12. Luna - 2

1129 Words
Tak mau berurusan lagi dengan Fandy, Windy berjalan menuju kelas. Tak sengaja di lorong Sains, dia berpapasan dengan Ares yang membawa selebaran di tangannya. "Win, bisa bantuin gue?" tanya Ares, si imut yang mempunyai tatapan teduh di kelas Sains XII-1 itu. "Kamu masih aktif di OSIS? Kapan pensiunnya, sih? Kita ini udah kelas XII." "Iya, ngerti. Bantu gue nempelin ini di MaDing, ya. Gue ada urusan dikit. Bisa, nggak?" "Oke!" Windy menerima tumpukan selebaran itu. Langkahnya pasti mendekati mading yang tak jauh dari kelas XII-1. Dengan penuh senyuman, dia menempelkan beberapa lembar selebaran di papan, lalu menggeser kaca agar tertutup rapi. Saat Windy menoleh, dia terkejut melihat Reyhan di sisinya. Tatapannya lurus menuju MaDing dan membuka kaca itu, melepaskan salah satu selebarannya. "Ini dari OSIS?" tanya Reyhan tanpa sedikit pun menoleh pada Windy. "I-iya." Windy mengangguk, gugup. Reyhan terdiam, masih membaca tiap deret tulisan di selebaran itu. Hal aneh yang membuat Windy sedikit takut. Jelas tertera di selebaran itu, beasiswa S-1 di Inggris. Windy bingung kenapa raut Reyhan begitu serius menanggapi selebaran itu. 'Apa dia berniat ngambil beasiswa itu?' batin Windy. "Dia ada di rumah." "Siapa?" tanya Windy. "Mereka udah sampai di rumahku. Kenapa hp kamu nggak aktif?" Windy terkejut. Rasa senang dan sakit menyatu seketika. Dia sangat merindukan adiknya itu. Namun jika diingat lagi, itu artinya hubungannya dengan Reyhan akan selesai. Keluarganya mungkin akan berkonsentrasi untuk perjodohan Reyhan dan adiknya itu selanjutnya. "Kenapa mendadak? Bukannya seminggu lagi? Harusnya seminggu lagi, 'kan? Kenapa? Apa mereka berencana mempercepat pertunangan?" Windy bertanya beriring kekacauan hatinya. Reyhan menatap dengan raut selidik. Justru Reyhan yang kali ini tak sensitive. Pemuda itu tak mengerti bahwa hati Windy sudah bisa dia kendalikan hanya dengan satu tatapannya. Bayang wajah dan senyuman Reyhan kini sudah menari-nari di lingkaran hati Windy, tetapi Reyhan sendiri tak menyadarinya. "Mungkin ini udah takdirku. Kamu jangan merasa bersalah lagi setelah ini. Aku janji akan belajar mencintai adik kamu sepenuh hati," tegas Reyhan. Mencintai? Sakit rasanya mendengar pernyataan pemuda itu. Windy sangat kesal ketika Reyhan tampak tak acuh dan berjalan meninggalkannya. Dia meremuk sisa selebaran itu hingga membentuk bola dan melemparkannya tepat ke kepala Reyhan. Pemuda jangkung itu segera berbalik dan mengusap bagian belakang kepalanya. "Aih, apaan, sih?!" kesal Reyhan. Awalnya Windy ingin mendekat, tetapi Chandra sudah datang dan merangkul bahu Windy. "Kamu kenapa, Sayang? Ayo, masuk kelas!" ajak Chandra. "Ya." "Oh iya. Pulang sekolah nanti kita jalan, ya!" "Maaf, Chan. Orangtuaku udah balik. Besok aja, ya!" "Oh, oke." Reyhan membiarkan Windy dibawa pergi oleh kekasihnya. Dia hanya puas menatap lirih dengan sisa kecemburuan di dadanya. "Di sini sakit banget rasanya," seru Reyhan sambil mengeratkan jemarinya di d**a kirinya. "Hei! Lo apa-apaan, Rey?" Reyhan terkejut. Ares jongkok dan mengambil selebaran yang remuk itu. Dia segera mendekati Reyhan. "Semalaman gue bikin ini, kenapa lo ngerusaknya?" rengek Ares. Reyhan terlihat keki. "Ah, itu ...." Ares menarik telinga Reyhan untuk meluapkan kekesalannya. "Aagh, sakit. Bukan gue yang ngelakuin ini. Suer!" keluh Reyhan. "Lo ini, selalu aja bikin gue kesal. Lo ini sobat gue, bukan?" Ares terpaksa melepaskan Reyhan ketika Fandy datang dan merangkul bahunya. Reyhan merasa lega sambil mengusap-usap telinganya. "Hei, lo lagi marah, Ares? Aih, imutnya. Gue jadi terpesona," seru Fandy. Reyhan tertawa kecil. Fandy ini memang sangat suka mengusili Ares. Dia tetap merangkul bahu Ares yang lebih kecil darinya. "Gue memang imut dan manis. Lo baru tau?" sambut Ares. "Ck, benar juga. Jangan terus berekspresi begitu. Bisa-bisa, gue nanti jatuh cinta sama lo. Haha!" canda Fandy. Reyhan terlihat keki dengan candaan mereka. Dia senyum-senyum sendiri mendengar lelucon keduanya. Namun, matanya masih mengamati selebaran. "Lo gila? Apa cewek di sekolah ini udah abis sampai-sampai lo berniat ngejar gue juga? Gue tau gue ini imut dan manis, tapi ... lo bukan tipe gue. Haha," tandas Ares. "Hh, trus gimana tipe lo? Kasihan juga ngeliat lo jomblo terus. Apa lo nggak suka cewek?" Ares semakin kesal. Namun, untuk melepaskan diri dari genggaman Fandy pun terasa sangat sulit. "Windy ngelarang gue pacaran sama cewek-cewek itu, apa gue harus pacaran sama lo aja, ya?" guyon Fandy lagi. Reyhan semakin keki mendengar candaan mereka. Ketika hendak beranjak, dia justru jadi sasaran Fandy. Lengan itu merangkul bahunya. "Hei, di antara gue sama Rey, lebih cakep siapa?" seru Fandy. "Apa yang lo lakuin, hah? Lepasin, woi!" seru Reyhan. Ares tertawa. Kedua sahabatnya itu sangat konyol. "Kalian ganteng, keren, tapi kalian bukan tipe gue," seru Ares. Reyhan melepaskan lengan Fandy. Si playboy itu kini beralih sasaran pada Ares. "Trus, tipe lo yang gimana?" tanya Fandy. Ares sedikit tersenyum, menggaruk sisi dagunya sambil berpikir. "Yang tinggi, punya bidang bahu yang lebar, atletis, bibir plum yang cantik." Reyhan dan Fandy keki. Mereka seperti tahu siapa yang dibicarakan. Ares selalu bilang bahwa Chandra itu visual yang sempurna sebagai seorang pemuda. "Hei! Apa bagusnya si Chandra?" protes Fandy karena Ares begitu memuji kesempurnaan fisik Chandra. "Ayolah, cowok mana yang nggak iri sama body bidang dan atletis itu? Gue jadi pengen gabung di klub basket biar cepat tinggi," angan Ares. Tawa Reyhan meledak. Dia pun menarik ujung telinga Ares. "Makanya, sebelum tidur malam, minum obat cacing dulu biar pertumbuhan lo nggak ngadat." Ares kesal karena disindir lagi tentang tinggi badannya. Dia pun berjalan meninggalkan dua rekannya itu. "Ares baby, sebelum lo punya pacar, gue akan terus jahilin lo," kata Fandy sambil mengekori Ares. "Tenang aja. Gue akan dapetin cewek cantik. Jadi jangan kepoin gue," seru Ares. "Serius? Tapi bisa gue tikung, 'kan?" Ares segera menarik tangan Fandy dan meletakkan sisa selebaran di tangannya. "Bantu gue urus selebaran itu. Dasar lo, petugas OSIS yang nggak bertanggung jawab." Reyhan tersenyum geli melihat kekompakan dua sahabatnya itu. Mereka berlalu meninggalkan Reyhan. Kembali, Reyhan menatap selebaran itu dengan seksama. Sementara itu di dalam kelas, Windy dan Chandra duduk santai menunggu pelajaran berikutnya berlangsung. Kini, hati Windy seolah tak memiliki getaran hebat seperti dulu ketika bersama Chandra. Reyhan mampu meruntuhkan pilar cintanya yang dulu kokoh untuk Chandra. "Hei, Barbie. Dua minggu lagi itu dua tahun anniversary kita, 'kan?" Windy tertegun. Hampir saja dia melupakan hari itu. Sesaat, dia teringat ucapan Reyhan semalam. Ucapan yang membuat Windy merasa bersalah. Gimana bisa aku hidup tanpa kamu, Barbie? Apa kamu sadar sebutan Barbie itu sebutan manis dariku untuk kamu? Itu panggilan dariku sejak kita kecil. Kenapa kamu biarin Chandra manggil kamu dengan sebutan itu juga? Kamu itu barbie girl-ku, tapi kenapa kamu milih Chandra untuk jadi Ken-mu? Kenapa bukan aku? Windy menggenggam jemari Chandra, tersenyum tulus. "Untuk seterusnya, jangan panggil aku barbie lagi, bisa?" Chandra mengerutkan dahi. Permintaan yang tidak beralasan. "Kenapa?" "Ga apa-apa. Cari sebutan yang lain aja, ya?" ucap Windy. "Hm, oke. Ntar kupikirin." Hati Windy mulai menduakan cinta. Chandra sebagai korban tentu saja akan sangat kecewa jika kekasihnya ini menaruh hati pada orang lain. Begitu mudahnya Reyhan menelusup ke batin Windy. Bukan salah Windy, salahkan Reyhan yang terlalu istimewa dalam hidup Windy. *
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD