“KI? KIRANA MAU KEMANE LO, WOI?!” Ari—anak paling aktif bergerak di kelas Kirana berteriak begitu lantangnya saat satu personil kelasnya kurang satu orang. Dan kebetulan pula, Ari melihat Kirana yang berjalan cepat menuju luar gedung.
Jangan tanya apakah Kirana tadi sudah berjuang untuk melarikan diri atau tidak karena kenyataannya dia sudah melipir—menjauh pergi dari penglihatan teman-teman satu kelasnya. Namun sayangnya, ada saja niat buruknya terlihat. Sampai akhirnya, dia tidak punya pilihan lain selain putar balik mendekati rombongan teman-teman kelasnya yang sudah siap pergi ke kediaman Pak Damar. Memang mereka sengaja menunggu Kirana. Ketumben sekali. Kirana juga agak terkejut. Tidak biasanya. Hanya saja, Kirana senang saat bisa memiliki teman.
"Dari tadi dicariin ah elah lu, Ki! Ngumpet di mana coba?!"
"Maaf, Ri."
Kirana meringis melihat wajah kesal Ari yang ditujukan kepadanya. Dia tidak pernah berniat untuk menyusahkan orang lain. Hanya saja, kalau diminta untuk bertemu dengan Pak Damar—apalagi ini sampai datang ke rumah meskipun ramai-ramai, tetap saja Kirana khawatir kalau terjadi sesuatu yang tidak diinginkan.
Bagaimana kalau Anggi juga ada di sana? Kirana pasti memilih hilang saat itu juga daripada harus menghadapi Anggi seandainya sahabatnya itu benar di sana.
Bukan hal besar bagi Anggi untuk bisa datang ke kediaman Pak Damar langsung. Di Bandung saja langsung disusul—gadis itu ikut menjaga siang malam pula. Apalagi seperti sekarang yang posisinya Anggi pasti juga sudah kembali ke Depok. Terasa tidak menganehkan seandainya memang seperti itu. Dan Kirana akan memastikan nanti kalau perkataannya memang benar.
"Ayo-ayo-ayo, nanti kesorean." Yang lain menambahkan agar mereka segera berangkat, tidak terus berdiam diri di ujung jalan seperti ini.
Ricuh kembali melanda ketika ada yang tidak terdeteksi lagi keberadaannya. "Ini si Bianca mana? Dari tadi perasaan nggak lihat?"
Entah sadar ataupun tidak, Kirana langsung mengangkat kepalanya melihat ke arah Ari yang memasang tampang tanpa dosa. Sementara Ari sendiri juga terlihat biasa-biasa saja, seperti tidak melakukan sesuatu yang salah. Bahkan Ari jelas lupa, dia tidak sadar berbicara seperti itu tadi. Mungkin dia akan meminta maaf kepada Kirana nanti jika sadar.
"Orangnya cuti setaun, bestie. Lo ngapain tanyain dia, sih? Bakal jadi adek tingkat lo dia." Tepukan keras di bahu Ari membuat lelaki itu mengingat kembali nama perempuan yang mencoreng nama baik kelasnya. Kalau tadi Ari yang sadar dan orang lain yang berbicara seperti itu, dia pasti akan melakukan hal yang sama dengan menegur. Dia malah jadi tidak enak hati saat menyadari wajah sedih Kirana.
"Sorry,.santai aja, Ki. Ridho dunia akhirat gue mah nggak ketemu sama dia lagi."
Kitana hanya menggeleng mendengar perkataan Ari. Dulu, Kirana begitu dibenci dan sangat tidak disukai oleh teman-temannya sendiri. Namun semenjak Pak Damar menolongnya waktu itu, lama-lama teman-teman satu kelasnya mulai berbuat baik kepadanya. Kirana sungguh tidak ingin seperti ini. Jangan sampai kalau Bianca kembali nanti, gantian Bianca ataupun lelaki itu yang malah dibully. Jangan sampai. Kirana sudah makan semua kesakitannya sendiri tanpa ada yang tahu, apalagi bisa membantu. "Ndak baik bilang begitu, Ri. Bagaimanapun dia teman kita. Lagipula aku yang memiliki masalah dengannya. Kamu ndak seharusnya ikut menghakimi ataupun hanya memihak sebelah."
"Kamu tuh salah jurusan. Harusnya di Fakultas Hukum, bukan Fakultas Teknik sama kita-kita."
Ada senyuman tipis yang Kirana tampilkan. Matanya yang lebar jadi menyipit. Teman-teman yang lain sudah biasa saja melihat interaksi Kirana dan Ari yang demikian. Tidak ada yang menganggap Kirana cari perhatian lagi ketika mulai berinteraksi dengan lawan jenis. Padahal lihat saja, pembahasan mereka random sekali. Makanya itu orang-orang yang suka menghujat Kirana harus berkumpul dengan Kirana sehari-harinya ataupun bepergian yang jauh dengan Kirana, agar tahu tabiat Kirana yang sesungguhnya itu seperti apa dan bagaimana. Kalau ikut-ikutan teman perihal membenci ya tidak memilki pemikiran sekali. Ikut-ikutan kok membenci orang.
Dulu, Kirana tidak melakukan apa-apa saja—bahkan diam, dianggap kehadirannya sangat menganggu sekali. Namun mendengar Kirana akan diganti oleh Faisal, teman-teman satu kelasnya ketar-ketir sendiri. Memang benar Faisal pintar. Hanya saja, metode mengajar Kirana yang pastinya paling mudah dipahami. Kalau Faisal, rumit, seperti hubungan cintanya yang kandas di tengah jalan berulang kali.
"Ayo dong berangkat, belum Ashar juga kita." Salah satu perempuan bernama Malika menginterupsi, biar mereka bergegas berangkat juga menuju kediaman Pak Damar.
"Lo sama gue, Ki." Malika menambahkan lagi. Tanpa ragu, Kirana menghampiri gadis itu dengan langkah pasti, yakin sekali kalau perjalanannya nanti akan membawanya sampai ke tujuan dengan selamat dunia akhirat.
Orang-orang mulai sibuk menyalakan motornya sendiri-sendiri. Kembali lagi Faisal yang tahu dimana kediaman Pak Damar menjadi penunjuk arah di depan. Dan setelahnya, mereka bersama-sama membelah jalanan.
Sebenarnya, mereka sudah dilarang Pak Damar membawakan sesuatu. Namun yang namanya datang menjenguk orang sakit, kalau tidak dibawakan sesuatu rasanya ada yang kurang. Jadi, saat menempuh jarak kurang lebih dua kilometer dari titik keberangkatan tadi, yang membawa uang dari bendahara berhenti untuk membelikan buah-buahan segar yang ekslusif untuk Pak Damar.
Mereka hanya membawakan pastel besar berisi buah-buahan kemudian kembali melanjutkan perjalanan menuju kediaman Pak Damar. Kurang lebih dua puluh menit kemudian, karena ada macet-macetan juga, akhirnya mereka sampai di kompleks perumahan Pak Damar. Sekuriti sampai harus menghentikan belasan motor mereka yang ingin masuk bersama puluhan orang penunggangnya.
"Ada kartu tanda pengenal?" Faisal yang ditanyai karena dia memang yang terdepan, sementara di belakang berjejer dua-dua, mengular. Begitu Faisal menyerahkan KTM nya, ada pertanyaan baru lagi. "Ada keperluan apa datang kemari, sudah ada janji sebelumnya, bisa berikan buktinya pada saya?"
"Mau menjenguk Pak Damar, Pak. Tadi pagi saya sudah bilang. Kalau Bapak tidak percaya, coba telfon saja."
Menjalankan tugasnya, penjaga di depan gerbang sekaligus palang itu langsung menghubungi kediaman Anggara. Begitu sambungan terhubung, samar-samar suara Pak Damar terdengar selaras dengan izin yang diberikan juga oleh penjaganya sehingga mereka bisa masuk.
"Nomer C16." Petugasnya memberi tahu, juga mempersilakan dengan begitu sopan.
Rombongan anak didiknya Pak Damar lantas kembali menyalakan mesin motornya dan masuk lebih dalam bersama-sama mencari rumah dengan nomor C16.
Perumahannya hijau sekali. Ada anak-anak kecil juga yang sedang ditunggui oleh orang yang tentu saja lebih besar, ada tukang roti yang juga suka keliling di kompleks perumahan elite. Seperti di perumahan Faisal dan di kost mewah Anggi juga. Abang tukang rotinya selalu lewat setiap hari.
Hingga Faisal akhirnya benar menemukan kediaman Pak Damar. Rumahnya mewah sekali, Kirana sampai meringis tidak enak hati entah kenapa. Dia juga melihat mobil Silvi terpakir rapi di garasi. Dan tahu-tahu, Faisal terdengar memberikan salam kemudian menyapa seseorang yang membuat fokus Kirana teralihkan ke depan. Dia bisa melihat Pak Damar memakai pakaian rumahan biasa. Kemeja pendek juga celana bahan yang terlihat nyaman sekali kelihatannya.
"Kita full, Pak." Beri tahu Faisal dengan bangga karena teman-temannya ikut menjenguk Pak Damar semua setelah tadi dia mengira kalau Kirana tidak akan ikut. Faisal juga tidak tahu masalah apa yang terjadi di antara Pak Damar dan Kirana, yang pasti dia ingin kelasnya kompak, titik. Kalau tidak mau kompak, pasti akan Faisal Paksa sendiri supaya kompak.
"Mari masuk-masuk." Pak Damar mempersilakan, kemudian senyumannya pecah melihat Malika memberikan parsel buah itu kepada Pak Damar yang langsung meminta tolong untuk diletakkan di meja, karena tangan Pak Damar belum cukup kuat untuk membawa sesuatu yang berat dan buah-buahan itu jelas sampai berkilo-kilo.
"Kenapa malah repot-repot. Terima kasih banyak, ya."
"Sama-sama, Pak." Jawab semuanya serempak.
Hingga baru saja Pak Damar kembali entah dari mana, mungkin meminta orang untuk membuatkan makanan dan minuman untuk tamu-tamu spesialnya alias anak didiknya di kampus, tiba-tiba ada salam lagi dari luar.
Salam itu terjawab begitu saja. Namun, raut wajah Pak Damar dan Kirana terlihat kaget melihat siapa tamu yang datang.
Ternyata benar. Apa yang Kirana takutkan malah terjadi. Itu Anggi yang datang, dengan penampilan yang begitu memesona sekali sampai teman-teman sekelasnya ikut memuji Anggi terang-terangan.
"Ee busyet itu bidadari jatuh darimana?"
"Gilak, cakep bener!"
Ada yang tahu apa yang tengah Kirana rasakan sekarang? Tidak nyaman. Iya, Kirana tidak nyaman setelah semua yang terjadi. Kalau boleh, dia ingin lari sejauh-jauhnya atau akan lebih baik kalau dirinya hilang begitu saja. Namun sayangnya, tak selamanya yang diharapkan selalu menjadi kenyataan. Buktinya, justru Silvi malah datang dan memekik memanggil Kirana yang membuat teman-temannya di sana. ikut bingung juga. Ini apa yang sebenarnya terjadi.
"Mbak Kirana?!"
Tubuh Kirana terhuyung saat Silvi langsung memeluknya begitu saja. Namun yang pasti, tatapan mata Kirana terarah kepada Anggi yang masih diam di ruang sana. Dan Pak Damar pun hanya diamnya. Sampai entah kenapa, Kirana melihat ke arah Pak Damar dengan tatapan orang ingin meminta tolong—bahkan matanya terang-terangan berkaca-kaca seperti orang ingin menangis. Dan setelahnya, mata Kirana terpejam rapat saat Pak Damar berjalan menghampiri Anggi yang masih diam di ambang pintu. Beliau persilakan perempuan itu masuk dengan begitu terhormat, sementara Silvi juga belum sadar kalau ada Anggi juga di sana. Dia terlalu senang melihat kehadiran Kirana sementara Kirana sendiri sudah ingin berlari sejauh-jauhnya. Dia tidak ingin kalau Anggi sampai salah paham lagi.
Bagi Kirana, orang yang sering dibenci seperti dirinya sangat takut sekali kehilangan sahabat sedari kecilnya seperti Anggi.