63. Harapan Sang Ibu

2412 Words
Apakah Dion menikmati surga dunia yang diberikan secara cuma-cuma oleh Bagas kepadanya? Jawabannya tidak. Dion juga sempat berpikir untuk pergi, tapi semua sikapnya itu tentu akan menggagalkan tujuannya. Dion sedang berusaha untuk menjadi teman Bagas. Dia ingin Bagas percaya padanya. Saat ini Dion hanya duduk di tepi ranjang seraya terus memijit keningnya yang terasa berdenyut. Sementara wanita penghibur itu juga duduk di sisi ranjang sebelah sana. Mereka duduk saling membelakangi satu sama lain. Perempuan itu sempat mencoba menggoda Dion. Dia bahkan sudah menurunkan tali pakaiannya. Tapi secepat itu juga Dion melarangnya. Perempuan itu coba mendekat, tapi Dion mendorongnya hingga wanita itu terjengkang ke lantai. Sedikit kejam memang, tapi Dion sama sekali tidak sengaja. Dia hanya terlalu kaget saat wanita itu tiba-tiba menyentuhnya. Setelah itu Dion pun dengan lantang mengatakan bahwa dia tidak ingin melakukannya. Membuat sang wanita penghibur menjadi ciut nyalinya dan kini tampak tertunduk bingung dan juga malu. “Kenapa kamu melakukan pekerjaan seperti ini?” Dion bersuara memecah keheningan. Perempuan dengan lipstick dan riasan yang terlalu menor itu agaknya terkejut. “Umur kamu berapa?” tanya Dion lagi. Wanita itu meneguk ludah. “Sembilan belas tahun.” Dion tersenyum getir. “Bagaimana bisa kamu melakukan pekerjaan seperti ini di usia yang sangat muda?” “A-aku terpaksa melakukannya.” suara perempuan itu terdengar lirih Mereka bercakap-cakap tanpa saling pandang. Masih duduk saling membelakangi seraya duduk di tepi tempat tidur. “Terpaksa kenapa?” “Untuk bertahan hidup.” perempuan itu menerawang. “Awalnya aku dibawa oleh teman ke Ibukota ini untuk bekerja di pabrik. Dia menjanjikan hal-hal yang menyenangkan. Tawaran itu seperti sebuah embun sejuk di kehidupan yang tandus. Kehidupan keluargaku di kampung halaman sangat memprihatinkan. Kehidupan kamu terasa kelam saat bapak berpulang ke pangkuan yang maha kuasa. Meninggalkan ibuk dan delapan anaknya. Aku adalah si sulung. Kehidupan kami jadi sangat sulit. Akhirnya aku memutuskan untuk merantau tepat setelah mendapatkan ijazah SMA. Dengan harapan bisa membantu kehidupan ibuk dan adik-adikku di kampung halaman.” dia bercerita panjang lebar. “Lalu kenapa kamu bisa berakhir seperti ini?” tanya Dion lagi. “Temanku berbohong. Dia ternyata menjualku. Dan kemudian… aku tidak punya pilihan lagi,” jawabnya. Dion menghela napas sesak. Dia terkejut mendengar pengakuan itu. “Kenapa kamu tidak berhenti saja? Kenapa kamu malah meneruskannya?” nada suara Dion sedikit meninggi. Perempuan itu tersenyum. “Rumit… semua tidak semudah membalikkan tangan. Lagi pula… apa yang bisa aku lakukan? Keluar dari tempat ini dengan membawa pengalaman sebagai seorang mantan p*****r? Siapa yang mau menerima aku? Sudahlah… yang penting aku bisa mengirimkan uang untuk keluargaku di kampung halaman.” Dion menyapu wajahnya dengan telapak tangan. Anehnya ia merasa marah. Tapi Dion juga sadar bahwa dia tidak memiliki kapasitas untuk ikut campur lebih jauh lagi. Dion memilih untuk mengatupkan bibirnya rapat-rapat dan tidak mau berkomentar lagi. Setiap orang memang memiliki pilihannya tersendiri dalam hidup bukan? “Sebenarnya… aku sangat berterima kasih karena kamu menolak layanan ini.” wanita itu berkata. “Aku sudah merasa sangat letih seharian ini. Tapi sekarang aku juga cemas.” Dion sedikit menoleh. “Cemas kenapa?” “Mereka akan marah dan tidak memberikan bayaran jika aku tidak memuaskan tamu yang datang.” Dion tertawa getir. “Hahaha. Benar-benar gi-la!” Keheningan kemudian menyebar lagi. Suasana berubah sunyi beberapa detik. “Kamu hanya perlu diam saja. Aku juga tidak akan mengatakan apa-apa,” tukas Dion kemudian. Perempuan itu tampak tersenyum. “B-benarkah?” “Iya.” Perempuan itu langsung berdiri dan membungkukkan badannya. “Terima kasih. Terima kasih, banyak.” Setelah sekitar satu jam waktu berlalu, Dion pun keluar dari kamar itu. Wanita penghibur itu juga sudah pergi. Pintu kamar di sebelahnya masih tertutup. Menandakan bahwa Bagas masih di dalam sana. Dion menunggu di luar. Dia masih tidak habis pikir. “Dia masih seorang pelajar dan kelakuannya masih seperti ini. Bagaimana nanti?” desisnya. Setelah cukup lama menunggu hingga merasa bosan, akhirnya pintu itu terbuka. Bagas keluar dengan wajah berkeringat seraya memasang kancing bajunya. Dia menyeringai pada Dion. “Sangat melelahkan, tapi gue sangat puas,” ucapnya. Dion hanya menyunggingkan senyum tipis. Masih merasa miris dengan apa yang sudah dilakukan oleh Bagas. Tak lama kemudian wanita penghibur juga keluar dari kamar itu. Deg. Dion tersentak melihat perempuan yang sudah babak belur itu. Dia bahkan keluar dengan air mata yang masih meleleh. Pakaiannya robek di sana-sini. Dia pun segera berlari menembus lorong. Sedangkan Bagas malah tertawa. “Kerja bagus…!” Bagas berteriak. Dion menatap nanar. “K-kenapa dia terlihat sangat kacau seperti itu?” Bagas tersenyum. “Bagian dari permainan. Gue suka bermain kasar dan itu sangat menyenangkan.” Dion seperti tersambar petir. Hingga ia terpana cukup lama. Sampai kemudian tepukan Bagas dipundaknya membuat Dion tersadar lagi. “Lo sendiri gimana? Enak nggak?” tanya Bagas. Dion hanya mengangguk. “Inget ya! Ini adalah rahasia kita berdua. Rahasia antar lelaki. Dina dan Rianti tidak boleh mengetahui ini. Deal!” tukas Bagas. “Oke,” jawab Dion singkat. Setelah itu Bagas pun mengantarkan Dion pulang ke rumahnya. Rupanya sang papa sudah menanti dengan wajah cemas karena tidak biasanya Dion keluar hingga larut malam seperti itu. Ridwan langsung mengintip dari balik tirai jendela saat sebuah mobil berhenti di depan sana. Terdengar suara pintu mobil terhempas dan benar saja. Itu adalah Dion. Tepat sebelum Dion membuka pintu, Ridwan lebih dulu menarik pintu dari dalam sehingga membuat Dion terkejut. “Astaga…!” Dion melotot kaget. “Kamu dari mana?” Ridwan langsung menginterogasi. Dion berdehem dan mencoba menjaga jarak. Takut sang papa mencium aroma alkohol dari tubuhnya. “Oo aku tadi keasyikan main PS di rumah Asep, Pa,” jawab Dion kemudian. “Di rumah Asep?” “Iya. Hehe. Maaf, Pa… aku juga lupa ngabarin Papa.” Ridwan menghela napas. “Lain kali jangan lupa kasih kabar. Lihat tuh… udah hampir jam dua belas malam. Terus siapa yang mengantar kamu dengan mobil itu?” Dion terhenyak lagi. “Ooo itu Bagas. Jadi tadi kami bertiga mainnya.” Ridwan mengangguk tanda mengerti. “Ya sudah kalau begitu. Sebaiknya kamu langsung tidur agar tidak terlambat ke sekolah. Jangan main handphone lagi. Jangan main game lagi,” ucap Ridwan. Dion langsung memasang posisi hormat. “Siap, Boss!” Ridwan tersenyum. Tepat sebelum Dion melangkah pergi, Ridwan berkata lagi. “Oh iya… kita akan pindah rumah hari minggu depan,” ucap Ridwan. Dion melongok kembali. “Minggu depan?” “Iya. Minggu depan.” ** Matahari sore ini bersinar sangat terik. Dina tiba di rumah lebih dulu karena diantar oleh sang pacar. “Nanti kamu mau nemenin aku latihan futsal, kan?” tanya Bagas saat Dina turun dari motornya. Dina mengangguk. “Iya. Aku mau ngerjain PR dulu sebentar. Jam lima sore, kan?” “Iya.” “Oke. Aku akan pergi ke tempat latihannya nanti.” “Naik gojek atau grab aja. Nanti biar aku yang bayar ongkosnya,” ucap Bagas lagi. “Oke. Sampai ketemu nanti.” Bagas kemudian melesat pergi. Dina menghela napas panjang. Sebenarnya dia ingin beristirahat, tapi dia juga tidak mau membuat Bagas kecewa. “Aku harus buru-buru menyelesaikan PR terlebih dahulu.” Dina mengembuskan napas kasar dan bergegas melangkah masuk. “Hei, Sisteeer…!” Hardikan itu membuat langkah Dina terhenti. Dia berbalik dan melihat Rianti yang melangkah semponyongan di bawah terik cahaya matahari. Kucuran peluh mengalir deras di wajahnya. Sepertinya musim kemarau memang sudah mulai datang. Matahari seakan terasa sejengkal di atas kepala. Panas sekali. “Nih. Gue bawa air tebu buat lo,” tukas Rianti dengan napas sesak. Dina mengambilnya dan menatap heran. “Kenapa kamu berkeringat banyak sekali.” “Nggak tau kenapa hari ini busnya penuh banget. Paraaah. Gue ampe kegencet di dalam bus,” jawab Rianti sambil terduduk di teras. Dina ikut duduk di sebelahnya. Menatap prihatin. “Haaaa… makanya gue pengen cepet-cepet punya pacar. Biar ada juga yang bakalan jemput gue pulang sekolah,” rengek Rianti. Dina hanya bisa menepuk-nepuk pundaknya. Rianti kemudian mengeluarkan handphone-nya. Lalu menghubungi seseorang. “Kamu nelpon siapa?” tanya Dina. Rianti hanya menempelkan jari telunjuk di bibirnya. Mengisyaratkan agar Dina tidak bersuara. “H-halo,” ucap Rianti kemudian. “Halo….” Rianti tersenyum tatkala mendengar suara itu. “Hei. Lama nggak ada kabar. Lo baik-baik aja, kan?” Dina yang duduk di sebelahnya pun kini sudah langsung tahu bahwa sosok yang berbicara dengan Rianti di telepon itu adalah Dion. “Hmmm… sebenernya gue pengen ngasih sesuatu sama lo,” ucap Rianti kemudian. “Apa?” “Sebuah hadiah kecil.” Rianti tersenyum malu. Ada jeda sejenak. Sepertinya Dion sedang berpikir sebentar. “Hari ini gue latihan futsal sih, kalo nggak latihan… gue bisa aja nyamperin lo.” Rianti meneguk ludah. “Ooh… jadi hari lo latihan futsal, ya?” “Iya. Ke depannya gue bakalan intens buat latihan dan sepertinya gue juga akan vakum untuk sementara waktu di klub sepeda,” jawab Dion. “A-apa…?” Rianti tersentak. Perkataan Dion seperti kabar buruk untuknya. “Atau lo datang aja ke tempat gue latihan… tapi, rasanya itu akan ngerepotin lo sih,” tutur Dion. “NGGAK KOK!” Rianti lekas membantah. “Sama sekali nggak merepotkan.” “Beneran?” tanya Dion. “Iya. Gue bisa kok nyamperin lo ke tempat latihan futsal.” Rianti langsung meyakinkan Dion. “Oke deh. Kalo gitu nanti gue kirimin alamatnya,” tukas Dion. Panggilan telepon itu berakhir dan Rianti langsung berteriak girang. Ia bahkan tidak sadar dan melempar air tebu di genggamannya. “KYAAA…!” Dina ikut tersenyum. “Kamu kenapa?” “DION NGAJAK GUE BUAT NEMENIN DIA LATIHAN FUTSAL,” jawab Rianti antusias. Dina tercengang sebentar. “Lah… kenapa lo bengong?” sergah Rianti. “A-aku nanti sore juga bakalan pergi nemenin Bagas latihan futsal,” tukas Dina. Rianti berteriak girang lagi seraya melompat-lompat senang. Mengambil tangan Dina dan menghentak-hentakkanya. “Akhirnya gue juga ngerasain apa yang lo rasain, Din. Judulnya menemani yang tercinta latihan bola,” ucap Rianti lagi. Dina hanya tersenyum. “Lo berangkat jam berapa?” tanya Rianti kemudian. “Jam lima sore.” “Gue juga jam lima sore,” teriak Rianti. “Ya udah. Nanti kita keluar dari rumahnya samaan aja.” “Oke,” jawab Rianti. ** Dina sangat tergesa-gesa menyelesaikan semua tugas sekolahnya dengan baik menjelang jam lima sore. Dia harus menyelesaikan semuanya agar nanti malam bisa langsung beristirahat setelah membantu ibu Rianti seperti biasanya menyiapkan dagangan untuk esok hari. Sementara Rianti sibuk memilih outfit yang akan ia kenakan nanti. Si bucin itu bahkan sempat-sempatnya melakukan sesi lulur sekujur tubuhnya. Dina terus berpacu dengan waktu yang terus bergerak. Saat jarum jam sudah menunjukkan pukul empat sore, Rianti sudah tampil cantik dengan gaun onepiece motif bunga-bunga berwarna kecoklatan. Aroma parfumnya tercium wangi dari kejauhan. Riasan wajah Rianti juga membuat fitur wajahnya menjadi berbeda. Rianti sudah semakin ahli saja dalam merias wajah. Alis yang on point itu terlihat indah natural. Dia bahkan juga sudah bisa bermain-main dengan contour yang kini membuat wajahnya terlihat lebih tirus. Hidungnya terlihat lebih mancung. Riasan matanya terlihat minimalis, tapi sangat cantik sekali. Rambut pendeknya sedikit di atur sehingga membuat penampilan Rianti semakin sempurna. “Din… gimana menurut lo?” tanya Rianti kemudian. Dia berputar-putar hingga roknya mengembang saat Dina menatapnya. “WOW.” Dina menatap takjub. Rianti pun tersenyum. “Kenapa? Apa riasan gue agak berlebihan?” Dina menggeleng. “Nggak kok. K-kamu cantik sekali.” “Gue berangkat duluan, ya.” “Emangnya si Dion udah ngirim alamatnya?” “Udah.” “Tapi ini masih jam empat sore,” tukas Dina. “Lebih baik datang lebih awal dari pada terlambat.” Rianti mengedipkan matanya. Dina kemudian mengangguk. “Oke deh. Hati-hati di jalan dan selamat bersenang-senang.” “Wokaaay!” Rianti bergegas pergi. Sang ibu yang sedang membawa sayur daun pepaya dengan sebuah bakul di pangkuannya langsung terkejut melihat Rianti yang keluar dari kamarnya. Bakul berisi daun pepaya itu jatuh dan berserarakan di lantai. “Kenapa dijatuhin, Buk?” Rianti segera membantu memungut sayuran itu kembali. Sang ibu pun masih terpana saat Rianti memberikan bakul itu kembali ke pangkuan sang ibu. “K-kamu mau ke mana, Nduk? Kenapa kamu cantik sekali?” Rianti tersenyum malu. “Aku mau ketemu Dion, Buk.” Sang ibu tersenyum. “Wah… sepertinya ibuk benar-benar punya seorang putri.” Rianti merengut. “Apa selama ini Ibuk nggak menganggap aku sebagai anak perempuan?” Sang ibu tergelak. “Hahaha. Iya! Selama ini ibuk malah ngerasa seperti punya anak bujang yang galak.” Rianti memanyunkan bibirnya. “Ya sudah… hati-hati di jalan dan jangan pulang kemaleman, toh,” ingat sang ibuk. “Iya, Buk. Dina nanti juga bakalan pergi nemenin Bagas latihan futsal, kok,” ucap Rianti. “Terus kenapa ndak bareng saja?” tanya sang ibuk. Rianti menggeleng. “Lokasinya beda, Buk. Bagas latiannya di mana aku nggak tau sih.” “Owalah… begitu toh.” sang ibu mengangguk tanda mengerti. Rianti salim kemudian berpamitan. “Aku pergi dulu, ya, Buk…!” Sang ibu hanya bisa tersenyum seraya geleng-geleng kepala. Setelah itu ia mengintip Dina yang masih mengerjakan tugas di dalam kamar. “Kamu sudah makan toh, Din?” tanya sang ibu. Dina terkesiap. “Astaga. Aku lupa, Buk.” “Jangan lupa makan. Nanti kamu sakit. Makan dulu sana, baru nanti lanjutkan lagi belajarnya. Tadi ibuk sudah bikin sambal lado ati dengan kentang kesukaan kamu.” Eh. Dina menatap antusias. “Ibuk masak sambal lado ati?” “Iya. Sana buruan makan. Nasinya juga baru mateng!” Dina mengangguk senang. “Iya, Buk.” Dina meletakkan pulpen di tangannya dan berlari-lari kecil ke dapur. Mengambil piring, nasi dan membuka tudung di atas meja makan. Benar saja, makanan kesukaannya itu sudah tersedia di sana. Sebelum menyuap makanannya, Dina menatap sang ibu yang sedang membersihkan sayur daun pepaya. “Ibuk nggak makan?” Sang ibu menatap padanya. “Ibu tadi sudah makan.” Dina mengangguk dan menikmati makan siangnya yang terlambat. Dina yang hanya memikirkan tugas sekolahnya langsung buru-buru masuk ke kamar dan berkutat dengan buku-buku. Beruntung dia kini memiliki ‘sosok ibu’ yang selalu peduli padanya. Yang selalu memberinya perhatian dan juga cinta. Perlahan… Dina merasa semakin nyaman. Sosok sang mama kandung pun juga semakin memudar di dalam kepalanya. “Katanya kamu juga mau pergi?” tanya sang ibu kemudian. “Iya, Buk.” “Hah… ternyata beginilah rasanya punya dua anak gadis yang sudah mau beranjak dewasa. Semoga ibuk masih diberikan umur yang panjang agar kelak masih bisa melihat kalian berdua menikah.” sang ibu menuturkan harapannya. Dina berhenti menyuap makanannya, lalu tersenyum. “Pasti, Buk… Ibuk pasti akan melihat aku dan Rianti menikah dan berbahagia.”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD