64. Restu dalam Diam

1834 Words
Malam sudah larut ketika semua orang memutuskan untuk beristirahat dari semua beban yang tengah dipikul masing-masing bahu di rumah ini. Pembicaraan mereka waktu lalu—menjadi kali pertamanya tak ada keputusan yang benar-benar bisa diambil. Di satu sisi, Bu Tari kasian dengan Pak Damar, di sisi lain Pak Ronggo juga tidak tega memperlakukan putra pertamanya layaknya Pak Damar ini hanya lelaki tak memiliki perasaan. Hidupnya seperti diatur yang dirinya harus iya-iya saja ketika diperintahkan ini dan itu. Selama ini, Pak Damar memang yang selalu mengalah kepada ketiga adiknya. Hanya saja, ini bukan perkara mengalah lagi, ini lebih rumit dari yang semua orang bayangkan. Dan yang lebih utama adalah, ini tentang pernikahan yang pasti harapan semua orang sekali seumur hidup. Pak Damar hanya tidak bisa membayangkan kalau dia harus hidup dengan terus membohongi seseorang. Apalagi dalam kasus Anggi, perempuan itu tengah sekarat. Penyesalannya bisa berkali-kali lipat kalau sesuatu yang buruk terjadi pada perempuan itu. Pak Damar akui, Anggi memang gadis yang cantik, baik, juga cerdas. Hanya saja, entah kenapa dia menjadi ambisius sekali sejak di Bandung dulu, dan itu yang tidak Pak Damar sukai dari Anggi. Karena memang sudah jelas, Kirana yang Pak Damar inginkan. Seandainya Pak Damar berbicara empat mata dengan Anggi dan mengatakan yang sebenarnya pada perempuan itu tentang perasaannya yang sebenarnya pada Kirana, apakah Anggi akan mengerti dan tidak lagi memaksakan kehendaknya? Oh ayolah, ini masalah hidup sehidup, semati. Pak Damar tidak ingin mengambil keputusan yang keliru. Di waktu ini pun, Pak Damar seakan bisa membayangkan bagaimana dirinya yang tidak bisa mencintai istrinya kelak secara penuh. Dosa macam apa yang harus dia tanggung kalau Anggi malah menderita jika hidup bersamanya. Kalaupun ingin terus-terusan berpura-pura nantinya, Pak Damar merasa menjadi seorang pecundang karena tidak bisa mencintai istrinya sendiri. 'Ya Allah...' batin beliau lirih dengan tatapan nanar ke arah langit. 'Keputusan apa yang harus aku ambil? Hamba tidak ingin menyakitinya.' Kebetulan Silvi yang tidak bisa tidur, dasarnya memang gadis itu yang paling dekat dengan Pak Damar langsung memeluk leher kakaknya dan menangis di balik punggung kakak tercintanya itu. "Mas ya sedih, ya." Pak Damar menghela napas pelan, kemudian tangannya terulur untuk mengusap lengan Silvi yang dilehernya lembut. "Mas nggak sedih. Kamu istirahat hm, sudah malam, besok berangkat kampus." "Kenapa semua orang nyebelin banget. Aku nggak suka Mama Papa paksa Mas Damar. Memangnya mereka mau dipaksa kayak gitu?" "Coba hadap Mas sini," dengan gerakan lembut, Pak Damar menarik tangan Silvi agar berhenti memeluknya seperti itu dan beralih menghadapnya seperti biasa mereka berbicara. "Dek, Mas mau bicara sama kamu." Dengan terpaksa, Silvi melepas dekapannya dari leher Pak Damar, lantas berdiri di depan kakak laki-lakinya yang wajahnya seperti menanggung beban berat sekali. "Kenapa menangis, hm? Mas nggak papa kok. Nanti juga selesai masalahnya." Elusan lembut yang Pak Damar berikan di tangan Silvi tak cukup kuat membuat adik gadisnya ini merasa lebih baik. "Nggak papa, nanti Mas bicara lagi sama Mama Papa. Kamu nggak perlu ikut pusing mikirin Mas." "Gimana nggak ikut pusing, kalau Mas susah, aku juga susah. Lagi pula, kenapa juga kekasih Mas malah ikhlas gitu aja. Kenapa nggak larang gitu? Siapa sih, mau aku samperin, mau aku paksa buat mertahanin Mas. Jadi orang egois sekali-kali kayaknya nggak papa." Pak Damar tersenyum mendengar celotehan adiknya. Beliau tahu kalau Silvi memang begitu menyayanginya. Hanya saja, untuk saat ini, egois tidak bisa dipilih baik antara Pak Damar atau Kirana sekalipun. "Kamu nggak perlu tahu siapa dia, yang harus kamu tau, dia perempuan yang begitu baik, Mas sangat mencintainya." "Tuh kan..."Silvi malah menangis mendengar kakak laki-lakinya ini mengungkapkan rasa cintanya yang begitu besar. "Siapa sih, Mas? Bilang aja, siapa tahu aku bisa bantu perjuangkan. Kok hatinya bisa selapang itu. Pasti udah lama kan." "Memangnya kamu pernah lihat Mas membawa pergi anak gadis orang pergi?" Silvi sontak menggeleng. "Mas yang sudah tidak bisa berpikir melamarnya beberapa waktu lalu, tiga kali berturut-turut Mas tidak mendapatkan jawaban yang berarti. Dia menolak Mas dan mengatakan kalau Anggi adalah perempuan yang baik. Perlahan-lahan Mas pasti bisa mencintainya. Tapi Dek, Mas khawatir kalau hanya dasar kasihan, Mas tidak mampu untuk mencintai Anggi yang seharusnya. Bukan karena sakitnya. Hanya saja, Mas khawatir tidak mampu membuatnya bahagia yang malah berujung tidak baik untuk kesehatannya." Kalau begini, bagaimana Silvi tidak mau menangis. Meskipun yang akan menikah nanti kakaknya, tapi tetap saja sebagai adik yang paling Pak Damar sayang karena dasarnya adik perempuan sendiri, Silvi tidak rela hidup kakaknya menderita." "Mas tahu, yang ada di pikiranku sekarang siapa? Mbak Kirana." Kata Silvi masih dengan tangisannya yang tak kunjung reda. Pak Damar tersenyum pahit mendengar nama Kirana disebut. Entah kenapa Silvi bisa tepat sasaran sekali dan kenapa juga Pak Damar terlihat seperti sad boy seperti ini. "Memang dia orangnya, Vi." Dan benar saja, Silvi kembali mendekap tubuh kakak laki-lakinya ini erat sekali, tidak mau melepaskan. Tangisannya semakin pilu. "Yang sabar ya, Mas." Katanya tersengal-sengal. "Mas mencintai orang yang begitu mencintai sahabatnya." "Sudah konsekuensi, Vi. Tidak ada pilihan lain. Mas sudah mengatakan akan menuruti permintaannya." Jangan tanya tangisan seperti apa yang tengah Pak Damar rasakan dari adik kesayangannya ini. "Nggak papa, Mas nggak papa. Kamu nggak perlu ikut mikirin Mas. Fokus kuliah, yang pinter, biar jadi kebanggaan Mama sama Papa. Nggak boleh ngelawan sama orang tua." "Tapi Mama Papa maksa, apa kalau aku dewasa nanti, aku mau dipaksa juga kayak Mas Damar? Aku nggak mau. Lebih baik aku pergi aja dari rumah." "Dek, nggak boleh berpikiran kayak gitu. Mama Papa nggak akan ngelakuin itu sama kamu. Kamu kan kesayangan kami semua." "Jadi maksudnya, Mas bukan kesayangan semua orang?" Pak Damar hanya tersenyum miris, dia menghapus air mata Silvi yang kebetulan adik gadisnya ini tengah melepas pelukan dan melihat ke arahnya. "Nanti, kamu akan memberi sendiri, Dek. Kenapa Mas dan Kirana melakukan ini." "Tapi nggak adil buat kalian, Mas." Silvi mewek lagi. Memang bukan dia yang akan menjalani, tapi dadanya sesak sendiri mendengar kenyataan yang begitu menyakitkan ini. Apa salahnya kakak tercintanya ini bersama dengan Kirana yang sudah dianggap sebagai kakak perempuannya sendiri yang tidak pernah dirinya miliki. "Bagaimana kalau nanti Mas jatuh cinta dengan Anggi, itu tidak masalah, kan?" "Itu cinta palsu. Walaupun nanti Mbak Anggi yang jadi istri Mas, Mbak Kirana yang paling Mas cintai." Ada ringisan yang tanpa sadar Pak Damar keluarkan. "Kamu seperti menyumpahi Mas, tahu?" "Abisnya aku kesel. Memangnya tidak ada laki-laki lain di dunia ini, kenapa tidak orang lain saja. Kenapa harus Mas Damar?" Sekali lagi dengan gerakan lembut, Pak Damar menarik Silvi ke dalam pelukannya dan membisikkan sesuatu yang menenangkan di telinga adik kesayangannya itu. "Kita nggak bisa merubah takdir Allah, Dek. Kalo memang jodoh Mas sama Anggi, Mas nggak bisa apa-apa. Lambat laun berjalannya waktu, Mas perlahan pasti bisa mencintai Anggi. Seperti yang Mas bilang tadi, Anggi sosok yang baik. Dia juga taat agama. Kamu akan mendapatkan Kakak ipar yang akan sayang juga sama kamu. Kamu bisa menganggapnya sebagai kakak perempuan kamu sendiri yang selalu kamu minta sama Allah selama ini." Tidak ada balasan dari Silvi kecuali kembali dekapan dan tangisan yang gadis itu berikan. Dia tidak rela, tapi juga tidak tega. "Wahai Allah, aku sangat sayang dengan Mas Damar. Berilah dia istri terbaik dari yang terbaik, yang bisa mendampinginya, mencintainya, dan Mas Damar juga mencintainya." Ada kecupan hangat yang Pak Damar berikan di sisi kepala Silvi. Dadanya menghangat mendengar doa adik kesayangannya ini. Dan tanpa ragu, Pak Damar mengaminkannya. Dan tanpa ada yang tahu, Bu Tari mendengarkan percakapan mereka sedari tadi. Tentang Kirana, yang ternyata dicintai oleh putranya. Hanya saja, sekali lagi kemanusiaan terasa lebih utama daripada mengutamakan cinta putranya itu sendiri. 'Keihklasanmu untuk membantu perempuan yang tengah sekarat sekarang akan mendapat balasan dari Allah, Mas. Mama percaya itu. Mama akan ada selalu ada buat Mas, kapanpun, dimanapun.' Batin beliau menangis. Karena sejujurnya pun, Bu Tari tak pernah mempermasalahkan pilihan putra-putrinya. Beliau tidak pernah membedakan yang kaya dengan yang miskin. Kalau saja tidak seperti ini keadaannya, pastilah Kirana yang menjadi menantunya. Sebagai seorang ibu, Bu Tari juga berat melakukan ini semua kepada putranya sendiri. Bagaimanapun, Pak Damar adalah putranya. Bu Tari mengiyakan apa yang orang tua Anggi mohonkan bukanlah tanpa alasan. Namun, karena beliau percaya putranya mampu membahagiakan Anggi. Hanya saja, melihat ketulusan putranya yang mencintai orang lain, bukannya kekhawatiran yang Bu Tari dapatkan, tapi beliau semakin yakin kalau Anggi tidak salah memilih Pak Damar sebagai pendampingnya. Karena pada dasarnya, Bu Tari tahu kalau anak laki-laki pertamanya memang sesabar itu, setangguh itu selama ini melindungi adik-adiknya. Dan memang, sekarang sudah saatnya beliau melepas Pak Damar untuk menempuh hidupnya yang baru, bersama dengan perempuan yang akan menjadi pendampingnya sehidup semati. Di sisi lain, Kirana juga sudah berjanji pada dirinya sendiri kalau dia tidak akan menjadi penghalang dalam pernikahan Pak Damar dan Anggi nanti. Dia akan melupakan Pak Damar sekuat yang dia bisa. Dan sampai mati, Kirana tidak akan merebut Pak Damar dari Anggi. Itu janji yang Kirana buat untuk dirinya sendiri. Biar dia berhenti memikirkan Pak Damar dan menghapus semua jejak perasaannya pada lelaki yang telah banyak membantunya sejak insiden pembullyan Itu. Sekarang bukan lagi saatnya bagi Kirana untuk bersedih. Dia akan menyediakan bahunya kapanpun dan dimanapun untuk Anggi. Kirana pernah mendengar dalam riwayat bahwasannya orang yang saling mencintai bisa masuk surga. Bukan cinta sembarangan, melainkan rasa yang didasari oleh dua insan yang saling mencintai dan memutuskan sama-sama menjaga cinta itu tetap suci dalam diam, maka apabila dalam perjuangan kesucian cintanya itu ada yang meninggal, bisa disebut mati syahid karena mereka berjuang melawan hawa napsunya sendiri. Berjuang untuk tidak melakukan kemaksiatan yang dilarang oleh Allah. Mungkin, di dunia ini Kirana memang tidak berjodoh dengan Pak Damar. Dia tidak akan mempertanyakan kekuasaan Allah. Karena Kirana tahu, terkadang, apa yang Kirana minta dari Allah tidak dikabulkan, namun digantikan dengan yang lebih baik. Dan Kirana percaya, dia mampu untuk terus menahan perasaannya sendiri dalam diam. Entah sakitnya seperti apa, tidak apa-apa. Kirana akan menahannya dalam diam tanpa menunjukkan kesakitannya pada orang lain. Kata ibunya, selain orang yang bermanfaat dan tidak merugikan orang lain, Kirana tidak boleh menjadi hamba yang selalu mengeluh tentang kehidupan. Karena dia bisa bernapas dengan gratis di bumi Allah dengan begitu bebas saja sudah ramhat Allah yang begitu besar, tidak bisa dibayarkan oleh apapun. Tidak ada tandingannya. Mereka sekarang mungkin tengah menatap langit yang sama. Ketika Pak Damar masih setia mengusap punggung adiknya yang bergetar terus menangis dengan pandangan nanar ke arah langit, sementara Kirana hanya diam, tersenyum sendu ke arah langit yang sama. Tidak ada kata yang mampu mereka ucapkan kecuali doa dalam diam. 'Duhai Allah, Engkau yang maha membolak-balikkan hati. Jangan biarkan rasa cinta pada yang tengah hamba rasakan pada salah satu makhluk ciptaanmu membuatku lupa akan cintaku kepada Ya Allah. Hanya Engkaulah sebaik-baiknya penolong. Hanya kepadamu lah aku berlindung, dah hanya kepadamu lah aku berserah diri. Sesungguhnya, hanya kepadamu lah tempatku kembali.' Doa Kirana yang begitu lirih membuat hati Bu Ghina teriris-iris. Namun lebih dari apapun, Beliau juga tidak bisa melakukan apa-apa selain mendoakan yang terbaik untuk putri semata wayangnya itu. Di sisi lain, Pak Damar melanjutkan apa yang ingin dikatakannya. "Mas minta doanya ya, Dek. Terima keputusan kami." Dan tangisan Silvi makin tak bisa berhenti merasakan permasalahan kakak tersayangnya ini.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD