15. Panggilan Video

1508 Words
Kirana jadi lebih diam sejak sampai di kost elite Anggi. Kalian tahu seperti apa kost-kostan nya Anggi? Ya mirip dengan hotel bintang lima. Kamar mandi, bath up lengkap. Di dalam kamarnya ada bar, lemari pendingin, TV plasma besar. Kalau seperti ini, sudah seperti di apartemen saja. Sebenarnya, Anggi dulu juga akan tinggal di apartemen yang lebih dekat dengan kampus. Hanya saja, Anggi menolak dengan alasan ingin kost-kostan yang dekat Kirana. Kalau kontrakan Kirana memang lumayan jauh, sekitar tiga kilo lebih untuk sampai di kampusnya. Dan karena itu, Anggi di sini sekarang. Walaupun pada akhirnya mereka memang tetap sulit atau jarang bertemu, tapi Anggi tidak mau pindah tempat juga. Meskipun jarang, bukan berarti tidak pernah. Sebegitu besarnya mereka saling menyayangi dan manghargai sahabatnya satu sama lain. Anggi yang melihat sahabat sedari kecilnya ini melamun, langsung duduk di sebelah Kirana, memberinya s**u coklat hangat. "Na, diminum dulu." Anggi mempersilakan. "Suwun yo, Nggi." Kirana menerima uluran tersebut dan meminumnya pelan-pelan, sekaligus menghangatkan tubuhnya yang emmang agak kedinginan meski suhunya sudah dinaikkan, bahkan AC nya sampai dimatikan oleh Anggi. Namun tetap saja udara yang terasa dinginnya tetap saja. Jangankan dengan AC, terkadang tidak memakai apa-apa saja, Kirana sering kedinginan. "Perutnya masih ndak enak?" Anggi bertanya memastikan, sekali lagi. Pasalnya, takut kalau Kirana sampai kenapa-kenapa. Dokter tadi mengatakan kalau Kirana mendapat serangan panik karena ketakutan. Jadi sebisa mungkin jangan sampai tertekan lagi di saat kondisinya saja belum stabil benar. "Tadi katanya ada tugas? Ya udah ayo kerjakan." Anggi berdiri lebih dulu, menyiapkan meja lipat untuk dirinya sendiri sambil menggelar karpet bulu-bulu, sementara Kirana biar di meja saja. "Aku di bawah saja." Kata Kirana saat melihat Anggi ingin duduk di bawah. "Di atas saja to, aku biasa lesehan di bawah." Anggi menggeleng perlahan, menolak secara halus. Ya sudah Kirana pasrah dan langsung mengeluarkan laptopnya, mengerjakan sesuatu menggunakan aplikasi yang dikatakan oleh wali dosennya tadi ketika masih ada kelas. Namun sayang, Kirana tak kunjung bisa fokus. Dia sesekali bergidik ngeri kalau mengingat dirinya dikunci dalam ruangan seperti itu. Dan kalau ingat, Kirana selalu ingin menangis. "Na?" Anggi memanggil karena Kirana seperti orang yang menurut Anggi jelas aneh sikapnya setelah dari rumah sakit. Seandainya Anggi tahu tentang insiden pembullyan yang dialami oleh Kirana tadi, Anggi pasti akan marah besar. Karena itu juga Kirana tidak bercerita apa-apa. Kalau Anggi sampai tahu dan sampai ke telinga kedua orang tuanya, mereka bisa-bisa langsung menyusul mereka ke sini. "Aku telfonkan Ibuk mau? Katanya kan udah beli telfon. Hapal nomernya ndak? Aku telfonkan sekarang juga. Tadi Ibuk masih di rumahku, makanya langsung tersambung tadi." Tanpa pikir panjang, Kirana yang memang sudah menghafalkan nomer ibunya langsung menyebutkannya saat itu juga. Karena ini sudah malam juga, pasti ibunya sedang istirahat di rumah. Karena itu Anggi memiliki ide seperti itu juga. Menggunakan smartphone yang Anggi miliki, dia menelfon Bu Ghina. Semoga saja Bu Ghina mengangkat karena pasti ini panggilan tidak dikenal. Benar saja, setelah satu panggilan tak terjawab, terjawab setelahnya. Handphone yang masih dibawa Anggi itu didekatkan ke daun telinga. "Hallo? Assalamualaikum. Ibuk? Ini Anggi, Buk?" Anggi berbicara begitu ceria saat sambungan telfonnya terhubung. Kemudian dari seberang sana baru ada balasan yang sama senangnya. "Wa'alaikumsalam Nduk, Anggi? Ibuk kira tadi siapa. Tahu nomernya ibuk dari Kirana ya?" "Nggih, Buk. Ini Kirana mau bicara sama Ibuk." "Oh, iya, Nduk." Anggi langsung menyerahkan gawai pintarnya pada Kirana agar sahabatnya ini bisa berbicara dengan ibunya. Anggi paham, Kirana pasti butuh ibunya karena memang ibunya yang selama ini menjadi teman curhat Kirana dalam keadaan senang maupun susah. Namun, Kirana lebih suka bercerita yang bahagia agar ibuknya tenang dan tidak mengkhawatirkan dirinya. Namun, Bu Ghina juga tahu. Tanpa diberi tahu, perempuan paruh baya itu tahu kalau putrinya sedih. "Assalamualaikum, Buk?" Kirana mengucapakan salam pelan sekali. "Wa'alaikumsalam. Nduk? Bagaimana? Kemarin-kemarin katanya mau telfon ibuk. Kok ibuk tunggu-tunggu nggak ada panggilan masuk, to? Kamu baik-baik kan, Nduk? Makan yang teratur to, biar sehat badannya." Kirana tersenyum senang mendengar nasihat ibunya yang tidak pernah berubah. "Maaf, nggih, Buk." "Kok malah minta maaf? Asam lambung kamu sudah enakkan, to? Itu lagi sama Nduk Anggi? Istirahat? Jadi ibuk inget kalau kamu mau di kostnya Anggi dulu yang lebih dekat dari kampus." Di seberang sana, terdengar suara Bu Ghinda yang khawatir sekali. Walaupun ibunya tidak tahu, Kirana tetap menggeleng. "Ndak, Buk. Tadi kebetulan bertemu. Ini aku di kostnya Anggi yang seperti hotel bintang lima." Lantas terdengar tawa renyah di seberang sana yang membuat Kirana juga tertular untuk tertawa. "Ya makhlum, Nduk. Anggi kan anak orang kaya. Nanti kalau kamu kaya, juga bisa punya rumah seperti hotel bintang lima. Yang penting jangan sombong kalau sudah di atas. Lihat ke bawah, kita lebih beruntung dari mereka." "Memangnya Ibuk pernah lihat hotel bintang lima?" Kirana bertanya pelan. "Yoo pernah to, di TV kan ada." Kata Bu Ghina. "Lah ibuk nonton TV lihat rumah bagus-bagus. Nanti kamu punya rumah seperti itu." "Aamiin, Buk. Ibuk lagi ngapain sekarang? Mau tidur?" "Ndak. Orang ibuk masih nonton TV chef master ini, makanannya enak-enak. Seru masaknya." Mereka malah berbincang banyak hal. Anggi yang melihat jadi ikut senang dari tempatnya karena tidak ingin mengganggu. Mungkin, Anggi bisa mendapatkan banyak teman dengan memanfaatkan kekayaannya. Namun, Anggi tidak akan pernah bisa membeli persahabatannya bersama Kirana dengan apapun. Sampai hampir satu jam mereka berbincang. Akhirnya sambungan itu terputus karena Kirana pamit mau mengerjakan tugas dulu. Setelah menyudahi panggilannya, Kirana berjalan ke arah Anggi, mengembalikan handphonenya. "Anggi, suwun. Nanti pulsanya aku ganti, yo." "Alah. Ndak usah." Anggi langsung menggeleng tegas mendengar pernyataan Kirana barusan. "Tadi sebelum telfon, udah aku paketkan lebih dulu, kok. Ndak usah. Pulsanya aman terkendali. Ndak papa." Anggi memang gadis yang dermawan sekali Kirana mengakui itu sejak dulu. Meskipun Anggi anak orang kaya, dia tidak pernah melupakan yang kurang beruntung di sekitarnya. Dia suka menolong dan mambantu orang yang kesusahan. "Makasih banyak yo, Nggi." Satu helaan nafas lega keluar begitu saja sebagai bentuk kelegaan, sesak di d**a Kirana sudah terasa lebih ringan sekarang. "Sama-sama. Ayo nugas lagi." Anggi mengingatkan kalau tugas mereka banyak sekali. Perempuan yang baru saja selesai melakukan sambungan telfon dengan ibunya ini terlihat lebih bersemangat berkali-kali lipat daripada tadi karena sudah mendapatkan suntikan energi terbesarnya. Suaranya ibunya, tawa ibunya, doa ibunya. Dengan itu semua, Kirana sudah merasa damai. Karena itu, Kirana kembali duduk di meja dan mengerjakan tugas untuk besok karena besok ada jamnya Pak Damar. Waktu berlalu, hening tetap menjadi pengiring sampai Anggi mendapat telfon kembali. Kali ini panggilan video dari sang mama yang tahu-tahu sudah berada di rumahnya Kirana. "Mama? Itu di rumahnya Kirana, kan?" Anggi memekik saking terkejutnya. Dalam kepalanya muncul bohlam yang menyala terang. "Iya. Tadi katanya Kirana sama kamu, to? Ini lhoh biar Dek Ghina bisa ketemu sama Kirana." Tidak ibuk, tidak anak, mereka sama-sama baik sekali. Bahkan tanpa diminta, mamanya Anggi yang bernama Bu Laras langsung menyusul Bu Ghina setelah tadi sore sampai datang ke rumahnya hanya demi tahu keadaan Kirana bagaimana karena perasaannya sebagai ibu tidak enak "Kirana! Na sini dulu, Na. Ini Ibuk pengen lihat kamu." Anggi memanggil Kirana begitu antusias. Saking antusiasnya, matanya sampai berkaca-kaca. Ini pertama kali dia melakukan video call dengan Bu Ghina yang sudah seperti ibunya juga karena hubungan mereka yang sudah dekat sekali meskipun tidak ada hubungan kekerabatan sama sekali. Kirana yang tadi sudah bertelfonan dengan ibunya juga agak terkejut, tapi dia mendekat ke arah Anggi dan melihat layar gawai pintarnya itu. Bibirnya langsung tersenyum begitu daja melihat ada mamanya Anggi beserta ibunya dalam satu frame yang sama. "Kirana?!" panggil Bu Ghina begitu antusias melihat putrinya meskipun hanya lewat virtual. "Ibuk bisa lihat kamu." katanya. Ada binar kerinduan yang mendalam meskipun baru pulang belum ada dua minggu. "Aku juga bisa lihat Ibuk, Buk." "Ini tadi mamanya Anggi tiba-tiba datang, terus ibuk cerita tadi kamu telfon ibuk pake hapenya Anggi, eh terus ditelfon lagi. Ibuk senang sekali bisa lihat kalian!" Bu Ghina menceritakan begitu riangnya. Beliau seperti anak kecil yang berhati bersih dan mendapat hadiah yang begitu berharga baginya sekarang. "Ya harus senang to, Buk. Aku kan jarang pulang ke rumah." Anggi menyahut. "Kalau liburan nanti, aku dimasakkan masakan yang enak, nggih?" "Wah yo pasti itu." Bu Ghina lagi-lagi mengangguk antusias. Saking antusiasnya, Bu Laras sampai ingin menangis. Dia ikut terharu sesama ibu melihat putrinya baik-baik saja. "Ibuk masakkan duan singkong kesukaan kamu, ya." Meskipun hanya bisa melihat dengan layar yang ukurannya tidak seberapa itu, tapi mereka sudah merasa bersyukur, bahagia sekali. Tawa-tawanya yang pecah di keheningan terdengar begitu renyah. Kesederhanaan yang terjadi begitu berkekas di hati sanubari. Nikmat mana lagi yang engkau dustakan. "Wah, kostnya Anggi seperti hotel bintang lima seperti yang Kirana bilang tadi yo. Kapan-kapan ibuk mau nginep di sana ya, Nduk." "Monggo, Buk. Nanti ke sini ya kalau wisuda. Nginep di kostku saja. Nanti ibuk aku yang dandanin. Pakai kebaya. Nanti foto bareng-bareng. Abang aku juga ikut, biar kayak lagi lamaran Kirana ya, Buk?" Semua orang tertawa karena Anggi mengatai Kirana lagi perihal kakaknya yang selalu Kirana tolak dengan alasan ingin fokus kuliah dulu. Coba kalau lulus nanti, Kirana pasti ganti beralasan mau fokus kerja, bahagiakan ibuk dulu. Namun, Anggi tidak masalah dengan itu semua. Dia memang suka menggoda Kirana.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD