Bianca melempar ponselnya ke atas kasur, setelah selesai membaca rentetan banyaknya pesan dari Daviendra. Bianca tidak menyangka jika pikiran Davi bisa sedangkal itu. Bisa-bisanya, Davi menuduhnya berselingkuh.
Bianca pikir, pagi ini dia bisa menenangkan hati dan pikirannya. Tapi ternyata tidak sama sekali. Daviendra justru menambah beban pikirannya, dengan menuduhnya berselingkuh hanya gara-gara semalam dia dijemput oleh seorang pria.
Sumpah demi Tuhan, kepala Bianca terasa begitu berisik. Berat sekali rasanya, sampai-sampai ingin meledak.
“Bi? Boleh kakak masuk?”
Bianca segera menoleh ke arah pintu kamarnya yang diketuk oleh sang kakak. Dia lantas segera menyahuti, “masuk aja Kak! Pintunya nggak dikunci.”
Wanita itu menghela nafas panjang, lalu mencebik, begitu melihat sang kakak membawa nampan yang berisi sarapan pagi untuknya.
“Aku udah bilang tadi kalau lagi nggak laper, Kak. Kenapa malah dibawain ke kamar sih sarapannya?”
“Harus makan Bi. Walaupun lagi sakit hati, galau mikirin suami, kamu butuh asupan biar nggak tumbang.”
Pria itu—Kevin, kakak angkat Bianca yang sangat baik dan pengertian. Jujur saja, Bianca sangat bahagia mempunyai kakak seperti Kevin. Meskipun tidak sedarah, tapi Kevin setulus itu menyayanginya.
Semalam, Bianca sudah menjelaskan semuanya pada Kevin. Alasan mengapa dia meminta agar Kevin datang menjemput dan membawanya pulang kembali ke rumah.
Hanya Kevin yang Bianca punya saat ini. Di saat suami yang seharusnya bisa menjadi tempat sandaran ketika dia bersedih, justru menjadi penyebab kesedihan itu hadir. Dan Kevin, kakak angkatnya itu yang menjadi sandarannya. Tempatnya pulang dan mengeluh.
“Aku sudah memutuskan Kak,”
“Sebentar,” sahut Kevin. Pria itu meletakkan nampan berisi makanan yang dia bawa itu ke atas meja nakas. Lalu dia beralih mendudukkan diri di samping Bianca. “Memutuskan apa?”
“Semalam, Kak Kevin tanya kan, apa keputusanku setelah tau Davi berkhianat dan berselingkuh di belakang ku? Sekarang, aku sudah tau, keputusan apa yang harus aku ambil.”
“Kamu sudah pikirkan itu matang-matang Bi? Kakak hanya tidak ingin kamu salah ambil keputusan.”
Bianca mengangguk dengan mantap. Keputusan yang dia ambil kali ini benar-benar sudah dia pikirkan matang-matang. Baginya, tidak ada toleransi untuk perselingkuhan.
“Cerai, Kak. Aku akan menggugatnya. Tolong hubungi pengacara terbaik di kota ini. Aku ingin semuanya berjalan dengan cepat.”
“Bagus! Ini adalah keputusan yang kakak harapkan. Jangan karena cinta, kau menjadi bodoh. Laki-laki seperti dia tidak pantas memilikimu. Orang itu tidak tau saja siapa yang bisa membuatnya sampai sesukses sekarang.”
“Aku tidak mungkin selemah itu, Kak. Tenang saja, semua yang dia dapatkan, akan aku ambil satu persatu. Lihat saja nanti...”
Tatapan Bianca tersirat dalam penuh dendam. Sakit hatinya sudah tak dapat dijelaskan dengan kata-kata. Hanya kebencian yang saat ini menyelimuti hatinya.
+++
Setelah berhasil mengajukan gugatan cerai di pengadilan, akhirnya surat pemanggilan ke persidangan keluar juga.
Bianca beserta kuasa hukumnya—Adi Wijaya, mendatangi kediaman Daviendra untuk memberikan surat pemanggilan persidangan pertama tersebut. Ini benar-benar murni keinginan Bianca untuk menyerahkan surat tersebut secara langsung pada Daviendra.
Sudah bisa ditebak, jika kedatangan Bianca benar-benar tidak disambut dengan baik oleh Wulan yang masih berstatus sebagai ibu mertuanya saat ini. Tapi Bianca acuh, sebab urusannya datang ke sana hanya untuk menemui Daviendra.
“Masih punya muka kamu Bianca datang ke rumah ini?” seru Wulan dengan gaya angkuhnya. Wanita setengah baya itu lalu melirik ke arah pria yang berdiri di belakang Bianca dengan tatapan tak suka. “Bawa laki-laki lain pula kemari. Siapa dia? g***n kamu?”
“Mohon maaf, Bu. Sepertinya Anda salah paham. Saya Adi Wijaya, kuasa hukum Mbak Bianca.”
“Kuasa hukum?”
Suara seseorang yang tak lain adalah Daviendra yang baru saja muncul itu langsung menarik perhatian semua orang, termasuk Bianca.
“Untuk apa kamu pulang bawa-bawa kuasa hukum?” tanyanya langsung tepat di depan Bianca. “Lalu di mana laki-laki yang semalam?”
Bianca menyerahkan surat yang dia bawa pada Daviendra. Membuat pria itu terlihat kebingungan.
“Apa ini?”
“Surat pemanggilan persidangan pertama.” jawab Bianca dengan enteng. “Tolong kerjasamanya agar perceraian ini berjalan cepat.”
“Kamu gugat aku Bi?!”
“Kurang jelas? Bisa baca kan? Aku bahkan datang dengan kuasa hukumku.” sahut Bianca terlampau santai.
“Berani juga kau menggugat cerai anakku? Dapat uang dari mana kau, sampai bisa mengajukan gugatan cerai untuk anakku? Jual diri?”
Tangan Bianca mengepal begitu mendengarnya. Hampir saja dia ingin melayangkan tamparan pada wanita setengah baya itu, jika saja Davi tidak menegur ibunya.
“Bu!” seru Davi membentak. “Jangan asal bicara begitu padanya.”
“Kenapa masih saja membelanya?!” bentak balik Wulan tidak terima. Lalu dia mulai menunjuk-nunjuk wajah Bianca, “wanita ini, tidak pantas untuk dibela! Wanita ini memang wanita tidak benar Dav! Dia pasti jual diri agar bisa mendapatkan uang untuk mengajukan gugatan cerai. Kau tidak ingat di malam kalian bertengkar, dia pergi dengan siapa? dengan pria lain! Pria itu pasti gadunn nya!”
Daviendra diam, benar-benar diam begitu di ingatkan kembali di malam pertengkarannya dengan Bianca. Pikirannya jadi kemana-mana dan mulai berpikir jika mungkin memang benar, Bianca memiliki pria lain di belakangnya.
“Wanita ini pasti memanfaatkan momen saat mengetahui kau menghamili Renata. Dia jadikan alasan agar bisa berpisah denganmu dan pergi bersama pria lain. Sudahlah Dav, wanita ini memang tidak pantas menjadi istrimu. Sudah tidak bisa memberikan anak, banyak tingkah. Bagus jika dia mengajukan gugatan lebih dulu. Kau tidak perlu memberikannya harta gono-gini. Biarkan dia hidup sengsara. Ibu yakin, setelah ini juga dia akan di depak oleh gadunn nya.”
Adi Wijaya yang mendengar kliennya diserang begitu ikutan geram. Ingin menyahuti dan mengancamnya, tapi tangan Bianca memberikan kode padanya untuk tetap diam.
“Aku juga tidak membutuhkan harta dari anakmu, Nyonya Wulan. Aku bahkan keluar dari rumah ini tanpa membawa apa-apa. Aku tidak butuh.”
“Cih! Sekarang kau bisa bilang tidak butuh. Tapi kedepannya aku yakin kau pasti akan mencari perkara lagi untuk mendapatkan harta anakku. Atau mungkin setelah kau dibuang oleh gadunn mu itu, kau datang dan merayu anakku lagi. Wanita sepertimu sudah bisa ditebak, Bianca!”
Bianca tersenyum kecut, dan itu membuat Wulan yang melihatnya meradang. Karena Wulan menganggapnya itu tidak sopan.
“Maaf, tapi aku sama sekali tidak memiliki minat lagi dengan pria tukang selingkuh!” ujarnya seraya melirik Daviendra. Bianca benci sekali pada pria itu. Benci dengan keterdiamannya, saat Wulan menuduhnya sebagai wanita tidak benar.
“Dan satu lagi, sepertinya Nyonya Wulan sudah salah menuduh. Bukan aku yang memiliki gadunn, tapi anakmu.”
Kedua mata Wulan membulat, semakin marah saat mendengar Bianca menuduh anaknya.
“Jangan asal bicara kau ya!”
“Aku tidak asal bicara. Coba saja tanya pada anak perempuan kesayanganmu itu. Tanya saja, siapa itu Pak Hermansyah.” ujar Bianca setengah berbisik di akhir. Tidak lupa dia berikan senyuman yang di mata Wulan adalah senyum penuh dengan ledekan.
Ingin sekali membalas ucapan Bianca, tapi Wulan memilih diam tak berkutik, begitu mendengar nama seseorang disebut.
Tatapan Bianca kini beralih pada Daviendra yang juga menatapnya. Tatapan mata Daviendra penuh dengan permohonan, Namun mulutnya diam terkunci.
“Sampai bertemu di persidangan.”
“Bi—”
Bianca acuh, memilih mengabaikan dan mengajak kuasa hukumnya untuk meninggalkan kediaman Daviendra.