41. Kecurigaan

1525 Words
Dina berusaha sebaik mungkin untuk menghindari Rianti. Terdengar sedikit gila memang. Karena hingga detik ini dia masih menumpang di rumah temannya itu. Hanya saja Dina sedang berada di fase lelah. Di hanya takut tidak bisa menahan diri dan kemudian berujung emosi nantinya. Mereka tidak lagi pergi sekolah bersama. Di sekolah Dina selalu menghabiskan waktu di perpustakaan saja dan Rianti membenci hal itu. Sepulang sekolah Dina akan berdalih belajar kelompok bersama temannya dan menghabiskan waktu untuk belajar ataupun sekedar membaca buku di taman atau juga di tempat-tempat gratis yang tenang lainnya. Malam harinya Dina hanya membantu ibu Rianti menyiapkan kue-kue dagangannya untuk esok hari. Perihal membantu ibu Rianti, dia sama sekali tidak keberatan. Dina malah senang melakukannya. Dan kemudian dia hanya akan masuk kamar ketika matanya mengantuk. Dina juga tidak pernah lagi membuat PR atau belajar di kamar Rianti. Karena aktivitas itulah yang memicu Rianti untuk mengeluarkan jurus andalannya. “Eh, sekalian dong!” Kalimat yang amat sangat dibenci oleh Dina. “Oh iya, Din… Ibuk lupa, tadi ayah kamu nyariin ke sini,” ucap ibu Rianti. Eh. Dina yang sedang membantu membungkus keripik balado dan merekatkannya denga api lilin itu pun menatap bingung. “M-maksud Ibuk?” “Iya, maksudnya papa sambung kamu tadi nyariin ke sini,” jelas ibu Rianti lagi. “Om Tio?” Sang ibu mengangguk. “Iya. Tapi kamunya tadi sore ndak ada di rumah, kan. Dia sepertinya cemas dengan keadaan kamu. Dia mintak tolong sama ibuk untuk selalu mengabari keadaan kamu.” Dina terdiam. Sudut bibirnya sedikit terangkat, tapi kemudian Dina lekas menepis perasaan semacam itu. Dia tidak ingin lagi berharap kepada siapa pun. Dina berusaha membangun batas. Dia hanyalah ayah tiri yang tidak memiliki hubungan darah dengannya. “Dia minta kamu untuk menemui dia kalau kamu ada waktu. Katanya dia minta kamu datang ke kantornya,” ucap ibu Rianti lagi. Dina hanya tersenyum. “Oh iya, satu lagi. Dia nitip uang jajan sekolah buat kamu.” Kali ini kedua mata Dina langsung membulat. Bersamaan dengan itu ibu Rianti memberikan gulungan uang kertas yang terasa tebal. Membuat Dina merasa amat senang kali ini. Rianti yang sedang makan mie instan di meja makan pun akhirnya bersuara. “Cie… yang disayang sama papa tirinya,” ledek Rianti. Sang ibuk langsung menghardik. “Hus! Kenapa kamu berkata seperti itu ha?” “Aku cuma becanda, Buk….” Rianti membalas sewot. “Aku juga pengen punya papa seperti Dina.” Ucapan Rianti itu membuat Dina menghela napas sesak. Manusia ternyata memang tidak pernah merasa puas dengan apa yang mereka miliki. Padahal Dina sudah memiliki sosok ibu yang sangat menyayanginya. Sesosok malaikat tanpa sayap yang selalu berjuang mati-matian untuk kebahagiaannya. Tapi… Rianti justru menginginkan sosok ayah tiri. “Aku iri tau, Buk… ngelihat temen-temen yang punya ayah sambung. Hidup mereka kembali lengkap,” omel Rianti lagi. Dina hanya tertegun. Sementara ibu Rianti sendiri juga tampak menghela napas sesak. Gerakannya yang sedang memasukkan keripik ke dalam plasti dengan centong bahkan terhenti sebentar. Dia menatap lekat-lekat, tapi kemudian memilih untuk diam saja. “Lah, Ibuk malah nggak mau menikah,” ucapnya lagi. Dina menatap ibu Rianti. Guratan wajahnya tampak tidak nyaman. Rianti sang anak tidak cemas sedikitpun dan terus saja meracau sambil menyuap indomie ke mulutnya. Tak takut ibunya terluka. Tak memikirkan jika kata-kata yang terlontar dari bibirnya mungkin saja menyakiti perasaan sang ibu. “Dina… sepertinya hari ini cukup. Biar besok saja ibuk sambung di subuh hari.” Eh. Dina hanya termangu. Sedangkan ibu Rianti cepat-cepat berkemas. Dan setelah itu langsung masuk ke dalam kamarnya. “Haaaah.” Dina mengembuskan napas panjang seraya menatap Rianti. Dia juga kesal dengan tingkah Rianti malam ini. Dina kemudian bangun berdiri, mengambil segelas air putih di dapur dan lalu ikut duduk di meja makan. Dia terus sama menatap Rianti seraya meneguk air di gelasnya. “Kenapa lo ngeliatin gue kayak gitu?” Rianti menyadari Dina menatapnya. Dina mengembuskan napas kasar. “Kamu agak berlebihan malam ini. Ibuk kamu mungkin aja tersinggung sama perkataan kamu barusan.” Rianti mengerutkan kening. “Kesinggung apanya, sih? Lo jangan sok tau, deh.” “Bukannya aku sok tau. Tapi ucapan kamu tadi itu menurut aku memang agak ketrlaluan,” ucap Dina. Rianti mengunyah mienya dengan kesal, lalu menatap tajam. “Eh, Din! Gue udah biasa ngomong begitu sama Ibuk! Nggak ada masalah, kok… lo ngapain jadi masalahin ini anjir. Lagian itu nyokap gue! Bukan nyokap elu juga!” Deg. Kali ini Rianti malah menyinggung perasaan Dina. Membuat Dina mengangguk-angguk samar seolah menyadari bahwa; oh, rupanya memang tidak berguna menasehati temannya yang keras hati dan juga keras kepala itu. “Oh iya. Gue udah nahan-nahan sih akhir-akhir ini… tapi bibir gue tetep gatel buat nanya. Kenapa ya, gue ngerasa kalo lo itu ngehindarin gue?” tanya Rianti. Pertanyaan yang tiba-tiba itu membuat Dina membeku dengan mata melotot. “Memangnya ada apa, ha? Kenapa lo tiba-tiba ngehindar dari gue?” Dina meneguk ludah, lalu tertawa canggung. “Hahaha. Menghindar apaan sih. Emangnya kamu virus Corona yang harus dihindari?” Rianti masih menatap sengit. “Ya, terus kenapa lo tiba-tiba pulang dan pergi sekolah sama si Bagas, pulang sekolah lo juga selalu ngacir nggak jelas entah ke mana.” Dina berpikir keras memikirkan alasan yang sekiranya bisa menghilangkan prasangka Rianti, meskipun semua tuduhannya itu seratus persen akurat. “Oke deh… aku bakalan jujur sama kamu.” Dina sepertinya sudah siap untuk mengarang indah. “Sebenarnya setiap pulang sekolah itu aku ketemuan ama Bagas.” Rianti menyipitkan mata. Seolah menginginkan penjelasan lebih. “Yah, kadang cuma sekedar duduk-duduk aja di taman sambil belajar. Pokoknya sekarang itu Bagas selalu maunya berduaan terus. Aku juga lagi maksa dia buat rajin belajar,” jelas Dina. “Jadi lo main ama Bagas gitu?” suara Rianti terdengar sedikit melunak. Dina mengangguk. “Ya iya. Intinya adalah… aku pengen memperbaiki hubungan aku sama Bagas. Seperti yang pernah kamu katakan dulu, aku sadar bahwa selama ini aku cukup egois. Dan sekarang aku ingin memperbaikinya. Tapi… kalau kamu merasa tidak suka aku terus menghabiskan waktu sama Bagas, besok aku akan minta dia buat berhenti jemput dan anter aku ke sekolah.” “JANGAN…!” Rianti langsung memekik. Dina sedikit terkejut. “Lanjutin aja. Gue ngerti kok… tapi harusnya lo ngomong dari awal, biar gue nggak mikir yang aneh-aneh,” sergahnya. Dina mengembuskan napas lega. “Ya, aku kan malu.” “Malu-malu pala lu!” balas Rianti jengkel. Tapi kemudian Rianti justru asyik berceramah. Dia malah mendukung situasi yang dikatakan oleh Dina. “Udah paling bener kayak begitu. Jangan sok jadi ratu kalo jadi cewek. Karena kalo lo mau diperlakuin seperti ratu… lo harus perlakuin dia juga seperti raja,” kicau Rianti lagi. Dina hanya mengangguk-angguk dan menyetujui semua perkataan Rianti. Bukan karena dia benar-benar sependapat. Dina hanya menghindari perdebatan. Itu saja. “Terus… kamu sendiri bagaimana?” akhirnya Dina balik bertanya. “Gimana apanya?” “Ya, gimana progresnya ama cowok itu?” “Maksud lo Dion.” “Hmm… iya.” Rianti menghela napas panjang. “Anaknya kayak kulkas. Dingin banget. Dia jarang banget balesin chat gue. Tapi, yah… itulah daya tarik dia. Gue suka modelan cuek dan dingin kayak dia.” Dina mengangguk-angguk. “Dia nggak ganggu lo lagi, kan?” selidik Rianti. Dina agak tergagap. Dia hampir saja menceritakan tentang buku catatan yang diberikan Dion. Tapi kemudian hatinya dengan cepat memperingatkan agar Dina tidak menceritakannya. “Nggak!” “Bagus deh! Pokoknya nggak usah lo ladenin kalo dia gangguin lo. Ngerti?” Dina mengangguk. “Iya.” Dina kemudian melirik Rianti perlahan. Entah kenapa dia merasa ada yang ganjil dari segala sikap Rianti. Dan semua itu berawal sejak ia tahu bahwa Dion mengenal Dina. Bagaimana pun juga Dina bukanlah gadis yang bodoh. Logika dan perasaannya bisa berjalan mengikuti alur dan arus di sekitarnya. Segala sikap Rianti tentu menumbuhkan tanda tanya. Dina merasa bahwa Rianti tiba-tiba mendukung hubungannya dengan Bagas dan melarang ia dekat-dekat dengan Dion adalah untuk keperntingan pribadinya. Rianti takut jika Dion lebih tertarik padanya. Pemikiran itu berulang kali terbersit di pikiran Dina, tapi kemudian dia mencoba menghalau semua pemikiran tidak penting itu karena dia memang tidak tertarik kepada Dion. Bahkan untuk sekedar berteman saja, Dina masih merasa enggan. “Tenang aja… aku aja ogah deket-deket sama dia,” pungkas Dina. Rianti lalu tersenyum. “Oh iya… besok gue bakalan tour sih sama klub sepeda. Jadi artinya besok gue bisa ketemu sama Dioooon.” Dina ikut tersenyum. “Semoga besok jadi hari yang menyenangkan ya.” Rianti bertepuk tangan. “Semoga, Bestie!” Dan setelahnya Dina terpaksa harus memasang kuping mendengarkan ocehan Rianti tentang Dion. Dina pun terpaksa memasang sikap seperti ‘tertarik’ mendengar cerita itu. Walaupun mata Dina sudah sangat mengantuk sekali. Dia hanya ingin tidur. Dia tidak ingin mendengar bacotan itu. Hingga kemudian handphone Dina berdering dan ternyata itu adalah panggilan dari sang kekasih Bagas. “Maaf ya. Bagas nelpon nih,” ucap Dina. “Ya udah deh. Lo telponan sana! Gue tidur dulu,” pungkas Rianti. Dina tersenyum. Panggilan dari Bagas itu akhirnya mengakhiri obrolan Rianti yang panjang. Tapi sekarang Dina harus melayani kekasihnya dan entah sampai kapan pula Bagas akan bertelepon ria dengannya. “Haah. Ini akan jadi malah yang melelahkan,” bisik Dina dalam hatinya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD