Akhirnya Dion resmi bergabung dengan tim futsal Garuda. Kehadirannya di klub pun disambut hangat oleh pelatih dan tentunya Bagas. Dion pun langsung menunjukkan kemampuannya dalam mengendalikan si kulit bundar. Latihan kali itu membuat semua orang terpana melihat kemampuannya. Umpan-umpan pendek menukik tajam dan kemudia berhasil di eksekusi dengan baik oleh Bagas. Di lain waktu, giliran Bagas yang bertugas memberikan umpan dan Dion sebagai pencetak gol. Aksi epik duet mereka berdua pun menuai decak kagum.
Suara tepuk tangan sang pelatih dan beberapa staf yang lain langsung terdengar saat sesi latihan mereka berakhir.
“Bravo…! hari ini saya sangat senang sekali melihat progress kalian. Terutama untuk si anak baru Dion dan rekannya Bagas.”
Dion dan Bagas yang berdiri bersebelahan langsung mengadu tinju mereka sebagai tanda tos.
“Tapi meski pun permainan kalian berdua sangat baik, saya harap kalian tidak melupakan anggota tim yang lain. Kalian tetap harus bermain dengan harmonis dan juga dinamis. Jangan pernah menjadi egois di lapangan.”
“Siap, Pelatih…!” sahut mereka hampir berbarengan.
Setelah itu mereka pun dibubarkan. Satu persatu pemain mulai meninggalkan lapangan futsal. Namun Dion dan Bagas masih duduk di sana. Duduk menjuntaikan kaki seraya sama-sama menggenggam sebotol air mineral dingin.
“Thanks ya. Karena lo beneran dateng. Gue sempat cemas karena lo nggak kunjung tiba,” ucap Bagas.
Dion tertawa. “Hahaha. Tadi gue kejebak macet, makanya jadi agak lama.”
“Gila, sih… akhirnya gue merasa hidup lagi dalam tim ini.” Bagas tersenyum.
Dion menatapnya. Memerhatikan Bagas sejenak. Dalam benaknya, Dion kini mulai berpikir. Seandainya… seandainya Bagas bukanlah orang yang membuat Lani meninggal dunia, apakah mereka bisa berteman baik? Apakah dia akan bisa menerima Bagas dengan tulus sebagai temannya.
Karena sekeras apapun usaha Dion untuk mengabaikan masa lalu, ia tidak bisa melakukannya. Rasa benci Dion terhadap Bagas sudah terlanjur mendarah daging. Seakan tak bisa lagi dilupakan.
“Oh iya, ntar malam lo sibuk nggak?” tanya Bagas lagi.
Dion menerawang sebentar. “Nggak, sih. Emangnya kenapa?”
“Main bareng gue yuk! Anggap aja sebagai perayaan karena lo udah kembali dalam tim.” Bagas menyeringai.
Dion agaknya malas. Dia paling jarang keluar malam. Apalagi harus pergi bersama Bagas. Sedang sekarang saja Dion sudah tidak sabar untuk pergi dari tempat itu. Tapi karena Dion mempunyai sebuah misi, karena dia memiliki sebuah tujuan. Dia pun memilih sebuah opsi untuk dekat dengan Bagas. Dia ingin tahu lebih jauh tentang kehidupan laki-laki itu.
“Boleh juga,” tukas Dion kemudian.
Bagas tersenyum senang. “Oke. Nanti malam gue akan jemput lo! Kirimin aja ntar alamat rumah lo oke.”
**
Malamnya, Bagas benar-benar datang menjemput Dion dengan mobilnya.
Kedatangan Dion dengan mobil yang mewah itu jelas menimbulkan tanda tanya di benak Dion. Sepertinya Bagas memang bukan orang sembarangan. Sepertinya dia memang berasal dari keluarga yang sangat kaya raya.
“Ayo masuk, Bro!” tukas Bagas kemudian.
Dion yang sempat bengong itu pun mengangguk, lalu buru-buru masuk ke dalam mobil itu.
Dion terkesima melihat interior mobil Bagas yang sangat modern dan canggih. Mobil jenis sport itu memang merupakan tipikal mobil-mobil yang digemari oleh kaum lelaki.
Bagas tersenyum bangga menatap Dion yang masih celingak-celinguk melihat kemewahan mobilnya.
“Kenapa?” tanya Bagas.
Dion tersenyum. “Mobilnya keren sekali.”
“Gokil, kan? Ini adalah salah satu mobil kesayangan gue.”
Dion mengangguk kecil. “Wah… ini benar-benar luar biasa.”
Pujian itu membuat Bagas semakin terbang. Dia mulai menceritakan koleksi mobilnya yang terdiri dari berbagai jenis. Keasyikan bercerita rupanya membuat Bagas lupa menjaga batas. Dia terlalu bersemangat.
Sementara Dion menyimak semua cerita itu sambil terus berpikir. Dia menyimpa semua informasi yang diceritakan oleh Dion ke dalam otaknya.
Setelah menempuh perjalanan selama kurang lebih tiga puluh menit, akhirnya mobil itu berbelok memasuki sebuah kawasan hiburan malam yang cukup mewah. Dion hanya bisa menganga saat Bagas membawanya masuk ke dalam.
Kehadiran Bagas disambut riuh, menandakan bahwa dia sudah sangat dikenal di tempat itu.
Service yang didapatkan oleh Bagas dan Dion pun sangat ekslusif.
Mereka berdua digiring oleh pihak pengamanan ke tempat yang sudah diboking oleh Bagas. Minuman alkohol pun langsung tersaji. Beberapa gadis-gadis belia dengan pakaian sexy pun segera mendekat dan ikut bergabung di ruangan privat itu.
Dion terkejut saat seorang gadis dengan baju ketat kerlap-kerlip tiba-tiba saja meletakkan tangannya di atas paha Dion. Sontak ia terlonjak dan menggeser duduknya. Sikap Dion itu pun membuat Bagas tertawa.
“Hahahaha. Ini pertama kalinya buat lo, ya?”
Dion tersenyum canggung. Dia tidak tahu bahwa Bagas memiliki sisi yang liar seperti itu. Wajar saja jika dia bisa menghamili Lani sewaktu mereka masih SMP, ternyata Bagas memang seperti ini.
“Udah. Pokoknya malam ini lo nikmatin aja. Ini adalah rahasia kecil antara kita berdua, oke! Selama lo ada dipihak gue…. semuanya dijamin aman. Dan bukan nggak mungkin lo akan selalu mendapatkan kesenangan seperti ini,” ucap Bagas sambil mengangkat gelas wine-nya.
Dion memaksakan diri untuk tertawa. Ia mencoba menyicip minuman beralkohol di gelasnya, tapi kemudian Dion langsung mengernyit. Rasa minuman itu terasa menyiksa indera perasanya.
“Hahahaha.” Bagas tertawa lagi. “Lo lebih cupu dari bayangan gue. Sepertinya ada banyak hal yang harus lo pelajari dari gue.”
Dion tidak merespon lagi. Hanya memaksakan bibirnya untuk tersenyum. Suasana itu sangat membuatnya tidak nyaman. Dua perempuan gatal kini mengapitnya dan mulai meraba-raba tubuh Dion. Sedangkan Bagas yang duduk di seberangnya juga demikian. Juga diapit oleh dua perempuan cantik yang kini nyaris memanjat tubuh Bagas.
Deg.
Dion pun terkejut saat Bagas dengan santai melumat bibir berbaju hitam di sebelah kirinya. Tangan Dion pun terlihat menelusup ke dalam rok perempuan itu. Satu perempuan di sebelah kanan kini mengelus-elus bagian s**********n Dion. Dia pun membuka kakinya lebar-lebar. Seakan sengaja agar perempuan itu bisa bermain dengan lebih leluasa.
Pemandangan itu justru membuat Dion kembali teringat pada Lani.
Ternyata lelaki yang sudah menodainya itu benar-benar seorang b******n. Bagas masih duduk di bangku SMA, tapi dia sudah memiliki kehidupan bebas yang mencengangkan. Dion jadi bertanya-tanya. Apa Dina tahu perangainya ini? Dan apakah Bagas juga memperlakukan Dina seperti perempuan-perempuan itu?
Dion menatap nanar.
Tapi kemudian dia terkejut saat perempuan di sampingnya, menyentuh area sensitif Dion dan menekankan telapak tangannya di sana. Refleks Dion menepis tangan itu dan menatap tajam. Tatapan yang membuat nyali perempuan itu ciut dan segera menjauh darinya.
Dion ingin situasi itu cepat berakhir. Tapi sepertinya tidak semudah itu.
Seorang pelayan tampak masuk dan berbisik ke telinga Bagas. Setelah itu Bagas pun tersenyum penuh arti menatap Dion.
“Ayo kita ke lantai atas. Karena hidangan utamanya sudah tersedia,” ucap Bagas kemudian.