Bab 26
Alma.melohat anaknya terburu-buru. Sudah pasti itu menyangkut pekerjaan. Alma tidak pernah mau mengusiknya jika benar begitu.
Wanita itu, hanya bergeleng. Membiarkan anak lelaki satu-satunya itu pergi. Dalam hatinya, dia hanya bergumam dengan Agam yang pergi dengan mobil. Karena biasanya motor selalu menjadi andalan jika sedang terburu-buru.
Pria itu mengemudi dengan kecepatan tinggi. Jalanan masih begitu sepi. Masih sangat pagi untuk memulai aktivitas.
Begitu mendekati rumah Aileen. Ia melihat sekelebat wanita yang diduga itu adalah gadis yang ia cari.
Aileen. Ia menggunakan Hoodie berwana Lilac, berlarian kecil dengan menutup kepalanya menggunakan penutup dari Hoodie yang dia kenakan.
Agam berhenti, memotong jalan gadis itu, hingga membuat Aileen menghentikan langkahnya.
Ia mengerutkan kening, kemudian keluarlah pria itu. Aileen menghela napas. Dia sudah berpikir buruk bahwa dia akan di culik atau disakiti lagi layaknya dulu.
"Hai," sapa Aileen. Matanya yang sipit akibat tamparan semalam membuat Agam menatapnya dengan lekat.
"Kenapa lu?" lagi-lagi tidak ada kata lembut dari mulut pria itu. Dia ingin memberikan perhatian tapi selalu saja nada bicaranya buruk.
"Tidak ada. Mau ke mana?" Aileen berbalik tanya. Dia tidak mau menjelaskan apapun pada siapapun lagi.
"Ikut aku!" Agam menarik tangan Aileen. Membuka pintu dan memasukkan tubuh kecil mungil itu kedalam mobilnya.
Aileen hanya terdiam, membelalak dan juga menurut. Dia tahu rumah pria itu, dan dia juga yakin bahwa lelaki itu tidak akan menyakiti dirinya. Buktinya dia bertanya bukan?
Agam memutar dan dia pun duduk kembali di balik kemudi. Ia membawa Aileen menuju taman. Di mana ia pernah membawa sang ibu kesana.
Pagi hari memang sangat cocok untuk berolah raga di sana. Banyak sekali muda mudi yang sudah memadati tempat itu. Sekedar jalan pagi atau pun memakai fasilitas minim yang ada.
Setibanya di tempat itu. Agam kembali membawa Aileen. Menggenggam tangannya seakan takut bahwa gadis itu akan kabur. Padahal sejak awal Aileen menurut bahkan tidak protes sedikit pun.
"Kenapa kemari? Aku baru dari sini, tadi," ungkap Aileen. Benar, karena dia berolah raga. Bahkan belum Darren bangun.
"Tidak ada alasan—" balas Agam. Memang dia tidak memiliki alasan memilih tempat ini untuk mengajak Aileen. Hanya saja tempat itu yang paling dekat.
Agam menatap wajah Aileen. Begitupun dengan gadis itu, ia membalas tatapan mata Agam. Rasanya dia ingin melompat, atau mungkin terbang.
Aileen salah tingkah dan entah kenapa dia sangat senang, meskipun sisi lain hatinya kesal karena pria ini sangat dingin.
"Kenapa lu?" Kembali Agam bertanya pertanyaan yang sama. Dia ingin tahu ada apa dengan gadis itu.
"Hanya insiden kecil. Kenapa kamu menemuiku? Mau pesan kue lagi?" Aileen selalu mengalihkan pembicaraan.
Sungguh dia tidak mau mengingat apapun tentang apa nyang tejadi semalam.
"Jawab, kenapa?!" tegas Agam.
Aileen mengerutkan dahi dan dia pun memberengut. Kesal karena Agam sangat memaksa dan memiliki tingkat ke-kepoan yang luar bisa besar.
Aneh, memang. Biasanya dia tidak peduli. Namun kali ini karena Agam ingin menggunakan wajah Aileen bukan? So— dia harus tahu apa yang terjadi dengan gadis calon modelnya itu.
"Kepo banget, sih! Katakan saja kenapa Mecariku?!" segah Aileen. Dia juga tidak suka ada orang lain yang ikut campur urusannya.
Agam mendecih. Dia pun mengutarakan keinginannya. Menceritakan bahwa di butuh seorang model. Agam juga bercerita bahwa dia melihat Aileen dalam alah satu iklan di jejaring sosial.
Sudah pasti Aileen bisa dan tidak akan menolak dengan alasan apapun kan.
"Aku bukan model, aku pendek. Tidak pantas jadi model," ungkap Aileen. Wajahnya sendu. Dia hanya beruntung bisa menjadi salah satu bagian dari brand tersebut.
Namun, Aileen tidak bisa berlagak seperti layaknya model profesional. Dia berkata jujur kada Agam. Bahwa dia tidak bisa berpose. Semua yang ada di jejaring sosial media melalui banyak sekali pengeditan.
Aileen juga yang melakukannya sendirian. Karena semua gerakannya seakan terlihat sangat kaku dan jelek.
"Percaya padaku, kamu bisa, kok. Terima saja dan satu bulan pendapatan tokomu akan menjadi milikmu dalam dua sampai tiga hari saja," kata Agam.
Terdengar lebih lembut karena ia memanggil Aileen dengan sebutan kamu. Bukan 'lu, lagi.
"Satu bulan?!" seru Aileen dengan gembira, "yang benar saja, itu banyak. Tapi— jika tidak diputar sih, uangnya," lirih Aileen kemudian.
"Ya, uang yang tidak kamu belanjakan itu yang akan kami dapatkan. Kenapa ponselmu tidak bisa?" tanyanya dengan dingin. Lagi-lagi selalu berakhir dengan pertanyaan.
"Hilang," jawab Aileen dengan setengah berbisik. Dia lemas. Karena dia juga tidak bisa membelinya dalam waktu dekat.
Agam mengulurkan ponsel miliknya pada Aileen. Wanita itu mendongak dan menatap ke arah Agam.
Karena tidak kunjung diterima, ia melemparnya dan Aileen kelabakan untuk menangkapnya.
"Ini— kenapa?" Aileen kikuk.
Ponsel itu sangat bagus. Bahkan seperti limited edition. Ada nama di casingnya. Bukan seperti custom, tetapi benar-benar desain khusus.
"Ambil, aku butuh kamu untuk keputusan, nanti sore."
Aileen berdiri dan mengembalikan ponsel itu pada Agam.
"Tidak, aku tidak mau! Ambil saja. Aku mau membantumu. Tapi ambil lagi ponsel ini," terang Aileen.
Agam pun ikut berdiri. Jarak mereka sangat dekat dan Aileen harus menarik wajahnya keatas agar bisa menatap pria itu.
"Katakan bagaimana kamu bisa menghubungiku?"
Banyak cara untuk itu. Aileen hanya tidak bisa menerima Karen situ terlalu mahal untuk dirinya.
"Aku bisa pinjam ponsel adikku. Satu lagi, aku sudah katakan kalau aku mau, kan? Jadi, kamu tidak perlu khawatir. Satu lagi, nomorku masih tetap sama. Aku akan mengurusnya setelah ini. Bisa kita pulang sekarang?" ajak Aileen.
Agam menatap gadis itu dengan lekat. Dan kemudian berpaling begitu saja.
Ish— menyebalkan kan? Dasar, kanebo kering! gumam Aileen dalam batinnya.
Ia mengikuti pria itu di balik tubuhnya yang besar. Sangat jomplang dengan tubuh Aileen yang kecil.
Mereka kembali ke mobil. Agam mengantarkan gadis itu pulang. Sampai di rumah. Aileen pun turun usai mengucapkan terima kasih pada pria dingin tersebut.
Setelah Aileen keluar, tanpa kata pria itu segera pergi. Aileen semakin kesal dibuatnya.
Ia berjalan dengan menghentakkan kakinya memasuki rumahnya. Lalu menghempaskan tubuhnya di atas sofa.
"Huh— kenapa Tuhan menciptakan manusia seperti dia. Ganteng, tapi sayang kaku, dan seperti kulkas tujuh pintu. Atau beruang kutub? Atau apa lagi sebutannya?" gumam gadis itu.
Dewi keluar dari ruang tengah. Dia mengulum senyum dan duduk mendekati anaknya.
"Kenapa? Pagi-pagi sudah ngedumel begitu?"
Wanita itu membawakan perasan lemon yang menyegarkan untuk Aileen.
"Nggak, Bu. Oh, ya. Darren sudah bangun?"
Dewi mengangguk. Dia sudah pulang. Katanya dia harus mengerjakan tugasnya kembali. Besok di kumpulkan. Jadi dia tidak menunggu kamu," tutur Dewi.
Aileen mengangguk. Dia meneguk habis air itu dan berlalu ke kamar setelah memberikan ciuman hangat pada sang ibu.