Sebenarnya, waktu hari Minggu kemarin menjemput Kirana, Nisa dan Simi memang ingin mengajak makan bersama di salah satu kedai penyetan yang pernah mereka datangi dan masakannya enak sekali dengan harga yang lumayan murah juga, sudah rata-rata harga di sana begitu.
Namun karena tahu kalau Kirana dibawakan bekal, jadi mereka mengurungkan niatnya dan lebih memilih makan masakan ibunya Kirana saja yang enak sekali menurut mereka. Jadi, mungkin lain kali mereka akan baru pergi untuk beli penyetan yang diinginkan waktu itu.
Sementara sekarang, ini sudah hari Senin, sudah waktunya mereka pergi ke kampus lagi. Yah, namanya juga hidup. Harus dijalani bagaimana pun keadaannya. Karena itu, semua orang sedang berlomba-lomba bangun pagi agar tidak berebut menggunakan kamar mandi. Kalau ada yang paling awal mandi dari Kirana, Nisa dan simi, yaitu adalah Kirana. Karena itu ketika selesai menggunakan kamar mandi, Nisa berdiri di sekitar sana sambil menyampirkan handuk di pundaknya. Matanya masih agak berat untuk terbuka.
"Kaget aku, Nis. Ngapain to berdiri begitu?" Kirana sampai mengusap dadanya yang berdetak lebih cepat. Dia terkejut.
"Lah wong aku nungguin kamu mandi nggak keluar-keluar." Nisa menyahut tidak bersemangat.
Kirana menggelengkan kepala tidak tahu kalau berbicara dengan orang yang nyawanya belum terkumpul sepenuhnya. "Kamar mandi sebelah kan masih ada, Nis. Penuh juga to?"
"Biasa di sini, Ki. Males cari tempat baru." Setelah menyahut seperti itu, Nisa langsung masuk kamar mandi sementara Kirana langsung berjalan menuju kamarnya sendiri.
Tidak seperti mahasiswa pada umumnya yang sibuk mengenakan skin care lapis-lapisan lengkap juga dengan bedak-bedaknya, Kirana hanya memakai pelembab seadanya, kemudian menambahkan bedak tipis. Sudah, hanya begitu saja. Untung wajah Kirana tipe wajah normal, yang tidak kering sekali, juga bukan tipe wajah sensitif ataupun yang mudah berjerawat. Lagipula, untuk membeli skin care lain, hanya akan memotong keperluan dengan membeli barang yang tidak penting. Kirana tidak mau itu. Dia memiliki prinsip, cantik itu alami meski memang pada dasarnya perawatan diperlukan. Hanya saja, Kirana sadar diri. Dia bisa tidak makan kalau mengutamakan skin care.
Ibunya selalu mengatakan ini sedari dulu ketika Kirana menginginkan sesuatu. Semisal, Kirana ingin memiliki buku blinder dan isinya, Bu Ghina selalu mengatakan kepada Kirana untuk berjuang bisa mendapatkannya sendiri. Walaupun pada zaman dulu hanya dua puluh lima ribu rupiah, tapi Kirana memang dididik untuk berjuang keras sedari kecil. Meski Kirana anak semata wayangnya, bukan berarti Kirana langsung dimanja. Dia tidak pernah dimanja, justru Kirana dididik dengan keras dan Kirana menerimanya dengan begitu baik.
Makanya jiwa-jiwa perkerja kerasnya tertanam hingga sekarang. Dia adalah sosok yang sangat memegang teguh nilai-nilai yang orang tuanya ajarkan. Kalau tidak begitu, Kirana bisa saja ikut arus dan sok-sokan menjadi orang kaya padahal dia dari kalangan bawah. Bukannya merendahkan, memang kenyataannya seperti itu. Kirana sadar diri, dirinya itu siapa. Kirana adalah satu-satunya anak dalam kelasnya yang menerima bantuan beasiswa dari pemerintahan. Dengan memandang itu saja, semua orang pasti tahu kalau Kirana pasti anak tidak mampu.
Padahal, ini memang kebetulan saja hanya Kirana di kelasnya yang mendapat bantuan beasiswa. Di fakultas lain, bukan berarti tidak ada. Kalaupun ada, terkadang bantuan tidak merata. Ada yang miskin tidak mendapat beasiswa, ada juga yang kaya raya malah mendapat beasiswa. Entah kenapa orang-orang suka memiskinkan dirinya sendiri. Padahal, mereka bisa bekerja dengan kedua tangan dan kakinya. Tuhan tidak suka dengan sifat meminta-minta. Terkadang merasa sangat bangga dengan orang-orang yang kurang mampu dan terus berjuang demi kebahagiaan keluarganya. Maksudnya, kasihan saat orang yang sebenarnya pantas menerima bantuan tapi malah bantuannya salah sasaran yang disengaja. Tidak mau dikatakan miskin, tapi mau menerima bantuan. Orang-orang zaman sekarang memang tidak bisa dimengerti. Tentu saja kepentingannya sendiri yang didahulukan.
Sementara Kirana, dia tidak keberatan dikenal sebagai si culun penerima beasiswa. Kirana tidak menganggapnya sebagai ejekan, tapi memang kenyataannya seperti itu, jadi Kirana tidak mempersalahkannya. Memangnya, Kirana bisa protes? Karena itu Kirana sudah menganggapnya sebagai bentu kasih sayang Allah kepadanya karena dengan hinaan itu, Kirana bisa berusaha untuk menjadi orang yang sabar meski terkadang Kirana masih sering mengeluh dalam diamnya. Tidak apa-apa. Dia hanya manusia biasa. Mengeluh adalah sifat manusia.
Karena itu, sementara dia sudah siap dengan semua keperluannya, Nisa masuk ke dalam kamar sudah berbau wangi. Kemudian kamarnya yang belum tertutup langsung dimasuki oleh temannya yang satunya lagi. Si Simi yang juga sudah sama siapnya.
"Ayo berangkat!" kata perempuan yang baru datang itu bersemangat. Wajahnya putih berseri, manis sekali.
"Sebentar. Baru keluar kamar mandi." Nisa menyahut.
Simi langsung masuk kamar, duduk-duduk di ranjang mereka sambil mengajak Kirana berbicara nanti agenda hari ini apa saja. Kira-kira kalau keluar untuk jalan-jalan sebentar bisa atau tidak mengingat yang kemarin sebenarnya ada niat untuk pergi ke penyetan langganan mereka.
"Ki, nanti malam jalan-jalan bisa, nggak? Kita beli penyetan yang kayak pas itu. Sepuluh ribu, dapet es satu. Gimana?" tanya Simi bersemangat.
"Boleh." Jawab Kirana. Dia bukannya ingin menggambur-hamburkan uangnya. Hanya saja ibuknya berpesan seperti ini.
'Nduk, uang itu bisa dicari dengan bekerja keras, tapi teman yang sejati tidak bisa dicari dengan uang. Teman bisa bisa dicari dengan interaksi dengan orang lain saat menghabiskan waktu bersama-sama. Ibuk tau kamu kesulitan dalam berinteraksi dengan orang lain. Makanya saat kamu memiliki teman yang sudah dekat, sesekali keluar jajan bareng tidak apa-apa. Ndak usah merisaukan uang. Rejeki sudah ada yang mengatur. Jangan diem di kamar terus, nanti mereka menganggapnya anti sosial padahal kita pribadi ingin menghemat uang. Ya, ndak papa ya kalau diajak temannya keluar. Yang penting sebatas wajar, jangan cari tempat yang mewah juga. Kalau tempatnya mewah terus harganya mede ya monggo.'
"Yes!" Kata Simi bersemangat saat Kirana mengiyakan. Perempuan itu kemudian melihat ke arah Nisa yang masih sibuk mendempul wajahnya. Anak orang kaya, makhlum saja skin care nya lengkap mulai dari toner hingga cream sampai bahan dan peralatan make up lengkap semuanya. "Ntar malem makan penyetan yang nasinya uduk kayak bulan kemarin, ya?"
"Boleh. Kangen juga makan di sana." Jawab Nisa tak kalah antusias, Mereka memang satu frekuensi sekali. Sudah tidak terpisahkan. Sebenarnya kirang dengan Anggi. Hanya saja, Anggi oragnya sibuk sekali hingga sulit untuk meneymoatkan waktu untuk keluar dengan mereka.
"Mantap! Nanti kalau kelasnya sudah selesai kabar-kabar."
Kirana yang mengingat sesuatu langsung mengeluarkan handphone jadul miliknya. "Simi, aku punya handphone." Kirana tersenyum senang menunjukkannya. Bukan ingin pamer, biar teman-temannya ini tidak kasian terus terhadap dirinya. Padahal Kirana menikmati hidupnya yang seperti ini.
"Wah Mak, kita bisa kirim SMS sama Kirana mulai sekarang. Ayo rajin-rajin beli pulsa. Pakai provider yang sekali kirim pesan seterusnya gratis ya, biar hemat juga." Simi menyahut antusias, dia ikut senang.
"Ibukku juga pakai, sudah aku ajari. Nanti kalau mau telfon, aku telfonkan." Kata Kirana bersemangat.
Biasanya, mereka suka mengajak Kirana saat bertelfonan dengan orang tuanya. Makanya Kirana juga ingin teman-temannya ini mengenal ibunya juga meski hanya suara. Kalau handphone mereka kan sudah android, bisa dipasang aplikasi perpesanan online yang bisa digunakan untuk panggilan video juga. Kalau Kirana, bisa mendengar suara ibunya saja sudah senang sekali. Kalau bisa melihat wajahnya setiap hari, pasti lebih bahagia sekali.
"Siap, pengen denger suara medoknya ibu kamu. Pasti aku seneng."
"Lah iya, aku juga pengen silaturahmi." Nisa menyahut. "Virtualan dulu tidak apa-apa kan, ya? Yang penting kan sudah bisa bicara sama ibuk kamu."
Kirana turut senang karena antusiasme teman-temannya. Dia jadi tidak sabar menunggu nanti, dia akan menelfon ibunya biar teman-temannya ini bisa berbicara dengan ibunya. Kirana selalu senang menceritakan tentang ibunya. Ibunya. Pahlawannya.
"Udah siap apa belum, Nis? Ayo, kalau dandan ngalahin artis aja." Simi mendumel saat waktu terlewatkan kian lama, lantas berdiri, merapikan kerudungnya dengan berkaca di kaca kamar temannya ini yang bisa dibilang paling jernih dari kamar-kamar yang lain. Jadi Simi suka numpang mengaca di sana. Siapa suruh kacanya buram seperti kisah asmaranya saja. Ah, kalau yang ini tidak pernah dibahas.
Setelah semua orang siap dengan urusannya masing-masing, mereka bergegas keluar bersama-sama. Mereka bertiga ini memang memakai kerudung semua. Di antara mereka yang memakai kerudung lumayan syar'i dengan menutup d**a dan memakai rok hanya Kirana dan Nisa, Simi masih menggunakan kerudung sakaratul maut atau kerudung yang dililitkan di leher ataupun hanya disampirkan di pundak sehingga tidak menutupi dadanya.
Mereka kalau berteman memang tidak mencari yang kaya dengan yang miskin. Mereka hanya mencari teman yang memang mengajak dalam kebaikan. Makanya meski ada perbedaan, mereka tidak mempermasalahkan. Terkadang Nisa suka sekali mengingatkan Simi untuk memakai hijab yang lebih panjang dan beralih dari celana jeans menjadi rok.
Terkadang, Simi mendengarkannya. Dia memakai pakaian yang setidaknya sudah seperti yang agamanya perintahkan. Tapi terkadang, dia balik lagi menggunakan pakaian kebiasaannya sehari-hari yang penting menutup rambut seperti itu. Nisa dan Kirana tidak memaksa. Mereka paham kalau semuanya butuh proses. Makanya mereka tidak pernah berhenti mengingatkan Simi dalam hal kebaikan. Mereka selalu mengingatkan satu sama lain.
Setelah semuanya siap, mereka keluar menuju tempat parkir motor. Kirana selalu dibonceng oleh Nisa karena memang fakultasnya melewati fakultas Kirana. Jadi karena melewati, Nisa yang selalu mengantarkan Kirana.
Mereka pun menghargai Kirana ketika perempuan itu ingin patungan beli bensin. Meksi Kirana anak orang tidak punya, dia tidak mau mengambil kesempatan dalam kesempitan. Dia ingin pertamanan yang saling menguntungkan sama lain, dalam hal apapun. Karena ibunya selalu berpesan, 'setidak punyanya orang dengan uang, ingat, Tuhan tidak tidur. Dia yang memberi kita rejeki berupa makanan untuk kita makan lewat tangan kita ataupun tangan orang lain.'
Makanan di sini bisa bermaksud suatu makanan dalam arti yang nyata, konotasi. Dan bisa juga berarti ilmu. Jiwa seseorang juga membutuhkan makan berupa ilmu yang bermanfaat. Denotasi.
Kirana akan selalu mengingat pesan ibunya.
***
Seperti yang sudah direncanakan oleh semua orang tadi pagi sebelum berangkat ke kampus, kali ini mereka sedang bersiap-siap untuk pergi ke tempat tujuan. Kirana, Nisa dan Simi sudah siap, sementara Anggi tidak bisa ikut karena sekali lagi perempuan itu sibuk dengan tugasnya sendiri.
Andi bukan orag yang anti sosial. Hanya saja, Anggi memang anak kedokteran yang memang sibuk sekali. Mereka juga paham kalau Anggi memang tidak bisa mereka ajak tanpa membuat jadwal terlebih dahulu karena jadwal mereka jelas berbeda semua. Ini saja sebenarnya mereka menyempat-nyempatkan waktu agar bisa berkumpul bersama meski hanya satu minggu sekali. Selain melepas penat, juga untuk menghibur diri sendiri setelah semingguan lelah menghadapi kejamnya dunia yang hanya permainan ini.
"Tapi Anggi nggak bisa ikut lagi." Nisa cemberut sedih kalau ingat. Padahal, dia suka sekali karena Anggi ini senang bercerita tentang kesehatan gigi, yang pada dasarnya dulu menjadi cita-cita Nisa menjadi seorang dokter gigi, tapi harus kandas di tengah jalan .
"Anggi bisanya waktu libur, Nis. Itupun belum tentu dia bis. Makanya harus buat janji dulu, biar ndak ditolak," Kirana tersenyum tipis di akhir. Sahabat satunya ini memang sudah menjadi mahasiswi yang sibuk bukan main. Tentang kuliahnya, organisanya, juga organisani internal dari kedokteran gigi itu sendiri.
"Ya udah sih, Nis Kita juga ngajakinnya dadakan." Kata Simi berupaya menghibur meskipun dia sedih juga karena Anggi yang ceria tidak bisa ikut dengan mereka semua.
"Ya udah deh, yok berangkat. Helm, jangan lupa dipakai, Na. Bawa anak perawan orang harus selamat sampai tujuan."
Mereka hanya tertawa dan segera pergi ke tempat tujuan. Tempatnya lumayan jauh, sekitar tiga kilo dari kontrakkan mereka, tapi memang enak masakan di sana. Menyediakan penyetan mulai dari ayam, lele, bebek, dan juga berbagai minuman kalau ada yang ingin selain air putuh atau es teh.
Karena hari ini mereka datang ketika kedainya hampir tutup, karena memang hampir jam sembilan malam mereka berangkat tadi, untung porsinya pas untuk bertiga. Ayam penyetnya tinggal d**a dan paha.
"Sambel ijonya manteo bener, nasinya juga wangi." Simi lagi-lagi berkomentar saat makan.
Kirana yang habis mencuci tangan langsung menyahut. "Kalau di rumahku, nasinya bisa lebih wangi dari ini, Sim. Jadi lebih kerasa sekali nasi uduknya."
"Aku jadi pengen main ke rumah kamu deh kalau liburan. Semisal kita nginep di rumah kamu, boleh nggak?"
Jelas mendengar itu Kirana langsung mengangguk antusias. "Tentu saja boleh. Tapi, memangnya kalian ndak keberatan nginep di rumahku?"
"Ya nggak papa lah, yang penting nggak kepanasan sama ngak kehujanan." Nisa ikut menyahut.
Mendengar itu, Kirana hanya tersenyum. Dia bukannya malu dengan keadaan rumahnya. Justru, dia senang sekali kalau ada temannya yang ingin menginap dan berilahturahmi dengan ibunya. Biar Bu Ghina tidak terus-terusan khawatir kepada dirinya. Kalau teman-teman dekat Kirana memang baik-baik, yang tidak mempermasalahkan Kirana anak orang miskin atau anak orang kaya.
"kalian bener kalau liburan mau main ke rumahku?"
"Ya bener lah, naik kereta kan? Apa naik sepeda motor?"
Kirana langsung menggeleng, "naik kereta saja." karena sungguh, walaupun sudah bertahun-tahun, Kirana tidak hafal-hafal jalan. Semoga saja, ketika waktu liburan itu datang, sedang masa panen sehingga Kirana bisa membantu ibunya bekerja. Atau kalau tidak, semoga ada lowongan pekerjaan yang bisa dikerjakan sebentar seperti menjaga warnet atau warung internet di dekat sekolahnya dulu. Dengan begitu, Kirana bisa mendaoat tambahan biaya, yang setidaknya bisa meringankan beban ibunya walaupun tidak seberapa. Namun, Kirana akan sangat bersyukur sekali saat mendapat pekerjaan.