Chapt 3. Disturbed Lunch Hour, Unexpected Impression

3561 Words
---**--- 2 Tahun kemudian., The Theodore Home, New York, USA., Kamar Caca., Pagi hari.,             Dia baru saja selesai merapikan pakaiannya. Seperti biasa, disela-sela kegiatannya sehari-hari, Caca selalu menyempatkan diri untuk merapikan kamarnya agar selalu bersih seperti pesan dari Kakak Iparnya, Indria Rahayu.             Kesendiriannya di dalam apartemen selalu membuatnya teringat akan keluarga tercintanya yang ada di Indonesia. Tahun ini adalah tahun kedua dirinya menetap di New York.             Akan berjalan di tahun ketiga dimana dia siap untuk melakukan magang di sebuah perusahaan yang ditetapkan langsung dari kampusnya. Bagi Caca, hari-hari yang dia lewati terasa begitu cepat berlalu.             Dia pikir, mungkin karena dia terlalu asyik membuat sibuk waktunya. Hingga dia tidak memiliki waktu untuk menyendiri dan bersedih.             Yah, Caca sudah terbiasa dengan gaya hidup bebas di Negera berjulukan Big Apple ini. Selain terbiasa memakan makanan yang tidak seperti di Indonesia, Caca juga sudah terbiasa melihat hal-hal tak lazim yang tidak pernah dia lihat sebelumnya.             Tapi semua pergaulan bebas yang kini dia ketahui tidak dimanfaatkan oleh Caca. Meski beberapa teman kampusnya mengikuti gaya hidup bebas sebab usia mereka yang sudah menginjak 17 tahun.             Caca tetap berteman dengan mereka. Namun, dia tetap menghindari dan menolak halus ajakan mereka jika hendak mengunjungi sebuah klub malam atau berpesta di acara malam-malam tertentu.             Sejak tahun kedua dia mengikuti pendidikan di kampusnya, dia mendapatkan beberapa orang teman yang merupakan adik kelasnya sendiri, berada 2 semester di bawahnya. Meski berbeda jurusan, Caca merasa jika mereka sangat cocok untuk berteman.             Sebab gaya hidup mereka juga terjaga. Caca merasa nyaman berteman dengan mereka, hingga detik ini pertemanan itu masih tetap terjaga. … “Hahhh … selesai juga. Akhirnya …” Dia menarik kedua lengannya ke atas, sembari melirik ke setiap sudut kamarnya yang sudah rapi. “Kalau gak disempatkan, pasti gak akan terniat sampai kapanpun.” Gumamnya berlenggang pinggang.             Dia menekan bagian belakang lehernya. “Pegal juga yah. Coba aja dekat sama Ibu, pasti uda minta kusuk.” Dia menghela panjang nafasnya, lalu berjalan menuju lemari pakaiannya.             Sejak beberapa jam yang lalu dia menangis, merindukan keluarganya. Tapi setelah dia melepaskan isi hatinya dengan tumpahan air mata, dia merasa lega.             Lemari tiga pintu yang sangat sederhana. Beberapa pakaian musim dingin tergantung disana. “Pakai apa yah ?” Dia masih berlenggang di hadapan lemarinya. Memilih pakaian yang cocok untuk cuaca diluar yang tengah dingin.             Caca sudah hapal dengan cuaca di bulan Oktober. Hujan dan salju yang terkadang datang tiba-tiba. Apalagi suhu dingin sudah terasa sejak beberapa hari yang lalu. “Pakai ini …” Dia mengambil kaus panjang hitam. “Ini juga, biar gak dingin.” Lalu mengambil sweater bermotif kotak-kotak berwarna putih bercampur biru dongker.             Dia melirik ke arah gantungan baju yang ada di belakang pintu kamarnya. “Celana jeans itu ajalah. Malas banget mau pakai yang baru.” Dia terus bergumam, memilih pakaian yang akan dia kenakan pagi ini.             Caca mulai bersiap diri untuk pergi ke kampus. Sebab hari ini dia ada janji bersama dengan salah satu Professor yang menjadi pembimbing utamanya. ..**..             Cempaka Candramaya, dia selalu menyempatkan diri untuk membereskan apartemennya mulai dari kamar pribadinya, sampai ruang tamu, dan dapur. Tidak lupa juga baginya memasak pagi jika masih ada persediaan bahan makanan mentah.             Atau jika dia sangat malas, dia hanya sarapan dengan beberapa helai roti saja. Apalagi dia hanya seorang diri dia apartemen. Hal itu membuat Caca bisa mengatur semua sesuai dengan keinginannya.             Setelah dirinya selesai dan membawa lengkap semua yang dia butuhkan saat di kampus, dia mengotak-atik ponselnya. Membuat siaran langsung dari akun media sosialnya dan dia menandai sang Abang dan Kakak Iparnya, Cakra dan Indri.             Siaran langsung yang selalu dia lakukan setiap pagi selalu bersifat pribadi, dan hanya bisa dilihat oleh orang yang dia tandai saja. Beginilah yang dilakukan Caca setelah dia terbiasa jauh dari keluarganya.             Baginya, tidak perlu dia selalu menghubungi keluarganya. Dia juga tidak mau terlihat lemah sehingga membuat sedih keluarganya di Indonesia. Itu sebabnya Caca mengambil alternatif lain dengan cara ini.             Cara yang dia lakukan juga diikuti oleh keluarganya ketika tengah berkumpul atau tengah berjualan bakso di warung. Hanya dengan begitu, kerinduan Caca terhadap keluarganya bisa terobati setiap hari. … “Assalamu’alaikum, Ayah … Ibu … Mbak … Mas …” “Assalamu’alaikum anak Bunda …” “Disini cuacanya masih dingin. Kemarin aja sempat badai petir …” “Jadi ini ke kampus pakai pakain super tebal …”             Dia memperlihatkan pakaian yang dia pakai hari ini ke arah kamera ponselnya. “Ini pakai boot juga, uda double sama kaus kaki panjang …” “Caca berangkat kuliah dulu ya …” “Tadi uda sarapan pakai sandwich aja. Lagi malas nyayur …” “Ini disini sudah jam 7.30 pagi …” “Gak ada kelas sih hari ini. Cuma mau jumpa Professor aja. Soalnya Caca udah mulai nyusun skripsi, sebentar lagi bakal sidang …” “Nanti sepertinya bakal pulang siang aja. Habis itu ke swalayan dekat sini, buat ngisi kulkas …” “Oh ya, Mbak Indri ... uangnya uda masuk tadi pagi Caca cek …” “Makasih Mas … Mbak …” “Caca pamit kuliah dulu ya …” “Jaga kesehatan disana …” “Assalamu’alaikum …”             Setelah dia menayangkan siaran langsung itu, dia bergegas keluar dari kamarnya. Tidak lupa dia mengambil jaket berwarna birunya, lalu memakainya dengan penuh semangat. *** Columbia University, New York, USA., Koridor kampus.,             Caca mempercepat langkah kakinya menuju ruangan dosen pembimbingnya. Beberapa menit lagi dia akan telat dari jadwal yang sudah ditentukan.             Dia telat karena kesulitan mendapatkan bus. Entah kenapa, hari ini bus sangat padat. Dia hampir saja benar-benar telat sampai di kampus. “Aduh, sebentar lagi. Gawat!” Caca menggerutu dan berlari menuju anak tangga yang ada di ujung sana. … Ruangan Dosen.,             Caca mulai fokus pada beberapa buku yang ada di meja kerja Prof. Joseph. “Prof, salinan ini sudah lengkap semua ?” “Atau saya harus menambahinya lagi ?” tanya Caca dengan mata terus fokus pada kegiatannya.             Profesor Joseph meliriknya sekilas. “Tidak, Caca. Kamu sudah bisa menyalin semuanya tanpa menambah lagi. Oh iya … jangan lupa buat jurnalnya juga ya. Nanti biar saya yang memasukkannya ke dalam situs website kampus kita.” Jelas Profesor Joseph dan diangguki iya oleh Caca. “Baik, Prof.” Jawabnya cepat.             Saat Caca begitu fokus pada kegiatannya, tiba-tiba ponselnya berdering. Dddrrrttt…             Benda pipih bermerk yang terletak diatas meja, Caca lantas menjangkaunya. Aza is calling…             Tanpa merasa bingung, Caca langsung menjawab panggilan masuknya. “Hallo … Assalamu’alaikum. Ada apa, Za ?” “Wa’alaikumsalam. Kakak dimana ? Kami baru saja sampai di kampus!” “Ini Kakak masih ada urusan di ruangan dosen bersama Profesor Joseph. Kalian tidak ada jadwal kelas hari ini ?” “Ada, Kak. Kakak pulang jam berapa hari ini ?” “Tidak tahu. Tapi, sepertinya Kakak akan pulang lebih awal. Ada apa ?” “Kakak jangan pulang dulu ya! Kita harus makan siang bersama di kantin! Tapi, setelah kami selesai dari mata kuliah terakhir!” “Oke-oke. Nanti Kakak tunggu kalian. Oh ya, kalian sudah sarapan ?” “Sudah, Kak …” “Hallo, Kak Caca! Nanti hubungi kami kalau Kakak sudah di kantin!” “Iya, Embun sayang. Iya … nanti Kakak kabari kalian …” “Oke, Kak! Kami tutup ya!” “Iya-iya …” “Assalamu’alaikum, Kak Caca!” “Wa’alaikumsalam, Embun sayang …” Tutt… Tutt… Tutt…             Mengetahui Caca sudah selesai mengangkat panggilannya, Profesor Joseph mulai membuka suara. “Kau tahu, Caca … hanya kau mahasiswa yang diizinkan untuk bergaul dengan keluarga Abraham Althaf …” “Sebab mereka sangat dijaga ketat sejak diperbolehkan untuk masuk kelas secara langsung.” Ujarnya melempar senyum ke arah Caca.             Ekspresi bangga Caca dengan sedikit anggukan kepala, dia juga merasa diistimewakan oleh tiga wanita cantik yang ternyata memiliki darah Indonesia. “Iya, Prof. Mungkin … karena aku juga berdarah Indonesia, sama seperti mereka.” Jawabnya dengan senyuman geli.             Profesor Joseph yang duduk di kursi dan meja yang berbeda, dia turut mengiyakan pernyataan Caca. Sebab dia tahu jika Caca adalah mahasiswa dengan sikap dan perilaku yang baik. Sikapnya ketika berbicara juga baik, baik itu terhadap teman kampusnya sendiri.             Caca merasa paginya sudah lengkap. Sebab disini, hanya tiga wanita itu yang selalu menemani hari-hari di kampusnya.             Meski mereka tidak pernah saling mengunjungi satu sama lain. Namun dalam dunia kampus, mereka pasti akan menyempatkan waktu untuk berkumpul bersama. … Kantin., Siang hari.,             Caca baru saja keluar dari ruangan dosen. Mengingat dia memiliki janji terhadap 3 wanita yang sudah menjadi teman akrabnya selama ini, dia bergegas menuju kantin.             Dia yakin, mereka belum selesai dari kelas mata kuliah. Dan akhirnya dia memutuskan untuk membeli sesuatu dan mencari meja yang pas untuk mereka berempat. … 15 menit kemudian.,             Dia tengah mengotak-atik ponselnya, bermain media sosial. Namun tiba-tiba saja kedua matanya ditutup oleh seseorang.             Caca langsung tersenyum, sebab dia tahu siapa yang tengah menutup kedua matanya. “Ini pasti Embun.” Ucap Caca berbahasa Indonesia dan direspon antusias oleh wanita yang disapa Embun. “Yeaayy! Kak Caca selalu berhasil menebak!” Embun juga menyahutnya dengan bahasa yang sama. Dia langsung duduk tepat di hadapan wanita yang sudah dia anggap sebagai Kakak sendiri.             Caca geli mendengarnya. Bagaimana dia tidak bisa menebak, sebab dia sudah hapal dengan aroma parfum mewah yang sering dipakai oleh mereka. “Bisa dong! Kakak kan sayang sama Embun yang cantik.” Balas Caca seraya memujinya.             Embun tersipu malu kala dirinya selalu dipuji cantik. Matanya melirik ke arah bungkusan plastik disana. “Kakak bawa apa ?” tanyanya sembari meletakkan ranselnya di kursi tepat di sebelahnya.             Caca hampir saja lupa. “Oh iya. Tadi Kakak beli es krim.” Dia mengeluarkan es krim rasa vanilla, kesukaannya.             Embun mengubah ekspresi kecewanya. Bibirnya mulai sedikit maju.             Caca tertawa pelan melihatnya. Dan mengeluarkan rasa es krim yang disukai Embun. “Ini es krim vanilla strauberi kesukaan Adiknya Kak Caca yang cantik kuadrat 100.” Ucapnya lagi menyodorkan es krim itu ke arah Embun.             Wanita berusia 21 tahun itu tampak bahagia menerimanya. Apalagi Caca membukakan es krim itu untuknya. “Oh iya, Kak Aza dan Kak Bening belum selesai dari kelasnya ?” tanya Caca memberikan sendok kecil untuk diletakkan di cup es krim milik Embun.             Belum sempat mereka memakan es krim itu, teriakan seorang wanita terdengar di telinga mereka. “Punya Bening mana, Kak ?!” Teriaknya dengan bahasa yang sama.             Embun langsung melirik ke arah pintu kantin. “Kak Bening! Kak Aza! Es krim vanilla strauberi!” Jawab Embun tak kalah antusias, menunjukkan es krim miliknya.             Caca menoleh ke arah belakang dengan senyuman. “Kalian sudah selesai ?” tanya Caca langsung membuka tutup cup es krim milik mereka. “Sudah, Kak! Dan kami langsung kesini!” Jawab Aza mendekati mereka.             Bening mempercepat langkah kakinya. ..**..             Cempaka Candramaya, dia mengenal tiga wanita itu sejak setahun dia mengemban pendidikan di Universitas bergengsi ini. Awalnya dia tidak berniat untuk berkenalan dengan mereka. Selain berasal dari kalangan menengah ke atas dan merupakan anggota keluarga dari Abraham Althaf, keluarga yang menjadi donator kampus ini sejak dulu. Mereka juga dijaga ketat oleh beberapa penjaga. Sikap mereka juga menunjukkan untuk tidak mau berteman dengan mahasiswa yang ada di kampus ini. Namun entah kenapa, mereka menjadi semakin dekat saat mereka bertiga tengah berada di perpustakaan dan berbicara dengan Bahasa Indonesia. Tentu saja Caca kaget. Dia menduga, mereka pasti memiliki darah Indonesia. Dan ternyata dugaannya itu benar.             Dan mereka bertiga yang bernama lengkap Azathea Yara Adyrga Althaf, Bening Yara Adyrta Althaf, dan Embun Yara Adyrta Althaf. Sejak mengenalnya di awal perjumpaan, mereka bertiga langsung mengakrabkan diri dengannya.             Saat itu, dia tidak terlalu mau menerima pertemanan dari mereka sebab dia sadar diri akan status sosial yang tidak satu level diantara mereka. Apalagi dia tidak mau dicap sebagai mahasiswa yang panjat sosial.             Namun, lambat laun. Azathea, Bening, dan Embun semakin dekat dengannya. Hingga Caca sendiri merasa sungkan untuk menjauh.             Karena berada di kampus yang sama membuat mereka semakin akrab. Apalagi Embun selalu mengajak Caca untuk makan siang bersama.             Bagi Caca, pertemanan mereka merupakan rezeki dari Tuhan. Setelah mereka berteman, dia tidak lagi merasa kesepian di kampus ini. Bahkan dia sudah menganggap Azathea, Bening, dan Embun sebagai adiknya sendiri. Dia juga menceritakan hal ini kepada keluarganya. Bersyukurnya keluarganya mendukung pertemanan mereka dengan nasihat batasan yang harus Caca jaga diantara mereka. Dan Caca memahami itu. … 1 jam kemudian.,             Mereka baru saja selesai menikmati makan siang bersama. Dengan menu khas Turki yang bisa dipesan di kantin kampus mereka.             Bening melihat notifikasi pesan yang masuk di ponselnya. “Kita dijemput sama Mas Gamal.” Ucap Bening sembari mengunyah sisa makanan di mulutnya.             Caca masih meminum jus miliknya, melirik ke arah Bening.             Embun mengangguk paham. “Biasanya juga Mas Gamal yang sering jemput kita.” Sahutnya sembari menyendok es krim ke mulutnya. Dan untuk kesekian kalinya, dia sudah menghabiskan 3 cup es krim.             Azathea menghela panjang nafasnya. “Pasti Mas Gamal mau minta bantuan sama kita.” Dia ikut menyahut dengan menebak asal.             Caca hanya diam saja. Sebab kalau mereka sudah menggerutu mengenai nama pria yang dia pastikan saudara laki-laki mereka, dia tidak mau ikut menimbrung.             Dia melihat ketiga gadis ini masih sangat manja dan kekanakan. Dia bahkan tidak tahu mau menyebut mereka sebagai gadis atau wanita. Sebab postur tubuh ideal mereka bak model. Dan paras yang begitu cantik seperti wajah masyarakat Timur Tengah. …             Tidak lama mereka mengobrol dan bercerita. Tiba-tiba suara seorang dari arah belakang Caca terdengar antusias. “Surprise!!”             Azathea, Bening, dan Embun melihat ke sumber suara. Begitu juga Caca yang menoleh ke arah belakang. “Mas Aka!!” Embun berteriak antusias dan langsung berlari ke arah sang Abang. “Katanya yang jemput Mas Gamal ?” Azathea melirik Bening yang mulai mengendikkan kedua bahunya ke atas. “Entah … ini tadi Mas Ara yang kirim pesan. Katanya Mas Gamal yang jemput.” Jawab Bening santai. “Tumben sekali Mas Aka mau jemput kita.” Balasnya lagi.             Caca masih melihat ke arah belakang. Melirik pria berjaket coklat dengan motif kotak berwarna hitam merah. Namun saat pria itu meliriknya, dia langsung membuang wajahnya ke arah depan.             Seakan tidak berjumpa bertahun-tahun, Embun terus memeluk sang Abang. Lalu dia menarik lengannya untuk duduk bersama dengan mereka. “Mas Aka, ayo duduk dulu. Kami makan es krim! Kak Caca yang bandarin kami!” Ucap Embun berbahasa Indonesia dan direspon kernyitan oleh sang Abang, Aiyaz Koswara Althaf.             Yah, Aiyaz bingung kenapa sang Adik berbicara dengan Bahasa Indonesia. “Oh ya ?” Aiyaz membalasnya dengan bahasa yang sama.             Caca enggan menatap pria yang masih berdiri tepat di sebelah kursi Embun yang sudah duduk. “Mas Aka! Ayo duduk!”             Aiyaz mengusap lembut kepala Embun. “Tidak, Baby. Kita harus kembali sekarang. Kau lupa, kita harus pergi ke butik sore ini ?” Aiyaz memastikan ingatan Embun yang begitu polos diantara kedua Adiknya yang lain.             Mendengar hal itu, Caca mulai sebal. ‘Sombong sekali dia. Mentang-mentang anak orang kaya!’ Bathinnya mengumpat kesal dan langsung megumpulkan sisa bungkusan makanan yang ada diatas meja. Deg!             Azathea dan Bening saling melirik satu sama lain. Kunyahan di mulut mereka mulai melambat. Begitu juga Embun yang mulai melirik ke arah kedua Kakaknya.             Aiyaz menatap lekat wanita yang selama ini sering diceritakan oleh ketiga Adiknya. Dia hanya diam saja dengan satu sudut bibir tertarik ke atas.             Namun Embun, dia merasa jika dia harus melakukan sesuatu. “Ah, Mas Aka … kenalin, ini Kak Caca!” “Yang sering kami certain ke Grandma dan Mommy!” “Kak Caca juga dari Jakarta … ya kan, Kak ?” Embun melirik Caca yang sudah tersenyum manis. “Iya, Embun. Kakak dari Jakarta.” Jawabnya lalu beranjak dari duduknya. Dia merasa jika pria ini mengusirnya dengan cara halus. Atau lebih tepatnya, membuatnya paham jika mereka harus mengakhiri pertemuan mereka. “Oh iya. Kakak balik duluan yah ?” “Kakak mau ke swalayan lagi.” Ucap Caca sembari membawa bungkusan besar di tangan kanannya.             Aiyaz merasa jika dia sudah salah berbicara. Tangan kanannya terulur ke arah wanita yang dia tahu bernama Caca. “Hai, kenalkan saya Aka. Abang Aza, Bening, dan Embun.” Ucapnya seraya memperkenalkan diri. Suaranya terdengar seperti tengah menggoda wanita.             Caca tersenyum tipis dan menyatukan kedua telapak tangannya. “Saya, Caca. Teman mereka sejak mereka mulai berkuliah disini. Maaf, tangan saya kotor.” Ucapnya berbahasa formal sembari tersenyum ramah.             Aiyaz membalas senyumannya, dan menurunkan kembali tangan kanannya. Memasukkannya ke dalam saku jaketnya. “Oh, tidak masalah.” Jawabnya dengan helaian nafas singkat.             Azathea dan Bening merasa tidak enak hati. Mereka ikut beranjak dari duduknya. “Kami sudah selesai …” Bening menyapu mulutnya dengan tissue kering. “Kak Caca mau ke swalayan kan ? Kami antar ya, Kak ?” “Mas Aka, kita bisa antar Kak Caca ke swalayan dulu gak ?” Azathea izin terhadap Abangnya.             Aiyaz mengernyitkan keningnya. “Kenapa kalian bertanya, Baby. Tentu saja bisa.” Jawabnya santai dan melempar senyum ke arah Caca.             Caca menghela panjang nafasnya. “Tidak, Aza. Kakak sekalian ada janji sama teman. Jadi Kakak bisa pergi sendiri.” Ucapnya menolak halus. Dia mulai mendorong kursi ke arah bawah meja. ‘Sok tampan sekali sih.’ Bathinnya lagi mengumpat.             Embun menggaruk lehernya yang tidak gatal. Dia mendongakkan kepalanya, melihat sang Abang. “Eumh … Mas Aka. Ayo kita berangkat. Kak Caca sama kami saja. Jangan sama teman Kak Caca ya ?” Embun merasa tidak enak. Dia menggoyang-goyang lengan kiri sang Abang seraya meminta bantuannya untuk membujuk Caca.             Caca menggeleng pelan. Dia mengotak-atik ponselnya, berpura-pura menghubungi temannya. “Ini, Kakak mau mengirim pesan padanya. Ya sudah. Sampai jumpa besok ya. Kalian hati-hati di jalan. Bye …” Ucapnya melambaikan tangan singkat, lalu melangkahkan kaki keluar dari kantin. ‘Dia pikir, siapa dia ?’ ‘Aku juga tidak sudi satu mobil dengannya!’ Bathin Caca menggerutu dalam langkah kakinya.             Aiyaz menggaruk leher dengan tangan kirinya. Dia pikir, apa salah dirinya sampai wanita bernama Caca itu tidak menyukainya di pertemuan pertama mereka. “Kak Caca …” Gumam Embun dengan suara sepelan mungkin. Raut wajahnya terlihat kecewa sekali. Dia langsung mendongakkan kepalanya, menatap tajam sang Abang.             Aiyaz mundur satu langkah ke belakang, dia mengendikkan kedua bahunya ke atas. “Ada apa ?” “Ini gara-gara Mas Aka!” Ketus Embun dengan bibir maju ke depan. “Iya! Kenapa Mas Aka ngomongnya seakan gak suka sama Kak Caca!” Bening juga ikut mendengus kesal. “Harusnya Mas Aka bisa jaga perasaan Kak Caca! Dia orangnya baik! Cuma dia yang mau berteman dengan kita di kampus ini!” Ketus Azathea.             Aiyaz melirik ke sekitar kampus. Beberapa mahasiswa yang sejak tadi melirik kedatangannya, dia merasa sekarang adalah kondisi yang tidak tepat.             Mereka bertiga berjalan keluar kantin lebih dulu. Sedangkan Aiyaz, dia mengikuti langkah kaki sang Adik dari belakang. “Okay-okay … Mas minta maaf, Baby …” “Ditolak!” Azathea dan Bening kompak menyahut. “Ditolak kuadrat 100!” Embun juga ikut menyahut. “Oh … ayolah, Baby! Kita belanja sepuasnya hari ini, bagaimana ? Mas yang akan menemani kalian sampai kalian lelah, bagaimana ?” “No!” “No, no, no!” … Dalam perjalanan.,             Mobil mereka mulai melaju saat melihat bus yang ada di ujung persimpangan itu sudah pergi dari sana. “Kak Caca pergi seorang diri. Kasihan dia.” Gumam Embun melihat bus yang ditumpangi oleh Caca barusan. Yah, mereka bertiga sengaja menunggu tempat dimana bus berhenti di sekitar area kampus. Sejak beberapa menit yang lalu, mereka melihat Caca dari kejauhan tengah menunggu bus. Embun sempat memaksa sang Abang untuk menjemputnya dan ikut dengan mereka. namun Azathea dan Bening melarangnya. Mereka takut jika Caca semakin tidak suka dengan Abang mereka. Aiyaz, dia sesekali melirik ke arah kanan sembari fokus menyetir. Melihat ekspresi sang Adik, Embun yang masih kesal. Dia pikir, dia harus melakukan sesuatu sebelum terlambat. “Mas boleh jujur ?” “Teman kalian itu cantik. Mas tahu, kalian pasti memilih teman yang cantiknya seperti kalian.” Ujarnya melirik ke arah Embun yang mulai senyam-senyum.             Azathea dan Bening acuh. Mereka tidak meresponnya, sebab mereka tahu Abang mereka pasti hanya merayu saja. Mereka memilih untuk terus bermain ponsel.             Aiyaz kembali bertanya. “Oh iya … siapa namanya tadi ?” “Kak Caca!” Sahut Bening. “Oh … Caca. Caca, mahasiswi dari Jakarta ya …” “Iya!” Embun menyahut dengan nada ketus. “Nama lengkapnya pasti cantik.” Balas Aiyaz seraya memancing lagi. “Nama lengkap Kak Caca itu, Cempaka Candramaya!” Embun kembali memberitahunya. “Iya! Kak Caca biasa dipanggil Caca. Tapi nama aslinya Cempaka Candramaya. Nampak sekali Jawanya.” Bening ikut menimbrung.             Aiyaz mengangguk pelan. Tangan kirinya menyiku pada pintu mobil. ‘Cempaka Candramaya ya …’ Bathin Aiyaz dengan fokus mata ke depan.             Azathea mengernyitkan keningnya. “Mas Aka pernah jumpa sama Kak Caca sebelumnya ?” tanya Azathea yang mulai curiga.             Aiyaz menggeleng pelan. “Tidak pernah. Tapi, Mas suka namanya. Manis seperti nama kalian.” Jawabnya lagi melirik ke arah Embun yang lagi-lagi tersipu malu.             Dibalik mulut manis dan wajah nakalnya, seringaian tipis tercetak disana. Entah kenapa, dia tertarik untuk membalas manis sikap cuek Caca terhadapnya. “Hmm …” Dia menarik nafasnya dalam-dalam.             Sebab, baru kali ini dia diperlakukan begitu. Dia harus memberi Caca pelajaran tanpa dicurigai oleh ketiga Adiknya yang sangat cerewet ini. Dan sepertinya, ide gila itu mulai muncul di benaknya. * * Novel By : Msdyayu (Akun Dreame/Innovel, IG, sss)
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD