Jarum jam sudah menunjukkan pukul 23.00 malam, tapi Dina masih belum juga terlelap. Hujan sejak sore tadi baru saja reda. Ia melihat berita di televisi tentang banjir yang terjadi di mana-mana pasca hujan deras yang menerpa. Hampir sebagian besar daerah rawan banjir sudah terendam dan menimbulkan kekacauan. Dina berbalik menghadap ke kanan seraya menghimpit telapak tangannya sebagai bantal.
Ia kembali mencoba.
Tapi beberapa saat kemudian Dina kembali pada posisi telentang dan membuka matanya. Saking kesalnya, ia bahkan menendang selimutnya dan kemudian menatap langit-langit dengan tatapan nanar. Kedua orang tuanya dan juga Varrel sang adik belum juga pulang ke rumah. Mungkin mereka masih bersenang-senang. Atau mungkin juga mereka sedang terjebak banjir. Apapun itu, Dina tidak peduli.
Bukan itu alasan Dina belum tertidur saat ini.
Ada dua alasan yang membuat matanya sulit terpejam. Pertama adalah karena badannya tiba-tiba terasa remuk dan sakit di sana-sini setelah insiden hampir terjatuh dari atap itu. Sebelumnya Dina tidak merasakan apa-apa selain rasa perih karena beberapa goresan. Tapi malam ini hampir semua badannya terasa pegal linu. Bagian lengannya mungkin juga sedikit terkilir dan membuat Dina kesulitan untuk menggerakkannya.
Kedua adalah karena Bagas.
Dina masih tidak mengerti dengan apa yang ia rasakan. Selama ini mereka berdua memang berkomitmen untuk menjalani hubungan yang sehat. Keduanya sepakat untuk saling menjaga kehormatan satu sama lain. Tapi meskipun begitu, Dina tetap manusia biasa yang juga memiliki hasrat dan nafsu. Terkadang dia memang membayangkannya. Terkadang dia juga ingin merasakannya. Saat menonton drama Korea kesukaannya melakukan adegan kissing, makan Dina akan mulai berkhayal jika sosok Bagas juga melakukan itu kepadanya.
Dina tidak munafik. Dia juga ingin mencobanya.
Dalam bayangan Dina semua akan terasa indah.
Tapi…
Setelah Bagas hendak melakukannya, setelah keinginannya itu hampir menjadi nyata…
Dina malah merasa takut dan kemudian menciptakan kecanggungan antara mereka berdua. Setelah penolakan itu, Bagas langsung bergegas pulang. Padahal saat itu hujan tiba-tiba kembali melanda deras, disertai oleh angin kencang.
Bagas meninggalkan rumah Dina di tengah badai yang mengamuk. Dina pun tidak mencegahnya. Dina pun tidak lagi menahannya. Malahan Dina terkesan memang ingin agar Bagas segera pergi saja.
Dina menghela napas panjang. Dia disiksa oleh pikirannya sendiri. Dina merasa bimbang atas sikapnya. Apa menolak keinginan Bagas adalah sebuah kesalahan? Atau sikapnya yang menolak itu memang sudah tindakan yang benar?
“Kenapa aku jadi kacau seperti ini?” lirih Dina.
Dina kemudian menjangkau handphone-nya dan tidak ada notif apa-apa di sana. Tidak ada pesan dari Bagas. Tidak ada kabar sama sekali dari kekasihnya itu. Membuat Dina digerogoti oleh rasa bersalah.
Setelah menepikan rasa ego dan gengsi, akhirnya Dina memutuskan untuk menelepon Bagas.
Panggilan itu tersambung.
Dina pun segera duduk dan menunggu. Ia gugup dan menggigiti jari kuku tangannya sendiri. Bagas tidak kunjung mengangkatnya. Satu panggilan sudah terlewati. Dina pun mencoba kembali, tapi tetap tidak ada jawaban.
Dina terus mencoba menghubungi Bagas.
Kedua, ketiga, hingga ke lima kalinya.
“Kenapa teleponnya nggak diangkat-angkat, sih?” sungut Dina dengan kening berlipat.
Dina yang semakin gelisah kini sudah melangkah mondar mandir di kamarnya yang sempit itu. Dina sudah menetapkan bahwa ini adalah percobaan terakhirnya. Dia pun memanggil lagi. Jika kali ini Bagas masih tidak menjawab, Dina tidak akan meneleponnya lagi.
Rusuh bercampur dongkol.
Itulah yang dirasakan oleh Dina sekarang.
Ia menyerah. Panggilan itu tidak juga dijawab. Namun saat Dina hendak memutus panggilannya, tiba-tiba ia mendengar suara musik dan krasak-krusuk yang tidak jelas.
Eh.
Bagas menjawab panggilan itu.
Dina kembali menempelkan handphone-nya ke telinga. Tapi di detik itu juga ia langsung mengernyit dan menjauhkan handphone itu karena bunyi dengung yang sangat kencang dan membuat telinganya sakit.
“Kamu di mana? Suara apa itu?” tanya Dina kemudian.
“Bentar. Tunggu sebentar!” Bagas berteriak, tapi suaranya masih tenggelam diantara suara dengung yang tidak jelas.
Tak lama kemudian suara dibalik handphone itu mulai tenang.
“Iya, kenapa?” tanya Bagas.
Dina mengernyit. Dia mendengar suara musik yang cukup kencang di belakang Bagas. “K-kamu sekarang ada di mana?”
“Apa? Aku nggak denger kamu,” tukas Bagas.
Dina mengembuskan napas gusar. “KAMU ADA DI MANA?”
“Nanti! Nanti aku akan hubungi kamu lagi, oke!”
Tut. Tut. Tut.
Dina terkejut.
Bagas memutuskan panggilan telepon itu begitu saja. Dina sukses terheran-heran dan masih menatap nanar.
Apa yang sebenarnya sedang terjadi?
Di mana Bagas sekarang?
Dan jawabannya adalah….
Bagas sedang berada di tempat sebuah hiburan malam bersama teman-teman yang lebih dewasa daripadanya. Kebanyakan temannya itu adalah mahasiswa dan juga beberapa lainnya sudah merambah ke dunia kerja. Kumpulan lelaki itu sudah selesai bersenang-senang di luar bersama irama musik dan saat ini beranjak menikmati minuman alkohol di dalam sebuah bilik khusus dengan meja panjang dan kursi menyatu yang mengelilinginya. Meja di depan mereka pun penuh dengan berbagai jenis minuman. Jumlah mereka semua sebanyak sebelas orang termasuk Bagas. Cukup ramai memang.
“Wohoo… tumben si Bagas hari ini minum banyak,” ledek seorang pria yang memakai denim warna biru. Namanya Ade. Dia adalah mahasiswa di salah satu universitas swasta di Ibukota.
“Iya euy… biasanya dia paling kalem. Tapi hari ini die lost control,” sahut pria di sebelahnya yang berbaju kuning. Namanya Tomi.
Bagas hanya tersenyum dan kembali menuang minuman ke gelasnya.
“Lo aman, kan?” tanya sosok berkacamata yang duduk di hadapan Bagas. “Apa lagi ada masalah?” pria yang bertanya itu namanya Dicky.
“Nggak ada apa-apa, kok,” jawab Bagas.
Pesta itu pun berlanjut.
Suara tawa mereka menggema kencang memenuhi ruangan VIP itu. Semua bersenang-senang. Mereka bercerita tentang banyak hal yang menarik, seraya menikmati suguhan minuman yang ada. Obrolan itu memuat banyak hal. Mulai dari hobi, tentang otomotif yang disukai lelaki, juga tentang kabar dunia olahraga terkini. Sampai kemudian obrolan itu pun bergeser ke ranah asmara.
“Eh. By the way lo langgeng amat ama si Linda. Resepnya apa Bro?” Dicky bertanya kepada Ade.
Ade tersenyum bangga. “Iya dong. Soalnya gue udah ‘mengikat’ dia. Sampe kapan pun dia nggak akan berpaling lagi dari gue.”
“Mengikat gimana maksud lo?” tanya yang lainnya.
Bagas yang sudah sedikit teler pun kini menyimak obrolan itu.
Ade menyeringai nakal. “Gue udah perawanin dia.”
“HOOOOO….”
Suasana pun langsung menjadi gaduh. Obrolan para lelaki itu sejatinya agak menyeleneh dan penuh dengan candaan kotor. Tapi justru hal itulah yang membuat suasana menjadi ramai.
“Ngadi-ngadi lo ah! Masa iya gara-gara itu si Linda jadi nempel ama lo?” seorang lelaki berambut keriting menatap tak percaya.
Ade mengangguk. “Iya beneran. Dulu itu si Linda cuek bebek ama gue. Dia bahkan bisa mutusin gue dengan enteng berulang kali. Percaya atau nggak, dia bisa mutusin gue delapan kali dalam sebulan. Tapi sejak gue ngelakuin itu… justru keadaan jadi berbalik. Dia jadi takut kehilangan gue. Dia juga terkesan patuh dan selalu nurut sama keinginan gue. Karena dia mau gue bertanggung jawab. Dia semacam nggak punya opsi lain lagi selain bertahan dan setia sama gue. Gokil nggak tu?”
Suasana kembali ricuh.
“Gilaaaaa!”
“Parah, Men.”
“Nggak ada obat!”
“Kacau!”
“Dasar edan!”
“Harusnya lo nggak boleh begitu sih, kalo lo bener-bener sayang sama dia.”
“Iya. Gue nggak setuju!”
“Itu sama aja lo jadi b******n buat dia!”
Ada yang setuju dan sependapat. Tapi ada juga sebagian yang mendebatnya. Sebagian beranggapan bahwa perkara perawan atau tidaknya seorang perempuan di masa sekarang ini bukanlah sesuatu yang tabu lagi. Ada yang membantah dan menentang pendapat Ade. Namun Ade tetap bersikukuh dengan pendapatnya sendiri.
“Pokoknya itu yang gue alamin sendiri. Gue nggak peduli sama cerita orang yang lainnya. Tapi bagi gue… cara itu bener-bener ampuh untuk bikin cewek gue setia. Dan setau gue juga banyak yang ngelakuin hal yang sama dan berhasil juga.” Ade tetap berbangga dengan apa yang sudah dilakukannya itu.
“Parah lo emang. Padahal lo punya adek cewek tiga biji!”
“Bener-bener manusia laknat. Sekarang dia malah seenaknya ama si Linda. Keliatan banget kalo si Linda takut ditinggalin sama dia.”
“Si Ade emang nggak ngotak.”
“Badjingan dia memang!”
Komentar-komentar itu justru membuat Ade semakin besar kepala. Dia semakin merasa bangga dan membusungkan dadanya di hadapan semua teman-temannya itu. Pro dan kontra masih terjadi. Perdebatan alot masih mengemuka. Sampai kemudian Ade berdiri dan menunjuk semua lelaki yang ada di ruangan itu.
“Pokoknya gue bilang ya, ama kalian semua… kalo kalian pengen ngiket cewek yang kalian suka biar nggak kabur lagi… PERAWANIN AJA! Gue jamin dia bakalan jadi setia dan takut kehilangan lo! PERCAYA SAMA GUE!”
“Huuuuu…!”
“Asuuu…!”
“Jancook!”
Suara tepuk tangan dan sorakan tidak setuju berbaur jadi satu.
Diantara semua kericuhan itu, Bagas pun kini menatap nanar seraya memikirkan semua perkataan Ade. Bagas tampaknya termakan dengan semua cerita itu dan langsung mempunyai sebuah pemikiran di otaknya.
“Apa aku juga harus melakukannya…?”