Chapt 4. Safe From The Target of Death. A New Plan

2246 Words
..**..             Selama di perjalanan, mereka lebih banyak mendiamkan Abang mereka. Mungkin lebih tepatnya Embun yang paling kesal dengan sang Abang, Aiyaz.             Kecuali Azathea dan Bening yang memang cuek. Mereka tidak terlalu memikirkan masalah yang terjadi beberapa waktu lalu, walau rasa kesal itu masih tetap ada. Memang terlihat sepele, tapi bagi Embun masalah tadi adalah hal serius. Sebab persahabatan mereka dengan wanita bernama Cempaka Candramaya adalah hal penting. Berbeda dengan Aiyaz, dia tidak mempedulikan ketiga adiknya yang terus diam bahkan ketika mereka sampai di mansion. Sebab selama di perjalanan, dia terus memikirkan berbagai pola sukses yang akan ia lakukan ke depannya. Tentu saja ini berkaitan dengan wanita asal Jakarta itu. Bukan untuk menjebak atau membuatnya celaka, tapi dia hanya mau bermain-main sebentar dengan wanita yang akrab disapa Caca. Wanita yang terlihat sopan, tapi dia meyakini jika wanita itu tidak mungkin hidup baik-baik di kota The Big Apple ini. Mustahil seorang mahasiswa bisa berpenampilan stylish jika tidak ada penyokong besar di belakangnya. Tapi, Aiyaz sempat memperhatikan penampilan Caca tadi. Sepertinya dia memang bukan berasal dari kalangan menengah ke atas. Itu sebabnya rasa penasaran itu muncul tiba-tiba dan ingin mengetahui dengan siapa saja dia berhubungan di kota besar ini. Jika saja dugaannya benar kalau Caca bukan wanita baik-baik, dia harus menjauhi Caca dari ketiga adiknya. Hal yang lebih pasti lagi, dia mungkin akan menjadikan Caca sebagai boneka sehari-harinya. Tapi jika sebaliknya, Aiyaz akan terus mencari tahu siapa Caca. Sebab dia tidak akan mempercayai itu dengan mudah sebelum melihat keburukan asli Caca. *** Mansion Abraham Althaf, New York, USA., Lantai 2., Ruang keluarga.,             Mereka keluar dari lift dan melangkahkan kaki menuju ruang keluarga. Embun berjalan menghentakkan kaki menuju wanita lansia yang sedang merajut disana. “Grandma …” rengeknya sembari menghentak kaki di lantai. Wajahnya sudah dibuat kesal.             Sedangkan Azathea dan Bening, mereka berjalan biasa saja sambil terus menatap ponsel masing-masing. Mereka paham jika Embun memang sangat manja dan menjadikan segala masalah adalah suatu yang serius.             Para orang dewasa yang ada disana, mereka melihat ke sumber suara. Ternyata tiga gadis kesayangan Abraham Althaf telah kembali dari kampus. “Sayang Grandma? Ada apa dengan wajahmu, Sayang? Sini sama Grandma?” Anta langsung menghentikan kegiatannya, dan meletakkannya sembarang. Kedua tangannya terulur ke arah cucu cantiknya yang berjalan menghampirinya.             Embun mengerucutkan bibirnya. Sikap Embun direspon bingung oleh mereka terutama sang Daddy, Dyrta. Dia menghentikan gerakan tangannya, lalu beralih melihat Azathea dan Bening duduk di sofa yang ada disana. “Kak Aza? Kak Bening? Ada apa dengan adik Embun?” tanya Dyrta.             Azathea melirik sekilas ke sumber suara. “Semua gara-gara Mas Aka, Dad.” Dia menjawabnya singkat tanpa berniat menjelaskan kejadian sebenarnya.             Dyrta menghela panjang napasnya. Kalau bukan Gamal, pasti Aiyaz. Hanya mereka berdua yang selalu membuat Embun mudah merajuk, pikirnya.             Chandly beranjak dari duduknya, dan menghampiri dua gadis mereka. “Baru pulang kuliah, kenapa ponsel terus? Sudah makan siang belum? Tadi kalian dijemput sama siapa, hmm?” tanya Chandly lalu duduk tepat di sebelah Bening yang fokus pada ponselnya. Dia membelai lembut rambut putrinya.             Saat Bening hendak menjawab, wajahnya terdongak lalu melihat sang Abang sudah sampai di lantai ini melalui tangga di ujung sana. “Dijemput sama pria itu, Mom.” Bening menunjuk ke arah yang dimaksud.             Azathea melirik sang Abang sekilas sambil menahan tawanya. “Pppffhhhhttt …”             Ayra masih sibuk dengan majalah yang menjadi temannya sehari-hari. Dia sudah terbiasa dengan tingkah anak-anak mereka yang selalu menjahili adik-adiknya. Keadaan ini tidak membuatnya pusing sebab dia tahu kalau adik iparnya, Chandly bisa mengambil alih. Sementara dia mencari pakaian yang cocok untuk acara mereka minggu depan.             Zu dan Dyrga, sejak tadi mereka juga masih melihat perkembangan perusahaan melalui data fisik yang selalu diberikan oleh penerus Althafiance saat ini. Tetapi kondisi sedih cucunya, Embun justru mengalihkan konsentrasi Zu. “Mas Aka?” panggil Zu dengan suara pelan ketika melihat cucunya itu hendak berjalan melawan arah menuju ruangan utama tempat dimana ruangan kamar mereka berada.             Yah, Aiyaz terlalu fokus dengan ponselnya sampai dia tidak mendengar panggilan sang Grandpa. Hal itu mengundang reaksi sang Daddy, Dyrta. “Aiyaz Koswara Althaf!” panggil Dyrta sedikit bernada tinggi. Sang Grandma, Anta yang sudah memeluk cucunya sejak tadi. Mengusap lembut wajahnya. “Sayang … cucu Grandma. Mas Aka buat ulah lagi ya?” tanya Anta dengan lembut pada Embun.             Embun mengangguk kecil. Dia melihat sang Abang kini mulai menyadari panggilan itu. Azathea dan Bening terus mengulum senyum, mereka yakin kalau pria itu akan diserang lagi.             Aiyaz menghentikan langkah kakinya saat mendengar suara bariton yang membuat bulu kuduknya merinding. Tubuhnya berbalik, melihat ke arah mereka semua. “Daddy memanggilku?” tanya Aiyaz polos.             Dyrga menatap tajam dalam diam, hingga membuat sadar putranya untuk menghampiri mereka. Dan yah benar saja, Aiyaz menggaruk tengkuknya yang tidak gatal.             Aiyaz terpaksa menghampiri mereka terlebih dulu. Suara dan tatapan tajam dua pria itu membuatnya bingung. “Ada apa? Aku pikir siapa yang memanggilku. Tubuhku sudah merinding,” ujarnya asal melirik ekspresi sang Adik, Embun memicing ke arahnya.             Walau terlihat kekanakan, tetapi mereka bertanya mengenai alasan Embun tiba-tiba berwajah sebal padahal baru sampai di mansion. Aiyaz yang paham, dia memilih duduk di lantai beralasakan karpet hijau seperti yang lainnya.             Dyrta masih melempar tatapan tajam matanya. “Lalu kau pikir suaraku seperti hantu?” Dia bernada sedikit kesal. “Pphhhffftt …” Azathea dan Bening sudah menahan tawa mereka.             Chandly hendak beranjak dari duduknya. “Ayo, Kak Aza dan Kak Bening ikut Mommy. Makan siang dulu,” ujarnya lalu berdiri dan menunggu dua gadis itu merespon kalimatnya.             Tidak mau berlama-lama, Azathea dan Bening beranjak dari duduknya lalu mengikuti langkah kaki sang Mommy. “Aku ke bawah mau memberi makan mereka dulu,” ujarnya memberitahu mereka semua.             Ayra melirik ke arah Chandly. “Embun? Kamu tidak sekalian saja, Sayang?” tanya Ayra menghentikan langkah kaki mereka bertiga yang hendak berjalan menuju lift.             Embun mulai berpikir dan menatap sang Grandma. “Sekalian saja, Sayang. Sama Mommy Ken ya?” gumam Anta mengusap lembut wajahnya. “Iya, Grandma. Padahal tadi kami sudah makan es krim diberi oleh Kak Caca. Tapi perut Embun masih lapar,” ujarnya memberitahu dengan senyuman merekah. Dia mengecup pipi kanan dan kiri sang Grandma lalu beranjak berdiri.             Mereka semua mengernyitkan kening mendengar nama Caca yang disebut oleh Embun. “Kak Caca? Siapa dia, Sayang?” tanya Chandly yang berdiri disana. “Oh iya? Mommy sama Grandma belum tahu ya? Kami punya kakak kelas berbeda jurusan. Dia asli dari Jakarta, Mom.” Bening memberitahu.             Kalimat Bening barusan membuat Chandly merespon dengan anggukan kepala. Yah, dia sedikit terkejut sebab dia adalah asli orang Indonesia.             Begitu juga dengan mereka yang lain. Pertanyaan beruntun mulai dilontarkan oleh Ayra. “Dia semester berapa, Sayang? Sudah berapa lama kalian saling mengenal? Kenapa baru sekarang kalian menceritakannya pada kami?” tanya Ayra penasaran. Karena dia hanya mau memastikan jika wanita bernama Caca itu adalah gadis yang baik.             Dyrga dan Dyrta saling melirik satu sama lain. Mereka paham, setelah ini pasti akan banyak interogasi khusus para Nyonya kepada putra mereka.             Berbeda dengan Aiyaz, dia hanya diam saja berpura-pura bermain ponsel. Sebab tatapan tiga pria itu mulai terkunci padanya. Walau otaknya kini mulai berjalan cepat dan terus mengolah permainan yang masih ia rangkai di kepalanya.             Embun berjalan mendekati sang Mommy, Chandly. “Mommy nanti kami akan menceritakan semuanya. Tentang bagaimana kami bisa berjumpa sampai Kak Caca mau menjadi teman terbaik kami. Kami juga sering makan siang bersama di kantin. Kak Caca juga sering mengajak kami membaca di perpustakaan. Benarkan, Kak?” Embun meminta persetujuan menatap kedua kakaknya bergantian.             Azathea mengangguk mantap. “Yah! Benar! Karena kita sudah lapar sekali!” ujarnya antusias seraya memberi kode. “Mommy, Grandma … kami turun dulu ke bawah. Kami sudah lapar. Ayo Mommy …” rengek Bening menarik lengan kanan sang Mommy.             Chandly melirik yang lainnya, yang ada disana. “Ya sudah. Kita bahas ini setelah makan siang. Ayo kita turun,” ujarnya lalu kembali melanjutkan langkah kakinya. “Makan yang banyak ya, Sayang??” Anta kembali mengingatkan ketiga cucunya. “Iya, Grandma …” Mereka bertiga menjawab kompak sebelum pintu lift tertutup rapat.             Belum ada selang beberapa menit, Aiyaz hendak beranjak dari sana. Tapi suara itu menahan gerakannya. “Mas Aka …” sapa Ayra menatap lekat putranya yang ada disana.             Aiyaz membalas tatapan sang Mommy. “Iya, Mom?” “Sini duduk dekat Mommy. Kamu jangan berpura-pura tidak paham,” ujar Ayra langsung bicara pada intinya.             Yah, Ayra sangat tahu jika putranya yang satu ini jelas berbeda. Lebih tepatnya, Aiyaz dan Gamal yang memang suka sekali membuat mereka kesal karena sikapnya yang acuh bahkan seperti tidak menahu soal apapun yang mereka bahas secara serius. Dan ini sering sekali terjadi.             Aiyaz ingin sekali mengumpat. Bagaimana mungkin dia terjebak dalam kondisi seperti ini, pikirnya. “Ada apa, Mom? Aku benar-benar tidak mengerti?” ujarnya mengendikkan bahu.             Saat Aiyaz hendak mendekati mereka, tiba-tiba saja ponselnya berdering. Dddrrrttt…             Dia langsung melihat layar ponselnya. Bobby is calling…             Aiyaz mulai menghela napas leganya, lalu menunjukkan ponselnya ke arah mereka. “Mom? Dia memanggilku. Sepertinya persentase sudah siap. Aku akan membahas ini bersama mereka nanti,” ujarnya berwajah serius.             Dyrga dan Dyrta menatap curiga ke arah Aiyaz. “Ayolah, Dad. Ini sungguh mengenai pekerjaan. Dan aku tidak akan menghindar dari pembicaraan yang mau kalian bicarakan padaku,” sambungnya lagi lalu melihat sang Grandma, Anta. “Grandma, aku ke kamar dulu.” Dia melempar kecupan dari jarak jauh hingga membuat sang Grandma tersenyum malu. “Kau ini! Ya sudah sana! Eh tapi, Sayang?” Anta hendak membuka suaranya, tapi terhenti saat melihat cucunya mengangkat panggilan teleponnya.             Aiyaz masih berdiri disana, dan membisikkan sesuatu di ponselnya. “Bob, sebentar.” Dia langsung melirik ke arah sang Grandma dan berjalan ke arahnya. “Ada apa, Grandma?”             Anta menyambut kecupan di pipinya, lalu membelai lembut wajah kasar sang cucu yang sangat mirip sekali dengan suami dan putranya. “Kemana yang lain? Kau memang sengaja pulang lebih cepat?” tanya Anta menyisir rambut berminyak itu dengan jemarinya yang sudah mengeriput.             Aiyaz melirik ke arah yang lain, terutama sang Mommy. “Mas Arash dan Gaza masih di kantor. Mereka baru saja selesai rapat, dan akan rapat kembali dengan tamu baru di jam sore. Lalu Gamal, dia sedang mengawasi perbaikan mobil Aza dan Bening. Lalu aku? Aku diutuskan oleh Gamal untuk menjemput tiga wanita manja itu,” jelasnya panjang lebar tanpa terputus.             Anta dan Ayra sudah mengulum senyumnya. “Ya sudah. Jangan lupa makan siang. Coba dibiasakan, kalau sudah kembali ke mansion, jangan lagi bekerja. Paham?” Anta kembali memberi saran yang sama. “Oke, Grandma. Aku ke kamar dulu,” balasnya cepat dan mengecup kening sang Grandma. Dia kembali melanjutkan langkah kakinya menuju kamar.             Bagaimana mungkin dia akan mengindahkan saran dari sang Grandma yang terdengar mustahil. Sedangkan pekerjaan mereka saja harus dibagi rata.             Yah, Aiyaz tahu jika Daddy mereka juga memahami bagaimana sulitnya mereka mengatur waktu. Itu sebabnya mereka tidak berani menyela saat saran dari sang Grandma terlontar tadi. … Kamar Aiyaz.,             Dia mulai menanggalkan seluruh pakaiannya, lalu meletakkan pakaian yang baru saja ia pakai ke dalam wadah khusus untuk pakaian kotor. Hanya dengan memakai celana dalam saja, dia berjalan menuju kamar mandi.             Tapi ponsel itu masih menempel di telinga kirinya. “Caca, Tuan?”             Aiyaz memutas malas bola matanya. “Iya, Caca! Apa aku harus mengulang namanya sampai sepuluh kali?” geram Aiyaz mengeraskan rahangnya. “Maaf, Tuan. Baiklah, saya akan cari tahu identitas asli Caca dalam 30 menit ke depan.” “Bagus. Aku tunggu. Terima kasih,” Aiyaz melangkahkan kakinya masuk ke dalam kamar mandi. “Baik, Tuan. Sama-sama.” Tutt… Tutt… Tutt…             Aiyaz memutuskan sambungan telepon secara sepihak. … Kamar mandi.,             Dia menekan tombol disana agar bathub terisi penuh dengan air. Sebelum masuk ke dalam bathub, dia membasahi tubuhnya dengan air kran yang mengalir deras dari atas sana.             Sembari terus membasahi tubuhnya, dia memperhatikan dinding berbahan cermin di hadapannya. Tubuh atletisnya selalu dipuji oleh para wanita. Tentu saja wanita yang sekelas dengannya, meski dia tidak sedikitpun berniat melayani mereka.             Bukan tidak mudah bagi seorang Aiyaz menaklukan hati wanita. Tapi entah kenapa, dia sangat risih bila harus menerima wanita yang sangat tertarik dengan tubuhnya, terlebih sudah mengenal siapa dia.             Tapi siang ini, kejadian itu membuatnya tercengang. Wanita itu menyindir dia, lalu mengatakan dia sok tampan. ‘Bukankah aku memang tampan?’ bathinnya sambil menyeringai tipis.             Aiyaz menyapu wajahnya, hingga terlihat jelas bentuk otot kedua lengannya. Wajahnya menengadah ke atas. ‘Kau tidak sudi berada satu mobil denganku ya?’ bathinnya lagi masih terus bergumam.             Mengingat bagaimana sikap Caca membalasnya, membuat Aiyaz menggeleng kecil. ‘Kau belum tahu siapa aku, Caca. Atau kau berpura-pura tidak tahu?’ bathinnya lagi dengan senyuman tidak berhenti tercerak di kedua sudut bibirnya.             Setelah merasa cukup, Aiyaz mulai melepas celana dalamnya hingga benda dibawah menyembul dan berdiri tegak. Dia menekan tombol agar air kran berhenti, lalu segera berjalan menuju bathub.             Tubuhnya mulai berendam di dalam sana, di dalam bathub yang hanya berisi air bening saja. Kepalanya mulai bersandar pada bantal empuk yang memang tersedia pada pangkal bathub.             Kedua tangannya mulai menepuk hingga terdengar musik di dalam kamar mandi mewah miliknya, bernuansa silver. “Cempaka Candramaya …” gumam Aiyaz sembari memejamkan sempurna matanya.             Keadaan relaks seperti ini memang sangat menyenangkan bagi seorang Aiyaz. Tapi tidak dengan isi kepalanya yang tidak bisa berhenti berpikir.             Selain bersantai dengan waktu, dia juga menunggu informasi dari sekretaris pribadinya. Dia yakin kalau Bobby bisa melakukan tugasnya dengan baik. Karena dia sudah tidak sabar untuk segera membuat rencana pasti, membalas sikap Caca tanpa sepengetahuan ketiga adiknya. * * Novel By : Msdyayu (Akun Dreame/Innovel, IG, sss)
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD