'Ya Allah, kenapa sakit sekali?' Kirana hanya mampu membatin perasaannya sendiri ketika melihat Anggi melengos, seakan-akan Kirana ini buruk rupa hingga Anggi enggan sekali melihat ke arahnya.
Kirana bukannya insecure wajahnya kurang cantik atau apa, bukan. Dia juga tidak peduli. Yang dia tahu, semua perempuan yang lahir di muka bumi ini cantik. Jadi pendapat satu bahkan seribu orang pun mengatakan kalau dia buruk rupa, Kirana tetap yakin kalau semua perempuan cantik. Kecuali, perempuan yang jahat. Jadi, memang seperti itu yang membuat Kirana bertahan dari rasa yang bisa saja membuatnya insecure selama ini.
Kalau miskin, Kirana mengakuinya. Namun, bagi dirinya sendiri bersama ibunya sedari dulu, arti kaya yang sesungguhnya adalah memiliki badan dan pemikiran yang sehat. Sekaya apapun seseorang, jika ginjalnya rusak, tidak akan mampu membeli senyumannya meski hanya satu detik sekalipun. Dan sebanyak apapun harta yang dimiliki, tidak akan mampu menyembuhkannya kecuali atas izin Tuhan.
Manusia hanyalah mahkluk ciptaan Tuhan. Kalau Tuhan menjadikan amal sholeh menjadi tolak ukur kedekatannya dengan seorang hamba-Nya, maka menusia mengukur harta benda menjadi yang utama saat menjalin suatu hubungan dengan seseorang. Ya memang tidak semua manusia seperti itu, tapi kenyataannya, kebanyakannya seperti itu. Mau mengelak seperti apa lagi sudah banyak bukti dimana-mana. Kalaupun manusia tidak bisa melihat, ada Tuhan yang tidak pernah tertidur.
Kirana menggeleng pelan ketika kepalanya mendadak pening memikirkan hubungannya dengan Anggi. Akan sangat disayangankan jika persahabatannya yang bisa dibilang sudah terjalin belasan tahun kandas begitu saja hanya karena terlibat konflik percintaan.
Seandainya pun Kirana mencintai Pak Damar, Kirana tidak akan mengatakan perasaannya. Dia hanya akan diam, biarlah rasa cintanya hanya Tuhan yang mengetahuinya, orang-orang tidak perlu tahu. Dan biarlah juga biar Anggi yang dari sudut pandang Kirana sendiri lebih pantas bersanding dengan Pak Damar daripada dirinya yang jelas-jelas bukan siapa-siapa. Mendapatkan Pak Damar bagi Kirana adalah mimpi di siang bolong dan itu terkesan mustahil sekali di pemikirannya.
“Mbak Kirana, Mbak kenapa diam saja?” panggilan selaras dengan goncangan yang Silvi berikan menyadarkan Kirana akan dunia—menyadarkannya juga kalau dirinya masih berada di dunia ini.
“Ndak papa, Vi. Terkejut saja tadi. Kamu apa kabar?” Kirana bertanya, sudah mengalihkan pandangannya sedari tadi terkejut okeh kedatangan Silvi. Sementara Pak Damar yang tadi masih diam di tempatnya langsung berjalan ke arah Anggi yang masih saja diam.
“Mas Damar, aku bawa sesuatu, ada titipan dari Mama untuk Tante Tari, buat Mas juga.” Kata Anggi begitu ceria, wajahnya riang sekali. Riasan tipis di wajahnya membuat Anggi terlihat makin memesona. Jangan terkejut kalau anak laki-laki di kelas Kirana langsung fokus ke arah Anggi tanpa berkedip, padahal pakaian Anggi juga tertutup karena dia memakai jilbab juga. Anak kedoteran memang tidak perlu dipertanyakan lagi. Selalu saja anak kedokteran identik cantik-cantik, tampan-tampan, tajir melintir pula.
“Mari masuk, Nggi. Ini ada mahasiswa yang saya walinya,” Pak Damar memberitahu dengan tampang lempeng-lempeng saja. Memang karakternya Pak Damar sedari dulu memang begitu. Mau diapakan juga kalau memang tidak ada kepentingan untuk tersenyum, Pak Damar akan diam saja. Bukan berarti dia jarang tersenyum lalu dihakimi tidak pernah bahagia, bukan.
Silvi sudah menoleh ke arah Pak Damar yang mengarahkan Anggi agar masuk lebih dalam karena mamanya memang berada di taman belakang, sedang bersantai. “Hngg, dia lagi, dia lagi.”
Kirana langsung menyenggol lengan Silvi saat dia sadar kalau Silvi terang-terangan memutar bola matanya muak melihat kedatangan Anggi. Bagaimanpun, Anggi adalah sahabat terbaik Kirana. Daripada sahabat, mereka sudah seperti saudara sendiri. Kirana tidak terima ada yang bersikap seperti itu kepada Anggi, bahkan meski Silvi sekalipun. “Ndak boleh begitu, dia lebih tua dari kamu, harus menghargai.”
Mendengar teguran Kirana yang terdengar tak main-main, Silvi menghela napas pelan, kemudian meminta maaf pada Kirana. “Maaf, Mbak. Ya habisnya aku kesel. Kalau kesel, aku harus bicara sama orang. Kalau enggak, nanti satu rumah aku diami.”
“Ya sudah marahi aku saja karena pergi dari Bandung duluan, ndak nungguin kamu.” Kata Kirana memberikan jalan keluar yang menurutnya paling baik di antara saran yang paling baik.
“Ya nggak bisa gitu juga lah, Mbak.” Silvi lantas menggeleng dengan tawanya yang teredam karena suasana agak bising dari teman-teman Kirana.
Sampai akhirnya, Pak Damar kembali menghampiri mahasiswanya yang sampai repot-repot datang menjenguk padahal sudah dikatakan kalau keadaannya sudah baik-baik saja.
“Istri ya, Pak?” Ari—dengan menaik-turunkan alisnya, menatap Pak Damar menggoda. Kalau selain Pak Damar, mungkin Ari langsung ditendang saat ini juga. Namun, yang diajak bercanda oleh Ari sekarang wali dosennya sendiri, Pak Damar, yang hanya menggeleng pelan dengan senyuman kecil yang membuat wajahnya tetap saja datar. Entah kapan orang-orang bisa melihat dengan mata kepalanya sendiri saat Pak Damar tersenyum begitu lebarnya.
“Oh, bukan?” lagi-lagi Ari menanggapi sampai Faisal yang agak khawatir langsung menegur lelaki itu tanpa pikir panjang.
“Bicaranya dikondisikan, Ri.”
“Ya siapa tahu kalau Pak Damar nikah, terus kita diundang, kan lumayan makan gratis di hotel. Ya nggak, Pak?”
Kan, Faisal malah menyesal karena menegur, harusnya dia diam saja karena Ari malah makin menjadi-jadi. Sementara Pak Damar juga masih tersenyum datar. Dia juga tidak mengambil hati. Malah ide bagus juga, Pak Damar bisa meminta mereka untuk mengisi hiburan, itung-itung untuk hukuman tapi yang membahagiakan tentu saja.
“Adiknya cantik juga, Pak.”
“Saya hajar kamu.” Kata Pak Damar langsung saja yang langsung membuat satu orang di ruangan itu menertawakan Ari yang langsung diskatmat padahal baru saja memulai beberapa detik.
Kirana yang duduk dengan Silvi hanya tersenyum tipis melihat wajah cemburut gadis kekanakan di sampingnya ini. Meskipun kalau di sini bahkan sebelum-sebelumnya Silvi terkesan seperti anak kecil, tapi kalau sedang simulasi menangani orang, dia akan bijaksana dengan sendirinya. Dan kalau dilihat dari rona wajahnya, Kirana tahu kalau Silvi tidak mempermasalahkan bercandaan Ari. Yang ada, dia malah terhibur. Memang tidak ingin tertawa saja, nanti malah Ari yang kepedean.
Karena memang waktu yang seharusnya digunakan untuk salat terlebih dahulu tadi malah ditrabatas untuk perjalanan, maka sekarang semua orang melaksanakan salat Ashar di kediaman Pak Damar—yang tentu saja bergantian.
Sebenarnya, beberapa perempuan yang ada di sana menatap agak jengkel melihat kedekatan Kirana dengan Silvi. Masalahnya, Kirana dibawa oleh Silvi menaiki tangga, meninggalkan teman-teman perempuannya begitu saja. Orang yang membonceng Kirana juga agak jengkel melihat Kirana seperti itu. Harusnya kan dia ikut bersama dengan teman-temannya saja, sok ingin dianggap penting saja.
Mereka yang gregetan dengan Kirana berakhir membicarakan Kirana tak kunjung henti. Tahu kan nikmatnya membicarakan kejelekan orang itu bagaimana hingga hadiahnya neraka? Ya seperti itu lah, memakan bangkai saudaranya sendiri. Mereka tidak tahu saja kalau Kirana dibawa oleh Silvi ke kamarnya bukan tanpa alasan, tapi karena memang ada alasan yang sangat jelas.
Sebagai penderita asam lambung, Silvi juga tahu kalau sudah sesak napas sakitnya seperti apa. Karena itu Silvi membawa Kirana ke kamarnya, berniat memberikan obat karena memang semua teman-temannya Kirana sudah dipesankan makan. Nanti setelah salat Ashar semua akan makan bersama di bawah. Hanya saja, tadi Silvi tidak sengaja melihat wajah Kirana yang mendadak pucat dan badannya lemas sekali. Padahal, tadi sepertinya Kirana masih bisa menegur perihal sikapnya yang kurang baik.
“Biasa sakit seperti ini ya, Mbak?” Silvi bertanya pelan pada Kirana yang sudah rebahan di ranjang. Dia tidak tega melihatnya. Kirana memang sering seperti ini kalau kepikiran. “Mikirin apa, sih?”
“Aku mau turun, Vi. Tidak enak dengan yang lain.” Ada ringisan yang tidak sengaja Kirana tunjukkan. Entah karena sakit atau memang tidak enak karena wajahnya memang begitu, mau dibagaimana kan lagi.
Dengan gelengan mantap, Silvi tidak mengizinkan Kirana untuk bangkit. Ini Kirana pasti sudah akut sakitnya, mau berdiri saja sakitnya bukan main. "Apa susahnya sih Mbak, istirahat sebentar?"
Silvi tidak akan mengerti. Kirana khawatir sekali kalau terjadi kesalahpahaman. Kirana masih bisa menghadapi kebencian teman-temannya, tapi tidak dengan kebencian Anggi kepadanya. Kalian tahu rasanya? Begitu menyakitkan sekali ketika seseorang yang dulunya selalu ada tiba-tiba menghilang begitu saja bak ditelan badai. Dan yang lebih sakitnya, orang itu berada tepat di depan mata kita sendiri. Silvi akan merasakan yang sama seandianya mengalami apa yang Kirana miliki. Lagi pula, cetek sekali pemikiran Anggi kalau Kirana akan merebut Pak Damar. Masalahnya saja, tidak ada yang tahu apakah Pak Damar ini sebenernya sudah punya kekasih atau belum. Kalaupun sudah dari salah satunya, maka sungguh sia-sia sekali kemarahan Anggi. Karena sedari awal, marahnya Anggi kepada Kirana tidak beralasan sama sekali.
"Nanti teman-temanku bingung mencariku, Vi. Aku tidak apa-apa, sungguh. Hal seperti ini sudah biasa kalau kelelahan. Tidak apa-apa, nanti minum obat di kontrakan juga sembuh sendiri."
"Obat dari dokter?"
"Iya dari dokter, periksa waktu aku pulang, dikasih obat banyak kalau khawatir terjadi hal seperti ini."
Silvi membuang napas agak gusar. "Mbak tahu, aku pernah punya teman yang meninggal karena asam lambung tahu. Jangan disepelekan, ya. Apalagi aku juga punya, kalau pikiranku benar-benar kacau, pasti kambuh."
Kirana mengangguk paham, "iya, ini mungkin karena kelelahan rapat tiap malem akhir-akhir ini. Makasih banyak ya sudah diingatkan."
"Aku ambilkan makanan ya, Mbak? Di tas pasti bawa obat, kan?" Silvi menunjuk tas Kirana yang membuat perempuan itu tersenyum. Memang ada obat-obatannya di sana, jadi setiap kemanapun mau pergi, Kirana harus membawanya. Seperti orang sakit keras saja, ya? Memang seperti itu. Walaupun orang menganggap hanya penyakit asam lambung yang naik, banyak juga yang kembali ke pangkuan illahi karena penyakit itu.
Kirana lebih lega karena dibawa ke tempat yang bisa dibilang sepi kan karena hanya ada dirinya dan Silvi. Kalau di bawah, dia pasti juga bingung sekali, mau meminta bantuan, pada siapa juga. Yang ada Kirana tidak enak hati. Sampai akhirnya Silvi masuk dan mendapati Kirana tengah tertidur pulas sekali dengan wajahnya yang pucat. Silvi jadi ikutan sedih, baru juga dipertemukan tadi, sudah ada kesan sedihnya seperti ini.
Namun, bagaimanapun juga Kirana harus makan untuk minum obat atau sakitnya akan tambah parah nanti. Teman-temannya di bawah juga masih sibuk makan. Nanti Kirana izin langsung ke ketua ataupun siapa begitu kalau Kirana akan bersama dirinya, akan diantarkan sendiri ke kontrakannya. Kalau Kirana dibonceng mengunakan motor dalam keadaan seperti ini dan tidak ada yang mengapitnya di belakang, dia bisa jatuh. Karena itu secara nekat, Silvi mendatangi ruang tamu yang penuh dengan mahasiswa kakaknya tengah makan bersama, ada Pak Damar juga yang tengah menunggui, ikut makan juga.
"Maaf, ini yang ketua kelasnya siapa, ya? Aku mau bicara sebentar."
Pak Damar yang masih mengunyah menghabiskan makanannya dulu, sementara Faisal tersedak karena punggungnya dihantam Ari dari belakang. "Ck, mimpi apa lu tong diajak ngomong sama adeknya dosen? Wah gila jalur orang dalem ya lu ternyata."
Tawa-tawa kecil dan renyah berpadu menjadi satu. Semua orang juga tahu kalau Faisal sudah memiliki kekasih, Ari hanya ingin menggodanya saja.
"Orangnya yang mana?" Silvi kembali bertanya dan Pak Damar juga hanya melihat, tidak menegur juga tidak bertanya.
"Ini lhoh orangnya." Lagi-lagi Faisal ditunjuk oleh Ari dari belakang.
"Aku aku bicara sebentar."
Pada akhirnya, Faisal bangkit untuk menghampiri adil dosennya ini, entah apa yang ingin dikatakan, Faisal juga bertanya-tanya.
"Ada apa, ya?"
Dengan serius, Silvi langsung menjelaskan. "Mbak Kirana asam lambungnya kambuh, kalian kalau pulang langsung pulang saja, ya. Dia minta maaf karena nggak bisa ikut acara ini sampai selesai."
"Lah orangnya mana, biar aku antar ke kontrakan, biar istirahat." Kata Faisal.
"Mbak Kirana lagi tidur. Kamu tenang aja, dia bawa obat kok. Nanti kalau sudah mendingan, aku yang antar dia."
Faisal mengangguk paham, itu bukan masalah besar untuknya. Karena itu, dia mengiyakan saja dan mereka kembali ke ruang tamu lagi. Namun sayangnya, saat kembali sudah tidak ada lagi Pak Damar, yang ada hanya teman-teman Faisal yang masih sibuk makan. Karena mengkhawatirkan Kirana, Silvi memilih menuju kamarnya. Dia terkejut mendapati Pak Damar hanya diam di ambang pintu, tidak masuk, juga tidak menjauh dari kamarnya.
"Mas Damar ngapain?" tanya Silvi kebingungan.
Dengan tatapan yang lurus ke arah Kirana, Pak Damar baru menjawab Silvi dengan pertanyaan pula. "Dia kenapa, pucat sekali."
"Asam lambungnya kambuh." Kata Silvi sedih. "Tadi aku sadar waktu Mbak Kirana diam saja, entah lagi mikirin apa bisa sampai sesak napas kayak gitu."
"Bawa ke rumah sakit saja, Vi. Kalau ada apa-apa, bisa segera ditangani."
"Hm?" Silvi menatap kakaknya kebingungan. "Di sini kan ada Mbak Anggi, Mas. Gimana kalau aku minta tolong dia supaya memeriksa Mbak Kirana. Walaupun dokter gigi, tapi pasti paham dasar pemeriksaan, kan?"
Hanya gelengan pelan yang Pak Damar beri sebagai jawabab. "Ke rumah sakit saja, Anggi sedang bersama Mama. Ayo mas temani."
Silvi hendak protes, tapi melihat tubuh Kirana terangkat seperti orang yang sesak napas, Pak Damar dan Silvi seolah berlomba-lomba untuk sampai di dekat Kirana lebih dulu.
"Kirana?" Pak Damar memanggil-manggil Kirana agar terbangun sementara Silvi juga melakukan hal yang sama diiringi dengan tepukan di pipinya.
"Mbak?"
"Pakaikan tabung udara punya kamu, Vi."
"Nggak papa kah, Mas?"
"Ada yang baru di lemari, cepat ambilkan."
Silvi langsung berjalan cepat untuk mengambil alat yang biasa Silvi gunakan ketika sesak napas. Namun ini alatnya baru, jadi aman untuk Kirana. Karena kalau mereka menggunakan bekas Silvi, bukannya lebih baik, bisa jadi keadaan Kirana malah tambah bahaya. Itulah pentingnya mengetahui penyelamatan dasar. Karena waktu yang orang miliki, sangatlah berharga.
Pak Damar dan Silvi bahu membahu membuat Kirana lebih baik dan tak lupa mengubungi dokter keluarganya.