Chapt 7. Caca's Big Hope. Aiyaz's Anger. The Game of Abraham Althaf Family

3106 Words
“Selamat siang. Perkenalkan, nama saya—” Deg!             Caca membeku melihat mereka tersenyum ke arahnya. ‘Dia?’ bathinnya menatap tidak percaya dua orang yang duduk disana.             Professor Mills beranjak dari duduknya, sebab dia tahu kalau Caca pasti akan tertegun melihat siapa yang hadir di ruangan ini. “Caca, kamu pasti sudah tahu siapa mereka bukan? Ayo, dilanjutkan perkenalan dirinya.” Professor menyentuh lengan Caca.             Caca terkesiap dan mengangguk maaf. “Ahh … nama saya Cempaka Candramaya, Pak. Saya mahasiswa Sarjana jurusan Bisnis Manajemen. Senang berkenalan dengan kalian,” ujarnya sopan melirik dua Dosen yang ada disana. Kemudian dia berjalan mundur, lalu duduk tepat di sisi kanan seorang wanita yang merupakan Dosen di kampus tempat ia menimba ilmu.             Bagaimana dia tidak bahagia, sebab Caca tahu siapa dua orang yang saat ini sedang bertamu di ruangan ini. Mereka adalah pekerja dari perusahaan raksasa di Amerika yaitu Althafiance Corporation.             Semua mahasiswa yang baru selesai dari pendidikan, mereka pasti akan berlomba-lomba mengejar lowongan kerja yang dibuka oleh perusahaan pemilik gedung pencakar langit nomor 1 di Amerika itu. Bagaimana tidak, sebab perusahaan raksasa itu menjanjikan segudang masa depan bagi para pekerjanya.             Tidak hanya upah besar setiap bulannya, mereka juga memberikan banyak tunjangan masa depan bagi para pekerjanya. Baik itu dari pakaian setiap 6 bulan sekali, rumah khusus para pekerja yang sudah mengabdi selama 3 tahun lamanya. Terutama sekali bonus setiap minggu jika pekerjaan yang diharapkan mendapat hasil memuaskan.             Jika mengingat tentang jaminan kesehatan, hal itu tidak perlu diragukan lagi. Sebab Althafiance memang bekerja sama dengan salah satu Rumah Sakit terkenal di Kota New York khusus untuk para pekerjanya.             Caca begitu bahagia bisa berbicara dan berhadapan langsung dengan dua orang utusan Althafiance. Sikap ramah dan tentu saja dia akan lebih banyak diam menyimak semua kalimat mereka.             Apalagi saat mereka langsung bertanya pada Caca mengenai persetujuan Caca terhadap surat undangan mereka. Tanpa berpikir panjang dan bertanya hal detail lainnya, Caca langsung mengiyakan dan menandatangani surat yang sudah disediakan oleh mereka untuk para mahasiswa yang bersangkutan.             Sebab mereka mengatakan jika mahasiswa yang bersangkutan menyetujuinya hari ini, maka mereka akan langsung memprosesnya hari ini juga. Tidak menunggu lama, beberapa mahasiswa lain juga menyetujui surat undangan itu.             Namun bedanya, hanya Caca yang diperbolehkan untuk mengunjungi ruangan itu. Selebihnya, mereka ditangani oleh Dosen yang diberi wewenang untuk mengurus surat undangan dari mereka.             Siang hari itu juga, Caca merasa hidupnya telah berubah. Masa depan yang hanya dalam bayangan, kini seakan berada dalam genggaman tangannya.             Dia mempercayai satu hal yang tidak akan pernah Tuhan lupakan, bahwa keyakinan dan doa selalu menjadi penolong utama. Semangat adalah pendukung terbaik untuk meyakinkan diri sendiri.             Caca merasa sangat beruntung karena bisa berhadapan dengan pekerja Althafiance. Sampai mereka mengundurkan diri untuk pamit pergi, bahkan Caca ikut mengantar mereka sampai keluar dari ruangan. … Beberapa menit kemudian.,             Caca masih memeluk Professor Mills yang sudah ia anggap sebagai kakeknya sendiri. “Terima kasih. Terima kasih sudah memberiku kesempatan ini,” gumamnya dengan menahan air mata yang sebenarnya tidak bisa lagi ia bendung.             Tiga orang Dosen yang ada disana, mereka tersenyum haru melihat bagaimana bahagianya Caca yang telah menandatangani surat undangan itu langsung di hadapan mereka tadi. “Sekarang, lebih baik kau mempersiapkan dirimu. Dan kau harus tetap bugar untuk besok pagi. Kau akan mulai magang besok,” ujar salah satu wanita mencoba untuk mengingatkan mahasiswa yang mereka tahu sangat berprestasi di tingkatannya.             Caca melepas pelukan terakhirnya dari Professor Mills. Tapi belum sempat dia membuka suara, seorang pria menyahut kalimat wanita itu. “Tapi kau harus ingat, kau harus membereskan segala berkasmu. Jangan lupa beri catatan kalau kau berkuliah setiap jumat dan sabtu karena selebihnya waktumu tersita untuk magang,” ujar salah seorang pria yang juga berprofesi sebagai seorang Dosen.             Dia tersenyum bahagia, lalu menyeka air mata yang kini keluar dari sudut mata kanannya. “Baik, Pak. Saya akan mengurus semuanya siang ini. Setelah itu saya langsung kembali dari sini dan mempersiapkan pakaian untuk besok,” ujar Caca menatap mereka bergantian.             Professor Mills tersenyum dan sedikit haru melihat ekspresi Caca yang sangat bahagia sekali. Dia tidak menyangka jika kesempatan ini datang tiba-tiba dan memberi sebuah peruntungan baik tersendiri untuk mahasiswa mereka yang bernama Cempaka Candramaya. … Di dalam perjalanan.,             Setelah selesai mengurus segala berkas pengajuan magang di kampusnya, Caca langsung kembali ke apartemen. Sejak menaiki bus hingga sekarang, dia terus membayangkan kejadian tadi.             Bagaimana mungkin dia bisa melupakan pakaian rapi Althafiance. Perusahaan terkenal yang ia tahu sebagai perusahaan idaman semua orang. Perusahaan yang benar-benar menjanjikan masa depan bagi para pekerjanya.             Caca tidak akan diam saja. Sebab saat sampai di apartemen nanti, dia akan memberitahu hal ini kepada keluarganya yang berada di Indonesia. Dia yakin kalau mereka pasti akan bahagia mendengar berita ini.             Dia terus memeluk erat ransel yang sejak tadi ia peluk. Matanya mengedar ke arah jalanan. ‘Ya Tuhan … setidaknya aku tidak perlu memikirkan biaya apapun saat magang nanti. Aku juga bisa melakukan penelitian disana. Terima kasih sudah mencantumkan namaku dalam daftar surat undangan itu,’ bathin Caca seraya bersyukur.             Dia menyandarkan kepalanya pada sandaran kursi bus, lalu memejamkan matanya. “Haahhh …” ‘Ayah, Ibu … Caca janji akan selesaikan pendidikan dengan cepat supaya Caca bisa cepat bekerja dan membalas semua keringat kalian.’             Senyuman kebahagiaan itu tidak berhenti tercetak di kedua sudut bibirnya. ‘Mbak Indri, Mas Cakra … Caca tahu kalian pasti sedang kesulitan disana. Tapi alhamdulillah disini Caca diberi surat undangan untuk magang. Caca tidak perlu mengeluarkan banyak biaya untuk keperluan magang dan penelitian.’             Caca terus memeluk erat ranselnya. ‘Kalau Caca memang diperbolehkan bekerja di perusahaan itu setelah magang atau selesai kuliah nanti, Caca akan tinggal disini tanpa menyusahkan kalian lagi. Kalian jangan khawatir, Caca bisa menjaga diri dengan baik.’             Hatinya tidak berhenti untuk terus bergumam seakan keluarganya bisa mendengar itu. Rasanya Caca ingin mengungkapkan semua kebahagiaannya saat ini, tapi dia pikir tidak mungkin.             Sebab dia belum menjalani proses magang itu. Caca hanya ingin jika apa yang ia harapkan sudah terjadi dan tidak menjadi harapan palsu untuk keluarganya yang ada disana.             Tapi dia sudah yakin akan memberitahu berita magang ini kepada keluarganya. Tentu saja dia mengharapkan doa baik dari keluarganya, terutama doa dari sang Ibu tercinta. *** Althafa Sport Car Corporation, New York, USA., Ruangan kerja., Sore hari.,             Seorang pria dengan penampilan sudah sangat berantakan, berulang kali dia meremas rambutnya karena telah pusing memikirkan rancangan mobil yang ia desain khusus. “Bagaimana mungkin ini bisa seperti ini? Mobil apa ini? Bentuknya bahkan seperti tikus berdasi!” gumamnya asal lalu meremas kembali kertas bergambar mobil, lalu melemparnya asal diatas meja kerjanya. “Haahh! Dasar tidak berguna! Bagaimana mungkin dia menyuruhku merangkai mobil?? Lalu apa gunanya pekerja desain?? Dasar bodoh!!”             Dia terus-menerus bergumam kesal, lalu menyandarkan punggungnya di kursi kebesarannya. Dasi yang sejak tadi sudah mengendur, dia semakin melepasnya dari sana. “Haahh!” wajahnya terdongak ke atas, dengan mata hendak terpejam.             Tapi suara ketukan pintu membuyarkan konsentrasinya untuk beristirahat. Tokk… Tokk… Tokk… “Masuk!” Ceklek…             Seorang pria masuk, dan dia hanya bisa menggelengkan kepalanya saat melihat remukan kertas sudah berada dimana-mana. Dia tahu kalau pria ini pasti tengah pusing karena perintah dari Tuan Besarnya, Gamal. “Selamat sore, Tuan. Saya mau memberitahu informasi ini,” ujarnya lalu menyodorkan Ipad ke arah pria yang sudah sangat berantakan itu.             Yah, Aiyaz Koswara Althaf. Dia masih berada di kantor demi menyelesaikan pekerjaan yang menurutnya sangat mustahil untuk dia kerjakan.             Tapi tantangan dari saudaranya, Gamal memang membuatnya stress satu harian. Dan dia pikir, alangkah lebih baik jika dia menyangkal dan melempar pekerjaan itu kepada bagian yang berwenang. Yah, begitulah yang ia pikirkan saat ini.             Ucapan dari sekretaris pribadinya, Bobby membuat Aiyaz menegakkan tubuh. Dia menarik Ipad itu, dan melihat apa yang ada disana.             Setelah membaca salah satu nama dari 4 nama mahasiswa yang tertera, seringaian ibliss itu muncul di wajahnya. Dia melirik ke arah Bobby. “Jadi, dia langsung menyetujuinya.” Aiyaz bergumam pelan saat mengeja sekali lagi nama yang menjadi fokus utamanya, Cempaka Candramaya.             Bobby mengangguk kecil dengan senyuman tipis. Sejujurnya dia sedikit bergidik ngeri melihat seringaian pria ini.             Walau dia sudah bekerja bertahun-tahun dengan pria bertubuh atletis ini, tapi tidak membuatnya terbiasa dengan kebiasaan kecil yang terkadang muncul tiba-tiba. “Benar, Tuan. Dan selebihnya, mereka belum mengkonfirmasi surat undangan itu. Hanya 4 orang mahasiswa yang sudah menyetujuinya,” ujarnya Bobby memberitahu.             Aiyaz memberikan Ipad itu lagi ke arah Bobby. “Baiklah. Batalkan sisanya,” ujar Aiyaz kembali menyandarkan punggungnya disana.             Bobby mengerutkan kening. “Maksud, Tuan?” tanyanya memastikan.             Aiyaz menatap tajam ke arahnya. “Ya dibatalkan! Apa kau tidak bisa menelaah kalimatku??” Sreekkk!             Dia berdiri tiba-tiba, lalu mengambil kasar jas miliknya yang tersampir di kursi kebesarannya sejak tadi. “Haaahhh! Kenapa orang-orang membuatku kesal satu harian ini!” gumamnya lalu melangkahkan kakinya menuju lift yang ada disana. Tidak peduli jika meja kerjanya masih berantakan, bahkan laptop masih menyala. Ponselnya juga masih tertinggal disana.             Bobby memasang wajah bingung. Ada apa dengan Tuan Besarnya. Dia merasa tidak membuat kesalahan apapun.             Saat tadi dia meninggalkan Tuan Besarnya 2 jam lalu, pria itu masih baik-baik saja. Tapi sekarang, pria itu berubah kembali menjadi monster.             Dia melihat ke arah meja kerja Tuan Besarnya, ponsel masih tertinggal disana. Dia langsung menjangkaunya. “Tuan?! Ponsel Anda!” ujarnya lalu berjalan menuju lift yang pintunya hendak tertutup.             Di sisi sebelah sana, di dalam lift. Aiyaz sudah memasang wajah datar. Entahlah, dia tidak tahu ada masalah apa dengan dirinya sehingga bisa kesal sampai ke ubun-ubun seperti sekarang. Meski tidak tahu apa penyebabnya, setidaknya satu nama itu sedikit mengembalikan suasana hatinya berpikir licik. “Cepat, Bob! Aku sudah sangat lelah!” ketusnya melihat Bobby berlari ke arah lift.             Bobby langsung mengulurkan tangannya untuk memberi ponsel itu. “Ini, Tuan!” Dia tersengal dengan d**a naik turun. “Hmm,” balasnya datar mengambil ponselnya dengan santai.             Pintu lift langsung tertutup. “Aawww!” pekik Bobby sebab satu jemarinya sedikit terjepit. “Haahh! Sabar Bobb! Ayo pikirkan apa salahmu! Kau pasti membuat kesalahan!” gumamnya mulai mengingat kejadian selama satu harian ini.             Dia melangkahkan kakinya menuju meja kerja Tuan Besarnya, sembari mengingat pekerjaannya hari ini. Mungkin saja dia telah membuat sebuah kesalahan atau pekerjaannya mengenai surat undangan itu tidak beres, pikirnya.             Tidak, sama sekali tidak ada. Dia tidak membuat kesalahan apapun selama satu harian ini. Itu artinya suasana hati Tuan Besarnya memburuk bukan karena pekerjaan.             Pasti karena hal lain. Kalau bukan karena taruhan dari Tuan Besarnya, Gamal. Mungkin ada salah satu keinginannya yang belum tercapai.             Entahlah, dia tidak bisa menebak jalan pikiran pria itu. Menurutnya, menebak jalan pikiran Tuan Besarnya lebih sulit dari pada menjalankan pekerjaannya menjadi sekretaris pribadi selama 24 jam.             Dari pada dia pusing memikirkan pria itu, lebih baik dia membereskan ruangan yang berantakan ini terutama meja kerja berukuran besar dan banyak sekali remasan kertas dimana-mana. Bobby memanggil tiga orang pekerja kebersihan khusus ruangan ini untuk membantunya agar pekerjaannya cepat selesai. *** Mansion Abraham Althaf, New York, USA., Ruang keluarga., Sore hari.,             Hanya dalam waktu 10 menit saja dia sampai di mansion. Wajahnya tidak berubah ekspresi, tetap datar bercampur sebal tidak terarah.             Kakinya melangkah tegap dengan tangan kanannya tetap memegang jas hitam pekat miliknya. Dia memilih menaiki undakan tangga agar sampai di lantai atas.             Entahlah, otaknya benar-benar buntu. Suasana hatinya sangat kacau, dia tidak tahu karena apa. Ubun-ubunnya terasa panas sekali. “Aahh sial!” gumamnya kesal.             Dia menginjak lantai atas, dan hendak berjalan menuju ke arah sana. Tapi suara itu terdengar di telinganya. … Lantai 2., “Mas Aka?! Bening mau bicara sesuatu! Kenapa mobil kami—” ucapannya terputus             Tangan kiri Aiyaz terangkat ke atas. “Mas pusing. Kita bicarakan nanti, oke??” sela Aiyaz bernada dingin tanpa melirik ke arah mereka. Dia terus melangkahkan kaki menuju kamar miliknya yang terletak disana.             Azathea dan Bening saling melirik satu sama lain melihat sikap cuek abang mereka yang satu itu. Sedangkan Embun, dia menggelengkan kepalanya. “Ada apa dengan Mas Aka?? Sepertinya dia lagi bosan sekali?” gumam Embun menebak menatap dua kakaknya bergantian.             Chandly melihat ketiga gadis itu tampak bingung. “Mas kalian pasti lelah, baru pulang kerja. Bahasnya nanti malam saja,” ujarnya seraya menenangkan hati mereka.             Ayra mengulum senyumnya. “Kalian sudah bicarakan ini sama Mas Gamal? Bukankah dia sudah kembali?” tanya Ayra.             Zu dan Anta yang sedang bermain lego, mereka hanya mengulum senyumnya saja. Begitu juga dengan Dyrga dan Dyrta.             Mereka tahu kalau ketiga gadis itu sangat manja bahkan hampir tidak pernah mengalami penolakan dalam hal apapun. Itu sebabnya mereka tidak heran jika ketiga gadis itu heran dengan sikap cuek abang mereka, Aiyaz barusan.             Azathea mengurungkan wajahnya. “Katanya mau bahas setelah Mas Aka pulang kerja! Tapi? Ya sudahlah,” gumam Azathea mengendikkan bahu.             Dia kembali menyusun lego bersama Grandpa dan Grandma mereka. “Sudah ayo kita lanjutkan lagi. Kita susun ini. Siapa yang duluan selesai, dapat hadiah spesial dari Grandpa.” Zu kembali mengingatkan mengenai hadiah yang masih ia rahasiakan.             Bening dan Embun kembali fokus pada susunan lego besar disana. Perhatian mereka tidak berhenti pada lego besar bergambar yang tengah disusun oleh Daddy dan Mommy mereka.             Dyrta melirik putrinya, Embun yang melihat ke arah mereka. “Ada apa, Queen? Lihat? Punya kami akan lebih dulu selesai,” ujar Dyrta menyeringai.             Embun membalas seringaian sang Daddy yang menurutnya biasa saja. Dia bahkan membalasnya dengan picingan mata. “Kemarin saja Daddy dan Mommy kalah! Jadi jangan bangga dulu!” balasnya angkuh dengan senyuman mengejek.             Dyrga menahan tawa melihat Dyrta diejek oleh Embun. Tentu saja Ayra dan Chandly ikut mengulum senyum melihat ekspresi Dyrta langsung berubah menjadi datar.             Anta membelai wajah cucunya. “Cepat kita selesaikan. Kalau kita cepat selesai, Grandpa akan kasih hadiahnya sama kita. Cepat!” gumam Anta menyemangati cucunya. Dia juga ikut menyusun lego besar dengan gambar yang sama seperti yang disusun oleh mereka.             Bening kembali menyusun lego milik mereka. “Grandpa? Katakan dulu apa hadiahnya??” tanya Bening melirik sang Grandpa sekilas.             Zu sudah mengulum senyumnya. Dia menoleh ke kanan, dan mengarahkan pipinya ke arah sang cucu. “Cium Grandpa?” pinta Zu.             Bening melirik ke arah sang Grandpa, lalu mengecupnya. Azathea yang duduk tepat di sisi kanan sang Grandpa, dia memeluknya dan mengecup pipi kanannya.             Pemandangan saat ini menjadi pemandangan terindah untuk Dyrga dan Dyrta beserta istri mereka. Sebab melihat kedekatan tiga gadis itu terhadap Daddy dan Mommy mereka, membuat keluarga mereka terlihat sangat sempurna.             Zu mengulum senyumnya melihat kedua cucunya sangat menyayanginya. “Oke-oke. Untuk permainan lego kali ini, karena lego sangat besar sekali. Jadi, hadiah utama dan satu-satunya adalah …” ujar Zu menghentikan ucapannya melirik mereka semua.             Pihak Dyrga dan Dyrta sudah mendengar itu dengan baik. Apalagi Ayra dan Chandly, mereka sudah terbiasa dengan permainan lego seperti ini walau lebih sering kalah. Entahlah, sepertinya suami mereka kurang lihai bermain lego atau memang ketiga putri mereka justru lebih cerdas.             Yah, beginilah kebiasaan yang sering mereka lakukan. Bukan tanpa alasan, tetapi untuk menjaga kebugaran otak dan daya ingat lansia yang dihormati di mansion Abraham Althaf.             Dyrga dan Dyrta tidak hanya menerapkan ini terhadap Daddy dan Mommy mereka, tetapi mereka juga menerapkannya terhadap mertua mereka. Walau mereka berkunjung setiap satu bulan sekali, mereka pasti akan menyempatkan diri bermain lego seperti ini.             Apalagi Daddy dan Mommy mereka, Zu dan Anta sudah sangat senja. Mereka hanya ingin jika dua orang itu tetap sehat tidak hanya fisik, tetapi juga daya ingat mereka.             Saat Zu hendak membuka suaranya, suara hentakan kaki membuat mereka menoleh ke sumber suara. “Apa hadiah utamanya, Grandpa?” tanya pria itu, Gaza.             Arash dan Gaza baru saja sampai di lantai ini, dan melihat mereka tengah bermain lego seperti biasanya. Mereka mendekati kelompok tiga adik mereka, lalu ikut duduk disana.             Arash membuka jas hitam pekat yang sejak tadi menempel di tubuhnya, begitu juga dengan Gaza. Mereka melemparnya ke arah sofa.             Anta menerima kecupan dari kedua cucu tampannya. “Kalian sudah kembali. Pasti lelah?” tanya Anta kepada Arash yang mengecupnya terakhir. “Tidak lagi setelah melihatmu, Grandma.” Arash mengulum senyum dan kembali mengecup keningnya.             Anta tersipu mendengar rayuan cucunya itu. “Kau ini! Ya sudah, gabung dengan kami. Kita selesaikan lego ini,” ujarnya lagi.             Dyrga dan Dyrta saling melirik satu sama lain. Melihat permainan tidak seimbang. Sebab mereka lebih banyak memiliki pasukan dari pada mereka yang hanya berempat saja. “Hey? Apakah ini adil? Kalian ada 7 orang? Sedangkan kami hanya 4?” ujar Dyrta membuka suara. “Mas Ara dan Mas Gaza tidak boleh ikut. Atau kalian boleh masuk di kelompok kami,” sambung Dyrga.             Azathea melirik ke arah sang Daddy. “Daddy tidak boleh menghasut pemain! Terserah pemainnya mau masuk di tim mana! Mana boleh iri dan dengki!” ketusnya. “Jangan iri, jangan iri … jangan iri dan dengki,” balas Bening sambil bernyanyi.             Embun menahan tawanya yang hampir pecah. “Kasihan sekali Daddy dan Mommy. Pasti akan kalah lagi,” ejek Embun lalu menutup mulutnya.             Zu dan Anta sangat menyukai suasana seperti ini. Dimana semua cucunya mendukung mereka dari pada Daddy dan Mommy mereka sendiri. “Oke-oke. Grandpa akan umumkan hadiah utamanya. Dan …”             Mereka semua terdiam. Berbeda dengan Embun yang sudah berwajah riang. “Cepat Grandpa!!”             Zu melirik istrinya yang berseberangan lego darinya. “Hadiahnya adalah … warisan Pulau 80% dari Grandpa!” ujarnya. “Wwoow!!” gumam Arash terlihat biasa saja. “Yeaayyy!!” teriak Embun dengan kobaran semangat berapi-api. “Lumayan.” Gaza mengendikkan bahunya, lalu menarik panjang napasnya. “Ayo, Kak Aza! Kita pasti menang! Kita dapat banyak Pulau dari Grandpa!” teriak Bening.             Anta sudah mengulum senyumnya. Lihatlah, betapa bahagianya ketiga cucu cantiknya itu. Padahal tanpa bermain lego seperti ini pun, mereka pasti akan memberikan semua yang mereka punya untuk para cucu mereka. “What the?!” ujar seorang pria berjalan mendekati mereka. Sebab dia sempat mendengar hadiah yang disebutkan oleh Grandpanya barusan.             Embun langsung menoleh ke sumber suara. “Mas Gamal!! Ayo bantu kami! Grandpa mau kasih 80% Pulau untuk kita! Ayo sini, duduk dekat Embun!” ujar Embun menepuk lantai di dekatnya.             Dyrga mengangkat satu tangannya. “Ini curang! Permainan tidak adil! Pemainnya tidak seimbang!” ujar Dyrga tidak setuju. “Iya, benar! Kita tidak bisa bermain jika jumlah pemain pincang seperti ini!” Dyrta ikut tidak menyetujui.             Zu dan Anta sudah mengulum senyumnya saja. Lalu Zu kembali membuka suaranya. “Oke. Kalau begitu permainan kita sudahi saja,” ujarnya. “Jangan, Grandpa!!” “Tidak bisa begitu, Grandpa!” “Tidak, Mas Ara tidak setuju.” “Mas Gaza juga tidak setuju.”             Zu tertawa geli melihat cucu dan putra mereka saling beradu mulut seperti ini. Jika sudah seperti ini, permainan akan batal dan akan berhujung pada sikap merajuk ketiga cucu cantik mereka.             Kebahagiaan yang sangat berarti untuk Zu dan Anta. Saat dimana keluarga mereka tetap damai dan tentram seperti ini. * * Novel By : Msdyayu (Akun Dreame/Innovel, IG, sss)
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD