Pramudya Aleandro

1024 Words
"Aaaaa!" pekik Gita, lalu buru-buru menutup mulut sendiri. Di depannya kini berdiri sosok yang baru saja ia pikirkan. Laki-laki itu menyandarkan tubuh ke daun jendela yang terkuak ke dinding bagian luar kamar. Tatapannya datar. "Kamu ternyata hobi sekali jejeritan," sindirnya. "Aneh." Gita membuang pandang ke ranjang. Dia menarik napas lega saat melihat sahabatnya itu masih mendengkur. Untuk pertama kalinya ia bersyukur punya teman yang tidurnya seperti orang mati. "Anda yang aneh. Tiba-tiba datang," sahut Gita sembari mendelik. "Bisa jauh-jauh gak? Saya mau nutup jendela." Gadis itu mengibaskan tangan. Sebisa mungkin ia berpura-pura tidak mengenali pria di depannya. Demi menyelamatkan muka, tentu saja. Tanpa mengucapkan sepatah kata pun, laki-laki itu menarik diri. Sebelum pergi lagi-lagi ia menatap wajah Gita. Namun gadis itu langsung melengos. Ditatap sedemikian rupa, mengingatkannya kembali pada ciuman tadi. Ciuman yang menyebalkan, sayangnya membuat ia berdebar. Dan wajah gadis itu memerah karenanya. Tak ingin laki-laki tersebut menyadari, Gita segera meraih daun jendela dan menutup rapat. Sekilas sempat ia tangkap senyum tipis di bibir sang pria. Senyum yang membuat jantungnya semakin bekerja ekstra keras. Ia baru bisa menarik napas lega setelah jendela tersebut kembali dikunci. "Kenapa ditutup lagi, Git?" Gita menoleh cepat. "Eh lo dah bangun, Hes?" Ia balik bertanya. "Ya gimana gak terbangun, lo banting pintu," sungut gadis itu. "Eh iya, ya? Maaf, sengaja." Gita menahan senyum. Hesti mendelik. "Lo gak di mana-mana tetap bangun pagi ya?" ujar gadis itu sembari bangkit dari ranjang. "Gue tebak, lo pasti terbangun karena kebelet," lanjutnya. Gita memutar bola mata. "Untung aja gue gak sirem lo," sahutnya yang ditanggapi Hesti terkekeh. *** "Hmm ... perempuan." Laki-laki itu menggeleng pelan dengan sesungging senyum menghias sudut bibir. Ia melanjutkan langkah dengan santai menuju paviliun. Sepagi ini ia sudah dua kali bertemu dengan gadis aneh itu. Pertama karena kebetulan. Kedua karena ia memang sengaja mendekati. Apa lagi alasannya kalau bukan karena penasaran? Ia tak habis pikir. Bagaimana bisa seorang gadis keluar dari bilik air dengan hanya menggunakan handuk? Jelas-jelas itu alam terbuka. Siapa saja bisa datang ke sana tiba-tiba. Apa gadis itu tidak sadar dengan penampilannya demikian akan mengundang lelaki mana pun untuk berbuat tidak senonoh? Jadi jangan salahkan dirinya, jika mendapatkan perlakuan seperti tadi. Ia kini yakin gadis itu adalah salah seorang mahasiswi di tempatnya mengajar. Di kampus beberapa waktu lalu sekilas mereka sempat bertemu. Menjadi fakta yang menarik bagi Pram, sikap gadis tersebut berbeda dengan yang lainnya. Ia terlihat sangat cuek. Dan melihat sikap sang gadis barusan ia menyangsikan kalau gadis itu mengenalinya sebagai salah seorang staf tenaga pengajar di tempatnya menuntut ilmu. Baguslah, batinnya. Dengan demikian ia tidak perlu khawatir dianggap dosen m***m oleh mahasiswi sendiri. Reflek tangannya mengusap pipi yang tadi berkenalan dengan telapak tangan mungil itu. "Jangan kurang ajar." Ia tersenyum mengingat makian itu. Terlepas gadis itu mengenalinya atau tidak, nyali gadis itu patut diacungi jempol. Belum pernah ada dalam sejarah ia ditampar cewek hanya karena dicium. Masih terbayang dalam ingatannya bagaimana mata berbulu lentik dan dinaungi alis berjajar rapi itu membulat sempurna. Mungkin maksudnya agar terlihat galak. Tapi jujur ia malah ingin tertawa. Dengan sikap seperti tadi gadis itu justru terlihat kian menggemaskan. Apalagi kulitnya yang putih bersih tampak begitu kontras dengan handuk merah yang ia gunakan. "She is so seksi," gumamnya sembari memasukkan tangan ke kantong celana. Untuk pertama kali setelah sekian lama ia ingin memperlakukan wanita sebagai mana layaknya. Hingga peristiwa tadi terjadi begitu saja. Dan ia menikmati. Bahkan kini ia berharap kejadian tadi akan berulang. Dengan cepat ia menggeleng. "Apa yang aku pikirkan? Ini tidak bisa dibiarkan." Ia menggumam. Namun yang jadi masalah, kenapa bayangan gadis dengan segala penampakan tadi pagi seolah menari di pelupuk matanya? Bukankah selama ini ia sudah tidak peduli dengan yang namanya perempuan? Secantik apa pun itu? Wajah yang bersinar, pakaian minim, rambut basah tergerai hingga pundak sukses mengganggunya kini. Lelaki mana yang tidak akan berhalusinasi? Aroma shampoo dan sabun mandi yang begitu menggoda, hingga mampu membuat ia kehilangan kendali. Neraka. Pria itu menggelengkan kepala kuat sembari membuka pintu paviliun. Rasanya tak mungkin ia akan segampang itu untuk suka pada seseorang. Apalagi jatuh cinta. Bukankah di negara asal ibundanya melihat wanita berbikini saja ia sudah biasa? Menghempaskan tubuh di ranjang, ia menyelipkan kedua tangan ke belakang kepala sembari pikirannya menerawang. Hampir tiga tahun belakangan hidupnya benar-benar gersang. Hal yang paling ia benci adalah berurusan dengan makhluk yang bernama perempuan. "Perempuan itu dimana-mana sama. Punya cara membuat laki-laki jatuh cinta tapi tidak tau bagaimana cara menjaganya. Termasuk ibumu." Ia mendesis dengan rahang yang mengeras. "Jatuh cinta berarti harus mempersiapkan hati untuk dilukai." Ia menegaskan. Tak ingin tenggelam dengan perasaan aneh yang menyapa, ia kembali bangkit dari ranjang. Bergegas ke meja makan karena melihat hidangan sarapan paginya telah tersedia di sana. Tanpa pikir panjang lagi ia melahap semua tak bersisa. Setelahnya pria itu kembali meninggalkan paviliun, mengayun langkah menuju perkebunan teh yang terdapat tidak jauh dari rumah. Tempat dulu ia sering menghabiskan waktu bersama para sepupunya. Lelaki itu menelusuri perkebunan dengan santai. Sapaan ramah dari beberapa wanita pemetik daun teh, hanya dijawabnya dengan anggukan dan senyuman. Samar bisikan dari beberapa diantaranya menghampiri telinga laki-laki itu. Namun ia tak peduli. Ia sudah sangat terbiasa dengan hal tersebut. Berada di perkebunan teh selalu memberikannya rasa nyaman, dari dulu. Selain pemandangan yang indah, udaranya pun segar. Berbanding terbalik dengan suasana perkotaan yang penuh dengan polusi. Laki-laki itu mengedarkan pandangan ke bawah bukit. Rasa damai memenuhi sanubarinya menyaksikan betapa indah mahakarya Sang Pencipta yang terpampang di depan matanya. Hamparan hijau laksana permadani. Di sela-selanya para perempuan pemetik daun teh dengan topi lebar tampak begitu antusias dengan apa yang tengah mereka lakukan. Pria itu tertegun saat melihat dari kejauhan dua penampilan yang berbeda dengan para pemetik daun teh. Dua sosok itu yang juga tengah menuju ke dangau tanpa menyadari keberadaannya. Keduanya tampak mengobrol dengan begitu ceria. Sesekali mereka merentangkan tangan sembari menengadahkan kepala dan berputar pelan. Tanpa disadari keceriaan mereka berdua menular padanya. Tingkah keduanya menghadirkan senyum di bibir laki-laki itu. Ia menatap antusias. Namun saat keduanya makin mendekat, ia mengernyitkan dahi. Tiba-tiba dadanya berdesir aneh. Dua sosok yang baru menyadari keberadaannya di sana tak kalah terkejut. Terlebih saat tanpa sengaja tatapan mereka bertemu. "Kak Pram?" Salah seorang di antaranya memekik tertahan. "Kalian?"
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD