13. Luna - 3

1313 Words
Windy berjalan gontai memasuki rumah ketika sepeda motor Chandra sudah meninggalkan pelataran. Harusnya dia senang menyambut kehadiran keluarganya. Dia tak tahu kenapa hatinya mendadak kusut. Tampak di ruang tengah sudah berkumpul dua keluarga, dengan hidangan teh dan cemilan yang menghiasi meja. Terlihat di antaranya, seorang gadis yang dia kenal adalah adiknya sendiri. Adik sekaligus rival cintanya. Luna Anindy. "Kak Windy!" sambut Luna. Mereka bangkit dari duduknya dan mendekati Windy. Si Barbie itu mendapat sebuah kecupan dan pelukan dari orangtuanya yang sangat dia rindukan. Ketika dia menatap wajah adiknya itu, senyumnya tampak dipaksakan. "Lama nggak ketemu. Apa kabar, Lun?" sapa Windy pada adiknya. "Iya. Aku baik, Kak." Gadis cantik dengan rambut ikal terurai indah itu segera memeluk Windy. Tampilan gadis yang berusia setahun lebih muda darinya itu kini tampak modis. Hidup di Singapore tentu saja mengubah penampilannya menjadi lebih modern. "Aku kangen banget sama Kak Win." "Iya, aku juga," balas Windy sebisanya. "Gimana nih, Kak? Aku nggak nyangka mama dan Tante Raya berniat jodohin aku sama Kak Rey. Kakak tau, kan, Kak Rey itu sempurna banget buatku. Kayaknya aku nggak nemuin cowok Singapore yang punya pesona keren kayak dia. Sekarang," Luna sedikit tersenyum. "... dia pacarku, Kak." Terdengar raungan sepeda motor memasuki pelataran rumah hitam putih Keluarga Pramana. Senyuman terukir indah di bibir mereka, kecuali Windy tentunya. Dari balik pintu, tampak Reyhan berjalan mendekati. Langkahnya disambut hangat oleh keluarga mereka. "Kak Rey!" Reyhan tersenyum manis saat gadis itu segera melompat ke pelukannya. Rasa rindu yang mereka luapkan kini menjadi jembatan neraka di hati Windy. "Kak Rey, aku kangen." Reyhan melepaskan pelukannya, menautkan alis sambil menyentuh kepala gadis itu. "Hei, kamu makin tinggi, Lun." Luna tersenyum ceria membalas sambutan hangat Reyhan. "Harusnya Kak Rey bilang 'kamu makin cantik, Luna'. Gitu, kek!" Tawa membahana di sekitar. Sebenarnya hati Reyhan juga sama hancurnya dengan Windy, tetapi dia tak mungkin merusak kebahagiaan mereka. "Karena Luna udah di sini, gimana kalau pertunangan itu kita jadwalkan 2 minggu lagi?" usul Mama Raya. Reyhan dan Windy terkejut. Windy merasa menjadi seorang yang bodoh yang kini terpuruk di saat mereka gembira. Reyhan pun demikian. Namun, mereka tak bisa saling menggenggam jemari untuk menguatkan. Keputusan sudah dilahirkan oleh kedua belah pihak keluarga. "Kalau aku setuju aja, Tan," sambut Luna. Sejenak, dia melirik pada Windy, ingin melihat jelas ekspresi sedih kakaknya itu. "Gimana, Rey?" tanya Mama Wenny. Reyhan mengela napas, mengurai senyum terpaksa karena tak ada pilihan lain yang tersisa. "Aku boleh bicara sama Luna sebentar?" Reyhan segera menggenggam jemari Luna dan meninggalkan suasana bahagia yang justru mengoyak hatinya. Ketika Windy hendak melangkah, lengannya ditahan oleh Mama Raya. "Kamu mau apa, Win? Jangan ganggu mereka, ya! Beri mereka ruang untuk saling mendekatkan diri. Tante yakin, Reyhan akan mencintai Luna dan melupakan kamu," ucap Mama Raya sambil tersenyum. Mereka pergi, menyisakan Windy yang tertegun seorang diri. Ingin dia menangis, tetapi tak ada gunanya juga. Perlahan Reyhan akan lepas dari genggamannya, dan jatuh pada adiknya sendiri. 'Ma, dia alien kesayanganku. Kenapa justru dikasih ke Luna? Rey, jangan pernah lupain aku. Please,' batin Windy. Windy tak bisa mengungkapkan betapa cemburunya dia pada adiknya yang kini telah memproklamirkan diri menjadi calon tunangan Reyhan. Hubungan persahabatannya dengan Reyhan yang tengah retak malah disisipi oleh Luna yang muncul di tengah pergulatan hati mereka. Hal ini justru menciptakan satu ruang yang akan membuat hati mereka terpisah. Luna dan Reyhan duduk di tepi kolam renang. Kaki mereka mengayun memainkan air kolam. Riak-riak kecil terbentuk dari ayunan kaki mereka. "Kak Rey baik-baik aja?" tanya Luna menatap serius mata Reyhan. Reyhan menghela napas. Pasti Luna juga tahu hatinya saat ini. Cinta bertepuk sebelah tangannya pada Windy kini sukses membuat orang-orang di sekitarnya merasa kasihan padanya. "Aku baik-baik aja. Kalian nggak perlu khawatir tentang hatiku. Oh ya, soal pertunangan itu ...." "Bukan itu," sela Luna. "Bukan itu? Maksud kamu apa?" "Aku tanya apa Kak Rey baik-baik aja? Aku tanya soal kesehatan Kak Rey. Apa masih sering kambuh?" Reyhan mengangguk paham, mengusap perlahan rambut Luna. Ada tatapan khawatir di sorot matanya. Pandangan yang sama yang dimiliki Windy. Pandangan yang akhirnya meredup setahun terakhir ketika kecemasan itu Windy alihkan pada kekasih hatinya, Chandra. "Ya. Kakakmu merawatku dengan baik. Jadi jangan cemas. Sekarang aku ini jadi tanggung jawab kamu. Oke?" ujar Reyhan. "Oke. Oh ya! Aku udah minta mama supaya aku pindah ke sekolah kalian." Reyhan mengerutkan alis. Sepertinya Luna memang serius menanggapi hubungan yang akan terjalin di antara mereka. "Kamu ini kenapa? Aku tau kamu ini keras kepala, pemberontak, dan berprinsip. Kamu aja dengan nekatnya milih sekolah di Singapore dan tinggal sama kakek kamu sekalipun Tante Wenny udah ngelarang. Lalu kenapa kamu tunduk banget soal perjodohan ini? Apa ada yang kamu sembunyikan?" tanya Reyhan. Luna tertawa kecil. Untuk sesaat, dia melirik ke belakang. Jelas terlihat Windy sedang mengintip dan mencuri pembicaraan mereka. Saat ini Windy justru tak bisa mengendalikan hatinya. Saat dia sadar Reyhan perlahan-lahan pergi, dia berusaha mengeratkan genggamannya. "Aku cuma mau main-main sebentar. Bosan aja di Singapore, nggak ada yang menarik. Lagian, Kak Rey juga bisa manfaatin aku untuk move on dari Kak Win. Benar, 'kan?" Pembicaraan mereka terlihat serius. Reyhan seperti tak punya pilihan untuk menghindar. Ketegasan Luna justru menciptakan ruang bagi Reyhan untuk bersembunyi. "Ya, aku akan manfaatin kamu. Kamu nggak keberatan?" "Ya nggak, lah. Ini permainan yang seru. Sekarang Kak Rey itu pacarku!" Reyhan setuju untuk jatuh dalam permainan yang dirancang oleh Luna. Bermain tanpa hati. Karena hatinya yang sudah dimiliki oleh Windy pun telah dihancurkan gadis itu. "Ya udah. Kalau gitu, kita harus bikin satu perjanjian dan batu loncatan untuk janji hubungan kita." Luna tersenyum meyakinkan, tetapi ekor matanya sesekali melirik Windy. "Ck, kamu bicara terlalu berbelit. Aku sama sekali nggak ngerti. Kamu-" Dua hati seolah patah ketika tindakan mengejutkan Luna disaksikan di depan mata Windy. Windy merasakan sakit yang bertubi dan segera mengalihkan pandangannya. Ya, dia lebih memilih menutup mata. Sudah cukup rasanya Windy melihat tindakan gila adiknya yang begitu mudah mencium Reyhan. Reyhan bahkan belum menutup mata karena tindakan adiknya Windy ini cukup berani. Tinggal di luar negeri seperti berdampak pada pergaulannya. Nihil, Reyhan tak membalasnya. Luna hanya membuatnya gugup saja. Kendati demikian, dia tak mengerti kenapa Luna melakukan ini. Padahal dia tahu jelas Luna tak pernah memiliki perasaan spesial padanya. Hanya sekadar perasaan kagum pada sosok kakak yang tidak dia miliki. Luna tersenyum tipis. Dikuranginya jarak duduknya dari Reyhan setelah melepasnya. "Hei! Apa yang kamu lakukan?!" kesal Reyhan. Luna tertawa. "Kenapa? Apa itu ciuman pertama Kak Rey? Tapi ...." Luna menggantung ucapannya. Dia mengerlingkan matanya pada Reyhan, bermaksud menggoda. "Apa Kak Rey udah pernah nyium Kak Win?" Reyhan melepaskan jemari Luna, tatapan sendunya dia alihkan. Apa pun yang baru saja dilakukan Luna, baginya tak ada arti. Dia justru tak merasakan apa pun. Satu-satunya gadis yang ingin diciumnya adalah Windy, cinta pertamanya. "Aku udah nyium dia, kemarin." "Kak Rey udah jujur ke Kak Win? Trus?" tanya Luna, antusias. "Dia marah dan benci sama aku. Karena itulah akhirnya kamu ada di sini karena mereka kasihan sama aku dan berniat jodohin kita." "Hh, Kak Rey bicara apa? Aku ke sini bukan semata-mata karena pertunangan itu. Kak Rey ingat, ini udah dekat tanggal ulang tahun Kak Rey." "Stop perlakukan aku semiris ini, Lun. Aku nggak semenderita itu. Aku masih bisa menata hatiku untuk-" "Serius? Kak Rey bilang akan bangkit dan ngelupain kakakku? Kalau gitu, ayo kita mulai. It started with a kiss, hubungan kita akan dimulai dari sini." Reyhan selalu kalah jika harus berdebat dengan Luna. Luna ini sangat berbeda dari Windy. Luna tumbuh menjadi gadis tangguh dan begitu tegas. Sejak kecil, dia sudah menunjukkan kriteria kemandiriannya. Dia meminta tinggal di Singapura dengan kakeknya dan sekolah di sana. Berbeda sekali dengan Windy yang tumbuh lincah tetapi terlihat sangat manja dan bergantung pada Reyhan. Gadis manja itu yang akhirnya mampu menaklukkan hati Reyhan. Jika hati Reyhan adalah sebuah permainan labirin, maka Windy-lah satu-satunya yang memiliki peta dan sanggup mencari jalan untuk mengakhiri dan menaklukkan permainan. *
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD