39. Buku Warna Merah

1958 Words
Malam semakin larut…. Tapi Dina masih duduk di meja belajar kamar Rianti. Sedari tadi dia benar-benar gelisah dan merasa sangat tidak tenang. Dina mulai tidak nyaman menumpang di sana. Dia tak ingin segala yang terjadi bisa merusak persahabatannya dengan Rianti. Terkadang memang begitulah adanya, dekat yang bisa membuat jauh adalah ketika hal-hal sepele menjadi pemicu permasalahan. Dina pun menyadari bahwa sabar yang dia kemukakan saat ini hanyalah sebuah bom waktu yang bisa meledak kapan saja. Dan ia ingin mencegah itu terjadi. Dina mendesah pelan. Memandangi dua LKS yang sudah selesai ia kerjakan. Satu miliknya dan satu lagi milik Rianti. Pekerjaannya menjadi dua kali lipat berkat Rianti dan semua itu sangat menyebalkan. “Ya, aku tidak bisa selamanya berada di sini. Tapi… aku harus ke mana?” lirih Dina. Bingung. Dina benar-benar tidak punya tempat tujuan sama sekali. Dia tak punya sanak sodara. Sang mama dua bersaudara dengan tantenya yang merawat nenek di kampung. Jadi bisa dikatakan bahwa keluarga Dina hanyalah terdiri dari empat orang itu saja. Nenek, sang mama, tantenya dan dia. Tantenya bahkan lebih malang lagi. Tak juga bisa menikah karena waktunya habis merawat sang ibu yang mulai pikun. Sementara mama Dina sama sekali tidak peduli. Bertanya kabar pun tidak. Mama Dina hanya fokus pada keluarga kecilnya nan sangat bahagia, sejahtera dan sentosa. “Apa aku mencari pekerjaan sambilan saja?” Dina bisa saja pindah ke kost-kost-an dan hidup dengan tenang. Namun… Ide pun terasa sulit. Dina mengambil dompetnya. Ada selembar uang seratus ribu dan sisa beberapa uang recehan lainnya. Bagaimana dia bisa menyewa kamar kost dan sebagainya. Selama beberapa waktu mengungsi ini saja dia bertahan dengan uang yang waktu itu diberikan oleh Bagas. “Haaah.” Dina menjadi panik. “Apa sebaiknya aku kembali saja ke rumah?” Dia meringis. Itu jauh tidak mungkin lagi. Dina dilanda kegalauan. Membuat rasa kantuk sepenuhnya hilang. Dia tetap terduduk di sana tanpa suara. Di bawah terpaan sorot cahaya lampu meja belajar yang tampak temaram. “Tuhan… apa yang harus aku lakukan sekarang?” bisik Dina. Sementara itu di tempat yang berbeda…. Dion masih berkutat di meja belajarnya. Jemarinya masih sibuk menggoreskan tinta di atas kertas. Kacamata bulat yang bertengger di hidungnya sudah melorot. Rambutnya kusut dan terlihat mencuat-cuat ke mana-mana. Dion begitu sibu. Bukan karena tugas sekolahnya. Di lantai sebelah kanan, terlihat lembaran kertas yang sudah mengering, tapi terlihat mengkerut. Goresan tintanya juga jadi sedikit memudar, ada yang membayang juga. Ya, itu adalah buku Dina yang sudah menyelam indah ke dalam baskom berisi air di kedai ibunya Lani. Sekarang in Dion sedang mencatat ulang semuanya. Ya, semuanya. Dia merasa sangat bersalah. Apalagi Dina juga sampai menamparnya. Dion kemudian mengambil buku yang basah itu, lalu membawanya pulang. Dia lalu menyobek helai-demi helai buku itu dan menebarnya di lantai kamar secara berurutan agar dia tidak kesulitan ketika menyalinnya. Sejak magrib Dion sudah sibuk menyalinnya. Lama kelamaan, deretan kertas di lantai semakin berkurang. Dan sekarang waktu sudah menunjukkan hampir pukul 03.00 dini hari. Dion melepas penat sebentar. Dia meragangkan tangan, juga jari-jari tangannya. “Huuuft…” Dion meniupkan napas panjang. Dia melirik deretan kertas di lantai yang hanya tinggal sedikit lagi. “Oke! Hanya sedikit lagi. Ayo semangat.” dia mengepalkan tangannya dan tersenyum. Menyemangati dirinya sendiri. Sesekali Dion juga tersenyum. Dia tak habis pikir akan melakukan hal-hal seperti ini karena seorang perempuan. Dion berhenti menulis. Jemarinya bergerak menyentuh pipi. Meraba pipinya yang ditampar oleh Dina dan ia tersenyum lagi. “Sepertinya aku benar-benar sudah gila,” bisik Dion. Dan kemudian dia lanjut bekerja. Jarum jam di dinding pun terus berputar. Hingga akhirnya Dion menyelesaikan pekerjaannya itu menjelang subuh. Dia benar-benar merasa lega dan puas. Sebagai penutup, Dion memakaikan buku itu sampul berwarna merah. Dia memasangnya dengan sangat rapi. “AKHIRNYAAAA….!” Dion benar-benar bersorak lega. Setelah itu dia langsung mengempaskan tubuhnya ke atas kasur. Dion mengambil handphone-nya, lalu kembali membuka direct message atau pesan terakhir yang tadi dikirimkan oleh Dina. Dia tersenyum. Nyaris seperti orang gila. ‘Apa kita bisa berteman?’ Dion sudan membaca pesan itu ratusan kali, tapi tetap saja ia merasa girang tidak karuan kala membacanya. “Kenapa dia mau berteman dengan seseorang yang bahkan tidak tahu bahagimana wujudnya?” bisik Dion. Jempol Dion perlahan bergerak dan ia membalas pesan itu segera. ‘Tentu saja.’ Dion lagi-lagi tersenyum dan memejamkan mata. Tapi kemudian ia terkejut. Dina membalas pesannya itu. ‘Terima kasih. Senang mengenal kamu.’ Dion terkejut, lalu lekas membalas. “Kamu belum tidur?’ ‘Aku tidak bisa tidur,’ balas Dina. Dion mengenryitkan dahi. ‘Kenapa?’ ‘Ada banyak hal yang mengganggu pikiran.’ Dion menghela napas sesak. Raut wajahnya pun juga langsung berubah serius. Dia bisa saja bertanya kenapa dan bagaimana. Dia bisa saja meminta Dina untuk menceritakannya saat ini juga. Tapi Dion merasa saat ini bukanlah waktu yang tepat. Dina harus beristirahat. ‘Aku ingin tahu kamu kenapa. Tapi aku tidak ingin membahasnya sekarang. Kamu harus beristirahat. Kesehatanmu jauh lebih penting. Cobalah mencuci muka, kamu juga bisa meminum segelas s**u. Dengan begitu pasti kamu akan segera mengantuk.’ Dion mengirimkan pesan cukup panjang. Dia menunggu. Menanti balasan dari Dina. ‘Baiklah… aku akan mencobanya,’ balas Dina. Dion tersenyum. Tapi kemudian Dina mengirimi pesan lagi. ‘Jadi siapa nama kamu?’ Dion termenung. Dia menggaruk-garuk kepalanya karena bingung. Otaknya mulai berpikir mencari sebuah nama. Tatapan matanya kemudian beralih pada sebuah poster member girl grup yang melekat di dinding kamarnya. Salah satu member girl band paling populer. Yaitu Rose Blackpink. Dion meneguk ludah. Dia merasa tidak yakin, tapi jarinya sudah mengetikkan nama itu. ‘ROSE.’ Dion meringis. “Aissh… kenapa aku memakai nama perempuan?” Balasan dari Dina segera muncul. ‘Nama yang sangat cantik. Aku Dina.’ ‘Oke, Dina salam kenal ya,” balas Dion. Dina mengirimkan emoticon senyum sebanyak tiga buah, disambung dengan kalimat berikutnya. ‘Salam kenal juga, Rose….” ** Pagi harinya, Dina terbangun lebih awal. Dia sengaja menyetel alarm lebih cepat. Dina langsung sibuk di dapur untuk membantu ibu Rianti. Dina tidak keberatan dengan membantu cuci piring dan juga sedikit membereskan rumah. Dia kemudian juga buru-buru mandi, untuk menghindari rebutan dengan Rianti. Hal yang menyebalkan lainnya adalah… Rianti selalu ingin lebih dulu memakai kamar mandi. Tapi kemudian dia sangat lama di sana. Rianti bisa duduk di toilet lebih dari tiga puluh menit seraya memainkan handphone-nya. Dina tentu menunggu dengan gelisah. Setelah Rianti keluar, Dina jadi sangat tergesa-gesa. Dan ketika Dina sedang berpakaian, Rianti pun akan mengomel agar Dina lebih cepat karena dia akan berangkat ke sekolah. Sangat melelahkan dan hari ini Dina ingin menghindari itu semua. Waktu menunjukkan pukul 06.00 pagi. Tapi Dina sudah tampil rapi dan siap untuk bernagkat. “Loh… Dina! Kamu sudah mau ke sekolah?” tanya ibu Rianti yang beru keluar dari kamar Dina mendekat, lalu tersenyum canggung. “Hmm… iya, Buk. Hari ini aku mau mampir ke toko buku dulu soalnya. Ada buku cetak yang wajib dibeli.” “Oalah… jadi begitu.” sang ibuk mengangguk-angguk. Dia tersenyum, lalu salim. “Aku berangkat dulu, ya Buk.” Setelahnya Dina berbalik hendak pergi. “Eh tunggu, Nak!” Dina berbalik dan ibu Rianti langsung menyodorkan uang yang dilipat-lipat kecil ke telapak tangan Dina. “Sek ini jajan buat kamu!” Dina melotot. “N-nggak usah, Buk!” “Sudah ambil saja. Tidak seberapa, kok.” Ibuk Rianti terus memaksa. “T-terima kasih, Buk.” “Iya. Hati-hati di jalan, ya Nak.” Dina kemudian melangkah seraya tersenyum. Ibu Rianti memang sangat baik kepadanya. Selama berada di sana, ia memperlakukan Dina seperti anak kandungnya sendiri. Tapi meskipun begitu, Dina tetap tidak tahan dengan sikap Rianti. Sikap yang selalu menyuruh-nyuruh Dina sesuka hati. Seakan benar-benar menunjukkan… ‘lo numpang di rumah gue!’ Dina melangkah girang. Udara pagi terasa cukup segar. Dia segera berlari ke perempatan jalan dan menaiki bus yang sudah menanti. Perjalanan ke sekolah pagi itu terasa damai dan sangat tenang. Dina menyukainya. Dia memilih duduk di dekat jendela, lalu menggeser kaca hingga udara pagi menerpa wajah. Segar sekali. Dina ingin seperti ini setiap pagi. Tapi hal itu jelas tidak mungkin juga. Rianti nanti pasti akan mempertanyakannya bukan? Bus berhenti di depan halte dekat sekolah. Dina pun lekas turun, lalu berlari-larian kecil menyeberangi jalan. Suasana di sekolah tentu masih sangat sepi. Dan Dina melongo ketika tiba di depan gerbang. “Eh, gerbangnya belum dibuka!?” Dina tertawa sendiri. Menertawai kekonyolannya pagi ini. “Lagipula siapa juga yang tiba di sekolah pagi buta seperti ini?” Dina mengira dia sendirian. Tapi kemudian… Dina menyadari bahwa ada seorang siswa yang berdiri di ujung sana. Dia memakain tudung hodir warna hitam, menyandang ransel dan memakai celana abu-abu dengan sepatu putih. “Eh. Ternyata ada juga yang datang pagi-pagi seperti ini,” bisik Dina. Dina berdehem dan juga ikut berdiri di depan gerbang. Menunggu sang penjaga sekolah membuka gerbang itu. Sesekali Dina melirik ke ujung sana, melihat siswa tak dikenal yang juga masih berdiri di tempatnya. Tapi kemudian… Dia melangkah mendekat. Dina mengernyit, tapi dia tidak menghiraukannya. Siswa itu tidak mungkin mendekat untuk menghampirinya. Tapi kemudian… “Ayo ikut gue!” Deg. Dina melotot setengah mampus. Dia mengenal suara itu. Wajah dibalik tudung hodie itu pun kini juga terlihat jelas. DION! “K-kamu…!” Dina melotot. Dion tersenyum, lalu dengan cepat menarik Dina. “K-kamu apa-apaan, sih!” bentak Dina. Dion tidak peduli dan terus menarik Dina ke tempat yang sepi. Dina tak habis pikir dan mengira bahwa Dion benar-benar tidak waras. Setelah tiba di balik bangunan ruko yang belum dibuka, barulah Dion melepaskan tangan Dina. “Kamu bener-bener gila, ya!” bentak Dina lagi. Dion tidak menjawab. Dia langsung mengeluarkan buku bersampul merah, lalu kemudian memberikannya kepada Dina. Eh. Dina menatap bingung. “Apa ini?” “Ambil! Buruan!” “Ya… ini apa?” desak Dina. Dion meneguk ludah. Terlihat malu untuk berkata. Tapi kemudian dia menepikan egonya dan bersikap gentlemen untuk bersuara. “Maaf karena gue udah ngerusak buku lo kemarin.” Sunyi. Dion berdehem. “Kalo begitu gue pergi dulu. Sekolah gue dari sini jauh soalnya.” Tapi baru beberapa saat melangkah, Dion malah kembali lagi. Mengeluarkan sebuah kantong hitam dan lagi-lagi memberikannya kepada Dina. “Apa lagi ini?” tanya Dina. “Roti dan minuman.” Dina makin heran. “Untuk apa?” “Untuk dimakan lah…,” jawab Dion ketus. Lelaki itu tampak gugup dan tidak berani memandang Dina. “Ya sudah… gue gabut dulu!” pamit Dion. Dina menjadi bingung. Sedangkan Dion langsung melarikan diri. Tatapan Dina beralih pada buku bersampul merah yang kini ada di tangannya. Dina membuka buku itu dan seketika terkejut. “HEH…!?” pupil matanya melebar. Dina membalik lembar demi lembar buku itu. Semua persis seperti catatan miliknya. Hanya saja catatan dibuku merah itu jauh lebih rapi. Sangat rapi sekali malah. Memanjakan mata yang memandangnya. Dina terpana. Di detik berikutnya dia segera berlari. Mencari keberadaan Dion. Tapi saat keluar dari balik dinding itu, dia melihat sosok Dion yang sudah memakai helm dan naik ke atas motornya. Tangan Dina terangkat seperti hendak memanggil. Namun motor lelaki itu sudah melaju pergi. Dina terdiam. Matanya kembali terpaku pada buku catatan yang diberikan Dion. Dina membalik-balik halamannya lagi. Semua benar-benar lengkap. Hingga kemudian sehelai kertas jatuh saat Dina membolak-balikkan halaman. “Apa ini…?” Dina berjongkok dan memungutnya. Ternyata itu adalah surat dari Dion. Hei… Gue minta maaf buat kemarin. Maaf karena gue udah ngerusakin buku lo. Gue berusaha menyalinnya sebaik mungkin. Maaf kalo sekiranya ada beberapa yang kurang karena tulisan di buku lo udah nggak bisa dibaca. Sekali lagi maaf, ya…. Dina termangu, lalu kemudian sudut bibirnya terangkat pelan setelah membaca surat pendek dari Dion. Dina kembali melihat buku itu. Bagaimanapun juga dia terkejut karena Dion menyalin semuanya hanya dalam waktu semalam saja. Tulisan Dion di buku itu juga sangat cantik sekali. Dina tersenyum, lalu kemudian mengembuskan napas panjang. “Dia pasti sudah berusaha keras untuk menyelesaikan semua ini….”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD