Ketika tiba saatnya, dimana Pak Damar memang harus menjalankan perannya sebagai seorang lelaki sejati, memilih salah satu perempuan di muka bumi ini untuk dijadikan sebagai pelengkap hidupnya. Karena itu, ketika semua orang sudah siap untuk menemui Anggi di rumah sakit, karena memang rencana orang tuanya ingin disegerakan, setelah lamaran langsung menikah, sederhana tak apa yang penting sah di mata hukum dan agama.
“Mas Damar masih bisa kabur kayak yang di TV-TV, aku bantu Mas kabur.”
Damar yang tengah duduk, menunduk seraya memasang sepatu hitam mengkilapnya hanya terus menunduk membenarkan sepatunya, membiarkan Silvi bergelayut manja di lehernya.
“Ih Mas ayo, aku bantuin Mas kabur sama Mbak Kirana.” Kata gadis itu lagi.
“Mas sudah tidak bisa pergi kemana-mana lagi, Vi. Sudah, kamu ke depan dulu sana, nanti Mas menyusul.”
Dengan bibir mencebik menahan tangis, Silvi langsung pergi dari kamar kakaknya itu dan Pak Damar sendiri tercenung beberapa waktu menatap titik kosong di udara yang entah tak jelas berada di mana.
“Mas?”
‘Lagi?’ Pak Damar terkejut dengan panggilan kedua dari mamanya. “Iya, Ma?” jawab lelaki itu akhirnya, dengan senyuman yang terlihat tak berasa sama sekali di matanya.
“Maafin Mama ya, Mas. Mama egois. Mama nggak tega kalau membayangkan Silvi yang ada di poisi Anggi. Adek kesayangan semua orang. Mama juga nggak tega liat mamanya nangis terus karena Anggi ingin menikah sama Mas. Entah apa yang Mas lakuin sampai hatinya tertambat seperti itu. Tapi Mas, Mama yakin kalau Anggi gadis baik, dia bisa sembuh dengan kehadiran Mas di hidupnya—sebagai suaminya.”
Pak Damar menarik napas sejenak, di ulu hatinya sekarang terasa nyeri sekali. Kalau boleh sekalin, akan lebih baik kalau hubungan Anggi dan Kirana tidak membaik saja biar Pak Damar tidak perlu tersiksa seandainya ada Kirana di tengah-tengah mereka yang memasang wajah masa bodoh—seakan-akan tidak ada apa-apa. Seolah-olah semuanya baik-baik saja padahal semua orang, kecuali keluarga Anggi tahu kalau permintaan putrinya sudah menghancurkan harapan seorang anak perempuan yang lain.
“Iya, Ma. Ayo kita berangkat.”
Bu Tari sedih menyadari sikap dingin putranya ini. Beliau ikut berdiri saat Pak Damar sudah berdiri lebih dulu, dia menahan kedua tangan putranya, menatapnya memohon. “Kalau memang kamu merasa terpaksa sekali, jangan dilanjutkan, Nak. Temui saja perempuan yang memang kamu cintai.”
Ada senyum miris yang tanpa sadar Pak Damar tunjukkan kepada mamanya. “Kalau saja memang semudah itu, Ma. Aku sudah tidak bisa mundur lagi.”
“Apalah artinya pernikahan kalau menjalaninya saja sudah terpaksa, Nak. Mama malah takut kalau sampai Anggi lebih parah.”
“Mama tidak percaya dengan putra Mama sendiri?”
“Bukan masalah percaya tidak percaya, Nak. Tapi ini tentang mengerti atu tidak mengerti.”
“Anggi sendiri yang memilihku, Ma. Mama tidak perlu khawatir. Aku tahu, ekspektasinya pasti akan tinggi dengan hubungan ini. Dan aku berjanji sama Mama kalau aku akan mencoba untuk mencintainya. Mama bilang, Anggi gadis yang baik, kan. Lama-lama aku pasti bisa melupakan perempuan di dalam benakku sekarang.”
Bu Tari mencelos mendengar perkataan Pak Damar. Kalau dirasa-rasakan, semua terasa tidak adil untuk Pak Damar. Namun, Pak Damar hanya tidak ingin Kirana merasa jika orang yangtak punya—lantas tak pantas untuk bahagia.
Melihat mama mamanya bak muara air sungai, Pak Damar langsung maju satu langkah dan memeluk ibi tercintanya itu. Beliau membisikkan sesuatu yang menenangkan di telinga mamanya, agar mamanya itu tenang dan tidak terus-terusan bersedih lagi. Biarlah Pak Damar yang tersiksa akan perasaannya sendiri, jangan sampai ada keluarganya yang ikut merasakan. Dan Pak Damar juga sudah mendoakan Kirana versi terbaiknya. Dia berdoa agar Kirana mendapatkan pasangan yang jauh mecintai Kirana daripada apa yang Pak Damar miliki sekarang. Gadis itu pantas bahagia, sangat pantas bahagia.
“Sudah, Ma. Nanti bedaknya luntur,” Pak Damar menguatkan mamanya dengan candaan garingnya itu. Kemudian sang mama menarik tubuhnya menjauh dan tersenyum pedih setelah dibantu untuk menghapus air matanya. “Sudah, Mama ke depan dulu, nanti aku nyusul.”
Tak mau bicara yang bisa memicu tangisannya kembali, Bu Tari langsung keluar setelah mencium kening putra pertamanya. Berlalunya suara hak yang tidak terlalu tinggi milik mamanya membuat Pak Damar memejamkan matanya dalam-dalam. Kakinya berat sekali hendak dilangkahkan menjauh atau lebih tepatnya hendak menuju dimana perempuan yang akan menemaninya sehidup-semati.
‘Ya Allah, lapangkanlah hati Pak Damar akan ketetapanmu. Bimbinglah dia untuk menjemput calon pengantinnya kelak Ya Allah. Lapangkanlah hatinya. Jangan biarkan dia terus memikirkanku yang mungkin memang tidak ditakdirkan untuk bersama.
Tolong bantu Beliau untuk melupakanku Ya Allah, begitupun denganku. Bantu aku melupakannya. Aku tidak ingin memikirkan lelaki milik orang Ya Allah. Hamba tidak ingin. Bantu hamba menghapus namanya jika memang itu yang terbaik. Jikalau tidak, tolong biarkan rasa ini tetap tersimpan dalam diam Ya Allah, biar hamba sendiri yang menanggungnya.’
Pak Damar membuka matanya, tak terasa, entah kenapa dia yang anti menangis tiba-tiba air matanya mengalir ketika mengingat Kirana. Dia seperti mendengar suara lembut Kirana.
Aduhai sakit sekali cinta yang terhalang oleh keadaan. Mau berjalan kemanapun, ujungnya di persimpangan jalan, hanya satu jalan yang harus diambil, perpisahan, tidak ada yang lain.
Memantapkan langkahnya, Pak Damar yang sadar sudah terlalu lama mengulur waktu langsung berjalan keluar kamar dan menghampiri keluarga besarnya yang sudah berkumpul di beranda depan. Mereka akan menggunakan dua mobil. Mobil satu bersisi seluruh anggo keluarga, kecuali Pak Damar yang mengendarai mobilnya sendiri.
Mobil keduanya beriringan menuju tempat yang akan menjadi saksi bisu antara hubungan Pak Damar kelak. Berakhir betul bersama Anggi, atau malah tidak berakhir dengan siapapun. Karena Pak Damar jelas tidak mungkin membuat Anggi sakit hati dengan terang-terangan lebih memilih mengutamakan Kirana.
Namun, sepertinya doa Pak Damar yang ingin hubungan Anggi dan Kirana tetap berjarak saja tidak terkabul. Buktinya sekarang, ketika langkahnya mendadak terhenti di ambang pintu masuk di waktu semua keluarganya sudah masuk.
Pak Damar seperti melihat bidadari tanpa sayap tengah tersenyum begitu tulus menghibur sahabatnya yang sedang ditimpa musibah.
Benar, tidak tahu bagaimana Kirana dan Anggi tahu-tahu bisa baikan seperti ini. Entah apa yang sudah Kirana lakukan. Namun yang pasti, kenapa perempuan itu harus di sini? Di saat Pak Damar hendak melamar perempuan lain di depan perempuan yang dirinya sendiri cintai dan beruntungnya juga balik mencintainya. Hanya saja, cinta mereka seperti terhalang meskipun tak ada yang menghalangi keduanya seandainya tidak ada Anggi di tengah-tengah mereka.
‘Jangan menyalahkan keadaan, Damar! Keadaan ada bukan untuk disalahkan.’ Pak Damar mendikte dirinya sendiri agar dia tidak sampai membenci situasi yang tengah menimpanya sekarang.
“Anggi, ada Pak Damar.”
“Mana?” Anggi langsung bertanya antusias. Dia bahkan bergerak agak serampangan yang membuat Kirana ketar-ketir sendiri merasakan Anggi begitu senang sekali mendengar kedatangan Pak Damar. Bukan karena takut cemburu karena rasa itu pasti ada tanpa bisa Kirana cegah. Dia hanya khawatir kalau Anggi kenapa-napa, tidak ada yang lain yang lebih dikhawatirkannya.
‘Ternyata kamu pintar bersandiwara, Na.’ Batin Pak Damar yang tak akan sampai di pendengaran gadis itu.
“Mas Damar?”
“Ya?” Pak Damar baru tersentak dan fokus ke Anggi yang menjadi tujuannya. Beliau berjalan menuju ke kursi yanga ada di sebelah Anggi. “Kalian sudah baikan?” tanyanya tanpa pikir panjang.
“Kami?” Anggi menunjuk Kirana lemah yang langsung membuat Pak Damar mengangguk. “Ya, aku salah paham kepadanya. Tapi aku sudah minta maaf.”
“Syukurlah kalau begitu.”
Anggi ikut tersenyum saat Pak Damar tersenyum, dia bahagai sekali. Di balik musibah yang menimpanya, ada saja nikmat yang bisa dirinya rasakan. Sungguh maha baik sekali Allah, Tuhan Semesta Alam.
“Na, rambutku ndak kelihatan kan?”
Pak Damar tetap diam di tempatnya karena memang tidak ada satu helaipun yang dia lihat dari Anggi, jadi Anggi tidak perlu khawatir. Apalagi keberadaan Kirana seakan membuat semuanya terasa lebih mudah dari yang biasa dia bayangkan.
“Ndak ada, kok.” Kirana berdiri di sisi lain, membenarkan kerudung instan Anggi, memastikan betul-betul aurat sahabatnya itu tidak sampai terlihat oleh laki-laki asing.
Sakit tidak bisa dijadikan sebagai alasan ataupun sebagai tangguhan seorang bisa membuka auratnya begitu saja tanpa ada udzur ataupun kepentingan yang mendesak. Lihat saja Anggi yang mengutamakan kehormatannya. Pak Damar tidak salah memilih perempuan, kan?
Bu Ghina yang sedari tadi diam di sopa tidak melakukan apa-apa. Dia hanya memperhatikan putrinya dalam diam. Meskipun tangan kanan Kirana belum pulih benar, tak ada alasan baginya bermalas-malasan. Tak pamrih pula dia merawat sahabatnya sendiri karena saat Kirana ditimpa musibah pun, Anggi yang selalu jadi garda terdepan untuk melindunginya.
“Tangannya hati-hati, Na. Kamu kenapa to, ndak bisa diam sama sekali dari tadi? Istirahat dulu sana.”
Kirana menggeleng pelan, “ini masih pagi, Nggi. Masak tidur lagi.”
“Ngerjain sesuatu kan bisa, memangnya tidak punya tanggungan tugas, sudah ndak masuk kelas beberapa hari, kan?”
Kirana cuma meringis, bukan hanya karena perkataan Anggi tapi karena tangannya juga nyeri yang membuat Kirana pamit begitu sopan untuk kembali bersama ibunya di sopa. Kirana tidak ingin menarik ataupun mencari perhatian siapapun.
Sampai waktu yang ditunggu-tunggu oleh keluarga besar Anggi, apalagi kalau bukan kabar baik bahwasannya keinginan putrinya untuk bisa menikah dengan Pak Damar manjadi kenyataan.
"Dek, Mas Damar mau bicara serius sama kamu?"
"Hm, bicara apa, Ma?" Anggi balik bertanya karena dia bukan pura-pura lupa, tapi karena memang setelah dipikir-pikir, dia juga sadar diri sendiri. Bagaimana bisa dia ingin menjadi istri dari seseorang yang begitu sempuran di matanya di saat dirinya hidup terbatas seperti ini. Ya kalau panjang umur, kalau dirinya tidak sanggup bertahan? Anggi juga tidak ingin Pak Damar terjebak dalam kubang kesedihan. Dia juga memikirkan Pak Damar.
Hanya saja, semua yang sudah terlanjur dikatakan tentu saja harus dibuktikan di sini. Tentang semuanya, tentang perjuangan semua orang, tentang ikhlas dan merelakan. Juga tentang cinta segitiga yang bukan Tuhan menjadi puncak tujuannya jika terus dipaksakan. Karena itu, ada banyak hati yang saling merelakan meskipun ketulusan cintanya seakan kandas di tengah lautan lepas, karam bersama debit air yang tak akan mampu dihitung oleh manusia. Seberapa pintar apapun manusia itu. Karena sejatinya, ilmu manusia itu terbatas.