14. Ketakutan Kirana

1237 Words
Mereka masih di perjalanan karena macet yang mengular. Hingga suara azan Maghrib sampai terdengar di telinga semua orang, menyerukan bahwa sudah waktunya menunaikan lima yang tidak boleh ditinggalkan sesibuk apapun. "Jalan kaki aja ya, Nggi? Ini macetnya panjang sekali, bisa-bisa ba'da Isya' kita sampai kost kamu." Kirana menatap depan lelah karena jalannya tak kunjung lancar sedari tadi. Ini sudah Maghrib dan mereka belum bersih-bersih juga. "Kok jalan kaki?" Anggi jelas langsung memekik tidak terima mendengar pernyataan Kirana yang tiba-tiba setelah tadi diam saja. "Orang lagi nggak enak badan begini? Jangan aneh-aneh, Na!" Gadis yang ditegur ini langsung menoleh ke arah Anggi, khawatir. "Aku libur. Kamu salat, kan?" "Aku juga libur," Anggi memberitahu. "Ndak usah khawatir. Istirahat lagi saja kalau kepalanya masih sakit." "Bapak yang nyetir?" Kirana menatap depan tidak enak. Dia masih tidak sadar kalau itu Pak Damar, dosen walinya sendiri. Kalau sadar, dia tidak akan bilang seperti itu. Karena sadar juga, Anggi bertanya pada Pak Damar yang berada di kursi kemudi, bertanya tentang sesuatu yang Kirana khawatirkan. "Pak? Kalau Bapak salat dulu bagaimana? Biar kami naik kendaraan yang lain. Ini sudah waktu Magrib." "Saya akan salat dulu. Tetaplah di mobil ini." Pesan Pak Damar datar seperti biasa. Jangankan berbicara dengan yang bukan anak muridnya, anak fakultas lain hingga anak dari kakaknya saja Pak Damar tetap datar seperti itu. Namun, Kirana yang seakan menyadari satu hal, benar-benar baru tersadar dengan siapa yang mengendarai mobil yang ditumpanginya ini. "Bapak? Pak Damar?" Kirana memanggil pelan. Pak Damar menoleh sejenak, beliau melihat sekilas ke arah Kirana. "Iya?" balasnya tak kalah pelan. Kirana yang benar-benar baru sadar langsung meminta maaf. "Maaf Pak, saya tidak tahu kalau yang di depan Bapak." "Orang dari tadi yang jagain di bangsal kan dosen ini juga, Na. Kamu gimana, to? Masak ndak sadar lhoh dari tadi?" Anggi geleng-geleng tidak habis pikir dengan sahabat karibnya satu ini. Bisa-bisanya sedari tadi tidak sadar kalau diantarkan oleh dosennya sendiri. Kalau Pak Damar orangnya suka mempermasalahkan hal kecil, bisa-bisa nilai Kirana jelek semester ini karena kurang sopan. Padahal menurut Pak Damar sendiri, tidak ada yang salah. Namanya juga orang syok. Orang yang syok memang suka lupa dengan kejadian yang lalu ataupun yang terjadi di sekitarnya. Jadi beliau makhlum-makhlum saja. Tidak apa-apa, Pak Damar paham. Menjadi dosen juga mempelajari psikologis. Dia mengerti. Karena itu dia meminta untuk kasus penindasan ini segera ditindak lanjuti. Pemikirannya masih tidak sampai saja apa motif Bianca dan kedua temannya melakukan tindakan yang tidak pantas kepada Kirana sampai seperti itu. Padahal, mereka sama-sama perempuan. Seharusnya yang mengerti, menyayangi dan mengasihi. Sungguh kalau mau melakukan tindakan kejahatan memang tidak peduli perempuan, laki-laki, semua bisa melakukannya. Kalau di logika, tikus pasti juga takut dengan manusia. Namun di sisi Kirana sendiri, dia memang takut dengan yang namanya tikus. Jadi mau tikus hitam, putih, besar, kecil, yang namanya tikus ataupun curut, Kirana ya takut. Kalau tadi tidak ada yang menolongnya karena sudah sore. Biasanya memang hari ini tidak ada yang sampai malam hari di lantai tiga. Tidak ada yang bisa membayangkan apa yang terjadi dengan Kirana kalau sampai esok hari terkunci di kamar mandi. Mungkin tewas karena ketakutan juga bisa saja terjadi. Karena sungguh, takutnya orang yang takut tidak bisa dikurangi sedikitpun. Makanya para psikolog sering mengatakan kalau tidak dibenarkan orang-orang yang mempermainkan ketakutan orang lain. Karena jelas efeknya bisa fatal kalau ketakutannya sampai melampaui batas. Karena serangan jantung bisa saja terjadi tiba-tiba. Atau serangan panik yang tak kunjung ditangani saat orang yang panik sudah mulai kesulitan bernafas. Pak Damar kembali fokus ke jalanan. Tidak terlalu peduli dengan pembicaraan Kirana dan Anggi. Tugasnya hanya mengantarkan mereka sampai di kost yang dimaksud dengan selamat sentosa sampai tujuan tidak kurang suatu apapun. Karena kalau tidak, bisa jadi malah dirinya yang jadi pelaku. Setelah itu dia akan pergi. Selesai. Namun, berhubung sudah azan Maghrib, Pak Damar akan salat dulu sementara mereka menunggu di mobil. Karena itu, ketika keluar dari lampu merah, Pak Damar menyalakan lampu sent ke kiri, di pelataran masjid yang begitu luas di sisi lain. Kemudian beliau pamit. "Saya salat dulu." Katanya. Kirana tidak menjawab. Justru Anggi yang langsung menyahut. "Ya, Pak." Selepas Pak Damar pergi, Kirana langsung berbicara dengan Anggi dengan wajah agak pias. "Anggi?" panggilnya. "Kenapa, pengen muntah lagi? Kita tunggu di luar saja kalau pusing di mobil. Atau ke kamar mandi dulu?" Yang sudah paham dengan Kirana pasti langsung menyebutkan opsi kepada gadis itu seperti yang dilakukan oleh Anggi sekarang. Kirana menggeleng, lantas bercerita. "Bapak yang menyetir tadi itu dosen wali aku, Nggi. Tadi yang aku ingat, aku ada mata kuliahnya." "Ya terus?" Anggi belum menangkap arah pembicaraan Kirana kemana. Daripada menebak-nebak, lebih baik menunggu Kirana mengatakannya lebih dulu saja, biar jelas juntrungannya. "Apa Pak Damar yang tolong aku tadi, ya? Soalnya aku ingat suara laki-laki tadi." "Bisa jadi." Perempuan yang tengah di ajak bicara oleh Kirana ini hanya menggut-manggut. "Ya Allah. Astaghfirullah haladzim." Kirana langsung menyebut, beristigfar karena takut. "Kenapa, Na?" Anggi masih saja bingung, makanya langsung bertanya lagi. "Tadi kalau waktu ditolong tidak sengaja tersentuh bagaimana?" mata Kirana memerah ingin menangis. Membayangkan saat tubuhnya dibawa oleh laki-laki asing. Selama kuliah, Kirana benar-benar tidak pernah bersentuhan dengan seorang lelaki manapun kecuali kakek-kakek tua yang suka menjadi imam di musola dekat dengan kontrakannya. Anggi yang mendengar ingin bilang berlebihan tapi dari sisi Kirana sendiri, dia mengkhawatirkan hal yang benar. Anggi ini tipe yang hampir sama dengan Simi. Dia memakai kerudung tipe sakaratul maut, tapi Anggi juga tahu kodratnya sebagai perempuan. Selain itu, Anggi juga tahu larangan yang jelas-jelas ada dalam Al-Qur'an. Hanya saja, dia belum seperti Kirana. Dia belum sebegitu patuhnya dengan perintah Tuhan. Jadi kalau mendengar hal seperti ini dari Kirana, Anggi tak sekalipun menganggap Kirana sok suci ataupun apa. Karena sungguh, Anggi paham. Pemahaman Kirana yang sudah benar. Bukan dirinya yang masih jatuh bangun memperbaiki diri. "Nggak papa, Na. Kan dalam keadaan terdesak. Mungkin tadi nggak pegang kulit kamu. Atau bisa jadi masih ada yang anak perempuan di sana tadi, jadi mereka yang bantuin kamu." "Tapi aku ndak dengar suara perempuan sama sekali, Anggi. Hanya lelaki." Kirana langsung menangis tersedu-sedu. Dia tidak bisa membayangkan tubuhnya disentuh oleh yang bukan mahramnya. "Aku takut kalau Bapak sudah meninggal, Bapak dihukum karena aku yang ndak bisa jaga diri." Anggi mencelos mendengar penuturan sahabatny ini, dia hanya bisa mengusap-usap punggung Kirana nanar, berupaya menenangkannya. "Percaya sama aku, Na. Kamu orang baik. Pasti orang balik memperlakukan kamu baik juga. Buktinya, kamu ditolong bukan, ditunggui sampai tersadar?" Kirana masih saja menangis, belum lega. Pikirannya berkecamuk meskipun dalam keadaan darurat daripada nyawa orang sampai melayang diperbolehkan menolong. Seperti saat ibu mau melahirkan dokternya laki-laki karena keadaannya sudah darurat sekali dan tidak ada dokter obgyn perempuan. "Nanti coba aku tanyakan, yang menolong kamu siapa. Kalau memang seorang lelaki, mereka pasti ndak ada niat buruk, pasti ikhlas pengen bantu." Anggi berupaya menenangkan sekali lagi. "Jangan, Nggi. Aku takut menyinggung perasaan orang." Kirana menepuk paha Anggi agar jangan sampai berbuat sejauh itu karena dirinya. Sungguh, tangisan Kirana bukanlah tangisan buaya. Bukan pula dia merasa paling benar sendiri. Hanya saja, dia benar-benar takut. Tidak bisa membayangkan apa yang akan diterima oleh ayahnya kalau dia sampai disentuh lelaki yang bukan mahramnya. Karena memang sedari dulu, Kirana memang dididik ibunya seperti itu. Jika ada seorang perempuan yang terjatuh di jalan dan tidak mau atau refleks menolak bapak-bapak yang ingin menolong, percayalah, mereka tidak sedang menghina atau menganggap rendah. Namun, karena takutnya mereka dengan Allah maka berupaya sebisa mungkin menjauhi semua larangannya. Kalau ada yang malah marah-marah, itu beda cerita lagi.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD