri. Bagas sempat mengira bahwa Dina ingin menghabiskan waktu lebih lama dengannya. Ternyata ada maksud lain dibalik semua yang dilakukannya. “Terus sampai kapan kamu mau menumpang di rumah dia?” tanya Bagas lagi. Dina menggeleng. “Aku tidak tau.” “Sebaiknya kamu pulang saja ke rumah dan minta maaf. Walau bagaimana pun juga rumah tempat kamu pulang hanyalah mama kamu sendiri,” ucap Bagas Dina terpekur. Terkadang ia juga berpikir seperti itu. Namun Dina jelas merasa takut. Dia takut ditolak mentah-mentah dan kemudian diusir kembali. “DINAAA…!” Suara itu mengakhiri obrolan Dina dan Bagas yang serius. Rianti segera bergegas mendekat. “Yuk kita balik, Din!” ajaknya. Dina terdiam. Bagas pun menghela napas sebentar, baru kemudian berkata. “Dina pulang bareng gue… mulai sekarang gue bakalan anter dan jemput dia setiap harinya.” Rianti pun hanya bisa tertegun. Dia tidak bisa memprotesnya. “Weh. Tumben banget,” ucap Rianti. Suaranya terdengar canggung. “Ayo cepetan naik!” Bagas beralih menatap Dina. Dina menoleh pada Rianti. Dia terlihat gugup dan memaksakan bibirnya untuk tersenyum. “A-aku pulang duluan ya. Sampai ketemu di rumah.” Rianti mengangguk. “Iya.” Dina kemudian duduk di boncengan Bagas dan motor itu langsung melaju pergi. Rianti terdiam. Matanya masih menatap motor Bagas yang melaju, kemudian menghilang dibalik belokan. Rianti mulai merasakan keanehan. Dia merasa bahwa Dina seperti sengaja menghindarinya. “Apa mungkin ini hanya perasaan aku saja?” bisik Rianti lirih. ** Dion tak henti-henti menguap lebar. Dia benar-benar sangat mengantuk karena kurang tidur semalam. Jemari tangannya bahkan masih terasa pegal setelah bekerja keras menyalin buku untuk Dina. “Lo kenapa lemes banget bestie?” tanya Asep. Dion tidak bertenaga untuk sekedar berkata-kata. Dia menjulurkan tangannya ke atas meja, lalu merebahkan kepalanya di lengan. Hari ini ada mata pelajaran tambahan yang membuat kelas mereka pulang lebih telat. “Lo bangunin gue kalo kelasnya udah beres, ya,” pinta Dion. Asep pun geleng-geleng kepala. “Ckckckck. Apa-apaan ini… pertama kali dalam sejarah sang juara umum malah tidur pas jam pelajaran.” Dion tidak menanggapi ocehan itu dan memicingkan mata. Namun kemudian Dion tidak benar-benar tidur. Ingatannya malah melayang ke masa lalu. Terbayang lagi tentang sosok gadis yang masih berkeliaran di dalam kepala. Lani. Dion kembali teringat padanya. Malam itu Lani datang menangis padanya. Mengatakan sebuah fakta yang sangat mengejutkan. Dia hamil. Waktu itu Dion jelas sangat panik. Dia langsung membawa Lani yang sudah kebasahan masuk ke dalam rumah. Ridwan sang papa juga terkejut kala itu. Lani terus menangis terisak. Butuh waktu lama sekali untuk ia tenang. Saat itu Dion pun bingung dan tidak tahu harus berbuat apa. Dia hanya memberikan baju ganti, lalu meminta Lani untuk istirahat di kamarnya. Tapi keesokan paginya… Dion tidak melihat Lani di tempat tidur. Berhari-hari kemudian Lani tidak pernah hadir di sekolah lagi. Dion pun tidak tahu harus mencarinya ke mana. Dion tidak tahu di mana ibu Lani bekerja dan di mana mereka tinggal. Sampai suatu hari… Lani kembali berkunjung. Namun saat itu dia terlihat baik-baik saja. “Dia akan bertanggung jawab.” itulah yang dikatakan Lani saat itu. Saat itu Lani mengatakan bahwa dia mungkin akan berhenti sekolah dan menikah dengan lelaki yang sudah menghamilinya. Yang membuat Dion bingung adalah, Lani justru terlihat senang dan bahagia. Dia bahkan membayangkan betapa indahnya menikah dengan lelaki yang ia cintai. Sosok yang tak lain tak bukan adalah anak dari majikan tempat ibunya bekerja alias BAGAS. Dion tidak banyak menanggapi. Segala sesuatu yang terjadi membuat Dion tidak mengerti. Awalnya Lani datang bersimbah air mata. Tapi kemudian dia datang dengan senyum bahagia. Dion sempat mempertanyakan keyakinan Lani untuk menikah. Apalagi usia mereka teramat muda. Mereka masih duduk di kelas tiga SMP. Secara hukum, umur Lani pun belum cukup untuk mencatatkan pernikahan secara resmi di kantor urusan agama. Tapi kemudian Lani berdalih bahwa mereka akan menikah secara agama saja. Barulah nanti mencatatkan pernikahan resmi setelah keduanya cukup umur. Dion lantas membisu. Saat itu Lani mengatakan bahwa hidupnya mungkin saja akan berubah menjadi Cinderella yang bahagia. Dari cerita itulah Dion meyakini bahwa Bagas berasal dari keluarga yang sangat kaya raya. Dalam bayangan Dion saat itu… Bagas benar-benar akan bertanggung jawab dan menikahi Lani. Lani sangat berapi-api menceritakan bagaimana baiknya keluarga Bagas dalam menanggapi permasalahan yang sudah mereka perbuat. Awalnya mereka memang marah. Tapi kemudian orang tua Bagas menegaskan bahwa mereka akan bertanggung jawab. Mengatakan bahwa bagaimana pun juga janin yang berada di rahim Lani akan menjadi cucu pertama mereka. Lani juga bercerita bahwa setelah menikah nanti, ibunya pun tidak perlu lagi capek-capek bekerja. Seakan.… hidup yang bahagia benar-benar ada di depan mata. Seakan-akan Lani menyiratkan bahwa dia sama sekali tidak menyesal dengan dosa yang sudah ia perbuat. Lani bahkan menganggapnya sebagai dosa terindah yang kemudian mengantarkannya pada sebuah kebahagiaan. Dion tidak setuju pada pemikiran itu, tapi dia pun tidak punya kapasitas untuk menentang pendapat Lani dan hanya memilih diam. Dion hanya bisa melantunkan harapan agar Lani benar-benar bahagia dengan pilihannya saat itu. Harapan tulus dari seorang sahabat sejak masa kecil yang juga mencintainya. Setelah hari itu, Lani benar-benar tidak pernah muncul lagi di sekolah seperti yang dia katakan. Dion pun coba melupakan segala sesuatu tentang Lani. Tapi suatu hari dia coba menghubungi Lani melalui pesan BBM kala itu. Beruntung, Lani membalas pesan Dion. Lani mengabarkan bahwa dia baik-baik saja. Lani bahkan mengirim sebuah foto yang menampilkan foto selfie-nya di dalam mobil. Dion pun bertanya ke mana Lani akan pergi. Lani menjawab bahwa ia akan pergi ke rumah sakit bersama calon mama mertuanya untuk memeriksa kandungan sang bayi. Dan percakapan mereka berhenti di sana. Sampai kemudian di malam hari, tiba-tiba Lani menelepon Dion yang sedang asyik bermain PS di kamarnya. Ketika dia menjawab panggilan itu, Dion langsung terkejut. Lani menangis. Dion tentu bingung dan cemas. Lama sekali Lani hanya terus menangis dan tidak berkata apa-apa. Dion pun terus mengulangi pertanyaan yang sama. “Kamu kenapa? Apa yang terjadi? Kenapa kamu menangis?” Setelah cukup tenang, barulah Lani bersuara. Dia mengatakan bahwa ternyata mama Bagas membawanya ke rumah sakit bukan untuk memeriksa kandungannya. Melainkan untuk melakukan ABORSI. Lani tidak tahu apa-apa. Dia hanya ingat sedang melakukan pemeriksaan dan setelah itu dia kehilangan kesadaran. Begitu terbangun, Lani sudah tergolek lemah di ruang operasi. Dia juga merasa sangat kesakitan dan saat itulah mama Bagas muncul dengan tatapan bengis. Dia mengatakan bahwa janin di dalam kandungan Lani sudah dibuang. Dia meminta Lani untuk menghilang dan tidak lagi mengganggu Bagas. Kenyataan itu tentu membuat Lani syok bukan kepalang. Dion yang mendengar semua cerita itu terpana. “Untuk apa lagi aku hidup sekarang….” Itulah kalimat terakhir yang dikatakan oleh Lani di telepon. Setelahnya panggilan telepon itu terputus. Dion langsung berusaha mencari keberadaan Lani malam itu. Dia mencarinya tanpa petunjuk. Hanya berkeliaran seperti orang gila yang berlarian ke sana ke mari tak tahu arah. Malam itu hujan turun cukup deras, tapi Dion tetap mencari keberadaan Lani. Dia juga terus mencoba menghubungi Lani melalui telepon, tapi nomor handphone Lani tidak lagi aktif. Malam itu pencarian Dion pun berakhir sia-sia. Dia tidak bisa menemukan di mana Lani berada. Dan keesokan paginya… Sebuah berita menggemparkan muncul di televisi. Berita penemuan sesosok mayat perempuan yang mengapung di sungai. Dan sosok itu adalah LANI. “HEH… AYO CABUT!” Asep menepuk pundak Dion cukup keras. Dion terkejut dan terbangun dari lamunannya. Kenangan buruk itu membuat kepala Dion terasa sedikit pusing. Asep yang sudah bangun dari kursinya pun kemudian menatap bingung. “Lo kenapa, sih?” Dion meneguk ludah, lalu menatap Asep dengan mata letih. “Lo yang nyetir motor gue ya. Kepala gue bener-bener terasa pusing,” ucap Dion dengan suara lirih.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD