Bab 10: Pertemuan Berkesan

1431 Words
Bab 10: Beberapa menit setelah makan malam, Agam mengantarkan ibunya kembali ke kamar. Dia ada janji bertemu dengan orang yang menjual lensa antik. Dia butuh dan begitupun dengan orang itu yang juga membutuhkan uang untuk menunjang hidupnya. Menghidupi anak dan istrinya. Agam menyelimuti tubuh sang ibu dengan selimut yang tebal, selalu memberikan ciuman selamat malam sebelum meninggalkannya. Agam, sebenarnya bisa sangat lembut. Namun, juga bisa sangat kasar hanya dengan satu kali berucap. Malam ini, kejadian yang membuatnya kesal kembali terjadi, ketika perjalanan pulang dari lokasi pertemuan. Lelaki itu ditabrak! Ya, jelas-jelas pengemudi motor lain itu menabrak dirinya. Bahkan makian dan juga umpatan lolos begitu saja dari mulutnya. Dia marah, tanpa bisa mengontrol diri. Tidak peduli dia berurusan dengan wanita ataupun laki-laki, jika hatinya sudah jengkel maka, kata-kata yang terlontar pun akan sangat pedas dan menyakitkan. Siapa sangka bahwa dia mengatakan bahwa lensanya jauh lebih mahal dari harga diri seorang wanita? Sadarkah dia telah melukai wanita itu? Namun, Agam tidak peduli, dia sudah dibuat marah olehnya. Benar! Orang yang bertemu dengan Aileen saat jam sembilan lebih di malam hari adalah Agam, pertemuan kedua yang benar-benar tidak akan berkesan dengan baik. Aileen marah pada dirinya dan juga pada lelaki itu. Pria yang pertama kali dia lihat di toko yang jauh berbeda sifatnya dari saat ini dia temui. Setelah puas mengumpat, dan tanpa menjawab pertanyaan Aileen pun, Agam pergi. Tidak berkata maaf ataupun lain hal. Sudah pasti Aileen kecewa bukan? Ternyata paras tidak menjamin sikap seseorang itu baik dan setampan wajahnya. “Sial! Dasar, lelaki sialan! Apa salahnya memaafkan. Tidak perlu mengumpat dan mengatakan tentang harga diri. A! Kesal! Aku kira dia setampan wajahnya, padahal sudah mau jatuh cinta di pandangan pertama kan? Nggak jadi, deh. Nyesek pasti nanti akhirnya! Sialan! Dasar cowok sialan!” teriak Aileen begitu lelaki itu menghidupkan kembali mesin motor yang menderu lembut itu. Tidak! Tidak terlalu lembut, setidaknya tidak berisik seperti geng motor kebanyakan. Aileen kembali pada motornya, dia juga mengumpat motornya yang dianggap terlalu besar. Tidak hanya itu, dia juga merutuki dirinya yang terlalu kecil dan imut. Bayangkan saja, dia tidak sampai dibahu pria tadi, sementara jika dekat dengan Darren wanita ini hanya sampai bahunya. Jika bersanding dengan sang ibu Aileen sampai di telinga, dan bersanding dengan adiknya justru dia seimbang. Itu artinya dia seperti gadis SMP. Aileen meringis miris. Menikmati menjadi nasib wanita yang tidak terlalu tinggi. Dengan tinggi seratus lima puluh, apa? Senti meter? Mili meter? Atau meter? “Sialan! Aku tidak bisa berhenti mengumpat! Oh— otak ayolah berpikir yang lain!” gumamnya ketika tiba di toko dan membuka pintu harmonika yang dia rasa sangat berat. Bukan dia manja dan tidak bertenaga akan tetapi, pintu yang sudah lama sudah pasti serat, karena kurang perawatan. Ayahnya hanya datang dan membuka toko, membersihkan yang terlihat dan para pengunjung sudah berdatangan, sehingga untuk memperbaiki pintu sudah pasti tidak akan sempat. Aileen, berhasil membuka pintunya selebar tubuhnya, yang terpenting dia bisa masuk. Mengambil beberapa obat yang dia butuhkan kemudian kembali ke rumah dan segera memberikan apa yang diminta oleh ibunya juga dibutuhkan oleh sang adik. Sepuluh menit berlalu, dengan kondisi jalan yang kosong, Aileen toba di rumah, dengan langkahnya yang malas, dia berjalan menuju kamar Ayana. Gadis itu meringkuk dengan bekas kerokan di punggungnya. Dewi memijitnya dan mengoles banyak minyak angin ke punggung, sepertinya sangat nyaman karena dengan pijitan yang ringan. Terkadang Aileen juga merasakan pijitan itu, tetapi ketika dia benar-benar membutuhkan dalam kata lain, jika dirinya juga sedang tidak enak badan. Dewi adalah dokter pertama bagi mereka berdua. “Bu, ini.” Aileen memberikan beberapa obat pada sang ibu. Tanpa ekspresi dan dia ingin segera pergi dari tempat itu. Aroma terapi dari minyak angin itu membuat Aileen semakin pusing. “Kok lemes, kenapa?” lirih Dewi. Aileen menggeleng, tentu saja dia tidak mau menceritakan hal buruk dan memalukan itu. Benarkah memalukan? Bukankah Aileen tidak bersalah? Bagi Aileen itu adalah hal paling memalukan, setidaknya untuk dirinya sendiri. Gadis konyol. “Tidak apa-apa. Aileen mau tidur, besok ada banyak pesanan kue. Ai, pamit, Bu. Selamat malam,” izinnya dengan meninggalkan ciuman di pipi sang ibu. Ia keluar dan kembali ke kamar. Dewi hanya bergeleng dengan sikap sang anak. “Terima kasih, kak!” teriaknya, tetapi dengan suara yang sedikit dia tahan karena tidak mau membuat seisi rumah terbangun. Meskipun yang baru tertidur hanya sang ayah. Di kamar, Aileen langsung merebahkan tubuhnya, rasanya dia tidak bisa menghilangkan kata-kata mengesalkan dari lelaki itu. Baru juga di puji sekali, eh ternyata nyebelin, kesel, sumpah! Kok ada sih, lelaki seperti itu, arogant dan... ehm— itulah pokoknya, kasar, batinnya. Aileen menarik selimutnya untuk bersembunyi dibawah selimut yang membungkus tubuhnya. Dia akan mudah terlelap jika dalam kondisi yang gelap gulita. Sementara itu, Agam, dia baru saja tiba di rumah. Suasana rumah sudah sangat sepi, semua penghuninya akan tertidur, mungkin sudah menjadi kebiasaan baginya bahwa ketika pulang dari mana pun selalu membuka pintu kamar ibunya. Agam meninggalkan barang-barangnya di sofa dan menghilang di balik pintu kamar Alma. Dia menarik lebih tinggi selimut sang ibu dan mencium keningnya. “Selamat malam, Ma. Agam akan selalu menyayangi, Mama. Menjaga Mama, dan membalas perbuatan mereka. Tidak ada yang boleh bahagia selama mama, masih berada dalam kondisi seperti ini. Aku berjanji,” gumamnya. Pria itu mematikan lampu tidur dan kembali menutup pintu. Agam kembali ke kamarnya dan menyimpan lensanya di lemari khusus yang ada di sebelah kamarnya. Ruangan khusus untuk perlengkapan foto graver miliknya. Itu bukanlah pekerjaan baginya, dia hanya menekuni hobi dan melakukan pemotretan ketika waktu luang. Terkadang akhir pekan dan ketika sang ibu tidak mengeluh bosan. Agam akan berburu objek yang menakjubkan, saat senja dan fajar datang adalah waktu terbaik baginya. Kini, lelaki itu pun juga harus segera merebahkan dirinya sebelum malam semakin larut. Begadang juga bukan kebiasaan baginya, selain tidak sehat, itu tetap akan merugikan dirinya sendiri. Setidaknya ketika semuanya baik, hal itu tidak akan pernah dia lakukan, bahkan mabuk, semua orang hanya menggunakan alkohol sebagai pelarian bukan? Agam bukan pemabuk berat yang setiap hari mengkonsumsi minuman itu, hanya ketika pikirannya benar-benar dikuasai oleh hal buruk dan menyesakkan dia akan berteman dengan yang namanya alkohol. * Ketika pekatnya malam mulai melebur dan berganti dengan fajar, kemudian pecahnya sinar Surya. Merangkak dan menuntun semua penduduk bumi untuk bangun dari lelapnya. Ayam-ayam berkokok untuk membangunkan sang pemilik, burung-burung bernyanyi untuk memulai mencari makan untuk keluarganya. Dersik angin pagi yang menyegarkan dan menggoyangkan pohon, sehingga membuat simfoni yang indah, ketika berada beberapa pepohonan bambu, mereka bagaikan musik alami. Alma, wanita itu sudah membuka matanya. Dia ingin bangun dan membuat masakan untuk anaknya yang sudah berjanji akan mengajaknya jalan-jalan pagi ini. Pastinya setelah mereka sarapan. Bagi orang Indonesia sarapan itu sangat penting, bisa meningkatkan konsentrasi dan juga kecerdasan. Hari ini, Alma ingin memasak dengan tangannya sendiri. Dia bisa, hanya saja dia tidak bisa bergerak dengan bebas, karena kursi roda yang selalu dia duduki. Mungkin bokongnya sudah tepos akibat terlalu banyak duduk. “Nyonya? Anda sudah bangun? Apa yang Anda lakukan?” Alma menoleh, dan tersenyum. “Saya mau masak, Bu. Tolong bantu saya, ya. Ibu yang mengaduk dan menumis biar saya yang menyiapkan bahan-bahannya,” tutur Alma kepada pelayannya yang jauh lebuh tua dari dirinya. “Jangan, Nyonya. Biar saya saja yang memasak, nanti Tuan muda marah besar,” tolaknya secara halus. Alma kembali tersenyum. “Tenang saja, Bu. Dia tidak akan marah, jika dia tidak tahu, atau— jika Ibu segera membantu saya agar masakannya cepat tersaji sebelum Agam bangun,” tuturnya. Tidak ada pilihan lain bukan? Murti hanya bisa menuruti perintah dan permintaan sang majikan. Dia pun membantu sesuai arahan dari Alma. Mereka berkolaborasi menciptakan makanan dan masakan kesukaan Agam, rica-rica ayam yang pedas, ada ayam panggang dan hampir semua olahan ayam, lelaki itu suka. Apapun masakannya jika sudah menyangkut ayam, seakan dia lupa dengan olahraganya, dia akan makan dengan sangat lahap dan berkali-kali dalam sehari. Pernah pada saat itu, dia bahkan pulang pada jam makan siang hanya untuk makan masakan sang ibu. Namun, sejak hari itu, Agam melarang, dia tidak mau menjadi lelaki buncit dan larangan itu untuk sang ibu, agar tidak lagi memasak ayam dalam jenis dan bentuk apapun. Hari ini semua akan kembali. Alma akan membuat anaknya senang dan merasakan kembali sajian yang sudah lama sekali tidak dia nikmati. Bahkan, Agam juga melarang pelayan untuk memasak ayam, menyuruh dan meminta mereka memasak sayur yang sehat untuk sang ibu. Alma membutuhkan banyak sayur untuk pengobatannya, atau telur, daging atau makanan lain selain daging ayam. Bagaimana reaksi lelaki itu ketika masakan favoritnya kembali tersaji? Apakah ini sebagai bentuk sogokan sang ibu agar Agam tidak membatalkan janjinya? Bukankah sejauh ini, lelaki itu tidak pernah ingkar dengan apa yang dikatakannya?
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD