Kirana tersadar saat hari mulai gelap. Dia tidak ingat apa-apa ketika membuka matanya untuk yang pertama kali. Tapi begitu tiga detik setelahnya, Kirana mengingat sesuatu yang mengerikan dalam kepalanya sehingga langsung duduk ingin berlari. "Tolong!" Katanya setengah berteriak yang membuat orang di sekelilingnya jadi ikut terkejut.
Dokter Anya yang kebetulan masih menunggui, juga Pak Damar yang masih di sana, membantu untuk menenangkan Kirana. Sebenarnya hanya Dokter Anya yang membantu Kirana tenang sementara Pak Damar menjaga jarak aman. Meskipun niatnya baik menolong, Pak Damar tetap tahu batasan yang ada di antara keduanya. Mereka jelas orang lain yang mau diapakan pun, tetap salah jika sampai bersentuhan.
"Mbak? Mbak? Mbak tenang dulu. Mbak sudah tidak dikunci dalam kamar mandi lagi. Mbak sudah aman." Kata Dokter Anya menenangkan—yang Kirana saja tidak tahu nama doker yang tengah menanganinya ini siapa. Namun, karena melihat sekitar memang terasa lebih melegakan, Kirana bisa menarik nafas sedalam-dalamnya dan mengembuskannya perlahan, berupaya mengisi rongga dadanya dengan pasokan oksigen sebanyak yang dia bisa.
"Do you feel better, now?" Dokter Anna itu pun kembali bertanya saat didapati Kirana yang lebih tenang dari sebelumnya. Namun belum sempat kembali menggali informasi, Anggi—sahabatnya sedari kecil datang langsung menghampiri Kirana, mempertanyakan apa yang terjadi dengan sahabatnya ini.
"Na?! Eh, kamu kenapa?!" Anggi memekik karena sedari tadi dia bingung mencari Kirana harus kemana lagi. Ibunya yang di desa menelfon. Katanya, perasaannya tidak enak, betul saja Anggi cari dari siang baru ketemu sore ini. Di rumah sakit pula. Siapa yang tidak khawatir coba? Anggi yang di sini saja takut kalau ada sesuatu yang buruk terjadi pada Kirana. Khawatir kalau Kirana sampai sakit.
"Sakit?" Anggi mendekat, menyentuh kening Anggi pelan. "Mata kamu kenapa sembab semua? Kenapa?" tanya Anggi makin tidak tenang. Pasalnya, mereka hanya sendirian di sini, hanya bersam teman-teman saja. Kalau terjadi sesuatu, orang tua jauh di rumah, pasti bingung juga.
Kirana tidak menyahut apa-apa, sampai akhirnya Anggi mengatakan kalau dicari ibunya gara-gara tidak bisa dihubungi sedari siang. Padahal, ibunya tidak pernah menghubungi waktu siang hari, selalu saja waktu petang karena sudah sama-sama waktu istirahatnya. Mungkin, di sana, Bu Ghina bisa merasakan ada kejadian yang buruk terjadi pada putri semata wayangnya.
"Aku ndak bawa hape, Nggi. Boleh pinjam hape kamu?" tanya Kirana lesu. Tatapan matanya masih redup. Hatinya jelas saja dirundung kesedihan. Dia sudah berupaya untuk baik dengan semua orang, tapi tetap saja ada yang tidak suka kepadanya karena dia anak orang tidak punya. Kalau Bu Ghina tahu, pasti beliau sedih sekali. Kirana jadi ingin pulang dan memeluk ibunya sampai kesedihannya menghilang.
Anggi langsung mengeluarkan smartphone keluaran terbarunya, memberikannya pada Kirana. Kirana yang sudah paham luar dalam cara menaplikasikan gawai pintar itu dan sudah hafal di luar kepala juga nomor ibunya, langsung menghubungi ibunya. Dan beruntungnya langsung diangkat oleh Bu Ghina. "Anu, gimana Nduk? Kirana sudah bisa dihubungi? Ibuk telfon hapenya kok masih ndak nyaut-nyaut."
"Ibuk?" panggil Kirana pelan. "Ini aku, Buk."
"Lhoh, kamu dari mana saja to, Nduk? Ibuk telfon dari tadi. Malah Nisa yang angkat, katanya kamu belum pulang dari kampus, padahal sudah Nisa susul ke fakultas kamu, tapi tidak ketemu-ketemu. Kamu ndak papa, to? Suaranya kok lemes gitu?"
Kirana menggigit bibir bawahnya sampai ingin berdarah kalau tidak disadarkan oleh Bu Ghina yang merawatnya ini. Anggi yang baru paham langsung ganti meminta handphonenya dari Kirana, biar dia saja yang menyangkat. Kirana pasrah saja, dia berikan handphonenya lagi kepada yang punya.
Begitu Anggi sudah mendapatkannya handphonenya, dia berbicara pada Bu Ghina. "Buk, tadi Kirana sesak nafas, asam lambungnya kambuh. Sekarang sudah tidak apa-apa. Ternyata dari tadi istirahat di rumah sakit universitas."
"Lhoh, kambuh to? Suruh makan ya, suruh minum obat, Nduk." Terdengar nada yang begitu khawatir sekali.
Sementara Anggi juga hanya bisa meringis karena sudah berbohong. Masalahnya juga dia tidak tahu Kirana kenapa. "Nggih, Buk."
"Ya wes makasih banyak ya Nduk, Anggi. Minta Kirana istirahat yo, besok kalau sudah mendingan, tolong ibuk dikabari lagi."
"Nggih, siap, Buk. Nanti Kirana tak bawa ke kostku yang lebih dekat sama kampus, ya? Biar bisa langsung istirahat?"
"Iya, Nduk. Iya. Makasih banyak yo."
Sambungan telefon itu langsung terputus. Anggi yang sadar kalau ada yang salah dengan Kirana langsung memeluknya begitu saja. "Nggak papa." Katanya menenangkan.
"Makasih ya, Nggi."
"Aku yang minta maaf karena bohongin Ibuk kamu." Anggi mengusap punggung Kirana perlahan.
"Ndak papa." Kata Kirana balik menenangkan.
"Ya udah yuk, ke kostku dulu. Besok kalau badannya masih tidak enak, aku uruskan surat izinnya." Anggi lantas melepas pelukannya, ingin membantu Kirana turun dari ranjang. Namun sayangnya, tubuh Kirana masih lemas. Kakinya juga agak gemetaran yang membuat Kirana tidak bisa berdiri tegak.
Pak Damar yang sedari tadi duduk diam langsung mengambilkan kursi roda agar digunakan oleh Kirana. Gadis itu bisa pingsan lagi kalau jalan kaki. Kirana yang menoleh baru sadar kalau ada Pak Damar yang tak lain adalah dosen walinya. Kirana sedikit menundukkan kepalanya. "Terima kasih, Pak."
Sementara fokus Anggi sudah teralih pada Dokter Anya tadi yang ternyata Anggi mengenalnya. "Bu, makasih banyak ya susah membantu Kirana." Anggi memeluknya perlahan, kemudian melepaskannya.
"Sama-sama. Tolong diminta istirahat yang cukup ya temannya. Jangan berpikiran yang berat-berat."
Anggi lantas memberi kode dengan menunjuk punggung Kirana, kemudian Dokter Anya baru membisikkan sesuatu ke telinga Anggi yang membuat wajahnya memerah. Namun belum sempat marah, Dokter Anya mengingatkan Anggi untuk tidak bertanya lebih dulu, dia diminta agar Kirana merasa lebih tenang dulu baru boleh ditanyai. Juga diminta untuk makan setelah ini. Anggi yang paham mengiyakan saja. Dia lantas mendorong kursi roda Kirana untuk menuju pintu keluar setelah mereka sama-sama berterima kasih.
Kirana diam saja saat didorong, sementara Anggi mengajaknya berbicara agar tidak sepi sekali. Namun begitu sampai di beranda depan, mereka langsung disambut mobil. Jangankan Kirana, Anggi saja terkejut.
"Saya antar." Kata Pak Damar yang entah datang dari mana bisa begitu cepat sekali menyusul mereka. Padahal tadi sepertinya masih di dalam ruangan bersama Dokter Anya saja.
"Tidak perlu, Pak. Tadi saya sudah menghubungi supir saya." Kata Anggi menolak secara halus. Namun sayangnya, Pak Damar ini bersikeras.
"Saya antar."
Anggi yang tidak mau mendebat jadinya pasrah saja, kembali menghubungi bapak yang biasanya memang suka mengantar jemputnya kalau bepergian, bahwa tidak jadi minta dijemput karena sudah ada tumpangan. Kemudian dia membantu Kirana berdiri kemudian memapahnya menuju bagian penumpang. Pak Damar yang di depan persis sekali seperti supir.
"Alamatnya dimana?" Beliau bertanya saat sudah menyetir. Jadi fokus Pak Damar ke depan, ke jalan, tidak ke belakang ke mereka lagi.
"Bharatayudha, Pak."
Pak Damar tidak menyahut tapi hanya mengangguk. Beliau tidak terkejut lagi waktu Anggi mengatakan kalau akan menelfon supirnya. Orang yang tinggal di Bharatayudha anak orang menengah atas semua. Tapi Beliau salute melihat pertemanan mereka yang tidak memandang status. Bahkan bisa saling menghubungi ibunya berarti sudah dekat sekal.
"Anggi, tas aku mana, ya? Besok ada tugas jam pertama."
"Itu lhoh, Na? Di samping kamu." Anggi menunjukkan tas punggung Kirana.
"Oh iya, suwun yo." Kata Kirana tersenyum lega.
"Udah wes, istirahat dulu. Besok aku izinkan kalau masih ndak sehat tubuhnya."
Kirana menggeleng. "Besok ada quiz, Nggi. Jam pertama. Sayang kalau ndak ikut."
Anggi yang mendengar hanya geleng-geleng. "Badan lagi sakit tapi pikiran kamu malah quiz. Na... Na... Pantes lhoh kalo Ibuk suka telfon tanyanya, Kirana sudah makan apa belum, Nduk? Gitu terus sampai aku hafal."
Pak Damar yang di depan juga terlihat masa bodoh. Mungkin dua orang itu berpikir kalau yang mengendarai mobil yang mereka tumpangi memang supir betulan.
"Nanti tolong kabarin Nisa sama Simi, ya, Nggi? Pasti dicariin."
"Iyaa, udah kamu tenang aja. Mereka tadi yang heboh tanya aku kamu dimana gara-gara hapenya kamu ketinggalan. Makanya sih, jangan pelupa jadi orang."
"Iya." Kirana menyahut.
"Oh iya, Na? Kemarin habis dari rumah, ya? Kenapa ndak bilang coba? Aku juga dari rumah tau. Harusnya kita pulang perginya barengan. Ah kamu nggak bilang-bilang!"
Kirana meringis melihat Anggi yang mengerucutkan bibirnya. "Tak kira kamu masih di sini. Makanya to, ndak tak kasih tau. Nanti kamu heboh."
Anggi tertawa dibilang seperti itu. Kemudian menepuk-nepuk tangan Kirana. "Makanya sih, Na. Cinta kakakku diterima biar kita bisa bareng-bareng terus. Kasian lhoh Bang Andi, ngejomlo terus gara-gara kamu tolak dari dulu."
"Aku masih sekolah, Nggi." Kirana menyahut pelan, agak tidak enak mengatakannya.
"Emang kalau lulus, kamu mau sama Bang Andi?"
Kirana kembali meringis. "Aku belum ada pikiran ke sana. Pengen sama Ibuk. Pengen bahagiain Ibuk."
"Ya udah deh, padahal aku ngarep banget kamu terima Abang aku. Biar kita bisa sama-sama terus. Nanti ibuk kamu juga tinggal sama kita."
Sayangnya, Kirana tidak tahu harus menjawab kekecewaan di wajah Anggi bagaimana karena dia sendiri memang belum ada pikiran jauh ke sana. Yang ada dalam pikirannya sekarang hanyalah ibunya, tidak ada yang lain.
"Ndak perlu minta maaf." Anggi langsung tertawa melihat Kirana yang hanya membuka mulut, tidak jadi meminta maaf karena lebih dulu dilarang oleh Anggi. Karena perempuan ini tahu kalau Kirana ini tipe orang yang suka tidak enakan sekali. Bahkan pada Anggi yang sudah menjadi sahabatnya sedari kecil.
"Ya udah to, Na. Ndak usah dipikir, wajahmu kayak orang punya beban sebesar gunung."
Sebenarnya Anggi hanya berniat bercanda, tapi dia tahu kalau Kirana memang menanggung beban berat sedari kecil, tapi dia selalu semangat. Bahkan kalau ada yang betanya pada Anggi siapa idolanya, maka dia mengidolakan ibunya Kirana dan Kiran sendiri yang oranganya pekerja keras sekali. Mereka sudah seperti keluarga satu sama lain. Seperti bahasa milenialnya, keluarga tanpa KK (Kartu Keluarga). Walaupun kenyataannya darah lebih kental daripada air.