Bab 4: Kemegahan Rumah Indra

1087 Words
Bab 4 Sesuai pesanan yang masuk dalam list dari ponsel Aileen kemarin. Kini dia mengantarkan pesanan lemon cake dengan hiasan yang lebih mewah. Karena pelanggan memintanya untuk kue ulang tahun sang suami. Sudah ada tulisan indah yang mengukir di atas kue itu. Sebuah nama yang tampaknya orang besar. Menggunakan motor matic miliknya, Aileen mengantarkan kue itu bersama dengan adiknya Ayana. "Kakak beneran tahu rumahnya?" teriak Ayana dari belakang, angin kencang yang menerpa saat mengendarai motor seakan ikut membawa suaranya, pergi entah kemana. Itulah sebabnya dia harus berteriak. Agar sang kakak mendengar, sejatinya meski tidak berteriak pun Aileen bisa mendengar ucapan sang adik. "Tahu, Yana. 'Kan sudah di kasih alamatnya dengan jelas," balas Aileen tidak kalah keras dari suara Ayana. Di belakang, si adik hanya manggut-manggut saja. Dia asik bergumam menyayikan lagu kesukaannya. Ayana seperti gadis di pada umumnya, yang menyukai drama Korea, dan bisa menghafal semua lagu yang menjadi backsound dari setiap drama yang dia lihat. Sekitar dua puluh menit duduk di atas motor, mereka tiba pada rumah yang begitu besar dan mewah. Rumah berlantai dua dengan gaya elegan. "Wah!! Kak, ini sudah seperti rumah, Lee min ho. Sumpah ini gede banget, apa enggak capek ya bersihin rumah Segede gini? Bahkan rumah kita aja dijadikan satu engga segede gini. Pa kamar mandinya tiap kamar ada kolamnya ya kak? Atau--" Mulut Ayana di sumpal oleh kedua tangan Aileen. "Kamu nerocos terus, enggak capek? Bahkan kakak belum jawab pertanyaan yang pertama, udah ada pertanyaan ke dua, tiga dan selanjutnya. Hust! Diem." perintah Aileen, dia meletakkan jari telunjuknya di depan mulutnya. Menandakan bahwa adiknya di suruh tutup mulut dan tidak lagi banyak bertanya. Ayana masih kicep tanpa kata. Dia menutup mulut dengan sangat rapat. Dan mengekor pada sang kakak yang mulai memasuki gerbang sebesar gerbang kantor DPR. "Selamat siang bapak, saya mau bertemu dengan--" Aileen mengambil ponsel itu dan melihat siapa nama pemesan kue kemarin. "Ah, ibu Almira. Ada orangnya?" imbuh Aileen. "Oh, Nyonya besar? Ada kok masuk saja dik," jawab satpam jaga di rumah itu. "Baik, pak. Terima kasih. Selamat berjaga pak. Jangan lupa jagain motor Ai ya pak. Kalau ada yang maling, bisa-bisa saya di marahi ibu," kikih Aileen. Dia kemudian berjalan meninggalkan satpam yang masih tersenyum dengan tingkah Aileen yang lucu. "Tadi, aku suruh diem. Sekarang kakak ngomong terus. Enggak a--" lagi-lagi Aileen melakukan hal yang sama seperti tadi. Box kue yang di bawa oleh si adik membuat Aileen dengan bebas menggerakkan tangannya ke mana pun dia suka, termasuk mulut adiknya. "Hust! Kita sudah sampai di depan pintu. Bersikaplah yang sopan. Understand?" sergah Aileen. Ayana hanya bisa mengangguk patuh. Dengan tangan yang setia memegang erat box kue itu. Aileen melakukan hak yang sama mengangguk tanda dia memuji sang adik. Aileen menekan tombol mungil yang ada di sebelah kanan pintu. Sekali pencet belum ada tanggapan, hingga Aileen memencet ulang, tapi masih belum ada tanda-tanda seseorang membuka pintu. Saking kesal dan penasaran dengan suara bel yang terdengar samar-samar dari luar itu, dia memencet bel dengan irama. Satu tekan, lepas dua tekan lepas. Di sambung satu tekan lagi. Saat sedang asyik menikmati irama yang timbul dari tekanan tombol itu, tiba-tiba dua irang keluar dari dalam. "Ada apa ini? Sangat tidak sopan," cerca salah satu dari mereka. "Nah, kakak. Tadi aku di suruh so--" Aileen kembali membungkam mulut Ayana sembari tersenyum pada kedua orang yang ada di hadapannya. "He ... he, maaf Bu, tadi adik saya penasaran pengen denger suara bel. Berhubung dia memegang box jadi dia meminta saya untuk menekannya lagi dan lagi. Sekali lagi kami minta maaf," tutur Aileen yang sudah mendapat tatapan membunuh dari sang adik. Tapi Aileen hanya tersenyum kikuk pada adiknya. "Mau cari siapa?" tanya ibu-ibu paruh baya dengan daster bercorak batik. "Ini Bu, saya mau mengantarkan pesanan kue ibu Almira," kata Aileen dan langsung menyahut box kue dari tangan Ayana. Remaja itu hanya mendengus kesal dan melipat tangannya di depan d**a. Tidak ada satu kata pun terucap dari bibirnya. "Oh, Nyonya besar. Uangnya sudah bukan? Biar saya yang bawa kuenya." Ibu berdaster batik itu mengambil alih box dari tangan Aileen. "Eh, hati-hati Bu. Nanti bisa rusak. Itu kue spesial," timpal Aileen. "Iya sudah, sana pergi. Terima kasih ya," katanya, mengusir ke dua bocah perempuan itu. Aileen dan Ayana berbalik dengan sebal. "Hah, gitu doang? Padahal aku pengen lihat dalamnya rumah itu, tangga menuju lantai atas, sebagus apa gitu. Apa dari emas? Berlian? Atau permata dari lautan dalam?" beo Aileen. Kini Ayana melakukan hal yang di lakukan oleh Aileen tadi, dia berjinjit dan membekap mulut sang kakak. "Enggak usah ngayal. Ayo pulang sebelum kakak terbangun dengan cacat mata," tegur sang adik. Aileen memberontak dan membuat Ayana limbung dan hampir terjatuh. "Apaan sih dik?" sergah Aileen. "Akh, kak!" pekik Ayana. Aileen dengan tangkas memegang tangan Ayana. Beruntung dia tidak terjatuh. Meski p****t Ayana sudah mendarat di atas jalan berbatu hias itu. "Sakit! Kakak gimana sih?" kesal Ayana. "Maaf dik, kamu sih tutup-tutupi mulut kakak, sampe hidung kakak ikut kamu tekan. Jadinya kakak enggak bisa nafas adik," titah Aileen. "Iya, maaf. Bantu aku." Ayana mengulurkan tangannya meminta bantuan pada Aileen. Begitulah mereka dengan sikap mereka yang selalu ada saja. Usil dan selalu ceria. Baik Ayana atau Aileen adalah anak yang baik dan membantu orang tua mereka. Bagi mereka kebersamaan keluarga itu adalah harta yang paling berharga. Begitu hendak keluar dari gerbang kedatangan dan perpisahan itu sebuah mobil mewah memasuki area rumah itu. Sungguh mobil hitam yang mengkilap dan tanpa cacat meski hanya goresan kuku. Kedua bocah itu menatap dari mobil itu masuk gerbang hingga berhenti tepat di depan pintu di mana Aileen dan Ayana tadi memainkan bel. Mulut mereka menganga dan bila mata tidak berkedip barang sedetikpun. Satu persatu penumpang di mobil keluar dan menampakkan satu sosok laki-laki sekitar lima puluh tahunan, dengan jas hitam kemeja putih serta dasi berwarna hitam. Begitu gagah dan berwibawa. Kharismanya masih bisa terlihat tercium hingga di mana Aileen berdiri. Sudah bisa di tebak bahwa itu adalah Tuan Indra Jafri Kurnia. Yang namanya terukir indah di atas lemon cake tadi pagi. Tidak sampai di situ, masih ada satu sosok lagi yang keluar dari mobil itu. Laki-laki seusia Aileen, memakai out fit santai sepertinya baru pulang kuliah. Terlihat dari tas yang menghias di pundak kanannya. Aileen menatap takjub pada keduanya, terutama pada laki-laki terakhir yang keluar dari mobil itu. Rambutnya sedikit berantakan dan jakun yang terasa keras jika di sentuh. Sudah pasti hati Aileen meleleh saat ini. Namun tiba-tiba suara lembut seseorang mengagetkan mereka berdua, yang masih mematung di depan pos satpam itu. "Hei," sapa orang itu. Siapa nih? Satpam? Atau laki-laki muda itu?
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD