Chapt 6. Golden Chance

2819 Words
... 1 jam kemudian., Kantin.,             Caca sengaja mengajak Mieka dan Richard berjumpa siang ini karena dia tahu jika dua orang teman dekatnya itu sengaja membuat cuti untuk waktu berkualitas mereka.             Mereka bertiga sedang menikmati mie gelas hangat di tangan masing-masing. Caca duduk tepat di sebelah kanan Mieka, dan Richard duduk berhadapan dengan mereka.             Waktu berkualitas seperti ini sangat jarang sekali mereka lakukan, sebab Richard dan Mieka sangat sibuk bekerja paruh waktu. “Kenapa kalian tidak mengajukan cuti sampai 3 hari? Atau paling tidak kalian libur di hari minggu? Selama ini aku selalu melihat kalian bekerja setiap hari,” ujar Caca sambil memakan mie gelas di tangannya melirik Richard.             Mieka dan Richard juga memakan mie yang sama. Richard kembali membuka suaranya. “Kalau aku tidak mungkin libur. Karena gajiku tergantung dari jam masuk kerja, Ca. Lagi pula, aku tidak memiliki kesibukan lain selain masuk kelas. Hidup di kota maju ini memang sangat sulit jika kita tidak bekerja paruh waktu,” ujar pria berusia 24 tahun itu sambil menyeruput kuah mie gelas miliknya.             Wanita berusia 23 tahun itu tampak mengangguk setuju. Yah, Mieka juga teman satu kelas Caca. Hanya saja mereka kini sudah berbeda tingkat. Caca lebih cepat naik tingkat dari pada mereka berdua. “Iya, benar. Kau tahu sendiri, Ca. Buat apa kita menganggur di apartemen? Biaya hidup terus berjalan setiap harinya. Mungkin jika kami sepertimu? Kau mendapat beasiswa dari kampus, uang kuliah tidak perlu bayar, lalu mendapat uang saku dari kampus, dan kau mengikuti beberapa penelitian dari para Dosen. Kau pasti mendapat insentif tambahan dari mereka,” jelas Mieka panjang lebar. Dia masih melanjutkan kalimatnya. “Kau sangat beruntung, Ca. Dan itulah kenapa kami bekerja paruh waktu. Karena kami tidak memiliki uang tambahan dari manapun,” ujar Mieka menatap Caca yang sejak tadi memperhatikannya. Dia kembali memakan mie gelas yang masih utuh. Glek!             Caca tertegun. Sangat sulit bagi Caca untuk mengungkapkan betapa dia juga sedang dalam masa sulit. Saat dimana kedua temannya menganggapnya sebagai seorang yang beruntung, tapi dia justru mengeluh dan berusaha untuk mencari pekerjaan paruh waktu demi menambah penghasilannya.             Jika seperti ini, bagaimana mungkin dia meminta bantuan kepada mereka untuk mencari lowongan pekerjaan. Sementara mereka menganggap jika hidupnya tidak kekurangan sedikitpun.             Dia kembali memakan mie gelasnya, lalu bergumam kecil. “Tapi—”             Richard dan Mieka melirik ke arah Caca yang juga menikmati makanan yang sama dengan mereka. “Aku ingin sekali bekerja paruh waktu seperti kalian. Karena aku merasa waktuku terbuang sia-sia jika kembali ke apartemen dan hanya mengerjakan tugas kuliah. Setelah selesai, aku hanya bermain ponsel saja. Kalian tahu? Aku merasa jika keluargaku sedang kesulitan ekonomi disana,” ujarnya menatap lurus ke depan.             Dua orang itu saling melirik satu sama lain. Mereka melihat bagaimana ekspresi Caca mengisyaratkan jika dia tengah mengeluhkan hidupnya.             Caca melirik dua orang temannya bergantian dengan senyuman tipis. “Kalian benar. Apartemen yang aku tempati selama ini memang terlalu mahal. Bahkan aku saja harus berhemat untuk makan sehari-hari. Jika saja naik sepeda bisa membuatku sehat, aku akan melakukannya setiap pagi. Tapi sayangnya jarak kampus dan apartemenku sangat jauh,” ujarnya tertawa miris.             Mieka menoleh ke kanan, melihat Caca yang sedang mencurahkan isi hatinya. “Sebenarnya keluargaku sangat melarangku untuk kerja paruh waktu. Mereka tidak mau aku menjadi wanita bebas disini,” ujarnya melirik Mieka dan Richard bergantian. Dia menyelipkan helaian rambut ke daun telinga kirinya, tanpa berniat menyisakan mie gelas miliknya.             Richard menatap Caca dan Mieka bergantian. “Bukan aku tidak ingin bekerja. Hey? Siapa yang mau menyusahkan keluarganya sendiri disaat hidup di kota besar ini membutuhkan biaya yang tidak sedikit setiap bulannya? Bahkan biaya yang aku habiskan dalam satu bulan disini, bisa mencukupi kebutuhanku selama 3 bulan di Negara ku sendiri?” Caca melirik mereka. “Aku tidak tega melihat keluargaku menderita disana. Bahkan mereka tidak memberitahu kondisi mereka saat ini. Ketika aku mengajak mereka untuk bervideo call, mereka juga menolak. Kalian tahu?”             Caca menatap Mieka dan Richard. “Keluargaku hanya berharap dari penghasilan berjualan bakso di warung kecil kami. Kakak iparku saja membantu biaya kuliahku dengan berjualan melalui media sosial. Sekarang, mereka mengirim uang lebih sedikit dan sangat sedikit dari biasanya. Tapi mereka tidak pernah mengeluhkan itu padaku,” ujarnya melirik Mieka.             Mieka menatap ke arah Richard, hingga pria berusia 24 tahun itu menghela panjang napasnya. “Kau yakin mau bekerja paruh waktu, Ca?” tanya Richard serius menatapnya.             Caca melambatkan kunyahan di mulutnya. Dia menatap ragu Mieka dan Richard. “Iya, tentu saja aku mau. Tapi … aku tidak tahu harus bekerja dimana?” Dia mengendikan bahunya.             Mieka menyeruput sisa kuah mie gelasnya, lalu meletakkan diatas meja kayu di hadapan mereka. “Kalau kau mau bekerja, aku punya saran bagus. Sepertinya kau harus melakukan magang lebih awal, Ca. Bukankah sebentar lagi kau sudah diperbolehkan untuk magang?” Mieka bertanya pada teman yang dulu sempat satu kelas dengannya.             Caca mengangguk kecil. “Iya, aku tahu itu.” Dia meletakkan mie gelasnya diatas meja kayu disana, lalu membenarkan ikatan rambutnya yang sedikit berantakan.             Richard meletakkan gelas berbahan steroform itu diatas meja kayu. “Kau bisa memanfaatkan magang di perusahaan besar dengan nilaimu, Ca. Siapa tahu kau bisa diterima bekerja setelah lulus kuliah,” sambung Richard mengendikkan bahu.             Caca menghela panjang napasnya. “Iya aku tahu itu. Tapi dimana? Aku tidak tahu bagaimana harus mencari informasi akuratnya,” ujarnya bernada rendah.             Mieka memijit keningnya. “Astaga, Caca! Kau bisa mencarinya di internet? Pasti banyak sekali lowongan kerja disana??” Dia mencoba untuk membuka pikiran Caca.             Richard hampir menyemburkan tawanya. “Hey, Ka. Aku yakin dia pasti sudah mencarinya. Hanya saja dia mau yang memang benar-benar diterima agar tidak membuang waktu. Benar begitu, Ca?” tanya Richard memastikan.             Caca mengangguk kecil. “Iya. Itu maksudku. Lagi pula, apa kalian pikir aku harus mengecek semua lowongan kerja yang ada? Sementara mereka belum tentu menerimaku? Dan aku harus tetap fokus pada kuliahku??” ujarnya mengutarakan isi hati dan kesusahannya.             Mieka hendak menyahut ucapan Caca, tapi ponsel diatas meja mengalihkan perhatian mereka. Dddrrrtttt….             Caca melihat ponselnya berdering, dan langsung menjangkaunya. Prof. J Mills is calling… “Professor Mills memanggilku,” gumamnya seraya memberitahu Richard dan Mieka. “Apa kau ada kelas lain hari ini?” tanya Richard sembari membuka botol minuman bersodanya melirik Caca.             Caca menggelengkan kepala sebagai jawaban tidak ada. Jari kirinya langsung menggeser tombol berwarna hijau disana. “Hallo, Professor? Ada yang bisa saya bantu?” “Ah, kau sudah makan siang? Ada sesuatu yang ingin aku bahas denganmu, Ca.”             Caca mengernyitkan keningnya. Ekspresi Caca membuat Richard dan Mieka sedikit bingung. “Aku baru saja selesai makan siang, Prof. Kalau saya boleh tahu mengenai apa, Prof? Apa saya harus ke ruangan Anda sekarang?”             Mereka berdua masih mendengarkan jawaban atas pertanyaan seseorang dibalik telepon Caca. “Tapi sebenarnya kita bisa membahas ini besok. Hanya saja, aku terlalu bersemangat karena aku langsung mengingatmu, Caca. Ada undangan khusus untuk mahasiswa yang sudah diperbolehkan magang. Dan ini adalah perusahaan besar. Kau akan tahu nanti.” “Ap-apa?? Magang? Ka-kau serius, Prof??” Caca membelalakkan kedua matanya.             Richard dan Mieka saling melirik dengan ekspresi bingung. Tapi, sepertinya mereka mulai mengerti sesuatu.             Terdengar suara tawa kecil dari Professor Mills di seberang teleponnya, hingga membuat Caca malu. “Hhmm … maaf, Prof. Aku … aku terlalu bersemangat. Kau tahu, Prof … aku memang—”             Caca mulai salah tingkah dan mengusap lengan kirinya. “Tidak masalah, Caca. Aku memahami itu. Dan di surat ini … namamu masuk di nomor urut pertama sebagai salah satu mahasiswa yang dipilih oleh perusahaan mereka. Beberapa Dosen sudah menyetujuinya. Dan hanya menunggu persetujuan mahasiswa saja, apakah mereka mau atau tidak.” Sreekk! “Saya mau, Professor! Saya mau!” Dia berdiri tiba-tiba. Hingga gerakan kursinya terdengar nyaring dan menjadi perhatian mahasiswa lain yang ada disana.             Meika dan Richard sampai menutup mulut mereka untuk tidak meledakkan tawa melihat betapa antusiasnya Caca saat ini. “Ada apa dengannya?” Mieka menunjuk ke arah Caca dengan gelengan kepala. “Aahh … maaf,” gumam Caca melirik ke arah yang lain. Dia kembali duduk rapi di kursinya semula. “Kau baik-baik saja, Ca?” “Ah? Ya, Professor. Saya baik-baik saja. Saya sedang di kantin dan baru selesai makan siang. Jadi, apa saya boleh ke ruangan Anda sekarang, Prof??” “Kau ini sangat bersemangat sekali, Caca. Kalau kau mau menandatanginya sekarang, tidak masalah. Aku sedang berada di ruanganku.”             Caca menghadap ke arah Mieka, menggenggam tangan kanannya dengan ekspresi sang bersyukur. “Baik, Professor. Saya kesana sekarang. Terima kasih sekali lagi untuk informasinya, Prof. Terima kasih,” ujarnya pelan melirik Richard dan Mieka bergantian. “Baiklah. Saya tunggu kamu, Caca. Sampai bertemu di ruangan saya.” “Baik, Professor. Terima kasih. Saya kesana sekarang. Sampai jumpa, Prof!” Tutt… Tutt… Tutt…             Ketika sambungan telepon telah terputus, Caca langsung memeluk erat Mieka yang duduk bersebelahan dengannya. “Mieka?!” gumamnya penuh rasa haru. Kedua matanya hampir memerah karena rasa bahagia yang tidak bisa dia ungkapkan. “Hey? Ada apa ini? Ini curang! Ceritakan dulu pada kami??” Richard berusaha menyadarkan Caca yang terus saja memeluk Mieka yang juga tidak mengerti apapun.             Mieka melepas pelukan erat dari Caca. “Hey, sudahlah. Richard, tolong minumannya. Teman kita ini butuh minuman untuk menetralkan jiwa semangatnya. Lebih baik kau minum dulu, lalu ceritakan pada kami sebelum kau pergi ke ruangan Professor Mills.” Mieka mengambil botol minuman bersoda yang sudah dibuka oleh Richard. Dia memberikannya pada Caca.             Caca mengambilnya dan meminumnya sedikit saja. Setelah itu, dia mencoba menarik panjang napasnya, lalu menghembuskannya keluar. “Cepat, Ca!” “Ayolah, Ca!”             Dia sudah mengulum senyumnya. “Kalian tahu? Professor Mills memberiku kabar kalau ada perusahaan besar yang aku belum tahu itu perusahaan apa. Tapi mereka mengirim surat khusus untuk mahasiswa yang sudah diperbolehkan untuk magang. Dan namaku masuk di nomor urut pertama untuk magang di perusahaan besar itu,” jelas Caca panjang lebar dengan wajah penuh semangat.             Mieka terus menggenggam erat tangan Caca yang sedikit dingin. “Ca? Tenangkan dirimu. Lihat? Kau sampai sedingin ini?” ujarnya sambil menahan tawa.             Caca kembali memeluk Mieka. “Aku baru saja membicarakan ini pada kalian, Mieka. Kau tahu? Aku sangat bahagia,” ujarnya lagi.             Mieka mengusap lembut punggung Caca. “Informasimu sudah cukup jelas. Sekarang, tunggu apa lagi? Ayo temui Professor Mills. Karena aku juga berencana pergi ke swayalan untuk membeli bahan dapur,” ujarnya memberitahu. “Aku juga mau membeli sesuatu di toko olahraga,” sambung Richard.             Caca menggangguk paham. Dia beranjak dari duduknya dan mendekati Richard, memeluk pria yang sudah ia anggap sebagai kakak tertuanya. “Semoga beruntung, Ca. Aku yakin kali ini keberuntungan besar telah menantimu,” ujar Richard mendokan yang terbaik untuk Caca. “Semangat! Hapus air matamu! Kau harus pahami kontrak kerja mereka! Ayo sana!” Mieka segera menyuruhnya untuk pergi menemui Professor Joseph Mills.             Caca mengangguk mantap. Tapi dia melihat meja masih berantakan. “Ah ini belum dibereskan,” ujarnya hendak membereskan sisa makanan mereka disana. “Jangan, biar aku saja. Pergilah. Surat undangan itu lebih penting dari pada ini,” ujar Mieka. “Terima kasih, Mieka. Kalian sangat pengertian sekali. Kalau begitu aku pergi dulu,” Dia mulai melangkahkan kakinya keluar dari kantin itu, melambaikan tangan ke arah mereka. “Bye! Sampai jumpa lagi!” teriak Caca dari kejauhan. “Bye!!” balas Mieka dengan senyuman masih mengembang di kedua sudut bibirnya.             Setelah Caca menghilang dari balik lift, mereka lalu beranjak dari sana. “Caca memang sangat beruntung sekali,” ujar Mieka membereskan bungkusan makanan mereka.             Richard membantu apa yang dilakukan oleh Mieka. Dia menyetujuinya. “Ya, kau benar. Dan kau tahu? Aku terkejut saat Caca mengeluhkan soal keluarganya. Aku pikir selama ini dia hidup serba berkecukupan seperti mereka.” Dia ikut merasakan apa yang dialami oleh Caca.             Mieka melirik ke arah Richard, mereka melangkah keluar dari kantin itu. “Yah, aku juga berpikiran sama. Tapi aku sangat beruntung mengenalnya. Dia gadis yang baik dan cerdas. Semoga dia bisa mendapatkan pekerjaan disela-sela magang di perusahaan besar itu,” ujar Mieka. “Aku tahu apa nama perusahaan itu.” “Apa?” “Hey, Mieka? Kenapa kau tidak tahu? Tentu saja perusahaan Althafiance. Hanya mereka perusahaan besar yang berani mengambil mahasiswa berprestasi dan membayarnya mahal saat bekerja.”             Mieka melirik Richard yang lebih tinggi darinya. “Tapi, bisa saja perusahaan lain. Tapi jika benar Althafiance? Seharusnya Caca sudah tahu kalau Althafiance adalah perusahaan milik tiga adik kelas yang menjadi temannya.”             Richard tertawa kecil. “Aku yakin kalau Caca sudah tahu. Di nama mereka saja sudah tertera marga Althaf. Tidak mungkin Caca tidak tahu itu.”             Mieka mengangguk setuju. “Benar katamu. Caca memang sangat beruntung.” “Kau tahu, Mieka? Para alumni mahasiswa terdahulu yang sudah menjadi pegawai tetap di Althafiance. Walau mereka tidak memiliki jabatan penting, tapi gaji mereka sudah diatas 5000 USD dalam satu bulan.” “Wow?? Aku tidak tahu kalau gaji pegawai Althafiance akan sebesar itu??” “Aku dengar itu gaji paling kecil. Dan kau tahu sendiri, jam kerja disana pasti sangat tinggi. Kalau menurutku gaji sebesar itu sangat cocok untuk ukuran perusahaan raksasa seperti mereka.” “Yah, kau ada benarnya. Tapi jika gaji sebesar itu? Aku berharap memiliki peluang untuk menjadi bagian dari mereka.” “Tidak hanya kau, Mieka. Aku juga mau walau hanya menjadi cleaning service.”             Mereka menertawai keinginan yang hanya menjadi khayalan semata. Sebab untuk ukuran mahasiswa dengan nilai pas-pasan seperti mereka, Richard dan Mieka tentu tidak berharap banyak untuk bisa bekerja di Althafiance. Karena bagi mereka, itu adalah hal yang sangat mustahil. …             Langkah kakinya sangat terburu-buru. Bukan karena dia takut terlambat, melainkan karena sudah tidak sabar untuk mendengarkan informasi jelasnya dari Professor Joseph Mills mengenai surat undangan itu.             Caca tidak menyangka jika namanya bisa terpilih menjadi mahasiswa magang di sebuah perusahaan besar. Walau dia belum tahu nama perusahaan itu, tapi dia yakin kalau Professor Mills pasti sudah mengetahuinya.             Saat Caca fokus pada tujuannya, ponsel yang ia genggam berdering. Dddrrrtttt…. Dia langsung melihat layar ponselnya. Embun is calling… “Embun?” gumam Caca dengan napas mulai tersengal. Dia sudah bisa menebak jika ketiga gadis itu pasti ingin mengajaknya untuk bertemu. Caca langsung menjawab panggilan dari mereka. “Assalamu’alaikum. Embun, ada apa?” “Wa’alaikumsalam. Kak Caca kenapa? Kenapa suara kakak tersengal?” “Ah iya Kakak sedang terburu-buru mau ke ruangan. Ada apa, Embun?” “Eumh, Kakak sedang sibuk ya?”             Caca berusaha untuk mengatur napasnya. Dia tahu kalau hati wanita imut satu ini sangat lembut sekali. “Kakak ada kelas tambahan siang ini. Kalian mau berjumpa dengan Kakak ya?” “Iya, Kak. Kami mau mengajak Kakak bermain ke mansion kami.” “Ke rumah kami!”             Kening Caca berkerut mendengar suara bisikan itu. Dia tahu itu suara bisikan dari Bening. Kedua sudut bibirnya sedikit mengembang. “Ah, maksudnya kami mau mengajak Kak Caca ke rumah kami. Tapi Kakak sibuk. Ya sudah tidak jadi, Kak.” “Iya, maaf ya. Lain kali Kakak akan main ke rumah kalian.” “Serius, Kak??” “Iya, Kakak serius.” “Serius Kakak mau??” “Iya, Embun Sayang. Lain waktu, Kakak akan berkunjung ke rumah kalian.” “Terima kasih, Kak Caca!!” “Sama-sama, Embun. Kakak tutup teleponnya? Kakak sedang buru-buru sekali.” “Baik, Kak. Sampai bertemu lagi! Assalamu’alaikum!” “Iya, Embun Sayang. Wa’alaikumsalam!” Tutt… Tutt… Tutt… “Haahhh!” Caca mengela kasar napasnya.             Keningnya sudah berkeringat jagung. Ruangan Professor Mills lumayan jauh dari jarak kantin tadi. Tapi semangat Caca mengalahkan rasa lelah kakinya. “Semangat, Ca! Ini adalah magang pertamamu! Yakinlah jika Tuhan selalu memberi jalan untuk hamba-Nya di kala susah!”             Dia terus melangkah semangat hingga bibirnya mulai tersenyum melihat pintu besar yang ia tuju. … Dean's Room.,             Jantungnya sudah berdebar kencang sejak ia mendengar berita bahagia ini dari Professor Joseph Mills. Sebenarnya dia sangat terbiasa keluar dan masuk ke ruanga ini, tapi entah kenapa kali ini perasaannya sungguh berbeda.             Caca merasa seperti ada sesuatu yang besar menantinya. “Huuuhh …”             Dia berusaha menarik panjang napas untuk menetralkan kegugupannya. “Tenang, Ca. Ini bukan pertandingan. Ayo kita jemput mimpimu!” gumamnya menyemangati dirinya sendiri.             Caca meyakinkan dirinya dengan magang pertamanya ini. Keluarga yang selalu ia ingat menjadi penyemangat tersendiri untuknya. Selain berharap untuk bisa cepat magang, dia juga berharap bisa bekerja di perusahaan besar itu setelah selesai kuliah nanti.             Sebelum mendorong salah satu pintu besar disana, Caca merapikan rambutnya terlebih dulu. Dia segera mendorong pintu itu. “Permisi,” ujarnya sopan lalu masuk ke dalam. “Silahkan masuk, Ca. Ayo kemari,” ujar seorang pria yang suaranya dikenali oleh Caca.             Caca memasang wajah cerianya. “Mungkin mahasiswa pertama kita yang menerima surat undangan ini adalah dia. Ca, bisa perkenalkan dirimu?” ujar Professor Mills tersenyum ke arah Caca yang berjalan mendekati mereka.             Dia tersenyum dan mengangguk paham. “Selamat siang. Perkenalkan, nama saya—” Deg!             Caca membeku melihat mereka tersenyum ke arahnya. ‘Dia?’ * * Novel By : Msdyayu (Akun Dreame/Innovel, IG, sss)
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD