11. Luna - 1

1088 Words
Suasana kantin sekolah tampak ramai. Di meja sudut, Karina dan Reyhan duduk berdua. Berada di sisi Reyhan tentu saja sangat menggembirakan hati Karina. Karina duduk bertopang dagu di sebelah Reyhan yang sedang menghabiskan orange juice-nya. Hati Karina memang terlalu berlebihan pada Reyhan. Dia bahkan tak menyentuh mie yang dia pesan sejak tadi. "Kenapa lo terus ngeliatin gue? Risih, gue!" ucap Reyhan. Karina cemberut. Dia mencubit lengan Reyhan yang tak pernah lembut ketika berbicara padanya. Berbeda sekali jika Reyhan berbicara dengan sahabat yang begitu dicintainya, Windy. "Kemarin kamu minta aku untuk jadi pacar kamu supaya kamu bisa move on dari Windy, tapi kenapa sekarang kamu justru begini? Kalau judes gini terus kamu nggak akan bisa jatuh cinta sama aku. Dih," keluh Karina dengan nada kesal. Reyhan mulai menatap Karina yang saat ini tengah serius bicara padanya. "Setelah jujur ke Windy soal hati gue, entah kenapa gue ngerasa bukan Rey yang dulu. Di depannya pun gue nggak bisa lagi bilang 'aku baik-baik aja, kamu jalanin aja hubungan kamu sama Chandra'. Ck! Gue nggak bisa lagi sembunyikan kecemburuan gue ini dari dia. Hati Windy jauh lebih sensitive dari yang dulu. Jadi sampai kapan pun, gue nggak akan pernah bisa move on dari dia." Rasa kesal di hati Karina menghilang ketika melihat tatapan Reyhan -yang sangat teduh mengungkapkan kekacauan hatinya saat ini. Ada begitu banyak kekesalan di relung hati Karina jika Reyhan tak bisa melupakan gadis barbie-nya. Saat melihat kesedihan di mata Reyhan pun dia semakin tak tega. "Windy tinggal di rumah gue selama seminggu ke depan. Gue nggak tau harus gimana bersikap di depan dia. Gue pengen banget meluk dia kayak dulu. Selama ini rasa jealous gue ke Chandra selalu bisa gue atasi. Tapi saat Windy mulai pergi dari gue, itu terasa lebih sakit. Harusnya kemarin gue bisa menahan diri dan nggak jujur soal hati gue. Harusnya sekarang gue masih di samping dia sebagai sahabat yang dia butuhkan. Harusnya ...." Ucapan Reyhan terhenti saat Karina menyentuh lembut pipinya. Gadis itu mencoba membalas tatapan penuh luka itu. "Kenapa kamu sebodoh ini? Kalau terus sakit, kenapa masih tetap cinta aja sama dia, hah? Kenapa bukan aku? Aku bisa bahagiain kamu, Rey!" Reyhan menggeleng singkat, menurunkan tangan Karina yang ada di pipinya. "Gue naksir Windy sejak umur 10 tahun. Konyol, 'kan? Gue pikir itu cuma rasa sayang gue sebagai kakak. Tahun-tahun berikutnya, gue mulai sadar kalau itu memang rasa sayang dan cinta dalam bentuk berbeda, sebagai sahabat. Trus waktu Chandra datang dan bikin Windy jatuh cinta sama dia, gue baru sadar betapa terlukanya gue waktu mereka pacaran. Gue cuma bisa nyalahin diri sendiri, kenapa gue terlambat jujur ke dia soal hati gue? Kenapa gue biarin hatinya diisi sama cowok lain? Dan sekarang, bukan cuma nggak ngizinin gue bareng Windy, Tuhan justru merancang satu hubungan yang bikin gue makin tersiksa." Karina mengerutkan alis. Reyhan menundukkan pandangan seraya membuang napas panjang. Dia menatap Karina lagi. "Gue dijodohin sama adiknya Windy." Lengkap sudah keterkejutan di hati Karina. Pupus harapannya untuk mendapatkan hati Reyhan. Sepertinya dia tahu Reyhan akan melepaskan ikatan yang baru saja terjalin di antara mereka. "Maafin gue. Gue udah milih untuk nurutin perjodohan itu. Mungkin sekarang Windy lega karena dia nggak harus ngerasa bersalah lagi ke gue. Kalau gue nggak jomblo lagi, mungkin itu akan ngurangin rasa bersalahnya. Lagian gue juga udah kenal adeknya, udah gue anggap adek sendiri juga. Mungkin akan lebih mudah buat gue untuk menjalin hubungan sama adeknya Windy daripada harus menata hati dari awal sama lo. Lo bisa maafin gue, 'kan?" Karina tak bisa berkata apa pun. Besar harapannya kemarin agar Reyhan jatuh hati padanya. Kini, Reyhan menghempaskan begitu saja hatinya, membiarkan luka itu tercabik dan kini menganga lebar. Reyhan, si alien dingin itu kini sukses membuat Karina menangis karena cinta. "Jangan nangis, Karina. Maafin aku, tolong," pinta Reyhan. Suara Reyhan terdengar lembut. Dia segera menarik bahu Karina dan menenggelamkan wajah Karina dalam bidang dadanya, memeluk erat penuh penyesalan dan perhatian. Karina menangis. Padahal selama ini dia begitu tangguh untuk mendapatkan Reyhan. Entah kenapa, kali ini dia merasa gagal. Dia menatap mata Reyhan yang begitu sakit akan cintanya pada Windy. Jurang pemisah antara dia dan Reyhan akan semakin bertambah dengan kehadiran adiknya Windy. "Hei, kenapa kamu cengeng gini? Aku janji, sekalipun kita nggak bisa jadian, kita bisa berteman mulai hari ini. Gimana?" usul Reyhan. Karina mengangkat wajahnya, menatap senyuman indah Reyhan untuknya. "Lupakan! Gue udah telanjur patah hati," gusar Karina. Sebelum pergi, dia menimpuk kepala Reyhan dengan buku di tangannya. Brukk! "Aissh, jahat banget!" keluh Reyhan sambil mengusap kepalanya. Pembicaraan Reyhan dan Karina ditatap oleh Windy di kejauhan. Windy harus menahan gemuruh di dadanya karena kesal melihat keduanya begitu akrab. Saat ini, sorot mata Windy tak pernah lepas dari Reyhan. 'Dasar playboy! Kamu bilang kamu cinta sama aku, tapi apa? Aku udah kasih kamu kesempatan, Rey. Tapi kalau kamu makin jauh gini, gimana kamu bisa menang? Ck, dasar!' gusar batin Windy. Reyhan pergi dari bangku itu. Windy tak tahu kenapa dia marah sekali. Windy pun menggeser bangkunya, tatapannya menangkap seorang pria tampan berkulit putih dengan sejuta pesona Don Juan yang dimilikinya. Si playboy Fandy sedang menikmati senyuman dan tawa gadis-gadis centil yang berada di kedua sisi bangkunya. Iseng, Windy tersenyum kecut. Dia mendekati pria itu dan menarik telinga kanannya. "Aah, aduh," ringis Fandy. "Bagus banget, ya, Mr. Don Juan. Udah kelas XII, kebiasaan lo nggak hilang juga. Lo harus lebih konsentrasi belajar. Cuma karena lo, image cowok Sains XII-1 tercemar di kalangan junior. 'Cowok-cowok XII-1 itu cakep banget, tapi otaknya nggak berisi. Lo mau junior bilang gitu ke kita, hah?" "Ah, Windy. Sakit, Neng." Windy enggan melepaskan keusilannya. Dia menatap wajah para siswi itu. "Maaf, Nona. Jam istirahat udah selesai. Gue harus balikin evil yang satu ini ke sarangnya," ujar Windy pada gadis-gadis di sekitar Fandy. Windy segera menyeret Fandy keluar dari kantin. Si playboy itu mengusap-usap telinganya yang sudah merah karena tindakan usil Windy tadi. "Aih! Tega banget, lo! Padahal gue baru aja hampir kelarin schedule kencan untuk 3 bulan ke depan," gusar Fandy. "Ck, cewek dan nge-date. Selain itu, apa lagi yang lo tau?" "Lo ini kenapa? Lagi bete gitu kenapa malah julid ke gue?" Windy melipat tangannya di d**a, menatap raut kusut di wajah Fandy. "Harusnya lo itu say thanks ke gue. Oh ya, lo liat Arvin, nggak?" tanya Windy. "Hah? Arvin itu cowok, kenapa gue harus ngikutin dia?" "Ck, ngajak ribut lo, Bang?!" seru Windy sambil menunjukkan kepalan tangannya pada Fandy. "Hehe, sorry." Fandy keki sambil mendorong kepalan tangan gadis itu agar menurunkannya. Dia tersenyum manis sambil menggaruk tengkuknya yang tak gatal. "Udahlah! Males gue!" gusar Windy.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD