Bianca semakin mempercepat langkahnya. Namun, dia kalah telak, sebab Daviendra dengan cekatan meraih lengannya. Menahannya sampai berhenti di tempat.
“Lepas Mas!”
“Kita belum selesai bicara ya Bi! Aku juga ingin tau maksud omongan kamu yang terakhir tadi apa?”
“Udah nggak ada yang perlu dibicarakan lagi Mas! Udah selesai dan semuanya udah jelas kalau kamu emang selingkuh di belakang aku!”
“Aku udah bilang sama kamu, kalau aku nggak selingkuh, Bianca!”
“Tapi kamu sampai menghamili perempuan lain Mas! Sakit hati aku! Kamu—”
“Ada apa sih ini malam-malam ribut?! Ibu lagi teleponan sampai terganggu gara-gara kalian berdua!” itu—Wulan, ibu Daviendra.
“Nggak ada apa-apa Bu, ini Davi lagi debat kecil—”
“Kecil kamu bilang Mas?!” potong Bianca dengan berani.
“Duh, Bianca! Kamu nggak punya sopan santun apa gimana sih di depan suami kamu? Suami lagi ngomong kok main di potong-potong aja!”
“Ngapain Bianca harus bersikap sopan sama suami yang tukang selingkuh, Bu? Mas Davi selingkuh! Anak ibu ada main sama perempuan lain di belakang aku. Perempuan itu bahkan sampai hamil Bu!”
Baru saja Daviendra hendak membela diri, Wulan sudah lebih dulu menyahuti ucapan Bianca. Balasannya, benar-benar di luar dugaan Davi.
“Oh, jadi kamu sudah tau soal perempuan yang sedang hamil anak Davi?”
Mulut Bianca sedikit ternganga dengan reaksi yang baru saja ibu mertuanya tunjukkan. Apalagi balasannya yang benar-benar tidak ingin Bianca dengar.
“Bu—”
“Kamu kenapa nggak ngomong ke ibu duluan sih Dav kalau Renata hamil anak kamu? Dia sampai telepon ibu sambil nangis-nangis karena takut orang tuanya marah.”
Sumpah demi apa pun, Bianca ingin mengumpat sekarang juga. Dia menoleh ke arah Daviendra yang diam tak berkutik. Melihatnya begitu, Bianca jadi semakin kesal.
“Oh, jadi perempuan itu Renata Mas? Renata mantan kekasihmu kamu dulu?”
“Betul!” seru Wulan menjawab pertanyaan Bianca yang sebenarnya ditujukan pada Daviendra.
Inilah salah satu hal yang paling Bianca benci dari Daviendra. Pria itu selalu saja diam setiap kali ibunya ikut campur.
“Renata itu mantan Davi. Udah cantik, baik, asal-usulnya jelas, pinter, mana punya usaha klinik kecantikan sendiri lagi. Aku sampai heran, kok bisa-bisanya pilihan Davi jadi down grade begini. Ya kamu ini Bi, perbedaannya sangat jauh jika dibandingkan dengan Renata.”
Sungguh, Bianca menyesal. Harusnya memang dari awal dia tidak perlu mengadu pada ibu mertuanya. Karena dari awal ibu Daviendra memang tidak pernah menyukainya. Ini gila. Dia di sini adalah korban, tapi ibu Davi justru membela perempuan itu. Bahkan tidak marah sama sekali saat tau anaknya menghamili perempuan lain.
“Bu! Jangan ngomong begitu. Jangan banding-bandingin istriku dengan perempuan lain. Dia—”
“Aku nggak butuh kamu bela Mas! Kamu urus saja mantan kekasih kamu itu!”
Bianca berbalik dan kembali melangkah menjauh. Dia mendengar perdebatan antara Daviendra dengan ibunya yang begitu berisik di belakang. Hingga saat Bianca berhasil meraih knop pintu, ucapan ibu Daviendra membuat hati Bianca remuk redam.
“Kamu harus tanggungjawab Davi. Nikahin Renata!”
“Bu, tidak bisa! Aku tidak bisa menikahi Renata. Aku sudah punya istri!”
“Ceraikan saja istri kamu itu. Lagi pula sampai sekarang pun dia tidak bisa memberikan kamu anak. Ibu tidak mau tau, kamu harus tanggungjawab dan nikahin Renata!”
“Bu—” ucapan Davi terhenti, begitu mendengar suara pintu yang terbuka. Dia menoleh dan mendapati Bianca sudah berhasil berlari keluar rumah.
Davi tentu saja bergegas mengejar Bianca, tanpa mempedulikan ibunya yang berteriak memanggil. Karena tidak mau sampai kehilangan jejak sang istri, Davi berlari kencang.
“BIANCA!” teriaknya, saat melihat Bianca kesulitan membuka gerbang rumah.
Sementara itu, Bianca terus berusaha membuka gerbang rumah yang terkunci. Dia juga tidak kepikiran untuk membawa kunci gerbang sebelumnya. Maklum saja, orang sedang bertengkar begini pasti tidak kepikiran apapun.
Bianca terus memukul keras gembok gerbang rumah tersebut menggunakan batu. Terburu-buru, sebab Daviendra sudah berlari mendekat.
“Oh God!” seru Bianca lega begitu berhasil membuat gembok tersebut terbuka.
Buru-buru Bianca keluar, namun lengannya sudah lebih dulu di tarik oleh Daviendra.
“Mau kemana kamu? Mau kabur kemana kamu Bi?!”
“Lepasin! Aku bilang lepas!”
“Ayo masuk, aku nggak bakalan biarin kamu pergi. Masuk!” seru Davi, seraya menyeret tangan Bianca.
Namun, wanita itu cukup pintar, sebab tangannya yang lain langsung berpegangan pada pagar, agar mempersulit Davi menyeretnya.
“Aku nggak mau! Lebih baik aku pergi dari rumah ini! Semua orang yang ada di sini beneran jahat termasuk kamu!”
“Aku bilang masuk!”
Di kala percekcokan tersebut, Wulan serta adik Davi—Kamala, menyaksikan itu semua. Bahkan tidak berniat untuk membantu Daviendra sama sekali.
“Ngapain sih dipaksa buat masuk? Udah bagus itu perempuan pergi dari rumah ini.” gerutu Kamala sembari melipat kedua tangannya di depan.
“Ck! Ibu yakin sekali, si Bianca cuma lagi akting saja sekarang. Berlagak mau ninggalin rumah, sok paling tersakiti, nanti juga ujung-ujungnya balik lagi. Mana mungkin dia beneran mau ninggalin Davi?”
“Iya juga ya Bu.” balas Kamala berpikiran yang sama dengan Wulan. “Perempuan nggak jelas asal-usulnya itu pasti nggak mungkin mau ninggalin Kak Davi yang punya banyak uang.”
Fokus Wulan dan Kamala kini teralihkan pada tiga mobil mewah yang mendadak berhenti di depan rumah mereka. Terlihat pula jika Daviendra dan Bianca berhenti beradu mulut saat tiga mobil mewah itu berhenti di depan sana.
Sekitar enam orang pria berpakaian rapi, serba hitam keluar dari mobil depan dan belakang. Perawakannya juga tinggi dan berbadan besar. Jika dilihat-lihat, macam pengawal para orang penting.
Jika Wulan dan Kamala terlihat terkejut serta penasaran, beda halnya dengan Bianca yang merasa lega jika orang-orang tersebut sudah datang. Terutama seseorang yang sudah menunggunya di dalam mobil yang berada di tengah. Mobil mewah merk Aston Martin yang sangat mahal, bernilai milyaran rupiah.
Bianca menepis tangan Davi ketika pria itu lengah, dan berlari ke arah enam orang berpakaian rapi tersebut.
“Bi—jangan halangi saya! Anda siapa hah?! Dia istri saya!” seru Davi, saat pergerakannya dihalangi.
Davi menoleh lagi ke arah Bianca yang mulai berjalan menuju mobil yang ada di tengah. Dia lantas berteriak, “Bianca! Jelasin ke aku, mereka siapa? Mau kemana juga kamu?!”
Bianca tak menggubris, lalu cepat-cepat masuk ketika Daviendra sudah mulai memberontak.
Davi dengan mata kepalanya sendiri melihat jika ada orang lain di dalam mobil yang baru saja Bianca masuki. Pikirannya tentu saja kemana-mana.
“Lepas sialan!” amuk Davi pada para pengawal tersebut. Begitu dibiarkan, Davi lekas berlari ke arah mobil yang Bianca masuki tadi. Mengetuk-ngetuk kaca mobil.
Aksinya itu tentu saja membuat orang-orang berpakaian serba hitam yang tadinya melepaskannya, jadi kembali menariknya menjauh.
“Siapa pria itu Bi?! Aku tau di dalem ada pria lain! Aku nggak salah lihat Bi! Bi keluar!”
Bianca yang ada di dalam mobil itu sampai menutup kedua matanya, dan meminta seseorang yang berada di sampingnya untuk memerintahkan sang supir agar segera pergi dari tempat itu.
Kepala Daviendra menggeleng, begitu mobil tersebut mulai melaju, “B—Bi, nggak—Bianca!”