Bab 41: Ciuman Dadakan

1433 Words
Bab 41 Aileen kembali masuk ke dalam rumah. Dia menuju kamarnya lagi, dan melihat Agam masih terbaring di atas ranjangnya. Dia juga bahkan lupa memberi tahu sang ibu. Bahwa dia tidak bisa ke toko. Sepertinya Dewi harus menjaga toko dan membuat kue sendirian. Aileen mengganti kain yang ada di dahi Agam. Menatap wajah pria yang masih terlelap dengan suhu tubuh yang masih tinggi, membuat Aileen cemas. Masih tetap di angka tiga puluh Sembilan. Aileen tidak akan meningalkan laki-laki itu. Gadis itu menyingkirkan anak-anak rambut Agam yang menutupi wajahnya. “Hei, cepat sembuh. Kamu punya tanggung jawab untuk menggajiku kan? Kita bisa melakukan pemotretan lagi, kalau kamu sakit, aku akan kekurangan uang,” gumam Aileen. Ia, menggenggam erat tangan Agam. Rasanya sangat nyaman, tetapi juga panas. Aileen, hanya merasa senang saat melakukan hal ini. Matanya terus meniti wajah pria itu. Dia tidak bisa berhenti mengagumi Agam. Egois atau serakah? Dia milik Darren, tetapi dia mengagumi lelaki lain? Agam mengerjapkan matanya, sinar di ruangan itu membuat dirinya terusik. Aileen segera melepaskan tangannya, dan sedikit lebih mendekat pada lengan pria itu. Aileen mengambil kain yang ada di dahi Agam, lagi. “Kamu sudah bangun?” Agam menatap Aileen, sejenak keduanya bertatapan. Tanpa kata, tetapi Aileen seakan terkena serangan jantung. Dadanya berdesir melihat tatap Agam, pria itu tidak mengatakan apapun, hanya melihatnya. bahkan bergerak saja tidak. "Ma— mau minum?” tawar Aileen. Bukannya menjawab pria itu justru menarik lengan Aileen dan membuat gadis itu mendaratkan bibirnya pada bibir Agam. Aileen terbelalak, tetapi tidak dengan Agam, pria itu justru menutup matanya, sesaat kemudian. Beberapa detik yang membuat Aileen merasa aneh. Haruskah dia senang atau sedih. Ciuman pertamanya telah hilang. Bibirnya tidak lagi perawan, pikirnya. Kemudian semuanya terasa begitu canggung. Namun, Agam bak tidak ada dosa. Dia terlihat biasa, ia berusaha bangkit dan meraih gelas di samping dirinya. Aileen masih gelagapan, dan tidak ingin terlihat didepan lelaki itu. Namun, ia juga tidak bisa melangkah dan menjauh dari Agam, rasanya seperti dia telah terkunci di bed tersebut. Matanya berkedip-kedip untuk menyadarkan dirinya yang sejak tadi masih termangu. “Ini untukku?” Suara Agam menyadarkan Aileen dari lamunannya. Seketika dia seperti wanita yang linglung, menatap Agam dengan semua pikiran yang ada. Sungguhkah itu reaksi pria ini? Gumamnya dalam hati. “Hei, aku tanya. Ini untuk aku?” ulang Agam. “Ah— hah— i— iya,” gagap Aileen. “Suapi, aku!” perintah Agam, dengan seenaknya. “Hah?! Kenapa musti disuapi? Bisa kan makan sendiri?” sungut Aileen. Agam bergeleng, di justru melipat tangannya di depan d**a. Menatap Aileen tanpa mengalihkan pandangannya. Membuat gadis itu kian salah tingkah. Bukankah dia sudah berjanji akan merawat Agam sampai sembuh. Akan tetapi haruskah secanggung ini? Seharusnya semuanya baik-baik saja sampai kejadian tidak terduga itu terjadi. Anehnya, gadis itu tidak marah. Aileen memang tidak tahu harus berbuat apa, toh di cium juga tidak membuat dirinya rugi, bukankah itu artinya kekaguman yang dia rasakan barusan, mendapatkan balasan indah? “Ayo!” imbuh Agam. Aileen pun mengambil semangkuk bubur yang sudah dia buat. Sudah hangat, tidak lagi panas seperti tadi. Gadis itu menyuapinya dengan perlahan. Satu demi satu sampai bubur di mangkuk itu habis. Secara perlahan juga, kecanggungan Aileen lenyap. “Kalau butuh sesuatu, panggil aku aja. Aku akan ke toko sebentar,” izin Aileen. “Tunggu,” cegah Agam. Dia bangkit dan mendekati Aileen, sangat dekat bahkan dia bisa merasakan embusan napas Agam di pucuk kepalanya. Namun, Aileen tidak berani mendongak. Tidak mau hal seperti tadi terjadi lagi. Tidak, mungkin dirinya tidak mau, tetapi hati Aileen sangat mengharapkan hal itu terjadi lagi. Dia sudah gila? Mungkin— saja. “Ke— kenapa? Jangan membuat aku layaknya gadis bodoh. Aku harus berbicara seperti Aziz gagap! Ah— menyebalkan,” kesal Aileen. Dia tidak suka harus seperti ini. Sepertinya saat ini, yang berdiri dengan tubuhnya bukanlah dirinya. “Apa yang kulakukan? Aku tidak mengusikmu. Kamu yang gerogi, bukan aku yang salah,” belanya. Aileen bersungut dan berbalik. Dia hendak meninggalkan Agam, tetapi Agam justru kembali menahan Aileen. Dia mencekal bahunya dan memutar balikkan tubuh Aileen. Tubuhnya yang kecil membuat Agam dengan sangat mudah membalikkanya. Agam memeluknya dengan erat. Sangat erat sehingga membuat Aileen sesak. Dia tidak bisa bergerak, dan lagi-lagi dia membeku, membatu tidak dapat melakukan apapun. Agam, seperti sebuah kelemahan dan juga penangkal segala tingkah konyol Aileen. Agam membungkuk untuk mencium bahu Aileen. Entah apa yang merasuki pria itu. Yang pasti Agam hanya ingin melakukan itu, memeluk Aileen. Dia juga butuh bahu, buuh telinga untuk mendengar ceritanya. Agam juga kesepian, jauh kesepian ketimbang Darren. Dia yang memulai, tetapi dia yang kesakitan. “Aku mohon jangan pergi, kali ini saja,” bisik Agam. Sejenak, Aileen merasakan kekhawatiran yang Agam rasakan. Kegundahan yang besar dan Aileen ingin membantu lelaki itu. Tidak tega melihat pria arrogant dan dingin itu bersedih. “Oke, tapi— aku harus ke toko sebentar. Aku janji hanya sebentar. Ibuku menungguku, dia butuh beberapa bahan untuk membat kue,” tutur Aileen. “Aku juga membutuhkanmu. Kamu tahu, aku tidak memiliki teman. Hanya kamu orang yang mau bersamaku. Aku mohon kali ini saja,” pinta Agam. Kembali, hati Aileen seakan diremas. Melihat agam memohon dan seakan dia sangat terluka, penuh pengharapan pada gadis yang selalu mengejek dan membuat ulah dengannya. “Satu menit, Agam. Please,” tawarnya. Agam melerai pelukannya. Dia menarik dagu Aileen, membuat gadis itu mendongak. Lagi-lagi Agam, melahap bibir Aileen. Kembali wanita itu tidak bisa berbuat apapun. Tangannya seakan ingin mendorong Agam, tetapi di sisi lain, dia tidak mau melakukan hal itu. Agam, melumat dan menarik bibir bawah Aileen. Menatap mata gadis itu. Netra hitam seperti langit malam, dan mata itu juga lah yang menghipnotis dua lelaki yang memuja Aileen. Agam dan Darren, mereka takluk bukan hanya karena sikap Aileen yang ceria, murah senyum, pekerja keras, tetapi juga karena mata itulah yang menjadi poin utama untuk Agam. “Aku mohon jangan lama,” lirih Agam, setelah melepaskan pagutannya. Meskipun singkat, tetapi setidaknya Agam berhasil menahan Aileen. Dia juga percaya bahwa gadis itu akan kembali. Aileen, mengangguk. Setelah itu, ia pergi. Membawa piring kosong itu ke dapur, dia tersenyum di sana, menyentuh bibirnya dan mengingat hal yang baru saja terjadi. Aileen mengelus bibirnya sendiri. Aku benar-benar sudah gila, batinnya. Kemudian, ia segera mengambil tiga jenis buah di dalam bagasi motornya. Lalu ia pun bergegas ke toko. Aileen meminta maaf pada sang ibu, juga menjelaskan dan mengatakan bahwa Agam ada di rumah. Dia menceritakan semua kronologinya. Dewi, sangat peduli pada siapapun, dia pun mengizinkan Aileen mengurus lelaki itu. Toh, dia juga bisa mengurus toko dan membuat kue sendirian. Usai itu, Aileen kembali. Dia melihat lelaki itu duduk termenung di kamarnya dan menghadap ke luar jendela. Agam melamun, bahkan dia tidak sadar Aileen sudah ada di sisinya. “Kamu baik-baik saja? Bagaimana keadaanmu?” Aileen duduk di samping Agam, menatap satu target yang sama. Sebuah pohon besar yang ada di depan jendela Aileen, sedikit lebih jauh dari tempat mereka. Pohon yang menghalau sinar matahari saat sore dan juga siang datang. Namun, cahaya dan sinar matahari masih bisa menilisik masuk melalui celah lain. Membuat suasana dan juga udara di ruangan Aileen tidak begitu lembab. “Aku tidak baik. Siapa namamu? Aileen?” Gadis itu mengangguk. “ya, aku kira kamu sudah hafal namaku,” kekeh Aileen. Dia hanya berusaha untuk mencairkan suasana. “Terima kasih, sudah menolongku. Percaya atau tidak, ini adalah ungkapan terima kasih pertama yang keluar dari mulutku secara tulus,” jelas Agam. Aileen menatapnya, “benarkah?” Agam bergantian mengangguk. Dia juga menatap wajah Aileen dan tersenyum getir. Ada banyak sekali kisah yang ingin dia ceritakan, tetapi dia tidak yakin kalau gadis yang ada disampingnya mau mendengar semuanya. Agam, tidak pernah bercerita tentang kehidupannya kepada siapapun. Bahkan masa lalunya yang kelam itu. Sudah banyak sekali beban yang dipikul oleh lelaki itu. Hari ini, seakan semua beban itu menindihnya dan membuat Agam tidak lagi bisa bangkit. Sekuat apapun dia mencoba, semua terasa berat. Haruskah dia menuruti kata ibunya. Berhenti dan melanjutkan hidupnya? Namun, melupakan semuanya juga tidak mudah bagi Agam, tidak semudah saat dia membalikkan tubuhnya dari terlentang ke tengkurap. “Maukah kamu mendengarku? Aku tidak minta pendapat. Karena aku tahu semua pendapat mereka menentangku. Aileen, aku bukan manusia baik, sungguh, aku iblis, aku lelaki buruk. Kamu tahu sendirikan? Bahkan aku sudah menciummu tanpa meminta izin padamu,” terang Agam. Aileen hanya menatapnya. Akan tetapi Agam tidak membalas tatapan itu. Namun, anak matanya bisa menangkap bayangan bahwa Aileen melihatnya dengan perasaan yang dia sendiri tidak tahu. “Aku akan mendengarkanmu, kita teman, Agam.” Aileen tersenyum dan meletakkan tangannya di atas telapak tangan Agam. berusaha untuk menenangkan lelaki itu. “Teman? ….”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD