Menjadi sosok yang sering direndahkan hanya karena materi bukanlah sesuatu yang baru bagi Kirana. Sedari dia menginjak Sekolah Dasar, banyak sekali yang memberinya gelar sebagai anak yang kurang beruntung karena tidak punya bapak. Namun, hingga saat ini—meski Kirana sudah menjadi gadis pintar yang membanggakan, itu semua tidak ada yang berkurang sama sekali.
Kalau dulu Kirana disebut sebagai anak yang tidak punya bapak, sekarang waktu kuliah di kota orang, dia terkenal mahasiswi paling culun di kelasnya bahkan sampai satu fakultasnya. Pakaiannya yang sangat sederhana—dan hanya itu-itu saja, juga tak pernah dandan sama sekali, menjadi penyebab banyak yang membully-nya. Padahal, Kirana tak sekalipun mengganggu mereka. Kirana hanya ingin menuntut ilmu. Tidak tahu saja mereka kalau Kirana si awal tidak ingin berkuliah di sana karena ingin bersama ibunya saja. Harusnya dari perjuangan yang Kirana lakukan, teman-temannya bangga, bukan malah menghina hanya karena perbedaan kasta.
Oh ayolah, harta tidak dibawa mati. Memangnya teman-teman Kirana yang katanya kaya raya itu, kalau meninggal akan menguburkan uangnya yang sampai miliaran bersama jasadnya? Tidak kan.
Kadang, orang kaya harus dibuat susah dulu sehingga baru akan mengerti kalau tidak ada untungnya sama sekali menghina orang kecil. Seandainya ayah Kirana memang sudah meninggal, bukankah mereka menghina anak yatim. Keterlaluan sekali. Sakit karena ditinggal ayah saja belum terobati sampai sekarang. Tapi sudah ditambahi yang lain-lain. Percayalah, tanpa disakiti, Kirana sudah kesakitan sendiri. Entah bagaimana membuat mereka sadar. Menjadi kaya tidak harus sombong. Justru orang kaya yang merakyat lah yang patut diacungi jempol.
Dan di saat Kirana sadar sebentar lagi keretanya akan sampai stasiun yang dituju, dia hanya diam sambil memandang nanar bangunannya. Untung sebelum bepergian, ibunya selalu memberikan obat anti mual yang membuatnya tertidur di perjalanan, makanya Kirana tidak takut sama sekali kalau sampai mabuk perjalanan. Kalau mabuk pun, Kirana tidak masalah. Namanya juga mencari ilmu. Memang butuh perjuangan. Dan Kirana percaya kalau Allah akan memberikan yang terbaik untuk dirinya. Apapun itu. Entah dia dibuat mabuk saat perjalanan ataupun tidak. Ambil saja sisi positifnya. Ketika seseorang mabuk, yang sama saja artinya dengan sakit, pastinya dosa Kirana berkurang. Kirana memang seperti itu, apa-apa selalu diambil nilai positifnya. Karena kalau Kirana berpikir yang buruk-buruk saja, itu tidak baik untuk masalah hatinya.
Beberapa waktu kemudian, lagu Manuk Dadali di putar di stasiun, Kirana tersenyum di balik masker yang dikenakannya. Dia memang suka sekali kalau sampai di stasiun tujuannya, mendengarkan lagu daerah dikumandangkannya. Kemudian dia bangkit, keluar dengan menggendong tas punggung dan tas kain tenteng, menuruni tangga kereta yang hanya beberapa.
Banyak orang yang berlalu lalang. Banyak juga yang hanya diam menunggu penumpang keluar semua. Kirana berjalan pelan, membelah lautan orang untuk duduk sebentar di ruang tunggu karena kepalanya agak sedikit sakit. Dia mendekap kedua tasnya itu, kemudian memejamkan matanya dalam-dalam. Sudah, kalau begini, Kirana pasti akan mabuk kalau naik BRT untuk sampai di kontrakannya yang tentu saja masih jauh.
Alunan lagu daerah masih menggema di sepanjang stasiun. Orang-orang yang tadinya menunggu di pelataran stasiun bangkit, mulai memasuki kereta. Ada pula yang sampai berlari karena takut ketinggalan. Hingga pada akhirnya, peluit dibunyikan, tangga kereta terangkat, pintunya tertutup, kereta mulai melaju lagi, melanjutkan perjalanannya ke pemberhentian selanjutnya.
Kirana masih terduduk di kursi tunggu penumpang. Saat merasa lebih baik, dia baru berdiri dan berjalan keluar, ingin mengendarai BRT yang berada di depan stasiun.
Sebenarnya, Kirana ingin mengojek saja karena sudah merasa kalau akan mabuk jika menaiki bus. Namun, biayanya bisa berpuluh-puluh lipat mengingat jarak stasiun dan kontrakannya masih lumayan sekitar 10 kilometer lagi. Jadi untuk menghemat, Kirana harus menaiki BRT yang kalau hari libur hanya membayar Rp3.500,00 sementara saat hari kerja biasa hanya Rp.1.000,00 bagi pelajar atau mahasiswa.
Murah memang, tapi terkadang kalau tidak mendapat bangku harus berdiri. Sementara kalau berdiri dalam keadaan mabuk, Kirana jelas tidak kuat. Biasanya dia malah jongkok dan muntah-muntah di sana. Mau bagaimana lagi? Tidak ada orang yang ingin sakit. Kalau bisa, Kirana juga tidak ingin mabukkan saat perjalanan menggunakan mobil dan lain-lain itu.
Dia tidak mabuk saat naik truk. Ketika jendelanya dibuka dan angginnya berembus kencang, dia tidak mabuk tapi malah tertawa-tawa. Atau kalau naik bus harus yang tidak ber-AC karena nafasnya lebih lancar di bus ekonomi yang kalau telat naik saja sudah harus berdesak-desakan.
Suatu hari nanti, kalau Kirana punya anak, dia ingin mengatakan pengalamannya pada sang anak. Biar anaknya itu tahu, kalau hidup memang penuh perjuangan. Seandainya nanti Kirana menjadi orang berada pun, dia tidak akan pernah melupakan dimana tempatnya berasal, bagaimana perjuangan keras ibunya dulu. Dia juga tidak akan melupakan teman-temannya. Entah yang kaya, entah yang miskin, selama orang itu baik kepada Kirana. Kirana akan mengingatnya sampai kapanpun. Karena bagi Kirana, teman adalah orang yang tetap bersamanya meski dalam keadaan senang maupun susah. Dia tidak akan pernah melupakan teman-temannya yang anak orang kaya tapi tetap mau berteman dengannya tanpa memandang yang kaya dengan yang miskin.
Baru saja Kirana berjalan sampai halte, kepalanya sudah pusing sekali. Alhasil di saat semua orang membayar di mas-mas yang bagian karcis, Kirana hanya duduk di bangku halte pojok, numpang duduk dan ingin ikut BRT yang selanjutnya saja.
Hingga, waktu terlewatkan begitu saja.
"Kirana?! Hai Kirana?!"
Suara itu? Kirana membuka matanya. Dia melihat sekitar dan wajah yang tadinya pias berubah ceria ketika melihat dua teman akrabnya yang satu kontrakan. Mereka ini anak orang kaya. Kalau waktu liburan saja selalu diantarkan dengan mobil oleh kedua orang tuanya atau hanya kakaknya saja. Tapi mereka tidak masalah berteman dengan Kirana. Justru, mereka senang sekali dengan pribadi Kirana yang baik dan apa adanya.
"Kirana, woi?! Turun!" kata mereka lagi.
Kirana menurut saja. Sakit kepalanya mendadak hilang melihat kedua temannya itu sedang naik motor sendiri-sendiri.
"Kalian ngapain ke sini?" Kirana bertanya pelan dengan senyuman yang masih menghiasi wajahnya.
"Mau jemput kamu." Kata Simi bersemangat.
"Ayo, Ki, naik. Boncengan sama aku." Nisa menyahut.
Sayangnya, Kirana malah menggeleng. "Kalian jalan dulu aja. Aku nunggu BRT. Tadi memang mau jalan-jalan, kan?"
Simi tentu saja langsung menggeleng. Simi ini teman satu kontrakan. Hanya saja berbeda kamar dengan Kirana dan Nisa. "Memang mau jemput kamu, kok. Ayo buruan. Nanti telat solatnya."
Kirana jadi ingat kalau dia memang terbiasa menjamak qasar di akhir. Kalau menunggu BRT, akan telat juga nanti. Alhasil dia ikut dengan mereka. Kirana naik dengan Nisa, dan tas tentengnya dibawa oleh Simi. Kemudian mereka melajukan motornya dengan begitu santai tapi ya cepat untuk mengejar Kirana salat juga.
Sungguh indahnya memiliki teman yang satu frekuensi, yang selalu menguataman ibadah lebih dulu. Teman seperti ini yang sangat Kirana sayangi. Mereka menerima Kirana apa adanya, bukan ada apanya. Mereka menerima satu sama lain, entah kaya, entah miskin. Bagi mereka, yang penting membawa kebaikan, bukan kemudaratan.
Selama perjalanan, baik Simi, Nisa dan Kirana sesekali berbincang. Entah yang penting sampai yang tidak penting sekalipun. Dalam hati, Kirana menangis haru karena perlakukan teman-temannya yang sungguh baik sekali. Kirana bersyukur sekali memiliki teman yang selalu ada baik dalam keadaan senang maupun susah. Padahal, jika dihitung-hitung, mereka bisa dibilang baru mengenal sejak memasuki kampus karena mereka tidak pernah pindah sedari awal.
Kalau Nisa dan Simi, mereka memang anak orang kaya. Hanya saja, mereka sudah merakyat sekali sampai-sampai paham betul jika menjadi kaya tidak harus berkumpul dengan orang yang kaya juga. Karena sesungguhnya, definisi kaya bagi mereka itu luas. Sangat luas sekali. Kaya akan kesehatan, kaya akan ilmu yang bermanfaat, dan kaya akan rejeki yang bermanfaat. Jadi, kaya bukan berarti orang yang hanya bergelimang harta materi, bukan. Tapi kaya yang merasa cukup dengan semua yang diberikan oleh Tuhan.
Baiklah, ini memang sudut pandang dari mereka yang jelas berbeda dengan setiap orang. Namun, orang lain juga harus menghargai kalau setiap orang memiliki kebebasan untuk berpendapat atau memiliki prinsip hidup sendiri. Jadi tidak perlu menghina dan saling menyalahkan.
Masih berjalan begitu santainya, tiba-tiba saat ingin sampai di lampu merah, ban motor Simi kempes di tengah jalan. "Eh, Ki? Kirana ban motorku kempes." Simi agak berteriak agar Kirana mendengar.
Untung Kirana mendengar betulan. Dia menepuk punggung Nisa dan memberi tahukan bahwa motor Simi bannya kempes. Karena itu, Kirana langsung turun dan ikut mendorong motor Simi agar menepi. Sementara Nisa sudah menepi dengan motornya lebih dulu agar tidak mengganggu pengendara yang lain.
Dasarnya Kirana menggunakan helm yang dibawakan oleh Nisa, agak kerepotan ketika menunduk, dia hampir terjatuh di jalan, untung dipegangi oleh Nisa, memintanya untuk hati-hati.
"Ada tukang tambal ban yang paling deket nggak, ya?" Simi celingak-celinguk di sekitar karena dia juga belum terlalu hafal jalan. Nisa yang mendengar tentu saja langsung mencari SPBU terdekat lewat gawai pintarnya. Begitu sudah ditunjukkan letaknya dari aplikasi Maps, Nisa langsung menunjukkannya pada Simi yang duduk di tepi bersama dengan Kirana.
"Sim, ini ada 500 meter lagi, masih di depan." Nisa ikut melihat depan, mencari plang kalau ada. Namun sayangnya, tak juga kelihatan. Kirana yang diam jadi gelisah memikirkan salatnya. Ini sudah pukul empat sore.
"Nisa, Simi, kalau aku pergi ke masjid dulu buat salat gimana?" Kirana bertanya khawatir kalau terlambat mengerjakan salatnya.
"Oh ya udah, langsung di pom bensin ada musolanya, kan? Nanti sekalian nunggu kamu solat." Kata Simi seraya menaikkan helmnya yang melorot. "Gimana, Nis?"
"Ya sudah. Ayo. Dituntun, ya?" Nisa balik bertanya pada Simi yang masih menunggu jawabannya.
"Ya enggak lah, capek." Kata Simi yang masih duduk. "Itu kan deket, aku stater aja motornya, kan aku juga sendirian, ntar aku gas pelan-pelan. Itu di Maps tinggal lurus, sampai. Aman."
"Yok berangkat. Ayo Ki."
Mereka semua bersiap untuk pergi lagi. Kirana langsung mengambil tas tentengnya yang agak besar. "Buat ngurangin beban, tak bawa aku aja ya,"
"Siap, Ki." Jawab Sim.
Mereka lantas menaiki motornya pelan-pelan, Simi yang di depan, sementara Kirana dan Nisa yang di belakang. Mereka mengawasi Simi, takutnya kalau di belakang malah tertinggal. Untung tak lama kemudian, setelah lewat pinggir, mereka akhirnya sampai juga di SPBU yang paling dekat dengan titik ban motor Simi bocor tadi.
Begitu sampai di tukang isi angin yang juga bisa memperbaiki ban bocor, Kirana langsung pamit saja menuju ke musola untuk mengerjakan salat. "Nisa, Simi, aku salat dulu, ya? Titip tas." Pamitnya.
"Yuhu, yang khusyu', nggak usah terburu-buru." Pesan Simi. "Masih nunggu ini,"
Daripada duduk di tepi bangunan, Simi dan Nisa pergi sebentar ke salah satu warung, membawa serta barang Kirana. Kalau ditinggalkan, bisa hilang nanti.
Sementara beberapa waktu kemudian, Kirana kebingungan ketika selesai salat, dan kedua temannya tidak ada. Yang ada hanya motornya Simi yang masih diperbaiki oleh mas-masnya. Kirana hampir bertanya kalau saja tidak melihat Simi berteriak memanggil namanya.
"Kirana?" panggilnya.
Kirana lantas menoleh, tersenyum melihat kedua temannya menenteng es yang Kirana tebak mereka habis dari warung yang ada di seberang jalan. "Aku cariin, aku kira ditinggal, tapi kok motornya masih."
"Aus, Ki. Beli minum dulu. Nih, buat kamu. Bayarannya, nanti kita makan bareng-bareng masakannya ibu kamu, ya?" Simi mengulurkan es dengan (daging kelapa) dengan gula jawa pada Kirana untuk diminum.
"Wah, makasih ya."
Mereka lantas duduk bersama-sama, meminum es dengan gula jawa yang dibeli tadi sambil menunggu reparasinya selesai, sampai menunggu juga sambil berbincang-bincang banyak hal yang bermanfaat.
Sampai akhirnya, motor Simi selesai diperbaiki. Mereka lantas pulang, kembali melanjutkan perjalanan kembali yang masih kurang sekitar setengah perjalanan lagi. Saat sampai di kontrakan, hari sudah mulai gelap, sudah hampir pukul enam sore, jadi mereka langsung bersih-bersih saja sekalian nanti salat berjamaah bersama karena kebetulan ibu pemilik kontrakan yang rumahnya di depan suka mengajak para anak kontrakkannya untuk salat berjamaah. Jadi, rsanya melegakan sekali saat mereka dikelilingi oleh orang-orang yang baik.
Mereka salat begitu khuyu'. Selesai salat, langsung dzikir bersama-sama, rasanya menenagkan sekali. Ketika yang belum hafal dzikir selesai salat seperti Simi, dia bisa sambil menghafal setiap harinya. Sementara Nisa dan Kirana yang sudah hafal di luar kepala tetap menjaga hafalannya agar tidak sampai lupa. Sungguh indahnya kebersamaan saat beribadah. Yang niatnya baik, pasti hasilnya baik juga.
Selesai salat, mereka langsung bubar dan sibuk dengan urusannya masing-masing. Kirana memanasi sambel yang dibawakan oleh ibunya. Untung bandeng bakarnya tadi dibawakan beberapa potong sehingga teman-temannya juga bisa menikmatinya.
"Udah belum Ki, laper nih." Simi bertanya dari ruangan yang biasanya digunakan untuk makan bersama.
"Udah. Sebentar." Karena Kirana sudah mempersiapakan sambelnya, Kirana langsung menuju ruang tengah untuk makan bersama-sama dengan Nisa dan Simi. Teman-temannya yang lain tidak ikut makan bukan karena tidak diajak mereka, tapi karena sibuk dengan urusannya sendiri-sendiri. Ada yang sudah punya janji, ada juga yang sudah membeli makanan dan tinggal meminta sambel saja pada Kirana untuk cocolan.
Kalau begini, siapa yang tidak betah meski jauh dari rumah? Semua teman-temannya, dan lingkungannya sangat mendukung sekali. Kiran sangat bersyukur dikelilingi oleh orang-orang yang baik.
"Wah, enak banget, Ki. Pedesnya mantap jiwa." Kata Simi memuji masakan Bu Ghina. "Kalau Mama rajin masak, aku pasti betah di rumah."
Kirana yang mendengar langsung menganggu. "Besok-besok kalau aku pulang, aku bawakan lagi, ya. Atau kita masak bareng-bareng saja, biar kamu ndak perlu nunggu mama kamu masak?"
"Boleh juga." balas perempuan itu bersemangat. "Aku diajarin masak yang enak ya, biar nanti Papaku bangga abak ceweknya bisa masak, nggak cuma minta duit doang."
"Pasti itu mah." Nisa menyahut. "Jangan remehin chef kita, Kirana!"
Mereka malah tertawa sebelum kemudian melanjutkan makanan malamnya lagi dalam keheningan. Karena adabnya makan memang tidak berbicara.