Dina sedang serius belajar malam ini karena besok ada ulangan harian. Sementara bestie-nya Rianti, sedang tidur-tiduran manja dengan masker potongan mentimun yang menempel di wajahnya. Rianti menyetel lagu Korea dari ponselnya. Dina pun kemudian menoleh.
“Kecilin suaranya dikit dong!”
Rianti membuka mata. “Ah. Iya maap.”
Rianti mematikan musik itu.
“Emang besok lo ada ulangan harian apa?” tanya Rianti.
“Kimia.”
Rianti duduk. Membuat kepingan timun yang tadi menempel di wajahnya terjatuh. Ia lekas mendekat dan juga duduk di sebelah Dina. Memaksakan p****t mungilnya agar bisa muat di kursi itu.
“Ngapain? Sempit tau!” sergah Dina.
“Gue cuma mau curhat, kalo nilai ulangan harian kimia gue anjlok. Gue remedi anjir,” adu Rianti.
Dina tertawa. “Hahaha. Ya kamu sih. Jatuh cinta ya boleh-boleh aja. Tapi kamu juga nggak boleh malas belajar dong! Semuanya itu harus seimbang. Ngerti nggak, sih.”
Rianti mengembuskan napas kasar. “Gue juga mau belaar kali. Tapi… di kepala gue itu cuma ada Dion… Dion dan Dion. Kemarin aja nih, ya. Gue ditodong pertanyaan ama Bu Reni pas pelajaran sejarah. Rianti… apa nama kota Jakarta sebelum masa penjajahan Jepang? Dan gue dengan santainya ngejawab… Dion, Buk…!”
“Hah…! kamu serius?” Dina tergelak.
Rianti mengangguk. “Iyaaa… pokoknya parah banget. Seisi kelas tuh ngetawain gue. Ditambah lagi bu Reni juga mengamuk. Gue diledek abis-abisan seharian itu.”
“Terus kamu balik mengamuk kayak biasanya? Dulu kamu bahkan pernah ngelawan bu Marta yang terkenal killer. Ampe satu sekolahan heboh, kan. Rianti adalah satu-satunya murid yang tidak takut dengan bu Marta. Banyak yang ngomong kalo bu Marta bahkan kena mental gara-gara kamu. Iya, kan?” tanya Dina.
Kedua mata Rianti melotot. “Nah, biasanya gue akan mengamuk seperti itu, kan! Tapi kali ini nggak, Din… sama sekali nggak. Gue malah langsung inget… jangan Rianti. Kamu harus tetap menjadi perempuan anggunly, harus tetep slay… santun dan berbudi luhur, karena Dion tidak menyukai cewek yang bar-bar.”
Dina memutar bola matanya malas. “Hadeeeh… bucin paraaah!”
“Ya gimana…. soalnya dulu gue udah pernah mengecap kepahitan karena patah hati,” tutur Rianti.
Eh.
Dina membeku. “Patah hati? Kapan kamu pernah patah hati.”
Deg.
Rianti tersadar bahwa dia sudah keceplosan. Raut wajahnya pun langsung berubah gugup.
“Kapan?” tanya Dina lagi.
“D-dulu…”
“Dulunya kapan? Seingat aku… kamu nggak pernah cerita,” tukas Dina.
Rianti sedikit kesulitan untuk menjawab. Dia tidak mungkin mengatakan bahwa yang membuat dia patah hati adalah Bagas yang lebih memilih Dina. Sampai detik ini Rianti masih menyimpan rahasia itu rapat-rapat dari keduanya.
“Apa kamu merahasiakannya dari aku?” selidik Dina lagi.
Deg.
Rianti semakin salah tingkah.
“Sebentar…” Dina mengingat-ingat. “Kalo nggak salah tahun lalu kamu pernah mendadak murung, jarang berbicara dan juga nggak mau diajak main bareng. Apa saat itu kamu patah hati?”
Rianti semakin terdesak. Tebakan Dina sepenuhnya benar.
Dina langsung merengut. “Kenapa kamu nggak cerita, ha? Apa kamu nggak menganggap aku sebagai sahabat?”
Pertanyaan itu membuat Rianti terdiam.
“Siapa? Jadi siapa yang sudah mematahkan hati kamu itu?” tanya Dina lagi.
Rianti diam terpekur cukup lama, tapi kemudian dia mengangkat wajahnya, lalu tersenyum. “Sudahlah… itu nggak penting lagi. Karena sekarang udah ada Dion di hidup gue. Dan seperti yang selalu gue katakan… kali ini gue nggak akan mau mengalah lagi.”
Dina menelengkan kepala. Karena Rianti berkata dengan wajah yang sangat serius.
“Mengalah dari siapa?” tanya Dina.
“DARI KAMU…!”
Dina tertegun.
Rianti pun juga masih menatapnya.
Ada keheningan menyebar beberapa saat. Hingga kemudian Dina memukul pundak Rianti pelan. “Kenapa aku coba? Hahahaha?”
Rianti juga menyeringai. “Maksudnya gue juga mau pacaran kayak lo gitu!”
Dina menggaruk kepalanya malas. “Udah ah, capek bahas cinta-cinta mulu. Sana lanjut maskerannya… aku mau belajar lagi.”
Tatapan Rianti justru tertuju pada buku yang terkembang di atas meja. Rianti sontak mengambil buku itu dan melihatnya.
“Ini tulisan siapa, Din? Bagus banget,” pujinya.
Deg.
Itu adalah buku ajaib milik Dina yang sudah ditulis ulang oleh Dion.
Dina terkesiap. “O… I-itu….”
“Rapi banget gila! Kayak tulisan font di komputer.” Rianti kembali meracau, lalu menatap Dina lagi untuk menunggu jawaban.
“Itu buku temen sekelas aku,” ucap Dina kemudian.
Rianti mengangguk. “Oh… yaudah deh. Gue molor duluan, ya! Ngantuk berat soalnya. Mau cepet-cepet tidur biar bisa ketemu sama ayang Dion di dalam mimpi.”
Dina menepuk jidatnya. “Dasar ratu bucin!”
Rianti tertawa dan melompat ke atas kasur. Dia membenamkan wajahnya ke bantal dan masih saja meracau. Menyebut nama Dion berulang-ulang. Hingga akhirnya suara itu tak lagi terdengar dan berganti dengan suara ngorok yang terdengar samar.
Dina menoleh perlahan. Terlihat Rianti sudah terlelap dengan posisi menelungkup.
“Haaaah.” Dina mengembuskan napas panjang, lalu menyapu wajahnya sendiri dengan telapak tangan.
Tatapan Dina kemudian beralih pada buku di depannya. Dia merasa bersalah karena sudah membohongi Rianti tentang buku itu. Tapi di sisi lain dia juga merasa memang lebih baik Rianti tidak mengetahuinya.
Dina sejenak menjadi bingung. Tapi kemudian dia menepikan semua pikiran itu dan kembali fokus pada buku pelajarannya.
**
Sementara itu…
“Hidangan utama?” Dion menatap bingung.
Bagas meneguk gelas wine-nya, lalu bangun berdiri. Ayo kita ke lantai atas.” ajaknya.
Dion tidak mengerti, tapi Bagas langsung merangkulnya pergi dari ruangan itu. Mereka melalui lorong yang sempit dan gelap, kemudian menaiki anak tangga yang cukup curang. Mengantarkan keduanya ke lorong yang lain. Tapi kali ini ada banyak pintu berwarna kuning yang berjejer di dinding dengan cat warna merah itu.
“Kita mau ke mana?” tanya Dion.
Bagas tersenyum. “Menikmati surga dunia.”
Deg.
Sampai akhirnya langkah Bagas terhenti di depan sebuah pintu. Dia menepuk kedua pundak Dion dari belakang, lalu sedikit memutar tubuh Dion hingga menghadap ke pintu itu.
“Lo di sini. Gue di sebelah. Selamat bersenang-senang dan sampai ketemu nanti,” ucap Bagas.
Dion masih coba menerka-nerka. Meskipun pikirannya sudah membayangkan apa yang mungkin ada di balik pintu itu.
“Ayo masuk!” tukas Bagas lagi.
Dion masih membeku dengan wajah bingungnya. Bagas pun membukakan pintu itu dan seperti dugaan Dion, di dalamnya adalah sebuah kamar yang tampak remang-remang dengan penerangan seadanya.
“T-tapi….” Dion berusaha menolak.
Bagas mendorongnya. “Udah tenang aja. Semuanya aman kok. Ini adalah rahasia di antara kita berdua,” ucap Bagas kemudian.
Dion hanya bisa membeku.
Bagas tersenyum dan kemudian menutup lagi pintu kamar itu.
“Haaaaah.” Dion mengembuskan napas panjang menatap pintu yang sudah tertutup di depannya.
Kemudian dia berputar pelan. Melihat ke sekelilingnya.
Kamar itu cukup sempit dengan langit-langit yang rendah. Lampunya remang-remang berwarna kemerahan. Di tengah kamar ada sebuah dipan dan kasurnya dengan kelambu yang menjuntai dari langit-langit yang mengerucut.
Dion terduduk di tepi ranjang itu. Saat ini dia masih sendirian di sana.
“Ini semua benar-benar gila,” desisnya.
Dion mengepalkan telapak tangannya perlahan dengan mata yang berubah sayu. “Ternyata dia memang benar-benar bajingan.”
Dion bangun berdiri lagi. Sepertinya dia harus segera pergi dari tempat itu. Tapi saat Dion baru bangun dari duduknya, tiba-tiba pintu di depan sana terbuka. Dia melihat sebuah kaki dengan sepatu tumit berwarna merah melangkah masuk
Dion pun tertegun dengan napas tertahan. Tatapannya masih tertuju pada kedua kaki yang melangkah itu. Hingga kemudian sosok itu berhenti tepat di depannya.
Perlahan tatapan Dion mulai naik ke atas. Hingga ia bisa melihat perempuan dengan gaun super mini warna hitam itu tersenyum kepadanya dengan tatapan mata genit dan gestur tubuh yang mulai menggeliat-geliat.
“Hai, Abang… aku Shinta dan aku harap Abang akan puas dengan service aku malam ini,” ucapnya dengan suara manja.
**
Beralih ke kamar sebelah. Seorang perempuan tanpa busana kini sudah berurai air mata dengan mulut yang disumpal oleh celana dalamnya sendiri. Pelakunya sudah jelas adalah Bagas. Dia sangat menikmati permainan yang sangat kasar itu. Tak peduli jika perempuan itu sudah kesakitan, merintih dan memohon ampun.
“Oh… yes… oh God! Enak banget an-jing!”
Bagas menunggangi perempuan itu dengan gagah. Otot-otot tubuhnya kini terlihat jelas. Malam ini Bagas sangat menikmatinya. Sudah lumayan lama dia tidak bersenang-senang. Dia memukul dan terus menjambak perempuan yang menungging di depannya itu.
Gerakan pinggul Bagas semakin kencang.
Sangat cepat sekali hingga kedua payu-dara perempuan itu ikut bergoncang kuat. Menimbulkan bunyi yang sangat keras.
Bagas mengerang nikmat.
Perempuan itu mengerang kesakitan.
Bagas menghentak kuat sekali. Benar-benar sangat membabi buta hingga punggungnya sudah basah oleh keringat.
“Aaaah…” Bagas melenguh lagi.
Gerakan panggulnya mulai melambat.
Semakin lambat, lalu terhenti.
Erangan kesakitan perempuan itu pun juga terhenti. Tapi air mata masih mengalir di pipinya. Perempuan itu mengira bahwa penderitaannya sudah berakhir saat Bagas mencabut senjatanya.
Sang perempuan langsung tergeletak tak berdaya di atas ranjang itu dengan napas sesak.
Akan tetapi dugaannya salah.
Semuanya belum bersalah.
Bagas tiba-tiba menarik rambutnya, hingga kepala perempuan itu kembali terangkat.
Bagas pun meyeringai. Wajah mereka berdua kini sangatlah dekat. Sekilas Bagas terlihat seperti hendak menci-umnya. Tapi ternyata…
“Cuh…!”
Bagas malah meludahi wajah perempuan itu.
Sontak perempuan itu langsung menutup matanya. Dan Bagas pun terkikik. Sangat menikmatinya.
“Buku mulut kamu!” perintah Bagas kemudian.
Perempuan itu terlihat ketakutan.
“Ayo buka mulutnya!” tukas Bagas lagi.
Perempuan itu menurut dan Bagas langsung meludah ke dalam mulut wanita itu. Kemudian ia tertawa lagi. Tangannya kemudian menjangkau sebuah benda pipih di atas meja. Dan kemudian dia memperlihatkan benda itu kepada sang perempuan penghibur.
“J-jangan….” ucap wanita itu.
Bagas malah menyeringai. Benda pipih yang ada diselipkan diantara jemarinya itu ternyata adalah sebuah silet.
Perempuan itu semakin ketakutan dan mencoba lari. Tapi Bagas langsung menerkamnya kembali.
**