Chapt 5. Strong Decision

2850 Words
… 1 jam kemudian., Halaman belakang mansion., Dapur.,             Ayra dan Chandly mengangguk, memahami penjelasan dari putri mereka. “Mommy pikir, Cempaka dan Caca itu berbeda orang. Ternyata sama,” ujar Chandly.             Embun kembali membuka suaranya. “Sama, Mommy. Tapi kami memang tidak memberitahu nama panggilan Kak Caca. Karena kami pikir alangkah lebih baik jika kami memberitahu nama lengkapnya. Benarkan, Kak?” tanya Embun melirik dua orang yang duduk berseberangan meja dengannya.             Azathea dan Bening tampak mengangguk, mengiyakan cepat kalimat adik mereka barusan. “Ya sudah, kalau begitu Mommy tidak perlu cemas. Oh iya, kenapa kalian tidak membawa Kak Caca ke mansion kita? Ajak dia main kesini,” ujar Ayra memberi saran sambil menuang kembali gelas kosong milik Embun.             Spontan, Azathea dan Bening melirik sang Mommy. Terutama Embun yang menatap tidak percaya wanita yang duduk disampingnya. “Mommy serius??” tanya Azathea memastikan jika telinganya tidak salah dengar. “Serius, Mom??” Bening melirik sang Mommy bergantian.             Sedangkan Embun, dia justru melirik ke arah sang Grandpa yang duduk di sebelah sang Kakak, Bening. “Grandma? Memangnya kami boleh membawa teman ke mansion??” tanya Embun menghentikan kunyahan dimulutnya.             Chandly mengerutkan keningnya. “Memangnya ada apa? Apa yang salah kalau kalian membawa teman ke mansion? Lagi pula, kalian bilang dia mahasiswi berprestasi di kampus, bukan? Pasti dia memberikan catatan baik untuk kampus?” ujarnya lalu duduk tepat di sisi kiri putrinya, Embun dan mengusap lembut puncak kepalanya.             Mereka bertiga saling melirik satu sama lain. “Mommy serius?? Soalnya Kak Caca tidak pernah pergi kemanapun. Dia bilang kalau setelah pulang dari kampus, dia hanya berada di apartemennya saja.” Azathea memberi tahu. “Iya. Dan Kak Caca cuma punya 2 teman saja. Namanya Kak Mieka dan Kak Richard. Tapi mereka berdua bekerja paruh waktu jadi jarang bertemu dengan Kak Caca,” sambung Bening.             Embun mengangguk dengan wajah mulai terlihat sedih. Dia tidak bisa menghilangkan bayangan Caca menjadi manusia penyendiri hidup di kota ini. Yah, hati Embun memang selembut itu. “Kasihan Kak Caca, Mom … Grandma ... dia tidak punya teman. Dan temannnya hanya kami bertiga. Kami juga begitu, tidak ada yang mau berteman dengan kami kecuali Kak Caca. Benarkan, Kak?”             Dan Embun lagi-lagi meminta persetujuan benar dari kedua kakaknya atas pertanyaan yang ia lontarkan barusan. “Haahhh … iya, Embun Sayang.” Bening membalasnya malas. “Benar sekali,” balas Azathea memberikan tiga harinya, membentuk hurup O.             Ayra dan Chandly saling melirik satu sama lain dengan kuluman senyum berisyarat sama. Tidak terlepas dari senyuman sang Grandma, Anta juga mengisyaratkan hal yang sama.             Bagaimana mungkin mereka tidak geli mendengar pernyataan Embun barusan. Sebab siapapun sudah pasti dengan senang hati berteman dengan putri dan cucu mereka.             Apalagi dengan marga Althaf yang tersemat di nama mereka, sangat memudahkan siapa saja mengambil keuntungan dalam hal itu. Bahkan kemungkinan yang lebih buruk adalah memanfaatkan mereka demi kepentingan pribadi.             Itu sebabnya keluarga Abraham Althaf sangat ketat menjaga tiga gadis itu. Selain ingin membuat mereka tetap baik-baik saja, mereka juga tidak mau jika tiga gadis itu terseret ke dalam kenikmatan atas pergaulan bebas diluaran sana. *** The Theodore Home, New York, USA., Dapur., Sore hari.,             Dia meletakkan semua barang belanjaannya diatas meja makan bundar berbahan kayu. “Haaahh! Capek sekali!” gumamnya berbahasa Indonesia sembari memijit kening.             Hari ini sungguh melelahkan untuk seorang Caca. Tapi yang lebih membuat rasa lelahnya semakin terasa adalah kejadian tadi siang.             Caca tidak habis pikir dia akan bertemu dengan sosok pria menyebalkan sekaligus sombong super akut yang ternyata adalah saudara laki-laki dari Azathea, Bening, dan Embun. Bagaimana mungkin dia bisa bertemu dengan pria yang menurutnya sangat sombong sekali. “Memangnya kenapa kalau dia ikut duduk dengan kami sebentar saja? Apa dia jijik jika ada aku? Bukan selevel dia, gitu?” gumam Caca kesal bukan kepalang. “Dia tidak harus menyombongkan dirinya juga, aku tahu kalau mereka anak orang kaya! Dasar!” ketusnya lagi bergumam seorang diri.             Entah apa yang ada di benaknya saat ini. Caca merasa kalau dia sangat membenci sikap pria itu. Tapi di sisi lain, dia juga merasa jika sikapnya sungguh berlebihan.             Bukankah semua sudah terjadi. Tidak seharusnya dia memikirkan kejadian tadi siang yang tidak memberikan keuntungan apapun untuknya.             Lagi pula, setiap orang berhak bersikap sebagaimana yang mereka inginkan. Caca pikir, mungkin dia sedang lelah sehingga mudah marah dengan orang yang baru saja dia kenal.             Di sisi lain, Caca merasa dia tidak perlu memikirkan kejadian tadi siang lebih jauh. Karena bagaimana pun pria itu adalah Abang dari Azathea, Bening, dan Embun. Walau tidak mau lagi bertatap muka, Caca yakin dia pasti akan bertemu dengan pria itu di lain waktu. “Haaahhh! Semoga saja aku tidak bertemu dengan dia lagi! Aku akan menghindar sebisa mungkin! Kalau tidak bisa, ya terpaksa harus pakai topeng!” gumamnya ketus lalu beranjak dari posisi duduknya.             Caca pikir, dari pada dia memikirkan hal yang membuatnya naik darah, lebih baik dia menyusun dapurnya. Dia mengedarkan pandangannya ke seluruh penjuru dapur kecilnya. “Sudah rapi sih. Tapi, dirapikan saja lagi. Oh iya, kulkas lebih utama.”             Dia melangkahkan kakinya menuju kulkas, lalu membukanya. Suhu dingin dari dalam membuat wajahnya terasa segar. “Hhmm … dinginnya,” gumam Caca sembari memejamkan matanya.             Hanya beberapa detik saja, dia kembali membuka mata. “Ayo, Ca! Sebelum kau mengerjakan tugasmu, kau harus selesaikan dapur! Ayo refreshing! Semangat!” ujarnya menyemangati dirinya sendiri.             Dia mulai membereskan lemari pendinginnya. Semua makanan dan minuman yang sudah hampir habis, akan diletakkan diluar lemari pendingin. Tidak lelah bagi Caca membersihkan lemari pendingin yang sudah menjadi bagian dari hobinya. ..**..             Yah, begitulah yang Caca tanam dalam konsep hidupnya sejak ia menetap di New York. Dia menyegarkan pikiran dan mengembalikan semangatnya lagi adalah dengan cara membereskan apartemennya.             Perubahan dalam tata letak barang atau mengisi lemari pendinginnya. Jika bukan begitu, dia akan pergi ke taman kota setiap hari libur dan menghabiskan waktu siangnya disana dengan melihat anak-anak bermain.             Tetapi, Caca lebih suka menghabiskan waktunya di apartemen. Sebab jika dia berlama-lama di luar apartemen apalagi pergi ke taman, apa yang dia lihat justru membuat hatinya sedih.             Caca tidak bisa membohongi hatinya jika kesedihan itu muncul apabila dia melihat kebahagiaan anak-anak bermain dengan keluarganya. Waktu berkualitas yang dihabiskan orang tua bersama dengan anak-anak mereka.             Yah, Caca begitu rindu dengan keluarganya yang berada di Indonesia. Dia bahkan tidak bisa menahan air mata jika bayangan keluarganya muncul selintas saja di pikirannya.             Hal itu yang membuat Caca jarang menghabiskan waktu di luar apartemen. Apalagi dia juga bukan tipekal mahasiswa yang suka bersenang-senang.             Caca menyadari niatnya di kota ini adalah untuk menimba ilmu. Dia hidup dengan uang yang sangat pas-pasan sekarang.             Awal dia berkuliah dan menetap di New York, Caca memang belum tahu berapa biaya hidup di Negara ini selama 1 bulan. Tetapi setelah hampir 1 tahun dia menjadi penghuni kota New York, Caca baru menyadari bahwa hidup di kota New York memang membutuhkan biaya yang sangat besar.             Bahkan uang 50 juta rupiah yang dulu sering ditransfer oleh abangnya setiap bulan, itu saja hanya cukup untuk mengelola hidup sederhana. Caca juga tidak menghabiskan uangnya dengan berfoya-foya atau membeli makanan siap saji yang ia mau, tetapi rasanya uang tabungannya habis untuk membayar hal-hal keperluan hidupnya saja.             Dia tidak menyangka jika hidup di Negara orang harus membutuhkan biaya sebesar ini. Bersyukurnya dia mendapatkan beasiswa dari kampus tempat ia menimba ilmu, dimana Caca juga mendapat uang saku setiap bulannya sebesar 750 USD atau sekitar 10 juta rupiah.             Uang saku itu seharusnya sangat cukup untuk pengeluarannya selama 1 bulan bila berada di Indonesia. Walau kenyataannya, uang 750 USD itu hanya cukup untuk biaya 1 minggu ia hidup di kota New York.             Bagi Caca, lebih nyaman tinggal di Negara sendiri dengan fasilitas dan bahan makanan serba murah meriah. Biaya hidup tidak sebesar di Negara maju seperti Amerika.             Caca tidak menyesali keputusannya menimba ilmu, menetap, dan mengenal Negara ini. Karena niat awalnya berkuliah disini adalah untuk melanjutkan pendidikannya dan berharap dia bisa mengubah hidupnya, terutama sekali mengangkat derajat keluarganya melalui prestasi yang ia raih.             Tapi setelah waktu silih berganti, Caca menyadari jika uang belanja yang dikirim oleh keluarganya semakin bulan semakin sedikit. Bahkan seminggu lalu, Caca mengecek uang yang dikirim oleh abangnya hanya 5 juta saja.             Caca tidak pernah mengeluh mengenai uang yang selalu dikirim oleh keluarganya. Bahkan dia selalu mensyukurinya bila keluarganya mengirim uang untuknya setiap 1 minggu sekali.             Sejak beberapa bulan lalu abangnya, Cakra selalu memberi pesan padanya jika mereka akan mengirim uang untuknya 4 kali dalam satu bulan. Caca mengiyakannya tanpa meminta apa alasannya.             Tentu saja Caca paham apa alasannya. Bahkan Caca menyembunyikan rasa curiganya dengan mengatakan jika uang tabungannya sangat cukup untuk keperluannya selama beberapa bulan ke depan. Walau pada kenyatannya itu adalah bohong.             Caca sadar selama ini dia hanya berkuliah dan mengandalkan uang dari kiriman keluarganya. Dia merasa menjadi beban keluarganya setelah 2 tahun dia berada di Negara maju ini.             Dia merasa jika kondisi keuangan keluarganya sedang sulit. Tapi dia tidak bisa menanyakan itu terhadap keluarganya, bahkan kepada kakak iparnya sekalipun.             Dilema dengan hati yang memilih untuk bekerja sambil kuliah. Tapi Caca bingung harus bekerja apa dan dimana. Sedangkan dia sendiri sama sekali belum pernah magang.             Waktu magangnya adalah beberapa bulan lagi. Caca pernah menanyakan itu pada pihak kampus, tetapi mereka justru menyuruh Caca untuk fokus pada acara seminar yang akan diadakan beberapa minggu lagi. … Kamar Cempaka., Malam hari.,             Caca masih terus menangis di depan laptop yang masih menyala. Beberapa buku masih terbuka di hadapannya. “Kau gak bisa diam aja, Ca. Harus kerja! Kau harus bisa cari kerja!” gumamnya menghela panjang.             Tubuhnya menegak dari kursi kecil yang menjadi temannya sejak 2 jam yang lalu. Dia baru saja menyelesaikan tugasnya, tapi pikirannya terus tertuju pada uang tabungan yang semakin menipis. “Aku gak mungkin minta uang lagi dari mereka. Minggu lalu mereka baru saja mengirim uang untukku,” gumam Caca lagi sambil membereskan buku-bukunya yang masih berserakan diatas meja belajarnya.             Saat dia mulai menonaktifkan laptopnya, Caca mengingat sesuatu. ‘Tapi bagaimana caraku bekerja? Ah baiklah. Besok aku akan menanyakan lowongan kerja pada mereka. Mudah-mudahan saja ada,’ bathinnya bergumam.             Yah, Caca memiliki 2 orang teman baik selama ini. Mereka berdua bekerja paruh waktu di salah satu kafe kecil, di kota ini. Caca merasa kalau dia bisa menanyakan lowongan kerja pada mereka. “Semangat, Ca! Kau tidak boleh menyusahkan kekuargamu lagi! Kau harus berjuang sendiri, Ca!”             Caca sangat bersemangat untuk esok hari. Keputusannya sudah bulat untuk bekerja paruh waktu setelah ia pulang kuliah.             Dia merasa memang sudah saatnya dia mengambil sikap ini tanpa sepengetahuan keluarganya. Apalagi sebentar lagi dia akan melakukan penelitian untuk ujian akhirnya.             Pasti membutuhkan biaya besar saat ia penelitian nanti. Mahasiswa jurusan bisnis manajemen sepertinya pasti harus melakukan penelitian di perusahaan besar agar ujian akhirnya lulus dengan mudah. “Baiklah, kau harus membersihkan wajahmu, setelah itu kau harus pergi tidur! Ingat, Ca! Tuhan selalu bersamamu! Dia tidak akan membuatmu kesusahan! Dia tidak mungkin memberi cobaan diluar batas kemampuanmu!”             Caca berulang kali menyemangati dirinya sendiri. Setelah selesai membereskan meja belajarnya. Dia segera pergi ke kamar mandi untuk memberisihkan wajahnya sebelum ia pergi tidur. ---**--- Columbia University, New York, USA., Perpusatakaan., Siang hari.,             Dia masih berada di perpustakaan bersama dengan seorang Professor bernama Joseph Mills. Dia merupakan Dosen terbaik di kampus ini, sangat dihargai dan dihormati semua penghuni kampus.             Caca dan Professor Mills sudah berada disini sejak 3 jam lalu. Yah, tentu saja Caca tengah membantu Professor Mills menyelesaikan penelitiannya.             Selain menjadi mahasiswa, Caca juga membantu Professor dalam beberapa penelitiannya. Tentu saja kerja kerasnya ini juga dihargai oleh Professor Mills.             Walau tidak banya, tetapi uang saku yang diberikan oleh Professor Mills sangat membantu biaya hidupnya selama 1 minggu. “Sudah selesai, Prof. Aku sudah meletakkan semuanya di halaman belakang. Mungkin akan ada sedikit tambahan saja. Tapi saya akan menyelesaikannya nanti malam,” ujar Caca mulai membereskan segala buku-buku yang ada di meja mereka saat ini.             Professor Mills melirik Caca sekilas. “Terima kasih, Caca. Aku sangat terbantu dengan tenagamu. Baiklah, kita bisa makan siang sekarang. Kau mau ke kantin bersamaku?” tawar Professor Milss. Tapi dia tahu kalau Caca pasti akan menolak tawarannya.             Caca mengulum senyumnya. “Jika aku menerima tawaranmu, Prof. Maka seluruh mahasiswa akan mengira jika Anda sudah mengangkat aku sebagai cucumu sendiri? Dan teman-temanku mulai merasa jika aku hanya ingin berteman dengan usia diatas 60 tahun?” balasnya tidak kalah membuat Professor Mills tertawa.             Pria berusia 68 tahun itu membawa barang-barangnya yang terletak di dalam tas berukuran sedang. “Baiklah. Seharusnya aku menyadari usiaku. Dan aku pasti akan diberi pertanyaan bertubi-tubi oleh istriku jika tahu hal itu. Kenapa aku mau menikmati makan siang berdua dengan mahasiswa secantik dan secerdas dirimu?” ujarnya merayu Caca, ia lalu beranjak dari duduknya.             Tentu saja wajah Caca mulai merona. Walau pria ini sudah sangat pantas ia anggap sebagai kakeknya sendiri, tapi Caca tetap menghargai statusnya sebagai pria yang sangat dihormati. “Kau dan istrimu pasti adalah pasangan terbaik pada masanya, Prof. Dan biarkan aku membantumu membawa ini,” ujarnya lalu membawa beberapa buku milik Professor Mills. Tidak lupa dia membawa barang miliknya sendiri.             Professor Mills mengulum senyumnya. Mereka berdua berjalan keluar dari perpustakaan yang sudah sepi itu. Yah, sebab semua mahasiswa pasti tengah berada di kantin. … Koridor kampus., “Saat itu, aku sangat susah sekali mendapatkan hati istriku. Tapi karena perjuanganku membuktikannya dengan ketulusan tanpa membawa gelar dan posisi yang aku punya, akhirnya aku bisa mendapatkannya.” Professor Mills mulai menceritakan sedikit masa lalu mengenai pertemuan dia dengan sang istri tercinta.             Langkah kaki mereka terus berjalan menuju ruangan Professor Joseph Mills berada. Caca masih mendengarkan cerita yang belum pernah ia dengar dari bibir pria senja ini.             Professor Mills melirik Caca sekilas. “Kau tahu, Ca? Tidak semua pria bisa membuktikan sikap tulus terhadap wanita pujaannya. Dan aku salah satu contohnya,” ujarnya lagi lalu menarik panjang napasnya.             Caca sedikit tidak paham dengan kalimatnya barusan. “Maksudnya?” tanyanya penasaran.             Professor Mills mengulum senyumnya, dia mengalihkan pandangannya ke sembarang arah, dengan jalannya yang sedikit lambat. “Aku sangat mencintai istriku. Dulu aku sangat takut kehilangan dia sampai aku membuktikan kehebatanku agar istriku percaya kalau aku bisa memenuhi kehidupannya jika dia mau menjadi istriku,” jelasnya.             Caca masih terus mendengarkannya. “Tapi sayangnya, istriku justru membenci hal itu dan menganggapku pria sombong. Sejujurnya aku tidak paham bagaimana aku harus menunjukkan sisi baikku. Karena dulu aku terkenal dengan sikap dan wajah sombong. Padahal tidak sama sekali,” ujarnya melirik Caca sekilas dengan senyuman tipis.             Caca memahaminya, dan menghela panjang napasnya. “Itu artinya tidak semua pria di dunia ini tahu caranya untuk meyakinkan wanita dengan cara yang baik begitu, Prof?” tanya Caca.             Professor Mills mengangguk kecil. “Benar. Aku sering menyita waktu khusus disela-sela waktu belajar, lalu aku menyelipkan pesan untuk mahasiswa dan mahasiswi agar mereka paham betapa luasnya pengertian sebuah perasaan dan sikap yang terkadang sering bertolak belakang. Itu artinya, kita yang harus peka ketika menerima sikap dan informasi dari orang yang kita hadapi. Jangan sembarangan menuduhnya tidak baik, begitu juga sebaliknya. Kita harus pintar-pintar membawa diri.”             Caca melirik Professor Mills tersenyum ke arahnya. Entah kenapa jika semua pesan moral yang disampaikan oleh Professor Mills sangat berharga untuknya. … Dean's Room.,             Kini mereka telah sampai di ruangan khusus para Dosen yang memiliki jabatan tinggi di kampus ini. Mereka masuk ke dalam sana. “Terima kasih sudah membantuku, Ca.”             Caca meletakkan barang-barang Professor Milss disana. “Terima kasih kembali, Prof. Anggap saja ini adalah balasan untuk pengalamanmu tadi,” ujarnya tersenyum.             Professor Joseph Mills mengangguk kecil. “Baiklah. Ternyata semua seimbang,” balasnya tersenyum.             Caca hendak permisi keluar dari sana, tapi dia memikirkan sesuatu. “Eumh, Prof?” sapanya.             Pria tua itu menatap lekat Caca. Dia tahu, mahasiswa mud aini seperti ingin menanyakan sesuatu padanya. “Duduklah, Ca. Kita bisa bicara sebentar saja,” ujarnya duduk di kursi kebesarannya.             Caca menggeleng kecil. “Tidak, Prof. Aku hanya ingin bertanya sesuatu. Bagaimana pendapatmu jika aku bekerja paruh waktu? Eumh, maksudku … aku ingin bekerja paruh waktu setelah kembali dari kampus?” ujarnya dengan ekspresi bingung.             Professor Mills menatap lekat Caca. “Haahhh … kau sudah mendapatkan lowongan pekerjaan?”             Caca menggelengkan kepalanya. “Belum, Prof. Aku masih ragu apakah waktuku bisa aku pergunakan untuk bekerja paruh waktu atau tidak. Dan … aku berencana untuk meminta bantuan dari Mieka dan Richard. Karena mereka bekerja paruh waktu selama ini,” ujarnya lagi.             Professor Milss masih diam sambil berpikir. “Baiklah. Aku akan membantu mencari pekerjaan yang bagus dan tidak menyulitkan waktumu. Tapi … mungkin tidak hari ini,” ujarnya.             Caca mengembangkan kedua sudut bibirnya. “Terima kasih, Prof. Tidak masalah jika bukan hari ini. Tapi setidaknya, saya sudah mengatakan niat saya kepada Anda yang saya percayai.”             Professor Mills tersenyum dan mengangguk kecil. “Terima kasih sudah mempercayai saya, Caca.”             Caca hendak pergi dan keluar dari ruangan besar itu. “Kalau begitu saya pamit keluar, Prof. Selamat siang,” ujarnya sedikit menunduk hormat.             Professor Mills membalasnya dengan senyuman. “Selamat siang, Ca.”             Dia masih melihat mahasiswi cerdas dan berbakat keluar dari ruangannya. Tentu saja dia memahami satu hal sebagai alasan Caca memutuskan untuk bekerja paruh waktu. Dia hanya bisa tersenyum melihat Caca begitu tekun dengan kuliahnya sampai ia sudah cukup waktu untuk melakukan penelitian sebentar lagi. * * Novel By : Msdyayu (Akun Dreame/Innovel, IG, sss)
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD